BAHAN AJAR MATA KULIAH: ILMU PENDIDIKAN ISLAM
BAHAN AJAR
MATA KULIAH: ILMU PENDIDIKAN
ISLAM
PROGRAM STUDI: PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BENGKULU
Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Pertemuan Pertama
UARAIAN MATERI: HAKIKAT MANUSIA
A.
Penciptaan Manusia
Manusia merupakan makhluk hidup yang keberadaannya di bumi ini,
namun tidak ada yang mengetahui secara pasti. Sejarah panjangnya merupakan
rangkaian peristiwa yang terputus-putus. Namun, keberadaan bumi seharusnya
mendahului keberadaan manusia sebagai penghuni di atasnya. Walaupun mungkin
saja terjadi, sebelum menghuni bumi ini, manusia telah berada di tempat lain
kemudian mengadakan eksodus ke atas bumi.
Teori evolusi mengatakan alam ini, termasuk manusia berkembang
secara evolusionis (berubah atau berkembang secara perlahan) dari makhluk yang
sangat sederhana berkembang sedemikian rupa menjadi makhluk yang lebih
kompleks. Perjalanannya yang sangat panjang itu menceritakan perkembangan tahap
demi tahap sampai menjadi manusia seperti sekarang ini.
Prediksi ke depan, manusia terus berkembang dan mengalami
transformasi ke bentuk manusia lainnya yang lebih kompleks. Golongan Realisme
(orang yang beranggapan bahwa realitas ini bersifat bendawi), golongan
Materialisme (orang yang beranggapan bahwa alam ini merupakan wujud gerak
mekanistik) dan Atheis (orang yang tidak percaya kepada Tuhan) berpandangan
demikian. Bagi mereka, yang paling utama bagi manusia adalah jasadnya
(jasmaninya). Jiwa (ruhani) bersifat bayangan dari jasmani yang bersifat
bendawi. Hal demikian tentu sangat berbeda dengan yang anda pikirkan, bahwa
manusia mempunyai aspek ruhani yang berbeda dengan aspek jasmani.
Pandangan lain, seperti pandangan ahli agama, mengatakan manusia
pertama tidak diciptakan di bumi dan bukan merupakan bagian panjang dari
sejarah alam seperti diperkirakan dalam pandangan evolusionisme. Manusia
pertama yang kemudian disebut dengan Adam itu diciptakan dalam surga dan
keberadaannya di luar alam ini, serta berbeda dengan alam ini karena bersifat
immateri). Pandangan demikian dianut oleh para pemeluk agama (terutama agama
samawi dunia, seperti Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi).
Dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan, bahwa ketika Tuhan hendak
menciptakan manusia (khalifah di atas bumi), Dia berdialog dengan malaikat. Malaikat
mempunyai persepsi buruk tentang keberadaan makhluk baru itu. Akan tetapi Tuhan
memberikan pengajaran atau pendidikan kepadanya.[1] QS: al-Baqarah,
ayat 31). Tuhan telah menciptakan Adam di surga dengan aturan tidak boleh
mendekati dan memakan buah pohon khuldi. Tetapi ketika Adam mendapatkan
pasangannya bernama Hawa, dia tergoda bujuk rayu pasangannya itu untuk
mendekati dan memakan buah larangan itu. Atas pelanggarannya tersebut Adam dan
Hawa diturunkan dari surga ke atas bumi. Jadilah mereka penghuni bumi pertama
yang datang dari tempat lain, kemudian dilanjutkan dengan anak keturunannya.
Kehidupan Adam dan keturunannya mempunyai peran besar dalam
kehidupan di bumi ini, dengan mengelola, memanfaatkan dan melestarikannya.
Peran itu diwujudkan pula untuk pengembangan diri dan lingkungannya supaya
mempunyai dukungan positif terhadap kehidupannya. Peran-peran itu kemudian
ditransformasikan kepada generasi berikutnya melalui pendidikan. Oleh karena
itu, pendidikan tidak pernah lepas dari manusia dan selalu berpusat pada
manusia dan kehidupannya, baik sebagai subjek maupun sebagai objek. Tiada
pendidikan tanpa manusia dan tiada manusia tanpa pendidikan. Hubungan manusia
dengan pendidikan ini bersifat simbiosis, manusia mengembangkan pendidikan dan
pendidikan mengembangkan manusia dan kehidupannya.
Pandangan lain menyebutkan Adam datang dari surga itu bukan
bersifat fisik. Aspek fisik manusia termasuk Adam berasal dari benda-benda bumi
dan berkembang secara evolusionis seperti yang dikemukakan oleh Ibn Maskawih,
seorang filosof besarmuslim. Tuhan menurunkan ruh kepada benda-benda tertentu
untuk menjadi manusia. Boleh jadi manusia secara fisik berkembang secara
evolusionis dan pada saat mencapai kematangannya mendapatkan ruh, sehingga
jadilah manusia yang berdimensi fisik dan psikis. Dalam pandangan filosofis,
bahwa penciptaan oleh Tuhan berproses secara emanatif (pancaran). Tuhan sebagai
Wujud al-Awwal (wujud pertama) keberadaan-Nya bersifat wajib/Wajib al-Wujud.
Dalam wacana filsafat Prepatetik, Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (wajib adanya
atau wujud-Nya sebagai suatu keharusan), yaitu wujud yang harus ada dan tidak
boleh tidak, serta dzat dan wujudnya adalah identik. Wajib al-Wujud ini disebut
pula dengan al-’Aql. Al-Aql ini adalah dzat yang berpikir. Dan yang dipikirkan
adalah dirinya sendiri karena tiada yang lebih berhak untuk dipikirkan kecuali
dirinya sendiri. Karena Dia berpikir, maka Dia disebut dengan al-A’qil (yang
berpikir), dan karena yang dipikirkan dirinya sendiri, maka Dia pula disebut
dengan al-Ma’qul (yang dipikirkan).
Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya sendiri.
Ketika Tuhan berpikir semacam ini, maka terjadilah emanasi. Emanasi dari Tuhan
sebagai al-wujud al-awwal (wujud pertama), memanifestasikan al-wujud al-tsani (wujud
kedua) atau al-‘aql al-awwal (akal pertama). Ketika al-‘aql
pertama ini berpikir tentang Tuhan, timbullah emanasi kedua yang berupa
al-wujud al-tsalits (wujud ketiga) atau al-‘aql al-tsani (akal kedua), dan
ketika berpikir tentang dirinya sebagai al-mumkin al-wujud, maka timbullah
al-sama’ al-ula (langit pertama). Dan ketika berpikir tentang dirinya sebagai
wajib al-wujud dan sebagai emanasi dari Tuhan, timbullah jiwa semesta. Dengan
proses yang sama, al-‘aql al-tsani itu beremanasi dan menimbulkan ‘aql-‘aql
lain, sehingga sampai pada al-‘aql al-‘asyir = akal
kesepuluh). Di bawah al-‘aql ini, sebagai pengatur dunia, muncul jiwa dan
materi pertama sebagai unsur alam.
Dalam proses yang hampir sama seperti di atas, al-Suhrawardi
(filosof yang masuk dalam mazhab ‘Isyraqi), memandang, bahwa posisi tertinggi
dari rentetan cahaya adalah Cahaya segala Cahaya atau Cahaya Murni. Dengan
proses emanasi Cahaya segala Cahaya itu memanifestasikan cahaya pertama
(disebut juga dengan Cahaya Ab strak atau al-Nur al-Aqrab (åCahaya
lebih dekat), jumlahnya satu dan tidak semurni sumbernya, sehingga terdapat
sisi kegelapan padanya. Kegelapan ini menimbulkan bayangan pertama (ismus)
tertinggi. Ketika memahami kekurangannya, muncullah cahaya kedua yang menerima
pencerahan dari Cahaya segala Cahaya dan cahaya pertama, karena semua cahaya
bersifat tembus. Dengan proses yang sama seperti di atas timbullah
cahaya-cahaya dan ismus-ismus yang lain dalam rentetan yang tidak terbatas.
Manusia secara material berasal dari ismus itu yang mendapatkan pancaran cahaya
dari cahaya-cahaya di atasnya. Pancaran cahaya itu merupakan aspek ruhani
manusia.
Dalam wacana sufisme bahwa penciptaan
pertama adalah Nur Muhammad (cahaya Muhammad) atau sering pula disebut dengan
al-Haqiqah al-Muhammadiyah (hakikat kemuhammadan), ruh Muhammad, atau al-‘aql
al-awwal, karena ia identik dengan akal pertama dalam teori filsafat. Sebelum
Tuhan menciptakannya Ia melihat dirinya sendiri lebih dahulu. Dalam
kesendiriannya terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya yang di dalamnya
tidak terdapat kata-kata ataupun huruf. Dia melihat kemuliaan dan ketinggian
dzat-Nya, dan Iapun cinta pada dirinya sendiri, yaitu cinta yang tidak dapat
disifatkan. Cinta inilah yang menjadi sebab wujud bagi yang banyak. Karena
cinta yang mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka
Tuhan mewahyukan dirinya dalam bentuk dunia fenomena. Cinta abadi-Nya untuk
memandang kecantikan dan kesempurnaan diri-Nya dimanifestasikan dalam
bentuk-bentuk untuk diketahui oleh diri-Nya sendiri di dalam dan melalui
diri-Nya sendiri. Ia mengeluarkan dari tiada bentuk copy dari diri-Nya yang
mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Hakikat kemuhammadan adalah ketuhanan
dalam bentuk tanazul-nya (penurunan) yang pertama kali dan menjadi sumber
tanazul-tanazul berikutnya. Dia adalah tempat tajalli (penampakan diri) Tuhan
yang bersifat absulut. Dalam kesendirian-Nya, Dia ingin melihat diri-Nya di
luar diri-Nya, sehingga diciptakanlah alam ini sebagai cermin bagi diri-Nya.
Atau Dia berkehendak untuk diketahui, maka Dia menampakkan dirinya dalam bentuk
tajalli. Prosesnya terjadi bahwa Dzat-Nya ber-tajalli dalam tiga martabat melalui
sifat dan asma-Nya yang paling sempurna, dan ia adalah al-‘ilmu al-ilahi
(pengetahuan Tuhan) yang meliputi semua hakikat ketuhanan, sehingga ia bisa
dikatakan al-‘aql (akal), al-‘aqil (yang berakal), dan
al-ma’qul (objek yang dipikirkan). Nur Muhammad merupakan wadah tajalli
(penampakan Tuhan) karena tidak bertabir (unveiling), penampakan lahir
(revelation), atau pencerahan (ilumination) yang paling sempurna. Tidak satu
pun yang mengatasinya kecuali esensi yang Absolut.
Cahaya Muhammad ini bersifat azali (ada tanpa permulaan), karena
ia merupakan pancaran cahaya-Nya. Keazaliannya mendahului al-‘adam (ketiadaan),
karena ia muncul pertama kali, dan keberadaannya mendahului semua makhluk,
sehingga menjadi wajar bilamana posisinya disebut sangat dekat dengan Tuhan dan
sebagai al-wasilah (penghubung) Tuhan yang pertama kali. Nur Muhammad adalah
ciptaan Tuhan yang pertama dari cahaya-Nya yang menjadi sumber makhluk, sebagai
perantara antara hamba dengan-Nya. Ia sebagai sebab dari semua penciptaan, ruh
suci, dan aktivitas penciptaan dari Tuhan. Nur Muhammad sebagai awal atau
permulaan ruh dan sebagai sumber akal pikiran, dan segala sesuatu tercipta
darinya. Dia adalah intermedier (barzakh) antara Tuhan dengan fenomena, suatu
untaian antara yang abadi dengan yang temporal, yang wajib dengan yang
kontingen dan yang riel dengan yang fenomenal, yang aktif dengan yang pasif.
Satu pihak ia berhadapan dengan Tuhan dan pihak yang lain ia berhadapan dengan
makhluk. Nur Muhammad merupakan prinsip aktif dari pengetahuan kudus dan
esoterik, atau menjadi sumber ilmu dan al-‘irfan (pengenalan
kepada Tuhan).
Tuhan sebagai pencipta dunia tidak memerintah langsung karena Ia
bersifat transenden mutlak. Fungsi ini diperankan oleh ciptaan yang mewakili
arketip Muhammad yang penciptaannya sesuai dengan bayangan Tuhan dan dianggap
sebagai daya kosmik tempat bergantung tata susunan dan pemeliharaan alam
semesta. Ia sebagai axis (pusat) tempat segala sesuatu mengitarinya dari mula
hingga akhir. Penampakan Tuhan secara esensial itu dikhususkan kepada Muhammad
dan bukan kepada selainnya. Alam berada dalam hubungan yang paling dekat dengan
Tuhan dan diketahui melalui dirinya sendiri, yakni alam adalah kesadaran Tuhan
sendiri, merupakan substansi dari pengetahuan, dan yang mengetahui (the knower), yang diketahui (the known) dan pengetahuan (the knowledge) adalah satu. Tentu Anda
tidak dapat mengenal semua dzat yang disebutkan di atas melalui pancaindera
Anda. Sebabnya tidak lain adalah bahwa dzat-dzat itu bersifat immateri yang
tidak bisa dicerna melalui indera yang mana pun. Namun alasan-alasan filosofis
sebagaimana diterangkan di atas hanya bisa dimengerti oleh rasio kita, sehingga
kebenarannya bersifat rasional.
B.
Dimensi Kepribadian Manusia
Manusia dapat dipandang dari sudut yang beragam. Satu sisi dapat
dipandang sebagai realitas fisik, dan sisi yang lain dapat dipandang sebagai
realitas psikis.
Aspek
Fisik Manusia
Pandangan satu pihak tentang manusia lebih menekankan pada
realitas dan fungsi-fungsi jasmani. Anggapan demikian menunjukkan bahwa
keberadan dan kehidupan manusia sangat ditentukan oleh fisiknya. Aspek jasmani
yang terdiri atas benda (materi) tunduk kepada hukum-hukum materi atau hokum-hukum
alam yang bekerja secara mekanik. Keberadaannya berasal dari alam dan bekerja
menurut hukum alam. Semua yang dikerjakan dan diperbuat oleh manusia merupakan
kausalitas alami tanpa diintervensi oleh aspek lainnya. Keberadaan manusia di
alam ini sebatas/sepanjang umurnya. Anda tentunya tidak dapat menahan diri atau
menolak hukum alam. Seperti Anda tidak dapat menahan diri dan tidak dapat
menolak untuk menjadi tua, karena menjadi tua adalah hukum alam yang tidak
mungkin Anda hindari.
Secara fisiologis (jasmani), keturunan manusia diciptakan dari
sel-sel sperma yang bersatu dengan sel-sel telur (ovum) dalam rahim seorang ibu
yang mengandungnya, sehingga kemudian menjadi segumpal darah, darah kemudian
menjadi daging, dan daging membentuk tulang-belulang sampai hari kelahirannya
mencapai kelengkapan fisiologis yang diperlukan untuk hidup. Hal demikian
terjadi secara alami. Namun hal ini belum menjawab pertanyaan dari manakah
manusia pertama yang menjadi sebab lahirnya manusia lainnya sebagaimana menjadi
teka-teki di atas. Tentunya manusia pertama tidak terdiri dari pencampuran
sperma dan ovum sebagaimana terjadi pada keturunannya. Kalau setiap sperma dan
ovum berasal dari manusia, maka terjadi peristiwa yang berkelanjutan tanpa ada
batasnya (et infinitum).
Aspek fisik/jasmani manusia yang hidup di alam ini tunduk kepada
hokum alam, sehingga ia memerlukan penyesuaian diri dengan tuntutan hukumhukum
alam. Keberlanjutan kehidupannya hanya bisa terwujud bilamana kebutuhan
fisiknya secara alami dapat terpenuhi, seperti makan, minum, menghirup udara
dan lain sebagainya. Barangkali Anda dapat menyebutkan beberapa kebutuhan
primer (utama) manusia serta kebutuhan sekunder sebagaimana juga Anda alami.
Namun demikian, aspek fisik ini mempunyai kemampuan untuk meneruskan atau melanjutkan
keturunannya dengan sistem berkembang
biak melalui fungsi-fungsi biologisnya. Fungsi ini tidak terdapat pada aspek
lainnya. Aspek biologis seperti disebutkan tadi bersifat fisik/ materi,
sehingga dapat diketahui dan diserap melalui indera kita. Anda tentu sudah tahu
kegunaan dan fungsi masing-masing kelengkapan dan angota aspek fisik Anda,
seperti: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk membau dan
lain sebagainya. Semua organ tubuh dan aspek lainnya secara bersinergi satu
dengan lainnya menunjang kehidupan manusia, seperti fungsi jantung, paru-paru,
ginjal dan organ tubuh lainnya yang telah bekerja secara sistemik dalam
menunjang kehidupan manusia.
Aspek
Psikis Manusia
Pandangan lain lebih menekankan pada realitas dan fungsi-fungsi
ruhani. Aktivitas dan perbuatan manusia secara lahir sangat ditentukan oleh
aspek ruhaninya, karena aspek jasnami hanya merupakan bayangan atau
pengejawantahan dari realitas ruhani. Aspek ini dianggap telah ada sebelum manusia
lahir ke dunia ini; dan melanjutkan kehidupannya di akhirat nanti ketika
jasadnya sudah meninggal dunia. Kehidupan ruhani yang telah mengalami
kehidupannya sebelum hidup di dunia ini dan terus hidup secara ruhani walaupun
jasadnya sudah mati adalah lebih penting. Oleh karena itu, aspek manusia tidak
bersifat fisik semata. Pengamatan terhadap aspek fisik semata tidak dapat
menjelaskan manusia secara utuh, bahkan tidak mencukupi untuk memperjelas
konsep manusia, karena manusia tidak diwakili aspek fisiknya belaka. Untuk
mengetahui lebih lanjut dimensi lain dari manusia ikuti uraian berikut.
Anda menyebut diri Anda dengan aku. Yang disebut aku oleh Anda
bukan yang bersifat fisik, karena aspek fisik itu hanyalah bagian dari aku,
seperti rambutku, kepalaku, mataku, hidungku, telingaku dan lain-lain. Ketika
bagian fisik itu terlepas dari Anda, maka aku Anda masih utuh; dan Anda masih
dapat menyebut diri Anda dengan diriku. Diri Anda tidak hilang bersamaan dengan
hilangnya bagian-bagian fisik itu. Tetapi kalau seluruh tubuh itu hilang semua,
maka Anda tidak dapat menyebut aku lagi, bukan hilangnya diri Anda, tetapi
karena yang merepresentasikan Anda tidak ada. Dengan demikian, ada dimensi lain
dari diri Anda yang tidak bersifat fisik, dan sering disebut dengan psikis
(ruhani), sehingga manusia terdiri dari aspek jasmani dan ruhani yang
terintegrasi.
Manusia lebih mudah dikenal secara fisik, seperti mengenal benda
lainnya. Aspek fisik manusia bisa dikenal melalui pancaindera kita. Disisi
lain, aspek lainnya hanya dikenal dengan argumen-argumen logis yang hanya bisa
dicerap oleh kemampuan rasionalitas yang cukup tinggi, atau melalui beberapa
pengenalan yang tidak melalui pancaindera ataupun rasio, tetapi melalui kemampuan
batin. Manusia tentu sangat lupa terhadap pengalaman batinnya, ketika masih
berada di alam sebelum alam ini atau alam ruhani, dan belum dapat membayangkan yang
terjadi pada dirinya kelak setelah meninggalkan alam ini, karena semuanya
bersifat immateri/ruhani yang berada di alam akhirat. Hal yang bersifat
akhirati ini tidak dapat dicerna oleh indera kita. Namun, penjelasan-penjelasan
yang berhubungan dengan masalah akhirat dapat diterima oleh akal sehat atau
melalui keyakinan kita terhadap berita akhirat yang tersebut dalam kitab suci
yang kita percayai.
