Contoh Pembelajaran Berbasis Riset Mata Kuliah Evaluasi Kelembagaan An. Ahmad Isna Muhdi
EVALUASI
MANAJEMEN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA PENDIDIKAN TINGGI DI BENGKULU
AHMAD ISNA MUHDI
Abstrak
Tujuan tulisan ini untuk mendeskripsikan manajemen perspektif pada
lembaga pendidikan Islam pada pendidikan tinggi di Bengkulu. Metode yang
digunakan pendekatan kualitatif dengan desain evaluasi program. Komponen yang menjadi tolak ukur evaluasi program adalah
model goal free evaluation yang dikembangkan oleh
Scriven. Pengumpulan data melalui wawancara dan studi
dokumentasi, dengan pihak
manajemen penyelenggaraan perguruan lembaga pendidikan Islam. Dengan
tiga langkah yaitu; reduksi data, tampilan data, dan tahap menggambar
kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan manajemen
lembaga pendidikan Islam secara umum cukup baik, ditunjukkan dari aspek memberikan
layanan publik telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur secara efektif dan
efisien. Peneliti menyarankan program ini perlu peningkatan terutama tahap perencanaan, penganggaran dan implementasi program.
Kata
Kunci: Manajemen, Lembaga Pendidikan Islam, Pendidikan Tinggi
Pendahuluan
Kelembagaan merupakan hal sangat penting menyangkut kode
etik, peraturan perundangan, dan terkait organisasi meliputi struktur, fungsi
dan manajemennya. Schmid North menyebutkan
kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam masyarakat, kelompok
atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok. Menurut Schotter kelembagaan merupakan
regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati semua anggota masyarakat dan
merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang.[1]
Uphoff,
menyebutkan kelembagaan bersifat interchangeably.
Secara ilmu sosial institution dan social
organization dikenal dengan kelompok sosial, grup, social form. Kelembagaan merupakan organisasi menunjuk kepada social form bersifat formal, dan kelembagaan
juga lebih disukai karena memberi kesan lebih sosial dan lebih menghargai
budaya lokal, atau lebih humanistis.[2]
Jadi kelembagaan merupakan serangkaian peraturan dalam membangun struktur
interaksi sosial dalam kelompok organisasi masyarakat dalam menentukan
kebijakan membuat keputusan, dengan tujuan
terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi sesama anggota masyarakat.
Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial.
Sesuai Ostrom menyebutkan kelembagaan sebagai aturan
yang berlaku dalam masyarakat penentu pembuat keputusan, boleh, tidak
dilakukan, aturan yang berlaku umum di masyarakat, prosedur yang harus diikuti,
informasi yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan yang diterima
individu sebagai hasil tindakan yang dilakukannya.[3]
Dalam
kajian ilmu politik kelembagaan dikenal sebagai aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk kepentingan
bersama atau umum (public). Sedangkan
Ilmu psikologi kelembagaan disebut tingkah laku manusia (behaviour). Ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dari
sudut hukum, aturan dan penegakan hukum serta instrument dan proses litigasinya,
dalam pengembangan kelembagaan.
Analisis
pengembangan kelembagaan memerlukan dukungan pendekatan analisis organisasi
seperti; psikologi, sosiologi, antropologi, hukum dan ekonomi, kode etik,
aturan main, struktur, fungsi dan manajemennya, untuk menghasilkan analisis
kelembagaan yang komprehensif dan menyeluruh. Analisis mungkin menjadi lebih kompleks
dalam strategi pengembangan. Logika analisis institusi bisa dipakai untuk
menjelaskan kegagalan pemerintah dan negara atau kegagalan pasar ataupun
kegagalan berbagai model pembangunan untuk perbaikan pengembangan dan penguatan
kelembagaan.