Aspek ruhani manusia adalah sesuatu yang tidak bersifat
fisik/materi (immateri). Coba sekarang berpikir sejenak tentang diri Anda.
Secara fisik Anda terdiri dari tubuh dan beberapa organ tubuh dengan fungsinya
masing-masing. Anda telah dapat menyebutkan organ-organ tubuh dan anggota tubuh
Anda beserta fungsinya masing-masing. Bahkan barangkali Anda dapat menyebutnya
lebih dari sekedar Nama dan fungsinya, tetapi juga unsur-unsur fisika dan
kimianya. Namun setelah Anda melihat tubuh Anda dengan kelengkapan organ dan
anggotanya secara total, yakinkah bahwa itu diri Anda? Sebagaimana disebutkan
di atas bahwa Anda barangkali masih bimbang untuk meninggalkan aspek ruhani
sebagai bagian dari diri Anda.
Sekarang bayangkan diri Anda. Bagian–bagian tubuh atau organ-organ
tubuh Anda yang satu dengan yang lain tidak bersentuhan sehingga yang satu
tidak merasakan keberadaan yang lain. Demikan pula alat pencerapan Anda,
seperti mata ditutup sehingga tidak melihat pada bagian mana pun dari tubuh
Anda. Telinganya pun disumbat sehingga tidak mendengar detak jantung Anda
sekali pun. Demikian pula dengan alat-alat yang lain. Kalau Anda mau
memperhatikan secara seksama, pada waktu itu masih ada sesuatu yang masih
mengenal diri Anda melalui kesadaran Anda bahwa Anda ada. Ketika Anda sadar
diri Anda, maka Anda mengetahui eksistensi Anda. Kesadaran itulah sebagai
representasi Anda. Kesadaran itu bukan terletak pada fisik Anda, tetapi pada
ruhani Anda. Kalau sudah yakin demikian, maka sebenarnya pengetahuan terhadap
aspek psikis Anda lebih rumit dibandingkan pengetahuan Anda terhadap aspek
fisiknya.
Aspek psikis Anda terdiri dari beberapa bagian walaupun tidak
dapat diperlihatkan dan diketahui melalui pancaindera. Untuk sekadar
mengetahuinya, sebagian orang hanya menatap gejala-gejala psikis yang tampak ke
permukaan atau melalui aspek jasmaniahnya, seperti orang marah mukanya merah,
orang senang banyak tersenyum dan lain sebagainya. Namun, kadang-kadang
seseorang membuat kamuflase untuk menyembunyikan gejala jiwanya. Seperti orang marah
tetap tersenyum, dan orang susah tetap tertawa. Hal demikian mendorong sebagian
orang lain melihat gejala psikis seseorang melalui kajian filosofis
Aspek kejiwaan atau aspek ruhani (spiritual) adalah sesuatu yang
lain dari tubuh dan bentuk-bentuknya berbeda dengan bentuk tubuh. Secara
etimologis spiritual berarti jiwa, sesuatu yang immaterial, supramaterial.
Makna etimologis semacam ini meliputi atau mengandung term al-ruh (spirit,
soul), al-nafs (mind, soul, psyche, spirit), al-qalb (/mind, soul, spirit) dan
al-‘aql (reason, insight, mind, intelect, intelegence). Al-‘aql masuk dalam
makna spirit atas padanan kata dari istilah al-nafs yang diberikan oleh para
filosof. Penggunaan arti spiritual bisa terjadi tumpang tindih atau bergeser
dari makna yang satu ke makna yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya,
karena mewakili banyak term.
Aspek jiwani/spiritual merujuk pada bagian dalam dari pandangan
dualism manusia yang mengatakan bahwa manusia mempunyai aspek fisik dan psikis.
Kawasan semantik kata spiritual atau jiwa ini meliputi beberapa term yang
berbeda, walaupun kadang-kadang mengacu pada makna yang seragam. Dalam
pandangan al-Ghazali, aspek spiritual diwakili oleh term al-ruh (ruh) al-qalb
(hati), al-nafs (jiwa), dan al-‘aql (akal) yang semuanya merupakan sinonim.
Aspek spiritual adalah esensi manusia, terpisah dari fisik dan mempunyai
potensi untuk mengetahui dan mengalami, serta sebagai subjek penerima informasi
dari dalam maupun dari luar dirinya. Keberadaannya mengambil tempat (sekadar
membedakan dengan aspek fisik yang mengambil ruang dan waktu) di ‘alam
al-barzakh (alam perantara) atau di ‘alam al-amr (alam perintah) atau ‘alam
al-awwal (alam pertama) Wawasan tentang bentuk spiritualitas manusia
menggambarkan keberadaan Tuhan, karena sifat manusia merupakan pantulan
sifat-sifat Tuhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu serta terbebas dari
kategori jumlah dan kualitas, bentuk, warna, ukuran dan lain sebagainya,
sehingga kadang-kadang sulit untuk membentuk konsepsi tentang esensi ini.
Untuk sekadar membedakan terminologi sebagaimana tersebut di
atas, uraian berikut memperjelas pemahaman Anda. Al-nafs adalah substansi
spritual yang berdiri sendiri dan berasal dari alam ketuhanan, sehingga mampu
mengenal dirinya sendiri dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Seperti itu pula
pandangan Ibn Maskawaih tentang al-nafs, walaupun Ibn Rusyd melihatnya sebagai
aktivitas dan pengetahuan rasional. Al-nafs ini terdiri dari dua substansi
al-qalb dan al-ruh.
Al-qalb (hati) adalah al-lathifah al-rabbaniyah (kelembutan
Tuhan) sebagai instrumen pencerapan pengertian ruhaniah guna mendapat
pengalaman dan pengetahuan esoterik dan sebagai pusat pewahyuan. Ia dapat
menjadi tempat ma’rifah (mengenal Allah), karena memang dipersiapkan untuk
memandang keindahan Ilahi. Hati dianggap sebagai batas dan tempat pikiran yang
sangat rahasia dan murni. Ia merupakan dasar yang paling dalam dari sifat
pengetahuan. Kalau Anda pada suatu ketika menerima inspirasi ghaib yang tidak
melalui pancaindera maupun pikiran, maka Anda menerimanya melalui hati Anda seperti
terjadi pada orang suci dan wali.
Al-ruh dalam pandangan Suhrawardi sama dengan al-‘Aql
al-Mustafad, sebagai prinsip rasional dan sebagai mode universal, dan berupa
substansi kemalaikatan dan sebagai hakikat manusia, berfungsi mencari
pengetahuan sejati. Ia dipersiapkan untuk mencintai Allah dan menerima cahaya
dari-Nya. Cahaya itu dapat memancar ke seluruh bagian manusia bagaikan pelita
dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, tetapi sinarnya menebar ke seluruh
penjuru ruangan, sehingga ia merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi,
dan bertanggung jawab terhadap cahaya penglihatan murni. Sebagian orang
menerima pancaran cahaya suci yang datang dari alam ghaib. Pancaran ini
memberikan pencerahan kepada seseorang sehingga segala sesuatu menjadi jelas.
Tidak ada sesuatu yang bisa diketahui tanpa adanya cahaya. Akan tetapi melalui
aspek ruhaninyanya manusia mendapatkan pencerahan batin sehingga ia tahu
sesuatu melalui pencerahan itu.
Al-‘Aql merupakan substansi tunggal yang tak dapat dibagi,
besifat spiritual, dan sebagai alat pencerapan pengertian ruhaniah yang dapat
memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan. Ia merupakan bagian yang
merasakan pengetahuan. Walaupun terpisah dari materi (tubuh), ia memerlukan
materi untuk pergerakannya. Al-‘aql yang merupakan cahaya Ilahi ini mempunyai
kemampuan untuk menyerap makna yang tidak dapat ditangkap oleh indera.
Daya
Praktis
Daya praktis yaitu jiwa yang berhubungan dengan badan. Ketika manusia
bertindak atau melakukan sesuatu secara sadar ada suatu ide yang datang kepada
Anda apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Ide itu datang
dari aspek ruhani yang memerintah aspek fisik untuk bertindak atau melakukan
sesuatu.
Daya teoritis adalah kemampuan akal untuk berpikir sendiri, dan
tidak untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan atau perbuatan
yang bersifat fisik. Daya atau akal ini berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat,
dari tingkatan yang paling rendah sampai tingkatan yang paling tinggi. Semakin maju
dan berkembang pemikiran seseorang, maka semakin maju pula kemampuannya untuk
mengerti sesuatu. Daya teoritis ini mempunya beberapa tingkatan sebagai
berikut.
Material Intelect, yaitu akal yang baru berupa potensi untuk
berpikir dan belum dilatih. Ibaratnya Anda mempunyai kendaraan tapi belum
dikendarai. Tetapi kendaraan itu mempunyai potensi untuk dikendarai atau
mengantarkan Anda kemana Anda mau pergi. Intelectus in Habitu, yaitu akal yang
mulai dilatih berpikir tentang hal-hal yang abstrak. Seperti kendaraan tadi,
maka mesinnya sudah dihidupkan, dan mulai berjalan di tempat tertentu.
Actual Intelect, yaitu akal yang telah dapat berpikir secara
abstrak. Sekarang kendaraan Anda telah dapat dikendarai segala kondisi yang
diperlukan. Acquired Intelect, yaitu
akal yang telah sanggup memikirkan hal-hal yang abstrak dengan tidak memerlukan
daya upaya. Akal ini sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif
(malaikat), karena akal terakhir ini dapat membangun hubungan dengannya yang di
dalamnya telah terdapat bentuk-bentuk segala yang ada sejak azali. Hubungan itu
dapat dimisalkan hubungan antara matahari dan mata, ia dapat melihat karena ada
sinar matahari. Akal Mustafad yang mendapat limpahan cahaya dari Akal Aktif
memungkinkan ia dapat menerima cahaya, wahyu atau ilham, sehingga ia dapat
menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk dari Akal Aktif. Bentuk akal ini tidak
lagi seperti akal yang biasa kita pergunakan sehari-hari atau akal biasa
sebagaimana disebutkan di atas. Akal ini di atas kemampuan akal kita
seharihari. Akal ini mempunyai kemapuan untuk berhubungan dengan alam ghaib, sehingga
gambaran ghaybiyat yang pernah diterima seseorang adalah melalui akal ini, dan
tidak melalui indera maupun akal sehari-hari. Atau dengan kemampuan akal ini
seseorang dapat mengetahui alam di luar alam tepat kita hidup. Wujud manusia
sangat ditentukan oleh wujud spiritualnya yang mempunyai hubungan dengan Akal
Aktif atau cahaya ghaib.
Daftar
Pustaka
Abdurrahman, ‘Aisyah. 1997. Manusia Sensivitas Hermeneutika
al-Qur an. Terj. Adib al-Arief, Yogyakarta: LKPSM.
‘Afifi, A. E. 1995. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi. Terj. Syahrir
Mawi dan Nandi Rahman.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1994. Konsep Pendidikan dalam
Islam. Terj.Haidar Bagir. Bandung: Mizan.
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1970. Ma’arij
al-Quds fi Madarij Ma’rifah al-Nafs. Kairo: Maktabah al-Jundi.
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1969. Misykah
al-Anwar. Kairo: Dar al-Qudsiyah,
Fakhry, Majid. 2000. Sejarah Filsafat Islam. Terj. Zaimul Am.
Bandung: Mizan, Hornby, AS. 1983. Oxford Advancer Dictionary of Current
English. New York: Oxford University.
Madkur, Ibrahim, tanpa tahun. Fi Falsafah al-Islamiyah. Mesir:
Dar al-Ma’arif. Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu. Jakarta: UI Press.
Nasution, Muhammad Yasir. 1996. Manusia Menurut al-Ghazali.
Jakarta: Raja Grafindo.
Rahman, Fazlur. 1990. The Philosophy of Mulla Sadra. Beirut:
Maktabah al-Jundi.
Walbridge, John Tultill.1983. The Philosophy of Quthb al-Din al-Sirazi:
a Study in Integration of Islamic Philosophy. Boston: Harvard University.
Wehr, Hans.1960. A Dictionary of Modern Written Arabic. London:
McDonald.
Yazdi Mehdi Ha’iri.1985. Ilmu Hudhuri. Bandung: Mizan.
Pertemuan Kedua
URAIAN MATERI: KEBUTUHAN DAN PENGEMBANGAN
DIMENSI KEPRIBADIAN MANUSIA
A.
Kebutuhan Manusia
Ketika manusia menyadari dirinya secara total, maka manusia
mengetahui dirinya terdiri dari aspek jasmani dan ruhani. Kesadaran dirinya
dapat dirasakan dan gejalanya dapat dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan
fisik walaupun kesadaran itu bersifat psikis. Hal demikian menunjukkan bahwa dirinya
masih eksis dan masih hidup. Kehidupan manusia tidak serta merta eksis tanpa
fungsi yang berguna dari berbagai organ-organ tubuhnya. Disfungsi dari semua
atau sebagian organ tubuh manusia menekan kehidupannya sampai tidak hidup lagi.
Kebutuhan
Hidup yang Bersifat Fisik
Manusia memerlukan berbagai macam ragam kebutuhan hidup. Untuk
mempertahankan kehidupan manusia diperlukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup
primer. Kebutuhan primer adalah kebutuhan hidup yang tidak boleh tidak, harus
ada dan tersedia. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka keberlangsungan
kehidupan terganggu. Kebutuhan primer yang berupa nutrisi, oksigen dan asupan
lain sebagainya harus selalu tersedia. Dalam nutrisi yang manusia konsumsi
terdapat banyak bahan yang dapat menunjang keberlangsungan hidup manusia,
misalnya: (1) karbohidrat untuk pembakaran di dalam tubuh manusia, (2) protein
sebagai bahan pembangun selsel tubuh yang sudah rusak, (3) vitamin sebagai
benteng pertahanan dari serangan berbagai bakteri maupun virus penyakit, dan
(4) oksigen sebagai komponen lain dalam pembakaran dalam tubuh.
Asupan tersebut di atas harus proporsional dengan kebutuhan
tubuh, supaya dapat meningkatkan daya tahan, vitalitas, perkembangan tubuh.
Tubuh yang mendapatkan asupan yang cukup dan proporsional meningkatkan
kesehatan. Semakin sehat seseorang, maka semakin meningkat vitalitasnya.
Implikasinya adalah turut meningkatkan kebutuhan yang lain yang bersifat
sekunder, seperti kebutuhan seks umpamanya. Pemenuhan terhadap kebutuhan ini
membawa konsekuensi pengembangbiakan jumlah spesies manusia, jika pemenuhan
kebutuhan seks ini dapat dilakukan secara wajar.
Di pihak lain, fungsi-fungsi tubuh dan organnya perlu dilatih
sedemikian rupa agar dapat berkembang. Fungsi-fungsi tubuh dan organ-organnya
yang dapat berkembang secara baik menunjang dan mempermudah manusia dalam melakukan
aktivitasnya. Manusia yang dapat melakukan aktivitas secara maksimal dan
optimal memberikan kontribusi bagi pemenuhan kehidupannya baik secara pisik
maupun secara psikis. Manusia minimal memerlukan makan dan minum. Tidak setiap makanan
dan minuman tersedia secara lengkap di hadapannya. Ada bahan makanan yang harus
dicari dan bahan makanan yang harus diolah. Untuk itu, manusia memerlukan
keterampilan mencari dan mengolah makanan dan minuman. Ada pula lingkungan yang
sangat mendukung terhadap kehidupan manusia tetapi ada juga lingkungan yang
kurang mendukung kehidupannya, seperti bencana alam. Terhadap masalah yang
terakhir umpamanya, manusia harus menghindar dan melakukan perbaikan sedemikian
rupa. Hal demikian memerlukan kemampuan manusia untuk merekonstruksi
lingkungannya agar tetap aman dan nyaman dan tetap memberikan dukungan terhadap
kehidupannya.
Secara spesifik ada kebutuhan khusus yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan terkait dengan perbedaan biologik yang bersifat kodrati
yaitu perbedaan organ-organ reproduksi yang harus menjadi perhatian utama.
Misalnya laki-laki membuahi dan perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan
anak, dan menyusui. Tentu saja laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang
berbeda yang disebut dengan kebutuhan gender praktis.
Kebutuhan
Hidup yang Bersifat Psikis
Manusia barangkali pernah mengalami, atau paling tidak pernah
menyaksikan orang yang murung ketika ia menghadapi malapetaka yang mengancam
jiwanya, atau paling tidak orang yang gagal dalam suatu usaha, seperti tidak
lulus dalam suatu ujian sekolah, atau sebaliknya. Manusia barangkali pernah
mengalami atau menyaksikan orang yang bersorak sorai sebagai tanda
kegembiraannya ketika seseorang sukses dalam suatu usaha, misalnya lulus dalam
suatu ujian sekolah. Orang demikian menunjukkan kebebasan dirinya dari beban
yang menekan. Beban yang menekan dirinya menyebabkan stres atau depresi. Hal
ini tidak ubahnya seperti orang yang kekurangan nutrisi sebagai kebutuhan
primernya, yaitu mengalami sakit. Namun penyakit yang diderita tidak bersifat
fisik, melainkan bersifat psikis. Setiap jenis penyakit merupakan gangguan
terhadap eksistensi manusia sehingga perlu diberantas.
Aspek psikis memerlukan perhatian, pendidikan dan pembinaan
sesuai dengan sifat dan karakteristiknya. Seseorang yang melupakan pendidikan
dan pembinaannya, maka perkembangan dan pertumbuhan kepribadiannya dapat
dipastikan menyalahi hakikat dan kodrat hidupnya. Aspek ini berasal dari alam
spiritual, bahkan cenderung kembali ke asalnya bersih dan suci. Penyuciannya
dapat berupa konsentrasi dalam dzikir, shalat dan ibadah lainnya.
Aspek psikis mempunyai kemampuan yang diperoleh dari ‘alam
mitsal (alam bentuk) dan dari dunia materi, dapat memperoleh pengetahuan dan
pengalaman melalui dzawq cita rasa hati), di samping dari penalaran dan
pengalaman empirik (penginderaan). Sebagian pengetahuan dan pengalamannya
diperoleh dengan belajar atau usaha dan dengan jalan ilham setelah terjadinya
mukasyafah (keterbukaan pintu ghaib). Akibatnya mampu mengenal sesuatu dari dua
alam, dapat mengenali dirinya dan di luar dirinya. Oleh karenanya, tahu
(sadar). Siap menerima ilham, isyraq (pencerahan) atau ilmu ladunni (ilmu yang
dicampakkan oleh Tuhan ke dalam hati seseorang tanpa belajar), jika tercipta
kejernihan melalui renungan batin, perjuangan jiwa dan riyadlah (latihan
spiritual), merupakan alat untuk mencapai pengetahuan ilhami dan mengenal Tuhan
(ma’rifah). Ia pula yang mendekat pada-Nya. Mengenal aspek ini dengan segala
potensinya menjadi penting sebagai dasar pembinaan dan pengembangannya, dan
seseorang yang tidak mengenalnya berarti ia tidak akan mampu mengenal sesuatu
apa pun yang bersifat spiritual.
Secara
psikis seseorang memenuhi pembinaan guna pengembangan aspek psikisnya. Seperti
pengembanagn berpikir, mengingat, berfantasi, menanggap, mengamati,
memperhatikan dan lain sebagainya. Kebutuhan itu seharusnya dapat dipenuhi
sedemikian rupa agar didapat menikmati hidup dan dalam rangka menciptakan
kondisi manusia yang sehat jasmani dan ruhani. Kebutuhan psikis dapat
disebutkan sebagai berikut.
Rasa
Aman
Seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, memerlukan, atau
yang memiliki perbedaan sosial, sama-sama memerlukan rasa aman dari berbagai
ancaman yang bersifat menekan. Seseorang yang merasa tidak aman dari ancaman
sesuatu menyebabkan gelisah, susah bahkan sampai putus asa. Perasaan aman bisa
timbul karena orang yang mempunyai pertahanan diri yang tangguh dan dapat
mengatasi segala rintangan yang bersifat menekan dirinya. Disamping itu, adanya
perlindungan dari pihak lain yang bertanggungjawab atau dari pihak yang
mempunyai otoritas untuk itu, seperti negara dengan segenap aparat keamanannya,
atau orang tua bagi anak kecil dapat menghidarkan seseorang dari kecemasan dan
rasa tidak aman.
Penghargaan
Seseorang dengan ragam perbedan sosial maupun jenis kelamin
sama-sama memerlukan penghargaan dari pihak lain, terutama terhadap
prestasi-prestasi yang pernah dicapainya. Apresiasi dari orang lain menimbulkan
dan meningkatkan rasa percaya diri pada seseorang untuk berbuat lagi, baik
perbuatan yang serupa atau perbuatan lain, karena mendapatkan kebebasan
berkreasi dan optimisme yang tinggi. Orang yang tidak pernah mendapat
penghargaan dari pihak lain bisa jadi menekan dirinya, pesimis dan bahkan putus
asa. Namun demikian, orang yang mendapatkan apresiasi yang terlalu tinggi dari
pihak lain boleh jadi bisa congkak atau sombong, karena terlalu percaya diri.
Aktualisasi
Diri
Seseorang dengan ragam perbedan sosial maupun jenis kelamin
sama-sama mempunyai kemauan, keinginan, dan cita-cita. Semua orang berharap
agar kemauan, keinginan dan cita-citanya dapat dicapai. Hal demikian adalah
wajar pada setiap orang apabila keinginanannya dapat dicapai secara baik
menimbulkan rasa kepuasan dan percaya diri. Untuk mencapai keinginannnya itu
seseorang selalu melakukan kegiatan yang menunjang pencapai keinginan itu.
Orang yang dapat melakukan demikian adalah orang dapat mengaktualisasikan
dirinya secara penuh sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
Kebutuhan
Terhadap Agama
Secara naluriah, sebagaimana disebutkan di atas, manusia
dilahirkan untuk mengakui dzat yang dianggap mengatasi dirinya (The Wholy Others). Manusiahidup dan
dilimpahi dengan berbagai kesuksesan. Tetapi di pihak lain ada lagi yang
mengalami banyak kendala dan hambatan dalam hidupnya. Akhirnya, sadar bahwa
sukses yang diperoleh maupun mushibah yang menimpa dirinya bukan semata atas
kehendak dan di luar kekuasaan dirinya. Semua program yang dijalankan tidak
selamanya sesuai dengan rencananya. Ketika seseorang melihat penyimpangan dari
pola-pola perencanaan yang diprogramkan, menyadarkan diri atas kekuasaan yang
berada di luar dirinya. Kesadaran semacam ini yang menuntun seseorang untuk
mempercayai dzat yang maha kuasa.
Hal demikian yang menjadi dasar keimanan seseorang untuk memeluk
atau mempercayai suatu agama. Ketika seseorang telah mempercayai suatu agama,
maka didapatkan kepuasaan terhadap doktrin-doktrin agamanya ketika dirasakan
perlindungan agama terhadap dirinya, baik untuk kehidupan di dunia ini apalagi
kehidupan di akhirat nanti. Sebagaimana Anda rasakan ketika selesai
melaksanakan kewajiban agama, apabila memang dihayati secara benar, Anda
merasakan suatu pengalaman keagamaan. Pengalaman agama yang dicapai dalam
shalat dan do’a misalnya, telah membimbing seseorang untuk merasakan
ketentraman batin bahwa dirinya berada dalam naungan kekuasaan-Nya.
Hal semacam ini yang menimbulkan kerinduan yang menyebabkan
seseorang untuk selalu melaksanakan ajaran agamanya secara kontinyu. Dengan
demikian, semua manusia dengan berbagai strata sosial dan perbedaan sosial
maupun perbedaan jenis kelamin sama-sama membutuhkan kehadiran agama untuk
membimbing kehidupan mereka. Allah pun tidak memandang manusia dari aspek
perbedaan tersebut, tetapi memandang dari perbedaan ketaqwaannya.
B.
Pengembangan Kepribadian Manusia
Manusia dengan ragam perbedan sosial maupun jenis kelamin tidak
sematamata hidup, tetapi juga berpenghidupan. Untuk menjaga dan meningkatkan
kualitas hidup dan penghidupannya manusia selalu berusaha dan berupaya untuk
mencari jalan agar selalu berkembang. Kehidupan duniawi tempat
seseorang memulai dan melaksanakan kariernya memberikan kebebasan dan hak
kepadanya untuk mewujudkan keinginannya dan memperoleh citacitanya, dengan
mengembangkan hidup, kehidupan, dan semua peradabannya, demi kelangsungan
hidupnya dan kariernya.
Aspek
fisik mempunyai peran yang sangat penting dalam mengantarkan seseorang mencapai
tujuan yang diinginkannya. Dalam hubungannya dengan alam yang memang
dipersiapkan untuk kehidupannya di dunia ini, seseorang tidak harus bersifat
fatalis dalam menghadapinya. Mengembangkan aspek fisik dan material sudah
tersurat maupun tersirat dalam pandangan hidup manusia, dan sebagai pemenuhan
kewajiban legal formal dan kewajiban moral bagi seseorang yang meniti karier
kehidupanya di dunia ini. Seseorang perlu belajar dari pengalamannya sendiri dan
pengalaman orang lain, dan mensinergikan berbagai pengalaman itu untuk
mendapatkan legetimasinya dan membuat formulasinya yang tepat, efektif, dan
efisien untuk mencapai kehidupan yang sempurna. Tanpa akselerasi kehidupan
duniawi, maka kehidupannya stagnan, dilampaui oleh pihak lain, karena tidak dipergunakan
pikiran genius dan kreatifnya untuk mengembangkannya supaya tidak tertinggal.
Dalam ketertinggalan itu boleh dijadikan sub ordinasi pihak lain, sehingga
ruang geraknya menjadi terbatas. Hal ini sangat berbahaya bagi dirinya dan
generasi penerusnya. Pada umumnya perempuan dengan strata sosial lebih rendah
dan anak-anak seringkali kurang mendapatkan perhatian sehingga mengalami
ketertinggalan. Karena itu dalam pengembangan kepribadian perlu memperhatikan
kelompok-kelompok marjinal dan subordinal agar sama-sama mendapatkan akses,
partisipasi, kontrol, dan manfaat dari aktivitasnya.
Di
saat ini sangat dirasakan pentingnya pendidikan dan alih informasi dan
teknologi dari salah satu pihak kepada pihak lain, atau sifat kerjasama yang
menjadi ide sentral perubahan suatu masyarakat yang berkembang ke arah saling
ketergantungan, karena diyakini tidak satu pun masyarakat atau bangsa dapat
hidup mandiri memenuhi segala hajat kehidupannya tanpa bantuan pihak lain. Mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri sudah menjadi keharusan supaya suatu
bangsa tidak dikuasi oleh pihak lain karena sebab ketergantungannya. Suatu
bangsa hanya menjadi kuat jika mempunyai ketangguhan dan ketahanan dalam
berbagai bidang kehidupan, sehingga dapat berdakwah, menyebarkan informasi dan
pendidikan kepada orang lain sesuai dengan pandangan hidup yang diyakini. Fisik
yang lemah, pikiran tidak kreatif dapat disebut sebagai pangkal kelemahan untuk
membangun dunia yang berperadaban. Seseorang tidaklah harus menyerah secara
total terhadap keadaannya dan menerima tanpa melaksanakan usaha yang mungkin
bisa dilakukan dalam pandangan pikiran yang sehat.
Kehidupan
masa kini umpamanya, ditandai dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin
lengkapnya pemenuhan kebutuhan material, namun belum cukup memberikan makna
terhadap kebutuhan ruhani sepanjang seseorang belum menemukan makna kehidupan
dari berbagai dimensinya dalam dirinya sendiri secara ruhani. Seseorang perlu
menyelami kedalaman aspek ruhaninya supaya tidak mengabaikan kebutuhannya yang
paling dasar dalam mendapatkan ketentraman batin dan keseimbangan dalam
dirinya. Pikiran seseorang pada suatu ketika memerlukan pembebasan dari
kesadaran yang terbatas menuju pada kesadaran yang tidak terbatas. Bilamana
aktualisasi dan kebutuhan aspek ruhaninya tidak terpenuhi sebagai kebutuhan
dasar, maka sulit diharapkan terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam hidup,
yang berarti pula tidak ada keseimbangan antara kondisi fisik dan psikis. Berat
sebelah pengembangan antara dua aspek ini menyebabkan disharmoni antara
berbagai aspek kepribadiannya yang mengakibatkan terjadinya dehumanisasi, dan
banyaknya penyimpangan dari kehidupan yang normal.
Penyembuhannya
tidak dapat dilakukan melalui terapi-terapi aspek fisik semata tetapi
memerlukan keterlibatan aspek psikis. Menemukan akses yang bisa dipergunakan
untuk menemukan diri sendiri secara ruhani dan mencari makna kehidupannya bukan
sekedar kewajaran, tetapi secara moral sudah menjadi keharusan, agar seseorang
tidak terperangkap ke dalam kehidupan yang profan.
Baik fisik maupun psikis membutuhkan pengembangan diri yang
berupa pembinaan dan pendidikan agar dapat berkembang optimal dan maksimal
sesuai dengan kapasitasnya. Fisik maupun psikis hanya merupakan potensi laten
yang mungkin hanya disempurnakan lebih lanjut melalui pendidikan. Oleh karena
itu, pendidikan merupakan kebutuhan yang tidak kalah penting dengan kebutuhan
lain, seperti halnya Anda membaca modul ini dalam rangka pengembangan diri.
Aspek fisik mendapatkan pendidikan sedemikian rupa agar dapat
berkembang dari lemah menjadi kuat. Pendidikan terhadap aspek ini melalui
latihan yang ringan sampai yang berat tetapi kontinu, sehingga menjadi kuat dan
sehat. Kekuatan dan kesehatan menjadi modal untuk menggapai kebutuhan yang lain
sebagaimana disebut di atas. Mengasup nutrisi dan memperolehnya sebagaimana
disebutkan di atas, memerlukan suatu pengetahuan yang hanya bisa didapat
melalui pendidikan. Orang yang tidak terdidik pemenuhan kebutuhannya sangat
bergantung kepada pihak lain, seperti anak bayi yang masih bergantung kepada
orang tuanya. Namun semakin terdidik, maka semakin mahir untuk memenuhi
kebutuhannya.
Manusia tidak semata terdiri dari aspek fisik, tetapi juga
mempunyai aspek psikis. Aspek psikis memegang peran penting dalam kehidupan
manusia, sehingga untuk mengetahui wujud manusia dalam hubungannya dengan
pendidikan tidak semata dilihat dari aspek materialnya (fisik), tetapi juga
dari aspek spiritualnya (psikis). Aktivitasnya sebagai instrumen batin, dengan
segala unsur yang melingkupinya, mempunyai pengaruh dan memegang kendali
terhadap semua aspek jasmaniahnya (fisik). Sebagaimana disebutkan di atas,
bahwa aspek ruhani yang paling tinggi mempunyai akses ke alam ghaib, maka didapatkan
informasi ghaybiyat yang biasanya, tidak akrab bagi kebanyakan orang. Hanya
orang-orang tertentu saja yang mempunyai akses ke alam itu dan mendapatkan
pengalaman dan informasi darinya. Dengan demikian, pendidikan manusia tidak
hanya dipasok dari luar yang bersifat fisik saja karena manusia dapat
merangsang sesuatu melalui inderanya, dan memikirkan sesuatu yang konkrit
maupun yang abstrak secara logis melalui pikirannya. Disamping itu, ia
memperoleh asupan pendidikan dari dalam melalui batinnya ketika ia mendapatkan
akses ke alam itu. Oleh karena itu, diperlukan mengembangkan diri melalui
pendidikan, baik fisik maupun psikisnya.
Pendidikan terhadap aspek fisik yang bersifat material,
mempunyai hubungan langsung terhadap kehidupan duniawi sungguhpun manusia tetap
harus menatap masa depannya dengan kemajuan aspek ruhaninya. Masalah material
dan spiritual seragam pentingnya, dan kedua-keduanya dapat bekerja saling
inklusif dan saling mempertajam untuk mencapai tujuannya masingmasing. Potensi
aspek fisik, psikis, diperlukan untuk menjalani keselarasannya, mengukuhkan,
dan memantapkan kesatuannya, karena seseorang merupakan kesatuan dari berbagai
aspek-aspeknya; (1) Keseimbangan (equilibrium) kegiatan jasmaniah di satu pihak
dengan kegiatan ruhaniah di lain pihak akan mewujudkan pola keserasian hidup
dalam diri individu, dan kemudian akan memancar dalam kehidupan masyarakat
serta lingkungannya secara menyeluruh. Pendidikan yang tidak melibatkan salah
satu unsur dari seluruh unsur kepribadian seseorang hanya mengganggu unsur yang
lain, yaitu tidak tercapainya kehidupan yang optimal. Atas dasar ini,
pendidikan harus ditujukan pada pengembangan dan pertumbuhan fisik, psikis,
secara memadai, agar aspek-aspek itu dapat berkembang secara wajar dan
seimbang. Ketika masing-masing aspek itu saling berusaha untuk memuaskan
dirinya, adakalanya yang satu mendominasi yang lain, atau yang satu menjadi
korban yang lain. Dalam kompetisi seperti ini diperlukan disiplin diri untuk
mencapai kondisi yang harmonis dan serasi. Seharusnya peran masing-masing
ditata dalam keserasian dan keharmonian agar setiap aspek mempunyai sumbangan
yang berarti terhadap perkembangan kepribadiannya; (2) Kondisi seperti ini
menuju pada perkembangan yang terpuji, dan membawa seseorang pada tingkat yang
lebih baik dan sempurna.
Perlu ditekankan bahwa pemberian akses, peran, dan tanggungjawab
terhadap keragaman sosial dan perbedaan gender dapat mendukung terwujudnya
kondisi yang harmonis dan serasi dalam kehidupan. Ketika seseorang
lebih banyak memerhatikan aspek materialnya, maka aspek lainnya terbengkalai.
Betapa keringnya kehidupan jika tidak disertai nuansa ruhani. Hilangnya cita
rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusakkan kecerdasan
intuitif, dan lebih-lebih lagi sangat berbahaya bagi pembinaan moralitas,
karena hal itu melemahkan emosi dan cita rasa batin. Oleh karena itu,
pembangunan pendidikan aspek ruhani tidak harus dikesampingkan, lebih-lebih
hakikat seseorang pada dasarnya terletak pada aspek ruhaniahnya yang bersifat
permanen, immortal dan eksistensinya sebagai bagian dari perjalanannya yang
teramat panjang.
Seseorang tidak harus hanya bergelut dengan kehidupan empirik,
dengan menekuni dunia luarnya yang senantiasa berubah, tetapi menguak lebih
dalam hakikat keberadaannya dan hakikat alam ini sudah menjadi keharusan pula. Hubungan
seseorang dengan dunia luarnya tidak bisa dihubungkan dan diukur kebenarannya
hanya dengan logika linear, dan dianggap sebagai peristiwa yang berlaku secara
mekanik, tetapi mungkin saja terjadi peristiwa yang tidak pernah disangka
menurut penalaran logis.
Muatan ekuilibrium yang terdapat dalam seluruh pengalaman hidup seseorang,
baik laki-laki maupun perempuan dan perbedaan sosial mencoba memberikan nuansa
pembinaan yang tidak hanya terbatas pada aspek jasmaniahnya saja– adalah
prinsip-prinsip pendidikan. Strategi pendidikan seharusnya selalu
mempertimbangkan keseimbangan antara berbagai aspek kepribadian, yaitu
pendidikan yang berusaha dan mengupayakan perkembangan secara menyeluruh tetapi
seimbang. Pendidikan yang hanya mengarah pada perkembangan suatu aspek saja,
tidak lain identik dengan pengajaran. Sebagian orang memang lebih cenderung dan
menginginkan pendidikannya tersegmentasi pada aspek material, tetapi tidak
perlu menghalangi kesempatan yang mungkin diperoleh seseorang untuk mendapatkan
pendidikan secara spiritual, bahkan diperlukan daya upaya untuk menjadikan
pendidikan spiritual sebagai gerakan yang populis.
Usaha seseorang meningkatkan martabat yang lebih tinggi secara
ruhani, tetapi tidak memutuskan hubungannya secara mutlak dengan dunia luarnya,
ia akan memperoleh pengetahuan yang subjektif dari pengalaman ruhaninya dan pengetahuan
yang objektif dari pengalaman empiriknya, sehingga ia dapat mengembangkan
penguasaan dunia pada suatu sisi dan mentransendensikannya pada sisi yang lain.
Pandangan dan penglihatan seseorang hendaknya diarahkan untuk mencapai makna
dan fungsi menangkap sesuatu di alam material, di samping yang bersifat
immaterial melalui berbagai tanda yang memenuhi alam raya, karena kemampuan penglihatannya
dalam keadaan suci dan primordialnya dapat langsung menangkap visi Ilahi. Oleh
karena itu, seseorang yang baik adalah aspek fisik dan psikisnya sama-sama
peka.
Arah pendidikan seharusnya selalu mempertimbangkan berbagai
aspek kepribadian. Dalam kondisi seperti ini pendidikan yang bersifat eksternal
dan aksidental (fisik) tidak harus merupakan terminal akhir dalam suatu proses perjalanan
karier pendidikan, melainkan perlu dikaitkan dengan pendidikan yang bersifat
ruhani. Dalam pendidikan yang hanya berorientasi pada sisi eksternal dan
formal, ketajaman visi ruhani kurang mendapatkan tempat yang wajar dan memadai,
karena seseorang hanya dipandang dari segi fisik semata. Dari pendidikan
seperti itu tidak mungkin dapat melahirkan nilai etika, sebagai landasan sikap
dan perbuatan, dan estetika, sebagai landasan perasaan, dan nilai-nilai lainnya
yang terpancar dari dimensi penghayatannya.
JIka esensi seseorang bersifat ruhani, maka pendidikan harus
dihubungkan dengan hakikatnya itu. Oleh karena itu, seseorang bukan meja lilin
yang dapat dibentuk dengan berbagai pengaruh dan stimulus, atau seseorang
bukanlah semata makhluk pasif yang menerima bentukan dari lingkungan
sebagaimana diperkirakan oleh teori tabularasa, tetapi ia mempunyai kreativitas
yang memungkinkan mengubah lingkungan sesuai dengan kehendaknya, dan bahkan
mencapai sesuatu yang berada di luar kehendaknya. Namun dapat diakui bahwa
pembentukan suatu kebiasaan dengan suatu kegiatan mempunyai efek kumulatif,
sehingga dapat mendorong terjadinya peningkatan kualitas karakter seseorang
yang pengaruhnya lambat laun menjadi semakin kuat dan menyulitkan seseorang
untuk melepaskan diri darinya.