Fenomena
yang terjadi saat ini, hampir semua institusi pelayanan publik mengalami
kelemahan dalam proses penguatan kelembagaan organisasi, sehingga lemahnya
penguatan kelembagaan ini berdampak pada tidak maksimalnya proses pelayanan
yang dilakukan, seperti proses penguatan dan kelembagaan yang terjadi pada
pendidikan tinggi.
Pendidikan
tinggi merupakan institusi yang selalu dituntut memaksimalkan peran dan
fungsinya dalam melakukan pelayanan pendidikan kepada masyarakat, karena
pendidikan tinggi diyakini mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang dapat
membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam mengemban kepercayaan
masyarakat tersebut pendidikan tinggi dituntut untuk senantiasa berinovasi
serta meningkatkan mutu pendidikannya.
Dalam
peningkatan mutu pendidikan, upaya yang harus dilakukan pendidikan tinggi
adalah upaya menguatkan sistem kelembagaan yang ada, karena dengan semakin
kuatnya sistem kelembagaan maka pendidikan tinggi dapat memaksimalkan perannya
sebagai pusat ingkubator pendidikan bagi masyarakat. Kemudian di samping
kuatnya sistem kelembagaan yang ada tentu meminimalisir segala persoalan
pendidikan tinggi dan mutu pendidikan nasional.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, makalah ini mengkaji evaluasi manajemen pendidikan tinggi
dengan menggunakan model goal free evaluation. Model evaluasi yang dikembangkan Scriven. Scriven
mengemukakan melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan
tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah kinerja
suatu program, dengan jalan mengidentifikasi pengaruh yang terjadi baik hal positif
(hal yang diharapkan) maupun hal negatif (hal yang tidak diharapkan).[4] Evaluasi model goal free evaluation, fokus pada adanya
perubahan perilaku yang terjadi sebagai dampak dari program yang
diimplementasikan, melihat dampak sampingan baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan, dan membandingkan dengan sebelum program dilakukan. Evaluasi
juga membandingkan antara hasil yang dicapai dengan besarnya biaya yang
dikeluarkan atau melakukan cost benefit
analysis terhadap manajemen pendidikan lembaga pendidikan Islam pada
Pendidikan Tinggi.
Manajemen
Kelembagaan Pendidikan Islam
PP nomor 19 tahun
2003,[5] Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003, dan PP Nomor 19 tahun 2003,[6] mengatur
keleluasaan masing-masing satuan pendidikan dan pendidikan tinggi untuk
pengembangan mutu layan sesuai program studi dan keahlian masing-masing. Mutu pendidikan merupakan prioritas utama dalam
manajemen kelembagaan pada proses akademik termasuk input penerimaan mahasiswa
dan output kelulusan. Pemikiran tentang mutu lembaga adalah akreditasi. Lembaga
dengan akreditasi tinggi maka lembaga semakin bermutu.[7] Pola Mutu akreditasi PT
tertulis di Education Development Index (EDI). Lembaga Pendidikan Indonesia mempunyai rangking
mutu pendidikan pada urutan 69 dibawah Malaysia pada urutan 65.[8] Masalah
ini menunjukkan kesenjangan antara
harapan dan kenyataan. Kondisi ini bukan hanya terjadi pada lingkungan PT umum Kemenristek dikti, namun terjadi pula pada PTKI dibawa Kementerian Agama.
Kondisi mutu Pendidikan Tinggi di provinsi Bengkulu masih tergolong
lemah. Hal ini diperkuat dengan penilaiaan webometriks.