Dengan pendidikan yang bisa diperoleh dari berbagai aspek
kepribadian, memungkinkan seseorang menerima berbagai akibat pendidikan,
sehingga kondisi kemanusiannya dapat menerima perubahan dan perkembangan sesuai
dengan pengaruh yang diterimanya baik lahir maupun batin. Dengan berbagai arah,
macam, dan bentuk pendidikan yang diterimanya menyebabkan kualitas
kepribadiannya diidentifikasikan dan berada. Bila seseorang dengan ragam
perbedaan sosial dan perbedaan gender akibat konstruksi sosial dapat menerima
pendidikan yang ditujukan kepada arah jasmani dan ruhaninya, maka semua
aspeknya dapat berkembang sesuai dengan cita-cita pendidikan yang diharapkan.
Pendidikan semacam ini yang memungkinkan terciptanya kepribadian
yang seimbang, dan semua pengalaman dan pengetahuannya diperoleh dari berbagai
aspek kepribadiannya. Dengan demikian, bukan suatu ilusi bilamana hasil
yang mungkin dicapai paling tidak berupa keseimbangan kepribadian yang tidak
semata didominasi oleh salah satu aspek, tetapi merupakan sinergi dari berbagai
aspek kepribadian. Betapa sangat dipentingkan dalam tujuan pendidikan adalah
seseorang yang tidak hanya trampil dan pintar, tetapi juga bersikap mulia
sebagai hasil keseimbangan antara aspek fisik, psikisnya. Seseorang
yang mampu berpikir tentang sesuatu dan berbuat sesuatu haruslah
mempergunakannya untuk kebaikan dirinya, masyarakatnya, dan bangsanya menuju
kehidupan yang lebih mulia dan bermartabat. Hasil lebih jauh
adalah kepuasannya dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh sehingga
berujung pada kenikmatan dan kebahagiaan. Ingat, setiap yang nikmat itu
dicintai, karena ada kecenderungan seseorang untuk mendapatkannya.
Daftar Pustaka
Al-Aqqad,
‘Abbas Mahmud. 1969. al-Insan fi al-Qur`an. Beirut: Dar al-Kuttab al- ‘Arabi.
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terjemahan Haidar
Bagir. Bandung: Mizan.
Arifin,
H.M. 1983. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin.
1991. Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat. Jakarta: Golden Terayon
Press.
Ashraf,
Ali. 1993. Horison Baru Pendidikan Islam. Terjemahan Sori Siregar. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Barnadib,
Imam. 1988. Filsafat Pendidikan: Suatu Tinjauan. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Barnadib,
Imam. 1988. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Barnadib,
Imam. 1988. Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan. Jakarta:Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
IAPBE.
2007. Panduan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Buku IV. Malang: IAPBE.
Ramayulis.
1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Pertemuan Ketiga
URAIAN MATERI: HAKIKAT PENDIDIKAN
A. Pengertian
Pendidikan dan Ilmu Pendidikan
Pengertian
Pendidikan
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy,
yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang
pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan Paedagogos. Dalam
bahasa Romawi pendidikan diistilahkan sebagai Educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam.
Dalam Bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual[2] Banyak
pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Namun pendidikan berjalan terus
tanpa menunggu keseragaman arti.
Pendidikan
dalam Arti Luas
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan hidup[3].
Jika diamati secara seksama pengertian di atas mengandung beberapa kekhususan
sebagai berikut.
Lingkungan
Pendidikan
Pendidikan berlangsung dalam segala lingkungan baik yang khusus
diciptakan untuk kepentingan pendidikan maupun yang ada dengan sendirinya.
Kegiatan pendidikan terentang dari bentuk-bentuk yang misterius
atau tak disengaja sampai yang terprogram. Pendidikan berbentuk segala macam pengalaman
belajar dalam hidup. Pendidikan berlangsung dalam berbagai bentuk, pola dan
lembaga. Pendidikan dapat terjadi sembarang, kapan dan dimanapun dalam hidup.
Pendidikan lebih berorientasi pada peserta didik.
Masa
Pendidikan
Pendidikan berlangsung seumur hidup di setiap saat selama ada
pengaruh lingkungan.
Tujuan
Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar,
tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan. Tujuan pendidikan
tidak terbatas, tujuan pendidikan adalah seragam dengan tujuan hidup.
Pendidikan
dalam Arti Sempit
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan
di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh
yang diupayakan oleh sekolah terhadap anak yang bersekolah agar mempunyai
kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan
tugas-tugas sosial mereka. Jika dirinci dari pengertian di atas terdapat
beberapa komponen antara lain sebagai berikut; (1) Lingkungan Pendidikan.
Pendidikan berlangsung dalam lingkungan pendidikan yang diciptakan khusus untuk
menyelenggarakan pendidikan, Secara teknis pendidikan berlangsung di kelas; (2)
Bentuk kegitaan. Isi pendidikan tersusun secara terprogram dalam bentuk kurikulum.
Kegiatan pendidikan lebih berorintasi pada kegiatan guru dan siswa-siswi
sehingga guru mempunyai peran yang sentral dan menentukan. Kegiatan pendidikan
terjadwal dan materinya pun tertentu; (3) Masa pendidikan. Pendidikan
berlangsung dalam waktu terbatas yaitu untuk anak-anak dan remaja; dan (4) Tujuan.
Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada
kemampuan tertentu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan hidup.
Pengertian
Alternatif dan Luas Terbatas
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan masyarakat dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik untuk dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara
tepat pada masa yang datang. Pendidikan adalah pengalamanpengalaman belajar
terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non formal, dan informal di sekolah
dan luar sekolah yang berlangsung seumur hidup, bertujuan untuk
mengoptimalisasi kemampuan-kemampuan individu. Dari pengertian di atas jika
diamati secara seksama ada beberapa kekhususan penting.
Lingkungan
Pendidikan
Pendidikan berlangsung dalam sebagian lingkungan hidup.
Pendidikan tidak berlangsung dalam lingkungan yang alami, pendidikan hanya
berlangsung dalam lingkungan hidup kultural.
Bentuk
Kegiatan
Pendididikan dapat berbentuk formal, informal, dan non formal.
Kegiatan pendidikan bisa berupa bimbingan, pengajaran, atau latihan pendidikan
selalu merupakan usaha yang direncanakan.
Tujuan
Tujuan pendidikan merupakan perpaduan tujuan-tujuan yang
bersifat pengembangan kemampuan-kemampuan individu secara optimal dengan tujuan-tujuan
yang bersifat sosial untuk dapat memainkan perannya sebagai warga dalam
berbagai lingkungan dan kelompok sosial.
Masa
Pendidikan
Pendidikan berlangsung seumur hidup, yang kegiatan-kegiatannya
tidak berlangsung sembarang tetapi pada waktu tertentu. Dari tiga dasar
pengertian pendidikan inilah para ahli memberikan batasan-batasan tertentu
tentang hakikat pendidikan sesuai dengan sudut pandang masing-masing, sebagai
berikut; (1) Langeveld mendifinisikan pendidikan sebagai setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan pada anak tertuju pada pendewasaan
anak itu, atau membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya
sendiri; (2) John Dewey memberi batasan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia;
(3) J.J. Rousseau berpendapat pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang
tidak ada pada masa kanak-kanak tetapi diperlukan pada masa dewasa; (4) Ki
Hajar Dewantara memberi difinisi pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak. Maksudnya pendidikan menuntun segala kekuatan pada
anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya; (5) Undang-undang
Nomor 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi perannya dimasa yang datang; (6) Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spititual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Dari beberapa batasan di atas meskipun berbeda secara
redaksional, namun secara esensial terdapat beberapa unsur atau faktor yang
seragam, di antaranya: (1) Pendidikan merupakan suatu proses; (2) Pendidikan
merupakan kegiatan manusiawi; (3) Pendidikan merupakan hubungan antarpribadi;
dan (4) Pendidikan untuk mencapai tujuan.
Pengertian
Ilmu Pendidikan
Pakar pendidikan memiliki pandangan yang berbeda tentang
pengertian ilmu pendidikan. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena sudut
pandang yang berbeda, sebagai berikut; (1) Carter (1985:36) berpendapat bahwa
ilmu pendidikan adalah suatu bangunan pengetahuan sistematis yang mencakup
aspek-aspek kuantitatif dan objektif dari proses belajar dan juga mengajukan
instrumen secara seksama dalam mengajukan hipotesis-hipotesis pendidikan untuk
diuji berdasarkan pengalaman yang sering kali dalam bentuk eksperimen; (2) Driyarkara
menyebutkan ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah, yakni pemikiran yang
bersifat kritis, memiliki metode, dan tersusun secara sistematis tentang
pendidikan.[4]
Kritis artinya menerima pengetahuan atas dasar analisis dan pemahaman serta
argumen yang kuat. Memiliki metode berarti dalam proses berpikir dan
menyelidiki, orang menggunakan tehnik tertentu. Sistematis berarti dalam suatu
proses, pemikir ilmiah dijiwai oleh ide yang menyeluruh dan menyatukan,
sehingga pikiran-pikiran dan pendapatnya tidak hanya berhubungan, namun juga
merupakan satu kesatuan; (3) Barnadib mengemukakan bahwa ilmu pendidikan adalah
ilmu yang membicarakan masalah masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan
abstrak.[5]; (4) Langeveld,
paedagogi atau ilmu mendidik adalah suatu ilmu yang bukan hanya menelaah
objeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek itu, melainkan
mempelajari pula betapa hendaknya bertindak. Objek ilmu pendidikan ialah proses-proses
situasi pendidikan; dan (5) Brodjonegoro menjelaskan bahwa ilmu pendidikan
adalah teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas paedagogi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktik
pendidikan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dilihat adanya penekanan
yang seragam ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah-masalah
yang berhubungan dengan pendidikan. Ilmu pendidikan membicarakan
masalah-masalah yang bersifat ilmu, bersifat teori, ataupun yang bersifat
praktis. Sebagai ilmu pendidikan teoretis, maka ilmu pendidikan ditujukan pada
penyusunan persoalan dan pengetahuan sekitar pendidikan secara ilmiah, bergerak
dari praktik kepenyusunan teori, dan penyusunan sistem pendidikan. Ilmu
pendidikan termasuk ilmu pengetahuan empiris, rohani, normatif yang diangkat
dari pengalaman pendidikan kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan
secara praktis. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri, ilmu pendidikan termasuk
ilmu yang baru berkembang. Padahal secara praktis, pendidikan sudah dimulai
sejak manusia itu ada.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa ilmu pendidikan dapat dikelompokkan
dan diberi atribut sebagai berikut.
Ilmu
Pendidikan sebagai Ilmu Normatif
Ilmu pendidikan selalu berhubungan dengan soal, Siapakah manusia
itu? Pembahasan tentang siapakah manusia itu biasanya termasuk ranah filsafat yaitu
filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya
terhadap konsep serta praktik pendidikan, karena pandangan filsafat itu
menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau
suatu lembaga atau bangsa yang melaksanakan pendidikan. Nilai-nilai luhur ini
dijadikan Norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui
praktik pendidikan. Nilai luhur itu biasanya tergambar dalam rumusan tujuan
pendidikannya. Nilai-nilai itu secara normatif bersumber dari Norma masyarakat,
Norma filsafat, dan pandangan hidup, juga dari keyakinan keagamaan yang dianut
oleh seseorang. Dengan demikian, ilmu pendidikan diarahkan kepada perbuatan
mendidik yang bertujuan. Tujuan itu telah ditentukan oleh nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat, atau bangsa. Selanjutnya, nilai itu sendiri merupakan
ukuran yang bersifat normatif, sehingga dapat kita tegaskan bahwa ilmu
pendidikan adalah ilmu yang bersifat normatif.
Ilmu
Pendidikan sebagai Ilmu yang bersifat Teoretis dan Praktis
Ilmu pendidikan tidak hanya mencari pengetahuan deskriptif
tentang objek pendidikan, tapi juga ingin mengetahui bagaimana sebaiknya untuk memperoleh
manfaat terhadap objek didiknya. Jika dilihat dari maksud dan tujuannya, ilmu
pendidikan dapat disebut ilmu yang praktis sebab ditujukan kepada praktik dan
perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi anak didik. Walaupun ilmu pendidikan
ditujukan kepada praktik pendidikan, namun untuk mendalami kajian bagaiman
praktik mendidik itu dilaksanakan diperlukan suatu teori (ilmu teori) agar
dapat dijadikan landasan dalam mencari kebenaran melalui praktik (ilmu
praktis). Hasil yang didapat merupakan kajian yang sistematis terarah, dan
empirik. Ilmu pendidikan lahir dan berkembang setelah praktik pendidikan
berlangsung lama sehingga tampilan ilmu pendidikan sebagai ilmu masih belum
final. Itu berarti, ilmu pendidikan masih dalam proses membentuk jati diri.
Dalam filsafat ilmu, suatu studi dapat dikategorikan disiplin
ilmu jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
1.
Memiliki objek material dan objek formal
Objek
material ilmu pendidikan adalah perilaku manusia. Perlu diingat bahwa perilaku
manusia tidak hanya dipelajari oleh ilmu pendidikan tetapi juga oleh ilmu-ilmu
sosial lainnya seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Apabila
objek material suatu ilmu mempunyai kesamaan dengan objek material ilmu lain,
untuk membedakannya diperlukan objek formal dari ilmu tersebut yang menjadi
kekhususan atau ciri khas untuk menentukan macam suatu ilmu. Objek formal ilmu
pendidikan merupakan penelaahan, fenomena (gejala) pendidikan dalam perspektif
yang luas dan integratif. Fenomena ini bukan hanya gejala yang melekat pada
manusia tetapi juga berupa upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang
sebenarnya. Upayapendidikan mencakup keseluruah aktifitas pendidikan, yaitu
mendidik dan dididik, termasuk pemikiran sistematis tentang pendidikan.
2.
Memiliki Sistematika
Pendidikan
sebagai fenomena manusiawi dapat dianalisis berdasarkan proses atau situasi
pendidiknya, yaitu ketika terjadi interaksi antar komponen (tujuan, peserta didik,
pendidik, alat dan lingkungan). Ilmu pendidikan dapat dilihat dari beberapa
sudut berikut. Pendidikan sebagai upaya sadar Pendidikan sebagai upaya sadar
untuk mengembangkan keperibadian dan kemampuan, pendidikan berfungsi: (1) Menumbuhkan
kreatifitas peserta didik; (2) Menjaga kelestarian nilai-nilai insani dan
ilahi; (3) Menyiapkan tenaga-tenaga kerja produktif; dan (4) Memiliki metode.[6]
Pendidikan
Sebagi Sebuah Ilmu
Sebagai sebuah ilmu, ilmu pendidikan juga memiliki metode.
Menurut Soedomo metode yang dipakai dalam ilmu pendidikan meliputi: (1) Metode
normatif, yaitu metode penentuan konsep manusia yang diidealkan oleh pendidikan
menyangkut nilai baik dan buruk; (2) Metode eksplanatori, yaitu metode untuk
mengetahui kondisi dan kekuatan yang mempengaruhi keberhasilan proses
pendidikan; (3) Metode teknologis, yaitu metode yang berfungsi mengungkapkan
cara agar berhasil mencapai tujuan dengan mudah; (4) Metode
deskriptif-fenomenologis, yaitu metode untuk mempengaruhi dan mengklarifikasi
kenyataan ditemukan hakikatnya; (5) Metode hermeneutis, yaitu metode untuk
memahami kenyataan pendidikan secara konkrit dan historis agar makna dan
struktur pendidikan menjadi jelas; dan (6) Metode analisis kritis, yaitu metode
yang digunakan untuk menganalisis secara kritis istilah-istilah, pernyataan-pernyataan,
konsep dan teori pendidikan.[7]
Daftar Pustaka
Arifin,
M. dan Aminuddin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjen Binbagais,
Depag RI.
Arikunto,
Suharsini. 1997. Dasar-dasar Evaluasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Barnadib,
Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi
Offset.
Barnadib,
Sutari, Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: IKIP
Yogyakarta.
Dewantara,
Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: MLTS.
Driyarkara.
1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Hasbullah.
2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Mudyaharjo,
Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soedomo.
1990. Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan dalam Pembangunan Nasional. Teks
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: IKIP MALANG.
Suwarno,
Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
UU
No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.
UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas.
Pertemuan Keempat
URAIAN MATERI: KOMPONEN
PENDIDIKAN
A.
Komponen Pendidikan
Kegiatan pendidikan adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah system pendidikan
memuat beberapa komponen-komponen tertentu yang saling mempengaruhi dan
menentukan. Untuk memudahkan pemahaman tentang sistem, ambilah contoh sebuah
sepeda. Sepeda adalah sebuah sistem. Sebuah sistem terdiri atas beberapa
komponen. Pada sepeda terdapat beberapa komponen yaitu rantai, ban, rem, sadel,
setang dan lain lain. Komponen tersebut membentuk berfungsinya sebuah sistem.
Jika salah satu komponen mengalami kerusakan maka sistem tidak berfungsi.
Sebagai contoh pada sepeda, jika salah satu komponenya rusak, misalnya bannya kempes,
maka sepeda tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian juga pendidikan,
sebagai sebuah sistem, pendidikan terdiri dari beberapa komponen, yaitu tujuan,
peserta didik, alat, dan lingkungan. Jika salah satu komponen tidak ada maka
pendidikan tidak dapat berfungsi. Misalnya jika tidak ada guru maka proses
belajar mengajar tidak berjalan dengan baik. Berikut ini adalah penjelasan
tentang berbagai komponen pendidikan.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan merupakan komponen penting dan sangat menentukan bahkan merupakan
esensi dari pendidikan. Tujuan pendidikan memiliki berbagai tingkatan, mulai
dari tujuan umum, tujuan khusus, tujuan tidak lengkap, tujuan sementara, tujuan
intermediet, dan tujuan incidental.[8] Uraian
tentang tujuan pendidikan secara luas dan mendalam dibahas pada pada subpokok
bahasan fungsi dan tujuan pendidikan.
Peserta
Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat laki-laki dan perempuan
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui pro-ses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Dasar hakiki diperlukannya
pendidikan bagi pe-serta didik adalah karena manusia adalah makhluk susila yang
dapat dibina dan diarahkan untuk mencapai derajat kesusilaan.
Peserta didik menurut sifatnya dapat dididik, karena mereka mempunyai
bakat dan disposisi-disposisi yang memungkinkan untuk diberi pendidikan, di
antaranya adalah sebagai berikut: (1) Tubuh anak sebagai peserta didik selalu
berkembang, sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan
kepribadiannya; (2) Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Keadaan ini
menyebabkan dia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab;
(3) Anak membutuhkan pertolongan, perlindungan, serta pendidikan; (4) Anak
mempunyai daya eksplorasi. Anak mempunyai kekuatan untuk menemukan hal-hal yang
baru di dalam lingkungannya dan menuntut kepada pendidik untuk diberi
kesempatan; dan (5) Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan
orang lain.
Seorang pendidik memiliki kepentingan untuk mengetahui
perkembangan setiap peserta didik, sebab perkembangan antara satu peserta didik
dengan lainnya itu berbeda, dan itu bergantung pada kondisi fisik dan
lingkungan yang memengaruhinya.
Pendidik
Pendidik adalah orang laki-laki dan perempuan yang dengan
sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi.
Dengan kata lain, pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu membawa
peserta didik ke arah kedewasaan[9]. Dewasa
di sini bukan sekadar dewasa fisik atau umur, tetapi dewasa secara keseluruhan,
yaitu mental, intlektual, sosial, fisik, dan psikis. Secara akademis, pendidik
adalah tenaga kependidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan
diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Undang- undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen) terutama bagi pendidik pada pendidikan
tinggi. Artinya, pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi
sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Alat
Pendidikan
Alat
pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan
terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga sebagai langkah atau situasi yang
membantu pencapaian tujuan pendidikan. Abu Ahmadi dalam Suwarno (2006:38)
membedakan alat pendidikan ini kedalam beberapa kategori, yaitu sebagai
berikut;
1.
Alat Pendidikan Positif dan Negatif
Alat
pendidikan positif dimaksudkan sebagai alat yang ditujukan agar anak mengerjakan
sesuatu yang baik, misalnya, pujian agar anak mengulang pekerjaan yang menurut
ukuran adalah baik. Alat pendidikan negative dimaksudkan agar anak tidak
mengerjakan sesuatu yang buruk, misalnya, larangan atau hukuman agar anak tidak
mengulangi perbuatan yang menurut ukuran Norma adalah buruk.
2.
Alat Pendidikan Preventif dan Korektif
Alat
pendidikan preventif merupakan alat untuk mencegah anak mengerjakan sesuatu
yang tidak baik, misalnya, peringatan atau larangan. Alat pendidikan korektif
adalah alat untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan yang telah dilakukan
peserta didik, misalnya, hukuman.
3.
Alat Pendidikan yang Menyenangkan dan Tidak
Menyenangkan
Alat
pendidikan yang menyenangkan merupakan alat yang digunakan agar peserta didik
menjadi senang, Misalnya, dengan hadiah atau ganjaran. Alat pendidikan yang
tidak menyenangkan dimaksudkan sebagai alat yang dapat membuat peserta didik
merasa tidak senang dan tidak nyaman melakukan sesuatu kerena aktivitasnya tidak
produktif. Dalam proses pendidikan, contoh alat pendidikan tidak menyenangkan
adalah hukuman atau celaan.
Lingkungan
Lingkungan pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi
terjadinya proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Lingkungan
Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.
Keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan kepribadian
anak karena sebagian besar kehidupan anak berada di tengahtengah keluarganya.
Untuk mengoptimalkan kemampuan dan kepribadian anak, orang tua harus
menumbuhkan suasana edukatif di lingkungan keluarganya sedini mungkin. Suasana
edukatif yang dimaksud adalah orang tua yang mampu menciptakan pola hidup dan
tata pergaulan dalam keluarga dengan baik sejak anak dalam kandungan.
Begitu penting pengaruh pendidikan dalam keluarga, sehingga
orang tua harus menyadari tanggung adalah sebagai berikut; (1) Memelihara dan
membesarkannya Tanggung jawab ini merupakan dorongan alami yang harus
dilaksanakan karena anak memerlukan makan, minum, dan perawatan agar ia dapat hidup
secara berkelanjutan; (2) Melindungi dan menjamin kesehatannya Orang tua
bertanggung jawab terhadap perlindungan anak, termasuk menjamin kesehatan anak,
baik secara jasmani ataupun rohani dari berbagai penyakit atau bahaya
lingkungan yang dapat membahayakan dirinya; (3) Mendidik dengan berbagai ilmu Orang tua
memiliki tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak. Orang tua perlu
membekali anaknya dengan ilmu pengetahuan dan kete-rampilan yang berguna bagi
kehidupan anaknya kelak, sehingga pada masa dewasanya mampu mandiri dan
bermanfaat bagi kehidupan sosial, bangsa, dan agamanya; dan (4) Membahagiakan
kehidupan anak Kebahagiaan anak menjadi bagian dari kebahagiaan orang tua. Oleh
sebab itu, orang tua harus senantiasa mengupayakan kebahagiaan anak dalam kapasitas
pemenuhan kebutuhan sesuai dengan perkembangan usianya, yang diiringi dengan
memberikan pendidikan agama dan akhlak yang baik.
Untuk melaksanakan berbagai tanggung jawab itu, dalam konsep pendidikan
modern, orang tua seyogianya bersikap demokratis terhadap anak. Artinya, orang
tua mampu menciptakan suasana dialogis dengan anak, sehingga dapat menumbuhkan
hubungan keluarga yang harmonis, saling menghormati, disiplin, dan tahu tanggung
jawab masing-masing. Suasana demikian sangat mendukung kepribadian anak,
sehingga anak terbiasa dengan sikap yang baik di lingkungannya, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Lingkungan
Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja,
dan terarah. Mulai dari tingkat Kanak-kanak (TK) sampai dengan Pendidikan
Tinggi (PT). Sekolah melakukan pembinaan pendidikan kepada peserta didik yang didasarkan
pada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat. Kondisi itu
muncul karena keluarga dan masyarakat memiliki keterbatasan dalam melaksanakan
pendidikan. Tetapi, tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung
jawab orang tua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang
telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan informal
yang telah dikenal anak sebelumnya.
Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal mempunyai
tanggung jawab yang besar terhadap berlangsungnya proses pendidikan, yang
dibagi dalam tiga kategori berikut; (1) Tanggung jawab formal. Sesuai dengan
fungsinya, lembaga pendidikan bertugas untuk mencapai tujuan pendidikan
berdasarkan undang-undang yang berlaku; (2) Tanggung jawab keilmuan.
Berdasarkan bentuk, isi, dan tujuan, serta jenjang pendidikan yang dipercayakan
kepadanya oleh masyarakat; dan (3) Tanggung jawab fungsional. Tanggung jawab
yang diterima sebagai pengelola fungsional dalam melaksanakan pendidikan oleh
para pendidik yang pelaksanaannya berdasarkan kurikulum.
Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA).
Pelaksanaan
pembelajaran di TK dan RA diintegrasikan dalam tiga bidang pengembangan.
1.
Pengembangan moral, budi pekerti, dan nilai-nilai agama melalui pendidikan
agama dan kewarganegaraan.
2. Pengembangan
sosial dan emosi melalui pendidikan sosial dan pelatihan kematangan emosi.
3.
Pengembangan kemampuan dasar melalui pendidikan bahasa, kognisi,
dan fisik.
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki dasar-dasar
karakter, kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan yang memadai untuk
mengembangkan potensi diri secara optimal, sehingga lulusan memiliki ketahanan
dan keberhasilan dalam pendidikan lanjutan, serta kehidupan yang selalu berubah
sesuai dengan perkembangan zaman.
Sekolah Menengah.
Sekolah menengah bersifat umum yang terdiri dari Sekolah
Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) atau Madrasah Aliyah (MA). Penyelenggaraan sekolah menengah ditujukan
untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan, dan keterampilan
yang kuat untuk mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial,
budaya, dan alam sekitar, serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam
dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut. Pendidikan nasional menerapkan
kurikulum yang diberi Nama Kurikulum Berbasis Kompetensi yang memberikan
dasar-dasar pengetahuan, kete-rampilan, dan pengalaman belajar yang membangun
integritas sosial, serta mewujudkan karakter nasional. Kurikulum ini
dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam
perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumit-an-kerumitan hidup.
Lingkungan
Masyarakat
Secara umum masyarakat adalah sekumpulan manusia laki-laki dan perempuan
yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi dengan
sesama untuk mencapai tujuan. Anggota masyarakat terdiri dari berbagai ragam
pendidikan, profesi, keahlian, suku bangsa, kebudayaan, agama, maupun lapisan
sosial sehingga menjadi masyarakat yang majemuk. Secara tidak langsung, setiap
anggota masyarakat telah mengadakan kerjasama dan saling memengaruhi untuk
memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.
Dalam konsep pendidikan, masyarakat diartikan sebagai sekumpulan
orang dengan berbagai ragam kualitas diri dari yang tidak berpendidikan sampai
yang berpendidikan tinggi. Baik-buruknya kualitas masyarakat ditentukan oleh
kualitas pendidikan anggotanya, sehingga semakin baik pendidikan anggotanya,
semakin baik pula kualitas masyarakat secara keseluruhan. Ditinjau dari
lingkungan pendidikan, masyarakat disebut sebagai lingkungan pendidikan
nonformal yang memberikan pendidikan secara sengaja dan berencana kepada
seluruh anggotanya, tetapi tidak sistematis. Masyarakat menerima semua anggota
yang beragam untuk diarahkan menjadi anggota yang sejalan dengan tujuan
masyarakat itu sendiri yang berorientasi pada pencapaian kesejahteraan sosial,
jasmani-ruhani, dan juga mental-spiritual.
Pendidik di masyarakat adalah orang dewasa laki-laki dan
perempuan yang bertanggung jawab terhadap pendewasaan warga lainnya (baca:
perangkat desa, tokoh informal, lembaga swadaya masyarakat) melalui sosialisasi
lanjutan. Dasar pendidikannya diberikan oleh keluarga dan sekolah. Selanjutnya,
masyarakat memberikan pendidikan dalam lingkup yang lebih luas, termasuk di
dalamnya pemahaman terhadap etika dan Norma masyarakat tempat peserta didik
bergaul dan berinteraksi. Melalui sosialisasi lanjutan, diharapkan peserta
didik yang telah menjadi warga dapat melaksanakan fungsinya sebagai anggota
masyarakat yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
Secara fungsional dan struktural anggota masyarakat bertanggung
jawab terhadap perilaku warga di lingkungan masing-masing. Secara konsepsional,
tanggung jawab pendidikan yang dibebankan kepada mereka berupa pengawasan,
penyaluran, pembinaan, dan peningkatan kualitas anggotanya. Pengawasan
merupakan tugas untuk mengawasi jalannya nilai sosial budaya, aturan sosial,
dan aturan agama. Penyaluran merupakan tugas menyalurkan aspirasi dan keinginan
masyarakat untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera, aman, serta berintegrasi
dengan kebijakan pemerintah. Disisi lain maksud pembinaan dan peningkatan
kualitas adalah membina dan meningkatkan kualitas kehidupan warga dengan
mengadakan kegiatan yang dapat menunjang terwujudnya keluarga bahagia.
B.
Fungsi dan Tujuan Pendidikan
Fungsi
Pendidikan
Pendidikan sebagai sebuah aktivitas tidak lepas dari fungsi dan
tujuan. Fungsi utama pendidikan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian
serta peradaban yang bermartabat dalam hidup dan kehidupan atau dengan kata
lain pendidikan berfungsi memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang benar
sesuai dengan Norma yang dijadikan landasannya.
Tujuan
Pendidikan
Setiap kegiatan, apapun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak
sadar, selalu dihadapkan pada tujuan yang ingin dicapai. Bagaimanapun, segala
usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian,
tujuan merupakan faktor yang sangat penting dalam setiap kegiatan, termasuk
kegiatan pendidikan. Cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai harus dinyatakan
secara jelas sehingga semua pelaksanadan sasaran pendidikan memahami atau mengetahui
suatu proses kegiatan seperti pendidikan, bila tidak mempunyai tujuan yang
jelas untuk dicapai, maka prosesnya menjadi kabur. Tentang tujuan pendidikan,
Langeveld membedakannya menjadi enam tujuan pendidikan.
Tujuan
umum
Tujuan umum adalah tujuan yang dicapai di akhir proses
pendidikan, yaitu tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani anak didik. Maksud kedewasaan
jasmani adalah jika pertumbuhan jasmani sudah mencapai batas pertumbuhan
maksimal, maka pertumbuhan jasmani tidak berlangsung lagi. Kedewasaan ruhani
adalah peserta didik sudah mampu menolong dirinya sendiri, mampu berdiri
sendiri, dan mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya.
Tujuan
khusus
Tujuan khusus adalah tujuan tertentu yang hendak dicapai
berdasar usia, jenis kelamin, sifat, bakat, inteligensi, lingkungan
sosial-budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan syarat pekerjaan, dan
sebagainya.
Tujuan tidak lengkap
Tujuan tidak lengkap adalah tujuan yang me-nyangkut sebagian
aspek manusia, misalnya tujuan khusus pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan
yang lainnya. Jadi tujuan tidak lengkap ini bagian dari tujuan umum yang
melengkapi perkembangan seluruh aspek keperibadian.
Tujuan
sementara
Proses untuk mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara
sekaligus, karenanya perlu ditempuh setingkat demi setingkat. Tingkatan demi
tingkatan diupayakan untuk mencaai tujuan akhir itulah yang dimaksud tujuan
sementara contohnya anak menyelesaikan pendidikan dijenjang pendidikan dasar merupakan
tujuan sementara untuk selanjutnya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
seperti sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Tujuan
intermedier
Tujuan intermedier adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya
yang pokok. Misalnya, anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar
kelak mempunyai rasa tanggung jawab.
Tujuan
insidental
Tujuan
insidental adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, yang sifatnya
seketika dan spontan. Misalnya, orangtua menegur anaknya agar berbicara sopan. Menurut
Bloom (Suwarno, 2006), tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga; (1) Domain
kognitif Domain Kognitif meliputi kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat tercapai
setelah dilakukannya proses belajar-mengajar. Kemampuan tersebut meliputi
pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam
kemampuan tersebut bersifat hierarkis. Artinya, untuk mencapai semuanya harus
sudah memiliki kemampuan sebelumnya; (2) Domain afektif Domain afektif berupa
kemampuan untuk menerima, men-jawab, menilai, membentuk, dan mengarakterisasi;
dan (3) Domain psikomotor Terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan, dan
respons terpimpin[10]
Daftar
Pustaka
Arifin, M. dan Aminuddin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan.
Jakarta: Dirjen Binbagais, Depag RI.
Arikunto, Suharsini. 1997. Dasar-dasar Evaluasi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Barnadib, Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan
Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Barnadib, Sutari Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan
Sistematis. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Dewantara, Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama Pendidikan.
Yogyakarta: MLTS.
Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama
Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal
Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Soedomo. 1990. Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan dalam Pembangunan
Nasional. Teks Pidato Pengukuhan Pendidik Guru Besar. Malang: IKIP MALANG.
Suwarno,
Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
UU No.2
tahun 1989 tentang Sistem pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
UU No.
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas.
Pertemuan Kelima
URAIAN MATERI: LANDASAN-LANDASAN PENDIDIKAN
Pendahuluah
Landasan-landasan pendidikan sangat penting untuk mengembangkan pendidikan
yang bermartabat bagi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
memahami dan mengaktualisasikan landasan-landasan itu, manusia memiliki harkat
dan martabat sangat mulia dibanding dengan hewan dan tumbuhan bahkan malaikat
sekalipun, sebab manusia diberi keunggulan oleh Allah subhanahu wata’ala (SWT)
berupa hati nurani dan akal pikiran.
A.
Landasan Agama (Religius)
Landasan agama merupakan landasan yang paling mendasari dari
landasanlandasan pendidikan, sebab landasan agama merupakan landasan yang diciptakan
oleh Allah SWT, yakni Tuhan yang Maha Kuasa. Landasan agama itu berupa firman
Allah SWT dalam kitab suci Al Qur’an dan Al Hadits berupa risalah (tuntunan)
yang dibawakan oleh Rasulullah (utusan Allah) yakni Nabi Muhammad Salallahu
‘alaihi wassalam (SAW) untuk umat manusia, berisi tentang tuntunan-tuntunan
atau pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia
maupun di akherat nanti, serta merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Dalam Al Qur’an dan Al Hadits dijelaskan bahwa pendidikan
memiliki kedudukan yang sangat mulia. Terdapat banyak ayat Al Qur’an yang
memiliki makna substantif tentang pendidikan. Seperti pada Surat Al Alaq ayat
1-5 yang merupakan surah pertama diturunkan dalam Al Qur’an. (1) Bacalah dengan
menyebut Nama Tuhanmu Yang menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. (4) Yang
mengajar manusia dengan perantara kalam. (5) “Dia mengajarkan kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.[11]
Demikian pula pada Al Quran Surat Al Mujadalah ayat 11, Allah
mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orangorang yang diberi
ilmu pengetahuan, beberapa derajat. Terdapat dalam Hadits Nabi Muhammad SAW,
artinya demikian: Carilah ilmu mulai dari buaihan sang Ibu sampai keliang lahat
(meninggal). Demikian pula, Hadits Nabi tentang kewajiban mencari ilmu: Mencari
ilmu diwajibkan bagi kaum muslim laki-laki dan perempuan (HR. Bukhori Muslim). Agar
manusia tidak tersesat, terutama bagi orang-orang yang beriman. Nabi Muhammad
SAW berpesan melalui Hadits yang artinya, Telah aku tinggalkan dua perkara yang
apabila engkau memegang teguh keduanya, engkau tidak akan tersesat, kedua
perkara itu adalah Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Nabi (Al Hadits).
Pada Landasan Agama terdapat pula tuntunan untuk mencapai
kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat, sebagaimana pada Hadits Nabi
Muhammad SAW, artinya; Barang siapa menginginkan kebahagiaan dunia, maka dengan
ilmu. Dan barang siapa menginginkan kebahagiaan akherat, maka dengan ilmu. Dan barang
siapa menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akherat), maka dengan ilmu.
B.
Landasan Filosofi
Filsafat telah ada sejak manusia itu ada[12].
Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat sudah memiliki
gambaran dan cita-cita yang mereka kejar dalam hidupnya, baik secara individu
maupun secara kelompok. Gambaran dan cita-cita itu makin lama makin berkembang sesuai
dengan perkembangan budaya mereka. Gambaran dan cita-cita itu yang mendasari
adat istiadat suatu suku atau bangsa, serta Norma dan hokum yang berlaku dalam
masyarakat. Demikan pula pendidikan yang berlangsung di suatu suku atau bangsa
tidak terlepas dari gambaran dan cita-cita. Hal ini yang memotivasi masyarakat
untuk menekankan aspek-aspek tertentu pada pendidikan agar dapat memenuhi
gambaran dan cita-cita mereka.
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara
mendalam sampai akar-akarnya memengenai pendidikan.[13]
Terdapat sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia.
Namun demikian semua filsafat pendidikan itu sebagai dasar pendidikan menjawab tiga
pertanyaan pokok, yakni:
1.
Apakah pendidikan itu?
2.
Apa yang hendak dicapai oleh pendidikan?
3.
Bagaimana metode terbaik merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan
itu?
Adapun
masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci sebagai berikut;
Pertanyaan-pertanyaan
berikut berhubungan dengan hakikat pendidikan.
1.
Bagaimana sifat pendidikan itu?
2. Apakah
pendidikan itu merupakan sosialisasi?
3. Apakah
pendidikan itu sebagai pengembangan individu?
4. Bagaimana
mendefinisikan pendidikan itu?
5. Apakah
pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan anak?
6. Apakah
pendidikan itu mengisi perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa?
7.
Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan
praktek?
Pertanyaan herhubungan
dengan yang hendak dicapai oleh pendidikan.
1.
Apakah peserta didik diperbolehkan berkembang bebas?
2.
Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu?
3.
Bagaimanakah sifat manusia itu?
4.
Dapatkan manusia diperbaiki?
5.