Seperti; (1) Universitas Bengkulu (Unib) peringkat nasional berada pada urutan
35, dan peringkat dunia berada pada posisi 3859; (2) Universitas Dehasen
Bengkulu (Unived) peringkat nasional berada pada urutan 123, dan peringkat
dunia berada pada posisi 6512; (3) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu
peringkat nasional berada pada urutan 125, dan peringkat dunia berada pada
posisi 6561; (4) Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH (Unihaz) Bengkulu peringkat
nasional berada pada urutan 371, dan peringkat dunia berada pada posisi 13652;
(5) Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) peringkat nasional berada pada
urutan 414, dan peringkat dunia berada pada posisi 14377; (6) Poltekes Bengkulu
peringkat nasional berada pada urutan 1015, dan peringkat dunia berada pada
posisi 23438; (7) Akademi Farmasi Al Fatah Bengkulu peringkat nasional berada
pada urutan 1133, dan peringkat dunia berada pada posisi 24390; (8) Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Curup peringkat nasional berada pada urutan 1769, dan
peringkat dunia berada pada posisi 27335.[9]
Proses layanan manajemen adalah usaha organisasi mencapai tujuan
melalui perencanaan, pengorganisasian, penempatan, pengarahan dan pengendalian.[10] Proses
mewujudkan tujuan[11] dalam capaian
keberhasilan dengan manajemen yang efektif.[12] Perjalanan PTKI di provinsi Bengkulu terus
melakukan perubahan mutu sarana
prasarana, mutu tenaga pendidik, mutu tenaga kependidikan, mutu proses
pembelajaran, dan mutu lulusan. Prioritas utama merubah mutu sejalan dengan tuntutan
kebutuhan masyarakat terutama perubahan pada manajemen mutu
pendidik tinggi. Pendidikan
tinggi di provinsi Bengkulu berupaya
dan berusaha perbaiki mutu melalui teori manajemen
lembaga dan layanan efektif yang efisien.[13]
Doglas North mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang
dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam
melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi.[14] North
membagi kelembagaan menjadi 2 (dua) informal dan formal. Kelembagaan informal merupakan
kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis seperti;
adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, dan konvensi sebagai kelembagaan
informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti
perundang-undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak,
peraturan bidang ekonomi, bisnis, dan politik. Kesepakatan yang berlaku baik
pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam
kelembagaan formal.
Schmid North
mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah
masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung
jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.[15] Menurut
Schotter kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang
disepakati semua anggota masyarakat dan penata interaksi dalam situasi tertentu
yang berulang.[16]
Seperti pendidikan tinggi.
Pendidikan
tinggi merupakan lembaga/institusi dalam organisasi, seperti struktur
kepengurusan mahasiswa, dosen dan pegawai dalam organisasi. Tujuanya adalah
mendidik mahasiswa agar menjadi manusia pandai; bermoral dan punya integritas
diri; melakukan penelitian dan menyebarkan hasil penelitian tersebut agar ilmu
pengetahuan terus berkembang; mengadakan pengabdian sebagai kesempatan untuk
mengimplementasikan hasil penelitiannya pada masyarakat; dan mensejahterakan stakeholder kampus agar ketiga tujuan
tesebut dapat berjalan dengan baik. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan aturan
main yang jelas di mana setiap stakeholder
dengan penuh kesadaran merasa terikat dan bertanggungjawab untuk melaksanakan
aturan main itu dengan baik.[17]
Penguatan
kapasitas kelembagaan, merupakan suatu pendekatan pembangunan semua orang
(pihak) sumberdaya, dan menjadi perencana pembangunan. Menurut Eade dalam Tony,
pengembangan kapasitas kelembagaan sebagai berikut: (1) Penguatan kapasitas
kelembagaan sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga
lebih efektif mengimplementasikan proyek pembangunan. Kelembagaan merupakan
instrumen untuk mencapai tujuan tertentu; (2) Penguatan kapasitas kelembagaan
dapat juga menunjuk pada upaya yang mendukung organisasi untuk menjadi katalis
dialog dan atau memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan.
Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan organisasi pemerintah dan
organisasi berbasis masyarakat dalam masyarakat madani; (3) Jika penguatan
kapasitas kelembagaan adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian tujuan
yang dimaksudkan oleh lembaga-lembaga yang ikut serta, maka harus dinyatakan
secara eksplisit agar dapat membandingkan berbagai pilhan atau mengevaluasi
kemajuannya; (4) Penguatan kapasitas kelembagaan sering digunakan secara
sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan
proyek pembangunan. Kelembagaan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan
tertentu; (5) Penguatan kapasitas kelembagaan dapat juga menunjuk pada upaya
yang mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog dan atau memberikan
kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan
peran mendemokratisasikan organisasi pemerintah dan organisasi berbasis masyarakat
dalam masyarakat madani.
Jika penguatan
kapasitas kelembagaan merupakan suatu cara pencapaian tujuan, kemudian tujuan
yang dimaksudkan oleh lembaga-lembaga yang ikut serta, maka harus dinyatakan
secara eksplisit agar dapat membandingkan berbagai pilihan atau mengevaluasi
kemajuannya. Menurut Sumpeno, penguatan kapasitas adalah suatu proses
peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efeisien.
Penguatan kapasitas adalah perubahan perilaku untuk: (1) Meningkatkan kemampuan
individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap; (2) Meningkatkan kemampuan
kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, finansial dan kultur; (3) Meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan dan mengantisipasi
perubahan.
Hasil yang
diharapkan dengan adanya penguatan kapasitas kelembagaan adalah: (a) penguatan
individu, organisasi dan masyarakat; (b) terbentuknya model pengembangan
kapasitas dan program; dan (c) terbangunnya sinergisitas pelaku dan
kelembagaan. Mengacu pendapat tersebut di atas, terdapat dua fokus dalam
penguata kapasitas, yaitu: perubahan perilaku, dan strategi dalam penguatan
kelembagaan untuk mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan masyrakat. Adanya
strategi penguatan kapasitas kelembagaan diharapkan pemberdayaan masyarakat
secara institusional maupun secara individu dapat terwujud. Di dalam penguatan
kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak menjadi sangat penting, dalam hal
ini kerjasama pemerintah, swasta dan non goverment organization (lembaga
pengembangan masyarakat) serta masyarakat itu sendiri.
Kinerja Kelembagaan
Institusi bersifat
dinamis, yang keberadaannya dalam sebuah komunitas selalu berubah, beradaptasi
terhadap perubahan yang terjadi dalam komunitas tersebut. Cepat atau lambatnya
perubahan, Oliver Wiliamson menganalisis perubahan institusi dalam empat
tingkatan, yaitu perubahan kelembagaan yang terjadi pada: (1) level sosial
(masyarakat); (2) level kelembagaan formal (formal institutional environment);
(3) level tata kelola (governance); dan (4) perubahan bersifat kontinyu.[18]
Perubahan kelembagaan pada
level masyarakat adalah perubahan yang terjadi pada kelembagaan yang
keberadaannya telah menyatu dalam sebuah masyarakat, seperti norma, kebiasaan,
tradisi, hukum adat dan lain-lain. Perubahan kelembagaan pada level ini
berlangsung sangat lambat dan dapat berlangsung dalam waktu yang lama 100
sampai 1000 tahun.
Kinerja kelembagaan
didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya
yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai
dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna. Ada dua hal untuk
menilai kinerja kelembagaan yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material,
dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut bisa dihasilkan. Satu teknik
yang lebih sederhana telah dikembangkan untuk memahami kinerja internal dan
(sedikit) eksternal suatu kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam ilmu
manajemen. Ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan (institutional
assessment), yaitu: Pertama,
kondisi lingkungan eksternal (the external environment). Lingkungan
sosial di mana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat
menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu kelembagaan
dapat beroperasi.
Kedua, motivasi kelembagaan (institutional motivation).
Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri.
Terdapat empat aspek yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi
kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang
diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku
anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes).
Ketiga, kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada
bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai
tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari 5 (lima) aspek, yaitu:
strategi kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership); perencanaan
program (program planning); manajemen dan pelaksanaannya (management
and execution); alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation);
dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government
policymakers, dan external donors. Keempat, kinerja kelembagaan (institutional
performance). Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu
keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan
sumber daya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok
kepentingan di luarnya.