Apakah setiap manusia itu seragam atau unik?
6.
Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era
globalisasi ini?
7.
Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianaut pada
perkembangan manusia?
Pertanyaan
yang berkaitan dengan metode terbaik merealisasikan tujuan pendidikan.
1.
Apakah pendidikan harus berpusat pada mata pelajaran atau pada
peserta didik?
2.
Apakah kurikulum ditentukan lebih dahulu atau berupa pilihan
bebas?
3.
Ataukah peserta didik menentukan kurikulumnya sendiri?
4.
Apakah lembaga pendidikan permanen atau bersifat tentatif?
5.
Apakah proses pendidikan berbaur pada masyarakat yang sedang berubah
cepat?
C.
Landasan Hukum (Yuridis)
Tiap-tiap negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri.
Semua tindakan yang dilakukan di negara itu didasarkan pada perundang-undangan tersebut.
Apabila terdapat suatu tindakan yang bertentangan dengan perundangan itu,
dikatakan tindakan itu melanggar hukum. Negara Republik Indonesia mempunyai
berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari Undang-Undang
Dasar 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, ketetapan sampai dengan surat
keputusan. Semuanya mengandung hukum yang patut ditaati. Landasan dalam hukum
berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Landasan hukum seorang guru
boleh mengajar misalnya adalah adanya surat keputusan tentang pengangkatannya
sebagai guru. Yang melandasi atau mendasari guru menjadi guru adalah surat
keputusan itu beserta hak-haknya. Pendidikan menurut UUD 1945 yakni terdapat
pada pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran. Ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan
undang-undang. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
D.
Landasan Psikologis
Psikologi merupakan ilmu jiwa, yakni ilmu yang mempelajari
tentang jiwa manusia. Jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali
kehidupan manausia, yang selalu berada dan melekat pada manusia itu sendiri. Jiwa
manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, jiwa balita baru
berkembang sediit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan
sederhana sekali. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya, dengan
melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasaan baik dari
segi kejiwaan (psikis) maupun dari segi jasmani. Berdasarkan uraian di atas
dapat dipahami bahwa landasan psikologis pendidikan harus mempertimbangkan
aspek psikologis peserta didik, peserta didik harus dipandang sebagai subjek
pendidikan yang berkembang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
mereka. Pendidikan harus akomodatif terhadap tingkat perkembangan dan
pertumbuhan mereka.
E.
Landasan Sejarah
Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian
atau kegiatan yang dapat didasari oleh konsep konsep tertentu. Sejarah mencakup
segala kejadian dalam alam ini, termasuk hal hal yang dikembangkan oleh budi
daya manusia. Sejarah penuh dengan informasi informasi yang mengandung
kejadiankejadian, model-model, konsep-konsep, teori-teori, praktik-praktik,
moral, cita-cita, bentuk, dan sebagainya. Informasi informasi yang lampau ini terutama
yang bersifat kebudayaan pada umumnya berisi konsep, praktek, dan hasil yang
diperoleh. Sejarah tentang masjid Ampel Surabaya, misalnya, mengandung konsep tentang
tekinik membuat masjid itu serta tujuan yang ingin dicapai, proses pembuatannya,
dan hasil yang diperoleh yang bisa dinikmati sampai saat ini. Informasi-informasi
tersebut merupakan warisan generasi muda dari generasi pendahulunya yang tidak
ternilai harganya. Generasi muda banyak belajar dari informasi ini. Belajar
dalam arti memanfaatkan informasi ini dalam upaya memajukan. Belajar bukan
hanya menerima dan bertahan dalam kebudayaan itu, melainkan kebudayaan itu dijadikan
landasan dan bahan perbandingan untuk maju.
Setiap bidang kegiatan yang dikejar oleh manusia untuk maju,
pada umumnya dikaitkan juga dengan bagaimana keadaan bidang itu pada masa yang
lampau. Apakah bidang itu dahulu sudah baik atau maju, apakah bidang itu sudah
lama dilakukan tetapi hasilnya belum memuaskan, bagaimana konsep dan praktiknya?
Jawaban dari pertanyaan pertanyaan tersebut memberi dasar orang orang
bersangkutan untuk bertindak lebih lanjut dalam bidang itu. Demikian juga dalam
bidang pendidikan, para ahli pendidikan sebelum menangani bidang itu, terlebih
dahulu mereka memeriksa sejarah tentang pendidikan baik yang bersifat nasional
maupun yang internasional.
F.
Landasan Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat
dengan kehidupan sehari hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas
dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian terbesar dari kegiatan manusia dilakukan
secara kelompok. Kegiatan di rumah, di kantor, di perusahaan, di perkebunan, di
bengkel, dan sebagainya, hampir semuanya dilakukan oleh lebih dari seorang. Ini
berani unsur sosial ada pada kegiatan-kegiatan itu. Selanjutnya tentang yang
dilakukan dan teknik mengadakannya serta bentuk yang diinginkan adalah
merupakan unsur dari suatu budaya. Membenahi kebun di rumah misalnya, dilakukan
bertujuan agar kebun itu bersih dan indah, ini merupakan suatu budaya. Alat
untuk mengajarkan dan teknik mengerjakan dengan baik juga merupakan suatu
budaya.
Sosial mengacu kepada hubungan antarindividu, antarmasyarakat,
dan individu dengan masyarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara
alami, artinya aspek itu telah ada sejak manusia dilahirkan. Karena itu aspek
sosial melekat pada individu-individu yang perlu dikembangkan dalam perjalanan
hidup peserta didik agar menjadi matang. Di samping tugas pendidikan
mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu
anak dalam upaya mengembangkan dirinya. Maka segi sosial ini perlu diperhatikan
dalam proses pendidikan.
Aspek budaya sangat berperan dalain proses pendidikan. Dapat
dikatakan tidak ada pendidikan yang tidak dimasuki unsur budaya. Materi yang
dipelajari anak anak adalah budaya, tehnik belajar mereka adalah budaya, begitu
pula kegiatan-kegiatan mereka juga budaya. Dengan demikian budaya tidak pernah lepas
dari proses pendidikan itu sendiri. Bahasan landasan sosial budaya dalam
pendidikan diuraikan secara berturutturut, (1) sosiologi dan pendidikan, (2)
kebudayaan dan pendidikan, (3) masyarakat dan sekolah, (4) masyarakat Indonesia
dan pendidikan, dan (5) dampak konsep pendidikan.
G.
Landasan Sosiologi
Ada sejumlah definisi tentang sosiologi, namun walaupun
berbeda-beda bentuk kalimatnya, semuanya memiliki makna yang mirip. Pidarta menyatakan
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok-kelompok dan struktur sosialnya.[14] Jadi
sosiologi mempelajari manusia berhubungan satu dengan yang lain dalam
kelompoknya dan susunan unit-unit masyarakat atau social di suatu wilayah serta
kaitannya satu dengan yang lain.
Sosiologi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (1) Empiris,
merupakan ide utama sosiologi sebagai ilmu. Sosiologi bersumber dan diciptakan
dari kenyataan yang terjadi di masyarakat; (2) Teoretis, merupakan peningkatan
fase penciptaan tadi yang menjadi salah satu bentuk budaya yang bisa disimpan
dalam waktu lama dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya; (3) Komulatif,
sebagai akibat dari penciptaan terus menerus sebagai konsekuensi dari
terjadinya perubahan di masyarakat, yang membuat teori-teori itu berakumulasi
mengarah kepada teori yang lebih baik; dan (4) Non etis, karena teori itu
menceritakan tentang masyarakat beserta individu-individu di dalamnya, tidak
menilai apakah hal itu baik atau buruk.
Sejalan dengan lahirnya pemikiran tentang pendidikan
kemasyarakatan, pada abad ke-20 sosiologi memegang peranan penting dalam dunia
pendidikan. Pendidikan yang diinginkan oleh aliran kemasyarakatan ini ialah
proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam
pergaulan manusia. Perwujudan cita-cita pendidikan sangat membutuhkan bantuan
sosiologi. Konsep atau teori sosiologi memberi petunjuk kepada guru-guru
tentang bagaimana seharusnya mereka membina para siswa agar mereka bisa
memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab sesama teman.
Para guru dan pendidik lainnya menerapkan konsep sosiologi di lembaga
pendidikan masing masing.
Salah satu bagian sosiologi yang dapat dipandang sebagai
sosiologi khusus adalah sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan ini membabas
sosiologi yang terdapat pada pendidikan. Sosiologi dan sosiologi pendidikan
saling terkait. Mari kita lihat bagaimana bagian-bagian sosiologi memberi
bantuan kepada pendidikan dalam wujud sosiologi pendidikan. Pertama-tama adalah
tentang konsep proses sosial, yaitu suatu bentuk hubungan antar-individu atau antarkelompok
atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Proses
sosial menjadikan seseorang atau kelompok yang belum tersosialisasi atau masih
rendah tingkat sosialnya menjadi tersosialisasi atau sosialisasinya semakin
meningkat. Mereka semakin kenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih
percaya pada pihak lain.
H.
Landasan Ekonomi
Pada zaman modern atau globalisasi sekarang ini, yang sebagian
besar manusianya cenderung mengutamakan kesejahteraan materi disbanding kesejahteraan
rohani, membuat ekonomi mendapat perhatian yang sangat besar. Tidak banyak
orang mementingkan peningkatan spiritual. Sebagian terbesar dari mereka ingin
hidup enak dalam arti jasmaniah. Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi oleh
perkembangan budaya, terutama dalam bidang teknologi, kesenian, dan pariwisata.
Berbagai produk baru yang semakin canggih ditawarkan, berbagai perlengkapan
hidup dengan model dan desain yang semakin menarik dipajang di toko-toko, dan
para pemandu wisata menarik wisatawan berkunjung ke daerah-daerah wisatanya yang
menjanjikan kekaguman. Situasi seperti ini membuat orang-orang berusaha
mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk memenuhi seleranya.
Di samping pemenuhan selera tersebut, manusia pada umumnya tidak
bisa bebas dari kebutuhan ekonomi. Sebab kebutuhan dasar manusia membutuhkan
ekonomi. Ini berarti orang tidak mampu pun memerlukan uang untuk mengisi
perutnya dan sekedar berteduh di waktu malam. Dengan demikian pembahasan
tentang ekonomi tidak hanya menyangkut orang orang kaya, melainkan untuk semua
orang, termasuk orang dan dunia pendidikan yang ditekuninya. Dunia sekarang
tidak hanya disibukkan oleh masalah masalah politik yang membuat banyak
pertentangan, melainkan juga masalah ekonomi atau perdagangan. Malah ada yang
mengatakan sesudah perang dingin berakhir, kini diikuti oleh perang ekonomi.
Tiap-tiap negara berusaha meningkatkan perekonomiannya. Berbagai system mereka
lakukan termasuk membentuk organisasi atau blok-blok ekonomi.
Bidang ekonomi memunculkan berbagai usaha baru, pabrik-pabrik
baru, industri-industri baru, badan-badan perdagangan baru, dan badan-badan
jasa yang baru pula. Jumlah konglomerat bertambah banyak, walaupun orang orang
miskin masib tetap ada. Pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi, dan penghasilan
negara bertambah, walaupun hutang luar negeri cukup besar dan penghasilan
rakyat kecil masih minim.
Perkembangan ekonomi makro berpengaruh pula dalam bidang
pendidikan. Sudah banyak orang kaya bersedia secara sukarela menjadi bapak
angkat agar anak anak dari orang tidak mampu bisa bersekolah. Sikap dan
tindakan seperti ini sangat terpuji, bukan hanya karena bersifat
peri-kemanusiaan, melainkan juga dalam upaya membantu menyukseskan wajib
belajar 12 tahun. Mereka telah menyisihkan sebagian dari rejekinya untuk
beramal bagi yang memerlukan. Hal ini merupakan bagian dari pengaruh
pendidikan. Tindakan seperti ini patut dicontoh oleh mereka yang kaya yang
belum menjadi bapak angkat.
I.
Landasan Ilmiah dan Teknologi (IPTEK)
Tirtarahardja menyatakan bahwa pendidikan serta ilmu pengetahuan
dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama dalam
isi pembelajaran.[15] Pendidikan
berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Iptek merupakan
salah satu hasil dari usaha manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pada
sisi lain, pada setiap perkembangan iptek harus sering diakomodasi oleh
pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek itu ke dalam
bahan ajar.
Dengan perkembangan IPTEK dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks
maka pendidikan dengan segala aspeknya mau tak mau mengakomodasi perkembangan
itu, baik perkembangan iptek maupun perkembangan masyarakat. Konsekuensi
perkembangan pendidikan itu menyebabkan penataan kelembagaan, pemantapan
struktur organisasi dan mekanisme kerja serta pemantapan pengelolaan dan lain
sebagainya haruslah dilakuan dengan memanfaatkan IPTEK itu. Karena kebutuhan
pendidikan yang sangat mendesak maka banyak teknologi dari berbagai bidang ilmu
segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan itu
segara dimanfaat oleh penyelenggara pendidikan.
Daftar
Pustaka
Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta:
Departemen Agama RI. Hadits Bukhari Muslim (Kumpulan Hadits)
Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Suwarno, W. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR-
Ruzz Media.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar
Kependidikan Islam. Surabaya: Karya Abditama.
Tirtarahardja, U dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pertemuan Keenam
URAIAN MATERI: AZAS-AZAS
PENDIDIKAN
Pendahuluan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar
atau tumpuan berpikir baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan.
Terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan
pendidikan itu. Asas-asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum
pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman
sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia.[16]
A. Asas
Tut Wuri Handayani
Tirtaraharja dan La Sulo (2005) menyatakan asas tut wuri
handayani pada awalnya merupakan salah satu dari Asas 1922 yakni tujuh buah
asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922.
Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sistem among dan perguruan
itu. Asas ataupun semboyan tut wuri handayani yang disampaikan oleh Ki Hadjar
Dewantara mendapat tanggapan positif dari Drs. R.M.P Sastrokartono dengan
menambahkan dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan
Ing Madya Mangun Karsa.
Ketiga semboyan tersebut telah menjadi satu kesatuan asas,
yakni: (1) Ing ngarsa sung tulada (Jika di depan, menjadi contoh); (2) Ing
madya mangun karsa (Jika di tengah tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau
motivasi); dan (3) Tut wuri handayani (Jika di belakang, mengikuti dengan
awas). Asas tut wuri handayani merupakan konseptualisasi konsep tujuh Asas. Perguruan
Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1922 yang merupakan asas
perjuangan untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda.
Ketujuh Asas tersebut secara singkat disebut Asas 1922 adalah
sebagai berikut; (1) Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya
sendiri dengan mengingat persatuan dalam perikehidupan umum; (2) Bahwa
pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang lahir dan batin dapat
memerdekakan diri; (3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan
kebangsaan sendiri; (4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat
menjangkau kepada seluruh rakyat; (5) Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup
yang sepenuh penuhnya lahir maupun batin hendaklah diusakakan dengan kekuatan
sendiri, dan menolak bantuan apapun dan dari siapa pun yang mengikat baik
berupa ikatan lahir maupun ikatan batin; (6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup
dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang
dilakukan; dan (7) Bahwa dalam mendidik anak anak perlu adanya keihlasan lahir
dan batin untuk pengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan
anak anak.
B. Asas
Belajar Sepanjang Hayat
UNESCO menetapkan definisi kerja pendidikan seumur hidup sebagai
konsep bahwa pendidikan harus menetapkan beberapa hal sebagai berikut; (1) Meliputi
seluruh hidup setiap individu; (2) Mengarah kepada pembentukan, pembaruan,
peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang dapat meningkatkan kondisi bidupnya; (3) Tujuan akhirnya adalah
mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu; (4) Meningkatkan
kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri; (5) Mengakui kontribusi dari
semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non
formal dan informal (Lipu La Sulo, 1990). Istilah ‘pendidikan seumur hidup’
berkaitan erat dan, kadang kadang digunakan saling bergantian dengan makna seragam
dengan istilah belajar sepanjang hayat. Kedua istilah ini memang tak dapat
dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Seperti diketahui, penekanan istilah
‘belajar’ adalah perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif
tetap karena pengaruh pengalaman, sedang isalah ‘pendidikan’ menekankan pada usaha
sadar dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan
pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien dan efektif.[17] Dalam
asas pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah mengemban dua
misi yakni; memberikan pembelajaran kepada peserta didik dengan efisien dan
efektif dan meningkatkan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar
sepanjang hayat. Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang
hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi
sebagai berikut; (6) Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi:
keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk
relevansi bahan ajar dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan
nyata ke dalam kurikulum. Kurikulum dan perubahan sosial kebudayaan, kurikulum seyogyanya
memungkinkan antisipasi terhadap perubahan social kebudayaan. The forecasting
curriculum yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis, baik
tentang perilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup
didalam sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat hidup dalam sistem yang
telah berubah di masa depan. Keterpaduan bahan ajar dan pengorganisasian pengetahuan,
terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari
dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi
itu. Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri
maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya
sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya. Pengintegrasian dengan
pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga
untuk pendidikan dasar dan demikian seterusnya. Untuk mempertahankan motivasi
belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan yang
didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang
terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan
sebagainya; dan (7) Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan
antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah, yaitu: kurikulum
sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi
objek refleksi teoretis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta
didik lebih memahami persoalan persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.
Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah: kehidupan di luar sekolah
dijadikan tempat kajian empiris, sehingga kegiatan belajar mengajar terjadi di
dalam dan di luar sekolah. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan
belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah
maupun dalam kegiatan belajar di luar sekolah. Perancangan dan implementasi
kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu mendekatkan peserta didik dengan
berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan
menggunakan sumber sumber belajar yang tersedia itu memberi peluang terwujudnya
belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang memiliki semangat belajar
sepanjang hayat menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society).
C. Asas
Kemandirian dalam Belajar
Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat
secara langsung berkaitan dengan Asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani
pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk
mandiri dalam belajar. Asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan
apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam
belajar. Perwujudan Asas kemandirian dalam belajar menempatkan guru, dalam peran
utama sebagai fasilitator dan motivator di samping peran-peran lain seperti
Informator, organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan
menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar, sehingga memudahkan peserta
didik untuk berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Di sisi lain sebagai
motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk
memanfaatkan sumber belajar.
Pengembangan kemandirian dalam belajar seyogianya dimulai dalam
kegiatan intrakurikuler selanjutnya dalam kegiatan kokurikuler dan ekstra
kurikuler dalam bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri.
Daftar
Pustaka
Ihsan, Fuad. 1997. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ngalim, Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR-
Ruzz Media.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-dasar Kependidikan
Islam. Surabaya: Karya Abditama.
Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta
Pertemuan
Ketujuh
URAIAN MATERI: ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
A.
Aliran Empirisme
Aliran empirisme yang dipelopori oleh John Locke, filosof Inggris
yang hidup pada tahun 1632-1704 teorinya dikenal dengan Tabula rasa (meja
lilin), yang menyebutkan anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang
bersih yang belum ditulisi. Teori ini secara jelas mengatakan anak sejak lahir
tidak mempunyai bakat dan kemampuan.[18] Oleh
karena itu, orang tua tidak banyak berpengaruh terhadap perkembangan anak
laki-laki dan perempuan, menurutnya, pengalaman empiris yang dapat membentuk
kemampuan anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya).
Menurut aliran ini, pendidik berfungsi sebagai faktor luar yang
memegang peranan penting dalam membentuk peserta didik, oleh karena itu menurut aliran ini pendidik harus
menyediakan lingkungan pedidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan
sebagai pengalaman sehingga pengalaman yang diperoleh anak tersebut akan
membentuk tingkah laku, sikap, serta watak sesuai tujuan pendidikan yang
diharapkan. Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman,
sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal,
ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Empirisme berasal dari kata empiris yang artinya pengalaman.
Tokoh aliran ini ialah John Locke yang mengatakan bahwa jika seorang anak itu
seperti kertas putih yang dapat ditulisi menurut kehendak yang menulis. Aliran
empirisme mengatakan bahwa pembawaan itu tidak ada. Yang dimiliki orang adalah akibat
pendidikan, baik sifat yang baik maupun yang jelek[19]. Aliran
empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman
yang diperoleh dari lingkungan, sedangkan kemampuan dasar yang dibawa sejak
lahir dianggap tidak menentukan. Menurut kenyataan dalam kehidupan sehari–hari
terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya
tidak mendukung.
Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal
dari dalam diri yang berupa kecerdasan dan kemauan keras, anak berusaha
mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah
ada dalam dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada
pendapatpendapat yang memandang manusia sebagai mahluk yang pasif dan dapat dimanipulasi,
umpama melalui modifikasi tingkah laku.
Aliran empirisme mengatakan bahwa pembawaan itu tidak ada, yang
dimiliki anak adalah akibat pendidikan baik sifat yang baik maupun sifat yang
jelek, jadi perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali ditentukan
oleh lingkungan atau dengan pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil,
sehingga manusia dapat menjadi apa saja atau menurut kehendak lingkungan atau
pendidiknya.
B.
Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer seorang Filosof
Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh faktor–faktor yang dibawa sejak lahir. Faktor
lingkungan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak laki-laki dan
perempuan.
Nativisme berpendapat jika anak memiliki bakat jahat dari lahir nantinya
menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka nanti menjadi
baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak berguna
bagi perkembangan anak itu sendiri. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan
ditentukan olah anak didik sendiri. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa
kalau anak mempunyai pembawaan jahat, dia menjadi jahat, sebaliknya, kalau anak
membawa pembawaan baik, dia menjadi orang baik. Pembawaan buruk dan baik tidak
diubah dari kekuatan luar. Meskipun dalam kenyataan sehari-sehari, sering
ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi
bakat-bakat yang ada pada orang tuanya, tetapi pembawaan itu bukanlah
satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang bisa
mempengaruhi perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya. Kaum nativisme
mengatakan bahwa pendidikan tidak dapat mengubah sifat –sifat pembawaan. Jadi,
kalau benar pendapat tersebut percuma kita mendidik karena yang jahat tida menjadi
baik
C.
Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah
naturalisme yang dipelopori oleh J.J. Rousseau (1712-1778). Naturalime
mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan
baik, namun pembawaan tersebut menjadi rusak karena pengaruh lingkungan,
sehingga naturalisme sering disebut negativisme. Naturalisme memiliki prinsip
tentang proses pembelajaran. Arifin dan Amiruddin, anak didik belajar melalui pengalaman
sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan
pertumbuhan dan perkembangan di dalam diri secara alami. Pendidik hanya
menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai
fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong
keberaniaan anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap
kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik.Tanggung jawab
belajar tergantung pada diri anak didik sendiri. Program pendidikan di sekolah
harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar
yang berorientasi kepada pola belajar anak didik.[20]
D.
Aliran Konvergensi
Tokoh aliran konvergensi adalah Willian Stern. Seorang tokoh pendidikan
Jerman yang hidup tahun 1871-1939. Aliran konvergensi merupakan kompromi atau
kombinasi dari aliran nativisme dan empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa
anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan
perkembangan anak selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor
pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting. Bakat yang dibawa pada
waktu lahir tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan. Contoh,
hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata, adalah juga hasil
konvergensi. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan
pembawan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa
lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Inggris, atau bahasa
Makassar, dan lain-lain. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu
lingkungan seragam) untuk mempelajari Bahasa mungkin tidak seragam, disebabkan
oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan,
meskipun lingkungan kedua anak tersebut menggunakan bahasa seragam. William
Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan
lingkungan. Karena itu, teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen
artinya memusat ke satu titik).
Menurut teori konvergensi ada tiga prinsip: (1) pendidikan
mungkin untuk dilaksanakan, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang
diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik
dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik, dan (3) yang membatasi
hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Aliran konvergensi pada
umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh
kembang manusia. Meskipun demikian terdapat variasi pendapat tentang
faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu.
Variasi-variasi itu tercermin antara lain dalam perbedaan
pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia. Seperti
strategi disposisional/konstitusional, strategi phenomenologis/humanistik,
strategi behavioral, strategi psikodinamik/psiko-analitik, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dalam belajar mengajar, variasi pendapat itu telah
menyebabkan munculnya berbagai teori belajar dan atau teori/model mengajar. Jadi
tegasnya proses pendidikan adalah hasil kejasama dari faktor-faktor yang dibawa
ketika lahir dengan lingkungan.
E.
Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi
serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang
bersifat mengancam dirinya. Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai
akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai
kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan
kreatif yang didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan
memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara
teori mengerti karakter peserta didiknya. Peserta didik tidak hanya dipandang
sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam
tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani,
terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi
kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya, sehingga suasana belajar
timbul di dalam maupun di luar sekolah.
F.
Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang
epistemiolog Italia, dipandang sebagai cikal bakal lahirnya konstruktivisme,
dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan[21].
Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika diketahui. Hanya Tuhan yang dapat
mengetahui segala sesuatu karena Dia Pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya
dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat
menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari
subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori
perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan
interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Pengetahuan
merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah
proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan
yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru.[22] Piaget
juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses
dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan
data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah
penyesuaian kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan
akomodasi.[23]
Aliran Kontruktivisme ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak
diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri sesorang, melalui
pengalaman yang diterima lewat pencaindra, yaitu penglihatan, pendengaran,
peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya
transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang kepada orang lain, dengan
alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika
pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu sia-sia saja.
Sebaliknya, kondisi ini berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
Daftar Pustaka
Purwanto,
Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
Suwarno,
Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media
Tim
Pegembangan MKDK IKIP Semarang. 1994. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: IKIP
Semarang.
Umar,
T. dan S.La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf,
Syamsu. 2007. Paedagogik Pendidikan Dasar. Jakata: Sekolah Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Pertemuan Kedelapan
URAIAN MATERI: TEORI DAN PILAR PENDIDIKAN
A.
Teori-teori Pendidikan
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan
praktik-praktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses
belajar-mengajar, dan manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum dan
rencana pembelajaran disusun dengan mengacu pada teori pendidikan. Ada 4 (empat)
teori pendidikan, yaitu (1) pendidikan klasik, (2) pendidikan personal, (3) teknologi
pendidikan, dan (4) pendidikan interaksional.
Teori
Pendidikan Klasik (Classical Education)
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik,
seperti perenialisme, essensialisme, dan eksistensialisme, yang memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan
warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan
dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan
yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara
logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan
lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai
penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi
sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum
yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik
menggunakan ide-ide dan proses penelitian, melalui metode ekspositori dan
inkuiri.
Teori
Pendidikan Personal (Personalized Education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan
anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari
kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku
utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan
sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan
pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya Francis
Parker dan John Dewey- memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang
utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang
sesuai dengan minat dan kebutuhannya, direfleksikan terhadap masalah-masalah yang
muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, didapat memahami dan
menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi
dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan
kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantic berpangkal dari
pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap
individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan
ketulusan.
Teori pendidikan personal menjadi sumber bagi pengembangan model
kurikulum humanis, seperti model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran
diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses
aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih
menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).
Teknologi
Pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang
mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan
informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi
pendidikan, yang lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi
atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya
lama.
Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh
tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa objek dan
keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vokational. Isi
disusun dalam bentuk disain program atau disain pengajaran dan disampaikan
dengan menggunakan bantuan media elektronika, dan para peserta didik belajar secara
individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan
pola-pola kegiatan secara efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera
digunakan dalam masyarakat.
Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari
pada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber
untuk pengembangan model kurikulum, yaitu model kurikulum yang bertujuan
memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik. Pembelajaran
dilakukan melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun media
elektronik, sehingga pebelajar dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar
tertentu.
Teori
Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang
bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa
berinteraksi dan bekerjasama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah
satu bentuk kehidupan juga berintikan kerjasama dan interaksi. Dalam pendidikan
interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan
dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara
peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara
pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai
bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari
fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta
tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya
dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu
filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model
kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama
menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau
gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan untuk memecahkannya.
B.
Pilar-Pilar Pendidikan
Ada 5 (lima) pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang
dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan[24]
Learning to know
Learning
to know bukan sebatas proses belajar di mana pebelajar mengetahui dan
memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun
juga kemampuan untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang telah
diterimanya. Dengan learning to know,
kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa
berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara
transcendental, yaitu kemampuan
mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.[25]
Learning to do
Learning
to do merupakan konsekuensi dari learning
to know. Kelemahan model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan
adalah mengajarkan “omong” (baca: teori), dan kurang menuntun orang untuk berbuat
(praktik). Learning to do bukanlah
pembelajaran yang hanya menumbuhkembangkan kemampuan berbuat mekanis dan
keterampilan tanpa pemikiran; tetapi mendorong peserta didik agar terus belajar
bagaimana menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori atau konsep.[26]
Learning to be
Melengkapi learning to
know dan learning to do, Robinson
Crussoe berpendapat bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerja sama
atau dengan kata lain manusia saling tergantung dengan manusia lain. Manusia di
era sekarang ini bisa hanyut ditelan waktu jika tidak berpegang teguh pada jati
dirinya. Learning to be menuntun
peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya
dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil
belajarnya.[27]
Learning to live together
Learning
to live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi
manusia berpendidikan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan masyarakatnya
maupun bagi seluruh umat manusia. Kesempatan berinteraksi dengan berbagai
individu atau kelompok individu yang bervariasi membentuk kepribadian pebelajar
untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran
terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.[28]
Learning how to learn
Proses belajar tidak boleh berhenti begitu saja meskipun seorang
pebelajar telah menyelesaikan sekolahnya. Manusia hidup pada hakekatnya adalah berhadapan
dengan masalah. Setiap manusia dituntut untuk menyelesaikan masalah. Satu
masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab. Oleh karena itu, learning how to learn akan membawa
peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat
belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif dan efisien, dan
penuh percaya diri, karena masyarakat adalah learning society atau knowledge
society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan
penting adalah mereka yang mampu belajar terus- menerus. Learning how to learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran
dari model belajar menghafal menjadi model belajar mencari/ meneliti. Asumsi
yang digunakan dalam model belajar menghafal adalah pendidik tahu, peserta
didik tidak tahu.[29]
Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik
menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar menghafal ini adalah penerima
pelajaran, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya
serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar
mencari/meneliti, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidikan dituntut membimbing,
memotivasi, menfasilitasi, memprovokasi, dan menelusuri.
Daftar
Pustaka
Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.
Rosdakarya: Bandung.
Suryabrata, Sumardi. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media:
Jokjakarta.
Syamsu, Yusuf. 2007. Paedagogik Pendidikan Dasar. Sekolah
pascasarjana Universitas Indonesia: Jakarta.
Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang. 1994. Dasar-dasar
Pendidikan. IKIP Semarang.
Umar, T. dan S.La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Rineka
Cipta: Jakarta
Pertemuan Kesembilan
URAIAN MATERI: LINGKUNGAN PENDIDIKAN
A.
Pengertian Lingkungan Pendidikan.
Manusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan
melalui pengalaman. Pengalaman dapat terbangun melalui interaksi manusia dengan
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan meliputi kondisi
dan alam dunia yang dengan cara-cara tertentu mempengaruh tingkah laku,
pertumbuhan, perkembangan dan proses kehidupan.[30] Lingkungan
pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa benda
mati, makhluk hidup, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi termasuk kondisi
masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu.
Seperti lingkungan tempat pendidikan berlangsung dan lingkungan tempat anak bergaul.
Lingkungan ini kemudian secara khusus disebut sebagai lembaga
pendidikan sesuai dengan jenis dan tanggungjawab yang secara khusus menjadi
bagian dari karakter lembaga tersebut. Marimba menyebutkan pengertian lembaga
pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan lain
hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan pendidikan itu
bertugas memberi pendidikan kepada siterdidik.[31] Secara
umum fungsi lembaga pendidikan adalah menciptakan situasi yang memungkinkan proses
pendidikan dapat berlangsung, sesuai tugas yang dibebankan kepadanya. Karena
itu situasi lembaga pendidikan harus berbeda dengan situasi lembaga lain.[32]
Menurut Hasbullah (2003) lingkungan pendidikan mencakup: (1) Tempat
(lingkungan fisik), keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam; (2) Kebudayaan
(lingkungan budaya) denagan warisan budaya tertentu seperti bahasa, seni,
ekonomi, ilmu pengetahuan, pandangan hidup dan pandangan keagamaan; dan (3) Kelompok
hidup bersama (lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga, kelompok bermain,
desa perkumpulan dan lainnya.[33]
Lingkungan serta lembaga pendidikan bersifat positif bilamana
memberikan pengaruh sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan. Lingkungan
bersifat negatif bilamana berpengaruh secara kontradiktif dengan arah dan
tujuan pendidikan. Sebagai contoh mendidik agama dalam lingkungan masyarakat yang
agamis dengan kehidupan masyarakat yang taat menjalankan agama dengan sarana
peribadatan yang lengkap memberikan dukungan positif bagi pendidikan agama.
Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang penuh dengan kejahatan serta minimnya
sarana/pranata keagamaan menyebabkan anak terpengaruh dengan lingkungannya dan berbuat
seperti yang ada dalam lingkungannya.
Lingkungan pendidikan memiliki pengaruh yang berbeda-beda
terhadap peserta didik. Perbedaan pengaruh tersebut tergantung jenis lingkungan
pendidikan tempat peserta didik terlibat di dalamnya. Hal ini karena
masingmasing jenis lingkungan pendidikan memiliki situasi sosial yang
berbeda-beda. Situasi sosial yang dimaksud meliputi faktor perencanaan, sarana,
dan system pendidikan pada masing-masing jenis lingkungan. Intensitas pengaruh lingkungan
terhadap peserta didik tergantung sejauh mana anak dapat menyerap rangsangan
yang diberikan lingkungannya dan sejauh mana lingkungan mampu memahami dan
memberikan fasilitas terhadap kebutuhan pendidikan peserta didik.
B.
Fungsi Lingkungan Pendidikan
Fungsi pertama lingkungan pendidikan adalah membantu peserta
didik dalam beriteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya baik lingkungan
fisik, social dan budaya, terutama berbagai sumberdaya pendidikan yang tersedia
agar dapat dicapai tujuan pendididkan secara optimal. Penataan lingkungan pendidikan
ini terutana dimaksudkan agar proses pendidikan dapat berkembang efisien dan
efektif. Perkembangan manusia dari interaksinya dengan lingkungan sekitar berjalan
secara alamiah, tetapi perkembangan tersebut tidak sepenuhya sesuai dengan
tujuan pendidikan atau bahkan menyimpang darinya. Oleh karena itu, diperlukan
usaha sadar untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan sedemikian rupa agar
mempunyai orientasi pada tujuan-tujuan pendidikan.
Fungsi kedua lingkungan pendidikan adalah mengajarkan tingkah
laku umum dan untuk menyeleksi serta mempersiapkan peranan-peranan tertentu
dalam masyarakat. Hal ini karena masyarakat berfungsi dengan baik jika setiap individu
belajar berbagi hal, baik pola tingkah laku umum maupun peranan yang
berbeda-beda. Dalam menjalankan kedua fungsinya, lingkungan pendidikan haruslah
digambarkan sebagai kesatuan yang utuh di antara berbagai ragam bentuknya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan secara menyeluruh masing-masing
lingkungan mempunyai andil dalam mencapainya.[34]
C.
Ragam Bentuk Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah tempat seseorang memperoleh
pendidikan secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, lingkungan
pendidikan ada yang bersifat sosial dan material. Lingkungan pendidikan secara
garis besarnya oleh Ki Hajar Dewantoro dibagi menjadi tiga yang disebut dengan
Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, hal itu sejalan dengan
yang dinyatakan oleh Langeveld bahwa yang bertanggung jawab dalam pendidikan
adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat.[35]
Keluarga
Keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari
sejumlah keluarga kecil karena hubungan sedarah. Keluarga bisa berbentuk
keluarga inti (nucleus family: ayah, ibu, dan anak), ataupun keluarga yang
diperluas (di samping inti, ada orang lain seperti kakek, nenek, ipar dan lain
sebgainya). Pada umunya jenis kedualah yang banyak dijumpai di Indonesia.
Meskipun pada mulanya ibu yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak, namun
pada akhirnya anggota keluarga lainnya ikut mempengaruhi perkembangan anak. Di
samping faktor iklim sosial itu, faktor-aktor lain dalam keluarga juga ikut
mempengaruhi perkembangan anak seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan
perumahan dan lain sebagainya. Dengan demikian perkembangan anak dipengaruhi
oleh keseluruhan situasi dan kondisi keluarga.[36]
Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat yang
didalamnya hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya bersifat langsung.
Disitulah berkembang individu dan terbentuknya tahap-tahap awal proses
pemasyarakatan. Langgulung menyebutkan melalui interaksi keluarga diperoleh pengetahuan,
keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu
diperoleh ketenangan dan ketentraman.[37] Anak
dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga. Anak mendapatkan asuhan dan buaian
pertama kali oleh keluarga melalui ibu bapaknya. Sebelum diberbuat sesuatu
untuk kepentingan dirinya, bapak dan ibunya yang memberikan pemenuhan kebutuhan
anak seperti makan, kasih sayang, perlindungan sebagaimana yang anda rasakan
sewaktu masih kecil. Ibunya menyususuinya sewaktu masih kecil dan menyuapinya
sampai bisa makan sendiri. Kedua orang yang menuntunnya sampai menuju kedewasaan.
Mereka berdua yang mengajarnya, dari sekedar terlentang pada masa bayi sampai
bisa berjalan dan berlari pada masa selanjutnya. Mereka membimbing kemampuan
oralnya, sampai menjadi bahasa yang bisa dimengerti dan melatih anggota
badannya, sampai dapat mempergunakannya
untuk kepentingan yang diperlukan. Mereka berdua menunjukkan sesuatu dan lain
sebagainya dan menjawab pertanyaannya untuk menambah perbendaraan kosa kata-katanya
dan pengetahuannya.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan mempunyai peranan penting
dalam membentuk generasi muda. Keluarga disebut pula sebagai lembaga pendidikan
informal. Pendidikan informal, adalah kegiatan pendidikan yang tidak
diorganisasikan secara struktural dan tidak mengenal penjenjangan kronologis
menurut tingkatan umum maupun tingkatan ketrampilan dan pengetahuan.