Evaluasi Kinerja Kelembagaan
Mengingat
pentingnya evaluasi kinerja keembagaan untuk mengetahui tingkat perubahan dalam
mewujudkan kelembagaan berkinerja tinggi, maka pertanyaan yang muncul adalah:
(1) Bagaimana melakukan evaluasi terhadap kinerja lembaga; (2) Pendekatan yang
digunakan; (3) Dan indikator yang pertu diukur sehingga evaluasi yang dilakukan
dapat memberi informasi keadaan yang sebenarnya dari tingkat kinerja.
Untuk
mengevaluasi kinerja sebuah kelembagaan dapat digunakan beberapa pendekatan.
Pendekatan tersebut antara lain: (1) Pendekatan pencapaian tujuan. Pendekatan
ini merupakan pendekatan yang paling umum digunakan dalam menilai kinerja
organisasi, dimana output dan atau hasil yang ada/dicapai dibandingkan dengan
hasil sebelumnya dan rencana/target yang telah ditetapkan. Dengan kriteria ini
kinerja kelembagaan ditentukan dengan seberapa jauh pencapaian tujuan
organisasi. Untuk bisa menggunakan pendekatan ini, ada beberapa hal yang harus
dipenuhi, antara lain: a) Lembaga mempunyai tujuan akhir yang jelas, yang
tercermin dari visi dan misi yang dimiliki; b) Tujuan-tujuan tersebut
diidentifikasi dan ditetapkan dengan baik agar dapat dimengerti Tujuan-tujuan
tersebut sedikit saja agar mudah dikelola. Ada konsensus untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Kemajuan kearah pencapaian tujuan tersebut dapat
diukur.[19]
(2) Pendekatan
Sistem/ Proses Internal. Kelembagaan yang berkinerja tinggi harus memiliki proses
internal yang sehat. Lembaga memiliki proses internal yang sehat jika arus
informasi berjalan baik, pegawai mempunyai loyalitas, komitmen, kepuasan kerja
dan saling percaya. Kriteria yang lain adalah minimalnya konflik yang tidak
perlu terjadi serta tidak ada manuver politik yang merusak dari para anggota.
Selain itu, pendekatan ini lebih menekankan kriteria yang meningkatkan
kelangsungan hidup jangka panjang dari organisasi, seperti memperoleh sumber
daya, mempertahankan dirinya secara internal dan berintegrasi dengan lingkungan
eksternalnya. Tujuan akhir tidak diabaikan, tetapi hanya dipandang sebagai satu
elemen di dalam kumpulan kriteria yang lebih kompleks. Pendekatan ini lebih
menekankan pada teknik pencapaian tujuan. Hal-hal tersebut di atas didasarkan
pada asumsi-asumsi sebagai berikut: a) Lembaga terdiri dari sub-sub bagian yang
saling berhubungan, dimana jika salah satu bagian mempunyai kinerja yang jelek
akan berpengaruh terhadap keseluruhan organisasi; b) Interaksi yang berhasil
dengan lingkungan, sehingga manajemen tidak boleh gagal dalam mempertahankan
hubungan baik dengan pelanggan, serikat pekerja, dan lainnya; c) Kelangsungan
hidup membutuhkan sumber daya, oleh karena itu harus dilakukan penggantian
terus menerus terhadap bahan baku, lowongan/ kekurangan pegawai diisi,
perubahan pelanggan diantisipasi dan sebagainya; d) Pendekatan sistem ini akan
sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara masukan (input) dan keluaran
(out-put) dan sebaliknya ada beberapa kendala karena kesulitan mengembangkan
alat ukur, misalnya untuk melihat kejelasan komunikasi intern.
(3) Pendekatan
Kepuasan Konstituen Strategis Organisasi tergantung dan sekaligus mempengaruhi
hidup orang-orang atau pihak di luar organisasi. Oleh karena itu tingkat
kepuasan tiap-tiap pihak yang terlibat merupakan kriteria penting bagi kinerja
organisasi. Dengan pendekatan ini organisasi pemerintah dikatakan efektif dan
atau berkinerja tinggi jika dapat memenuhi tuntutan dari konstituen yang
mendukung kelanjutan eksistensi organisasi tersebut. Yang dimaksud dengan
konstituen disini adalah orang atau sekelompok orang yang mempunyai pengaruh
terhadap kelangsungan hidup organisasi, seperti penyedia sumber daya, pelanggan
dan sebgainya.
Dan
hal tersebut penting kiranya bagi lembaga mempunyai kemampuan untuk
mengidentifikasi konstituennya yang penting. Organisasi mampu menilai pola
preferensi konstituen tersebut dan mampu memenuhi tuntutannya serta pada
akhirnya organisasi harus mengejar sejumlah tujuan yang dipilih sebagai respon
terhadap kelompok-kelompok kepentingan. Pendekatan ini sangat berguna ketika
konstituen mempunyai pengaruh yang kuat terhadap organisasi. Seperti yang
terjadi sekarang ini dimana masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dewan
Perwakilan Rakyat begitu kuat tuntutannya kepada pemerintah (baca: organisasi
pemerintah) untuk bisa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Karena adanya
tuntutan tersebut organisasi pemerintah diharapkan menanggapi dan memenuhi
tuntutan konstituen tersebut. Beberapa kesulitan yang mungkin dihadapi ketika
menggunakan pendekatan ini. Penentuan konstituen strategis pada lingkungan yang
besar pada prakteknya sangat sulit, karena lingkungan berubah dengan cepat. Hal
lain adalah pada masing-masing bagian/unit organisasi bisa saja mempunyai
konstituen strategis yang berbeda. Dengan kondisi ini dengan sendirinya organisasi
kesulitan menetapkan konstituen mana yang harus dipenuhi tuntutannya.
(4) Pendekatan
Faktor Bersaing. Pada pendekatan ini seluruh variabel yang mempengaruhi
efektivitas organisasi diidentifikasi, kemudian menentukan bagaimana
variabelvariabel tersebut saling berhubungan. Hal ini dilakukan karena menurut
pendekatan ini, tidak ada pendekatan/kriteria yang paling baik untuk menilai
kinerja organisasi. Tidak ada tujuan tunggal yang dapat disetujui semua orang
dan tidak ada konsensus yang menetapkan tujuan mana yang harus didahulukan.
Oleh karena itu berbagai pendekatan tersebut dikonsolidasikan/dikombinasikan
sehingga membentuk kumpulan dasar nilai bersaing. Dari kombinasi yang dilakukan
didapat tiga kumpulan dasar nilai bersaing sebagai berikut: a) Fleksibilitas
versus kontrol. Dalam tiap organisasi dibutuhkan adanya fleksibilitas dan
sekaligus kontrol yang merupakan dimensi yang saling berlawanan. Fleksibilitas
menghargai inovasi, penyesuaian dan perubahan mengikuti perubahan dalam
lingkungan, sedangkan kontrol lebih menyukai stabilitas, ketentraman dan
kemungkinan prediksi; b) Kepentingan manusia versus kepentingan organisasi.
Dalam tiap organisasi dimana didalamnya terdiri dari manusia, selalu ada
persaingan dimana manusia (sebagai individu/kelompok kecil individu) mempunyai
kepentingan yang terkadang berbenturan dengan kepentingan organisasi. Dari hal
ter sebut ter jadi persaingan apakah penekanan lebih terhadap kebutuhan dan
kesejahteraan manusia atau pengembangan dan produktivitas organisasi; c) Cara/proses
versus tujuan/hasil. Kondisi ideal dari tiap organisasi adalah cara/proses
berjalan dengan baik dalam arti sinergi dari tiap orang/unit berjalan baik
sehingga tujuan organisasi tercapai dengan baik.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam peningkatan mutu pendidikan, salah
satu upaya yang harus dilakukan pendidikan tinggi adalah upaya menguatkan
sistem manajemen kelembagaan, karena dengan semakin kuatnya sistem manajemen kelembagaan
maka pendidikan tinggi dapat memaksimalkan perannya sebagai pusat ingkubator
pendidikan bagi masyarakat. Kemudian di samping itu juga kuatnya sistem mnajemen
kelembagaan tentu dapat meminimalisir segala persoalan yang melingkupi
pendidikan tinggi. Kelembagaan adalah serangkaian
peraturan yang membangun struktur interaksi dalam sebuah komunitas. kelembagaan
sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat menentukan yang berhak membuat
keputusan, tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan yang berlaku
umum di masyarakat, prosedur yang harus diikuti, informasi yang mesti atau
tidak boleh disediakan dan keuntungan yang individu akan terima sebagai buah
dari tindakan yang dilakukannya.
Daftar Pustaka
Ahamadi Abu, 1991. Ilmu Pendidikan, PT Rineka Cipta,
Jakarta
Hafid, Anwar,
dkk, 2014. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan, Alfabeta, Bandung
Mohammad Daud
Ali dan Habibah Daud, 1995. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995. Lembaga-lembaga
Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Maryadi Syarif, Teori dan Model Pengembangan
Kelembagaan Pendidikan Tinggi Islam, (Jurnal PDF Media Akademika, Vol. 28,
No. 3, Juli 2013)
Mulyadi, 2010. Evaluasi Pendidikan, Malang, UIN-
MALIKI PRESS
[1]Mohammad
Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal 1
[3] Ahamadi
Abu, Ilmu Pendidikan, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 162.
[4]Scriven, M. (1967) The Methodology of
Evaluation, dalam Perspective of Curriculum Evaluation, AERA l (ed.Tyler,
R.et.al), Chicago: Rand McNally and Company.
[5]Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)
[6]Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan PP Nomor 19
tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan.
[7]Nur
Syam. Dari Bilik Birokrasi, Esai Agama,
Pendidikan dan Birokraso, (Bekasi Barat: Senama Sejahtera Utama, 2014), h.
128
[8]Nur
Syam. Ibid, h. 149
[10]Koontz.,
H. & O’Donnel, C., Principles, an
Analysis of Management Function, (New York: McGraw Hill book Company,
1989), h. 3 baca juga Stoner, J.P, Management
3 th ed, (Jersey: Prentice-Hall, 2000), h. 5
[11]Hasibuan,
M.S.P, Manajemen Dasar, Pengertian Dana
Masalah, Edisi Revisi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 1
[12]Zakaria,
Handout Mata Kuliah Manajemen Sumber Daya
Manusia, Program Studi Magister Administrasi Pendidikan FKIP UNIB,
(Bengkulu, UNIB, 2010), h. 13
[13]H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung:
Rosdakarya,2008), h.22
[14]North, Douglas. 1993. “Institutions
and Credible Commitment.” Journal of Institutional and Theoretical Economics
145: 11-23.
[16]Mohammad
Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal 1
[17] Hafid, Anwar, dkk, Konsep Dasar
Ilmu Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2014, h. 49.
[18] Maryadi
Syarif, Teori dan Model Pengembangan Kelembagaan Pendidikan Tinggi Islam, (Jurnal
PDF Media Akademika, Vol. 28, No. 3, Juli 2013), h. 339
[19] Mulyadi, Evaluasi Pendidikan,
(Malang, UIN- MALIKI PRESS, 2010), hlm.52
Play Casino online by Oddschecker - Kadangpintar
BalasHapusThis page offers a comparison of the งานออนไลน์ online casinos Oddschecker, Oddschecker, kadangpintar and deccasino much more from Oddschecker.