Persyaratan credentials tidak dipakai
dan oleh karena itu tidak ada credentials yang dihakkan oleh penerima maupun
yang diwajibkan dari pemberi pendidikan.[38]
Keluarga secara etimologi menurut Ki Hajar Dewantara, seperti di
jelaskan oleh Abu Ahmadi adalah sebagai berikut: perkataan keluarga dikenal
sebagai rangkaian perkataan-perkataan kawula dan warga, maka kawula artinya abdi
yakni hamba sedangkan warga berarti anggota. Sebagai abdi dalam keluarga
wajiblah seseorang menyerahkan segala kepentingan kepada keluarganya.
Sebaliknya sebagai warga atau anggota berhak sepenuhnya ikut mengurus segala
kepentingan didalam keluarga.[39]
Keluarga menurut pandangan antropologi adalah kesatuan-kesatuan
kecil yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama yang sangat
erat. Orang tua ayah dan ibu- mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
mendidik anak-anaknya. Pada dasarnya kewajiban ayah memberikan perlindungan terhadap
semua anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis. Ibu adalah menjaga,
memeliharanya dengan mendidik dan merawat anak-anaknya. Deskripsi fungsi
keluarga sebagaimana disebutkan di atas berdasarkan fungsi kebiasaan yang
berlaku di negeri ini. Tetapi boleh jadi peran dan fungsi ayah dan ibu bisa
bergantian tergantung kepada situasi dan kondisi yang diperlukan. Secara
sosiologis keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa
individu yang terikat suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu dan anak
yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat terbentuk berdasarkan sukarela dan cinta
yang asasi antara dua subyek manusia (suami-istri). Berdasarkan asas cinta yang
asasi ini lahirlah anak sebagai generasi penerus.[40]
Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi individu berinteraksi.
Dari interaksi ini selanjutnya individu memperoleh unsur dan ciri dasar bagi pembentukan
kepribadiannya melalui akhlak, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan emosinya
untuk ditampakkan dalam sikap hidup dan tingkah laku.[41]
Interaksi yang terjadi dalam keluarga merupakan proses pendidikan yang
meneguhkan peran orang tua sebagai penanggung jawab atas proses tersebut. Orang
tua merupakan pendidik yang utama dan pertama bagi anak-anak mereka. Pendidikan
dalam keluarga terjadi sebagai berikut. Pada umumnya pendidikan dalam rumah
tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari
pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya
memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan
itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara
timbal balik antara orang tua dan anak.[42]
Motivasi pengabdian keluarga didasarkan pada cinta kasih yang
sangat natural, sehingga suasana pendidikan yang berlangsung di dalamnya berdasarkan
kepada suasana yang tanpa memikirkan hak. Secara natural, ayah dan ibu
terpanggil melakukan kewajiban mendidik anak-anaknya, meskipun tidak mempunyai
seperangkat kompetensi profesional layaknya seorang guru di sekolah, karena
kewajiban itu berjalan dengan sendirinya secara naluriah. Orang tua mempunyai
kapasitas keilmuan dan peradaban yang tinggi, sehingga orang dapat melakukan
kewajiban mendidik, terhadap anak-anaknya. Pendidikan dalam keluaraga ketika
fase kanak-kanak merupakan pendidikan yang paling baik untuk menanamakan
nilai-nilai. Teknik yang paling tepat dalam proses ini dengan imitasi atau
proses pembinaan anak secara tidak langsung melalui pola dan tingkah laku
seorang ayah dan ibu. Orang tua mendidik untuk memberikan pengetahuan kepada
anak-anaknya serta menanamkan sikap dan mengembangkan keterampilannya.
Memberikan contoh sebagai keluarga ideal dan bertanggung jawab dalam kehidupan
keluarga. Motivasi pengabdian keluarga (orang tua) semata-mata demi cinta kasih
yang kodrati. Di dalam suasana cinta dan kemesraan inilah proses pendidikan berlangsung
seumur anak dalam tanggungjawab keluarga.
Dasar-dasar tanggungjawab keluarga terhadap pendidikan anaknya
meliputi hal-hal berikut; (1) Dorongan/motivasi cinta kasih yang menjiwai
hubungan orang tua dengan anak. Cinta kasih ini mendorong sikap dan tindakan
rela menerima tanggungjawab, dan mengabdikan dirinya untuk sang anak; (2) Dorongan/motivasi
kewajiban moral, sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya.
Tanggung jawab moral ini meliputi nilainilai religius spiritual yang dijiwai
ketuhanan Yang Maha Esa dan agama masing-masing di samping didorong oleh
kesadaran memelihara martabat dan kehormatan keluarga; dan (3) Tanggungjawab
sosial sebagai bagian dari keluarga, yang pada gilirannya juga menjadi bagian
dari masyarakat, bangsa dan negaranya, bahkan kemanusiaan. Tanggungjawab sosial
ini merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang diikuti
oleh darah keturunan dan kesatuan keyakinan.[43]
Dasar pendidikan yang diberikan kepada anak dari orang tua
meliputi tujuh hal berikut; (1) Dasar pendidikan budi pekerti dengan memberikan
norma pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam pola yang masih sederhana;
(2) Dasar pendidikan sosial dengan melatih anak dengan tata cara bergaul dan
berkomunikasi yang baik terhadap lingkungan sosial sekitar; (3) Dasar
pendidikan intelek dengan mengajar anak tentang kaidahkaidah bertutur bahasa
yang baik; (4) Dasar pembentukan kebiasaan pembinaan kepribadian yang baik dan wajar
dengan membiasakan anak hidup teratur bersih, disiplin, dan rajin; (5) Dasar
pendidikan kekeluargaan dengan memberikan apresiasi terhadap keluarga; (6) Dasar
pendidikan nasionalisme dan patriotisme dan berprikemanusiaan untuk mencintai
bangsa dan tanah air; dan (7) Dasar pendidikan agama, melatih dan membiasakan
anak beribadah kepada Tuhan dengan meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaaan.
Dengan demikian lingkungan keluarga berpengaruh kepada anak dari
sisi: (a) perlakuan keluarga terhadap anak; (b) kedudukan anak dalam keluarga;
(c) keadaan ekonomi keluarga; (d) keadaan pendidikan keluarga; dan (e) pekerjaan
orang tua.
Lingkungan
Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena
pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak, disamping keluarga sebagai pusat pendidikan,
mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan pembentukan kepribadian anak. Karena
sekolah itu sengaja disediakan dan dibangun khusus sebagai tempat pendidikan, dan
lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, yang mempunyai fungsi melanjutkan
pendidikan keluarga dengan guru sebagi ganti orang tua yang harus ditaati.[46]
Pendidikan sekolah merupakan pendidikan formal karena sekolah adalah
pendidikan yang mempunyai dasar, tujuan, isi, metode, alat-alatnya disusun
secara eksplisit, sistematis dan distandarisasikan.[47] Penjabaran
fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan formal, terlihat pada tujuan
institusional, seperti tujuan kelembagaan pada masing-masing jenis dan tingkatan
sekolah. Di Indonesia lembaga pendidikan formal pra sekolah (TK/RA), Sekolah
Dasar (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas (SMA/MA/SMK/MAK)
yang terdiri dari sekolah menengah umum dan kejuruan, serta perguruan tinggi dengan
aneka ragam bidangnya (PTU/PTK).
Tujuan institusional masing-masing tingkat atau jenis
pendidikan, pencapaiannya ditopang tujuan-tujuan kurikuler didalamnya dan
tujuan instruksional. Sekolah hendaknya memberikan pendidikan keagamaan,
akhlak, sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Pendidikan agama yang diberikan tidak
bertentangan dengan pendidikan agama yang telah diberikan keluarga, karena si
anak nantinya dihadapkan dengan pertentangan nilai-nilai, sehingga mereka menjadi
bingung dan kehilangan kepercayaan. Guru merupakan pendidik profesional, karenanya
secara implisit telah merelakan dirinya menerima dan memikul tanggungjawab
pendidikan yang dipikul orang tua.[48]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menerima fungsi
pendidikan berdasarkan asas-asas tanggung jawab sebagai berikut: (1) Tanggung
jawab formal kelembagaan sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ditetapkan
menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku (undang-undang pendidikan); (2) Tanggung
jawab keilmuan berdasarkan bentuk, isi, tujuan dan tingkat pendidikan yang
dipercayakan kepadanya oleh masyarakat dan Negara; dan (3) Tanggung jawab
fungsional ialah tanggungjawab profesional pengelola dan pelaksana pendidikan
(para guru dan pendidik) yang menerima ketetapan ini berdasarkan
ketentuan-ketentuan jabatannya. Tanggung jawab ini merupakan pelimpahan
tanggungjawab dan kepercayaan orang tua (masyarakat) kepada sekolah dari para
guru.[49]
Sekolah yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari
usia masuk sekolah sampai ia keluar sekolah dengan pendidiknya (guru) yang
mempunyai kompetensi professional, personal, sosial, dan pedagogik.
Persekolahan seringkali diidentifikasikan sebagai lembaga pendidikan formal,
sebagai akibat persekolahan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang pengelolaannya
dengan aturan yang lebih ketat dibandingkan dengan lembaga lainnya. Sekolah
sebagai tempat pendidikan formal. Pembinaan dan pengembangan kepribadian anak
di sekolah diorientasikan pada tujuan tertentu sesuai dengan visi, misi, dan
tujuan sekolah, di antaranya dioreintasikan kepada kehidupan masyarakat dalam
rangka menumbuhkan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat disekitarnya.
Sekolah sebagai pendidikan formal dirancang sedemikian rupa agar
lebih efektif dan lebih efisein, yaitu bersifat klasikal dan berjenjang. Sistem
klasikal memungkinan beberapa/sejumlah anak belajar bersama dan dipimpin oleh seorang
atau beberapa orang guru sebagai fasilitator. Sebagai konsekuensinya mereka mendapatkan
perlakuan seragam menerima materi pelajaran. Untuk itu, pada suatu kelas
biasanya murid-muridnya mempunyai kemampuan yang relatif seragam dari kelompok
umur yang hamper setingkat pula.
Pada dasarnya sekolah sekarang sudah tidak disekat oleh tembok
atau gedung karena sumber belajar yang dipergunakan di sekolah sudah beragam, dari
sesuatu yang dapat dibawa ke dalam kelas sampai sesuatu yang hanya bisa
dikunjungi oleh anak karena tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, seperti
museum, gunung, hutan, pantai dan lain sebagainya.
Sekolah memiliki ciri jenjang dapat dijelaskan sebagai berikut;
(1) Jenjang lembaga. Sekolah dirancang dengan berbagai tingkatan, dari Taman
Kanak-kanak (TK), sampai Perguruan Tinggi (PT). Sebagian dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional dan sebagian lainnya dikelola oleh Departemen Agama;
(2) Jenjang kelas Di samping berjenjang ke atas menurut tingkatan lembaga, juga
berjenjang menurut tingkatan kelas. Seperti pada jenjang lembaga, murid hanya
bisa mengikuti pendidikan pada kelas yang lebih tinggi jika telah dapat menyelesaikan
pendidikannya di tingkat sebelumnya. Jenjang kelas ini bervariasi. Pada tingkat
SD/MI terdiri dari enam kelas, SMP/MTs tiga kelas, dan SMA/MA termasuk sekolah
yang sederajat tiga kelas. Sedangkan pada jenjang PT tidak ditentukan oleh
jenjang kelas, tetapi sejauhmana mahasiswa dan mahasiswi dapat menyelesaikan pendidikannya
sesuai dengan kecepatannya. Setiap mahasiswa dan mahasiswi diberi kesempatan
untuk memilih matakuliah dan dosen secara mandiri. Masing-masing mata kuliah
diberi bobot sendiri-sendiri yang disebut dengan satuan kredit semester (sks).
Ada matakuliah yang berbobot 2 sks, 3 sks, 4 sks, 6 sks, 7, sksk dan 8 sks.
Mahasiswa dan mahasiswi hanya diperkenankan mengambil maksimal 24 sks. Jika mahasiswa
dan mahasiswi mendapatkan kesempatan untuk menempuh 24 sksk, maka jumlah sks
itu dibagi dengan jumlah sks masing-masing mata kuliah. Dengan demikian diperoleh
jumlah mata kuliah yang ditempuh dalam satu semseter. Jika jumlah mata kuliah
yang ditempuh dalam satu semester itu mendapatkan nilai baik, dapat
mempertahankan jumlah sks maksimal untuk semester berikutnya. Akan tetapi jika
nilai yang diperolehnya adalah kurang baik jumlah sks yang diperkenankan
diambil pada semester beriktunya dikurangi. Konsekuensi dari sistem seperti
ini, adalah bahwa setiap mahasiswa dan mahasiswi yang dapat menyelesaikan
jumlah maksimal sks setiap semester. Dampaknya cepat selesai karena setiap
semeser mendapatkan jatah sks yang banyak. Disisi lain apabila setiap semester mendapatkan
nilai kurang baik, hanya diperkenankan mengambil jumlah sks sedikit, sehingga
berakibat penyelesaian studinya lebih lama.
Sistem pembelajaran pada masing-masing jenjang tersebut telah
ditentukan muatan materi, desain, strategi pembelajaran yang disebut dengan kurikulum.
Masing-masing level atau jenis sekolah mempunyai kurikulum sendiri yang berbeda
antara satu dengan lainnya. Dengan memperhatikan asopan kurikulum ini, seorang
anak dapat berpindah ke tempat lembaga dan atau jenjang pendidikan lainnya
sesuai dengan kompetensi yang pernah dicapainya sesuai dengan muatan
kurikulumnya. Sebaliknya anak yang tidak dapat menyelesaikan suatu
tingkat/jenis pendidikannya dapat mengulang kembali pada jenjang yang pernah ditempuhnya
menguasai kompetensi yang dipersyaratkan oleh jenjang di jenis sekolah itu.
Evaluasi untuk mengukur kemampuan murid untuk menyelesaikan
pendidikan nya pada suatu jenjang atau jenis pendidikan dilakukan sebagai
berikut; (1) Formatif, dilakukan setiap selesai satu sesi pembelajaran; (2) Sumatif,
yang dilakukan setiap semester, atau setiap tahun. Untuk evaluasi yang
diselenggarakan setiap tahun ini kadang-kadang disebut dengan Evaluasi Tahap
Akhir (EBTA); dan (3) UAN (Ujian Akhir Nasional), adalah evaluasi yang
diselenggarakan pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (sekolah
negeri) atau sekolah swasta yang berada dalam naungan pemerintah. Ujian ini bertujuan
mengawasi kualitas penyelenggaraan pendidikan dan bermaksud mengukur kompetensi
murid yang menyelesaikan pendidikaan pada satu tingkat lembaga supaya mempunyai
standar kualitas minimal yang relatif seragam secara nasional. Pelaksanaan UAN
di sekolah agar seorang murid belajar materi sebagaimana dikehendaki oleh kurikulum
sehingga segala aspek keprbadiannya dapat berkembang secara maksimal dan optimal,
sesuai dengan rancangan kurikulumnya. Meskipun demikian, tidak semua
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian murid itu berkembang semata karena
kurikulum, tetapi boleh jadi perkembangan itu melalui interaksi antara satu
muirid dengan lainnya, atau dengan gurunya, bahkan dengan lingkungannya.
Interaksi seorang murid dengan lingkungan sosialnya misalnya (murid atau guru) mengembangkan
sikapnya untuk dapat menerima kehadiraan pihak lain disamping dirinya.
Interaksi dengan lingkungannya memungkinkan murid untuk dapat mengadaptasikan
dirinya dengannya agar dapat mengelala lingkungannya sedemikian rupa untuk
tujuan hidupnya dan sebagainya. Interkasi demikian barangkali tidak dicantumkan
secara jelas dalam kurikulum, tetapi manakala seorang pimpinan sekolah atau
guru memikirkan hal demikian maka kejadian seperti itu masuk dalam hiden
kurikulum (hidden curriculum).
Suatu keniscayaan yang sulit untuk dipungkiri bahwa di sekolah
murid dilatih dengan disiplin yang lebih ketat dibandingkan dengan lembaga
pendidikan lainnya (keluarga atau masyarakat), sehingga mareka harus bersekolah
pada harihari dan jam-jam tertentu dan libur pada hari-hari tertentu. Sekolah
diangap sebagai suatu lingkungan yang paling bertanggung jawab terhadap
pendidikan murid-muridnya, lebih-lebih bila dikaitkan dengan pengadaan sumber
daya manusia yang berkualitas untuk dapat bersaing secara global. Maka pembangunan
sekolah dianggap sebagai investasi yang prospektif demi menyongsong kemajuan
bangsa.
Lingkungan
Masyarakat
Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Secara
sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok
yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat
mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Lembaga
pendidikan ini berorientasi langsung kepada hal-hal yang bertalian dengan
kehidupan. Pendidikan masyarakat merupakan pendidikan yang menunjang pendidikan
keluarga dan sekolah. Masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap
pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada
didalamnya.[50]
Sekalipun terdapat tanggung jawab perseorangan dan pribadi, bagi manusia menganggapnya
sebagai asas, dengan tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan
masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan
mempertahankan kebaikan.
Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina,
memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang
yang mungkar dimana tanggungjawab manusia melebihi perbuatanperbuatannya dan
maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat hidup dan alam sekitar
yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab,
hukum yang berlaku pada masyarakat dan yang terjadi di sekelilingnya atau
terjadi dari orang lain.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam
masyarakat meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan
pengertian (pengetahuan) sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan
keagamaan.[51]
Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan Islam ini, menjadi sarana pengembangan
pribadi ke arah kesempurnaan sebagai hasil dari pengumpulan dan latihan secara
terus-menerus. Lembaga pendidikan kemasyarakatan Islam dapat mengambil bentuk
organisasi kepanduan, perkumpulan pemuda, olahraga, kesenian, remaja masjid,
majlis taklim, koperasi, pusat keterampilan dan latihan, partai politik,
perkumpulan agama dan lain-lain. Semua lembaga seperti ini dapat difungsikan
dalam mengemban misi pendidikan Islam.[52]
Sosial/masyarakat, adalah pendidikan tersier yang merupakan
pendidikan terakhir, tapi bersifat permanen dengan pendidiknya masyarakat itu
sendiri secara sosial, kebudayaan adat istiadat dan kondisi masyarakat setempat
sebagai lingkungan material. Pendidikan dalam pergaualan masyarakat terutama
banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan seperti: (a) masjid, surau atau
langgar, musholla; (b) madrasah, pondok pesantren; (c) pengajian atau majelis
taklim; (d) kursus-kursus; dan (e) badan-badan pembinaan rohani (biro
pernikahan, biro konsultasi keagamaan dan lain-lainnya).
Daftar
Pustaka
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
D. Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: Al- Ma’arif.
Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna
Zikra.
Purwanto, Ngalim 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-dasar
Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tirtahadja, Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pertemuan Kesepuluh
URAIAN MATERI: KETERKAITAN ANTARA LINGKUNGAN PENDIDIKAN
A.
Hubungan antara Keluarga dengan Sekolah
Sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama, keluarga
dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan
pada lembaga-lembaga pendidikan berikutnya. Menurut Hasbullah keluarga
merupakan satu kesatuan hidup yang menyediakan situasi belajar. Situasi belajar
dalam keluarga merupakan bentuk-bentuk interaksi dan komunikasi antara orang
tua dan anak yang berisi tentang nilai-nilai pendidikan.[53]
Sebagai lingkungan pendidikan yang terorganisasi secara
sistematis, sekolah merupakan wadah yang menempatkan anak dalam
kelompok-kelompok tertentu berdasarkan tingkat kemampuan dan kesesuaian umur,
sehingga anak mempunyai wilayah interaksi secara intens dengan teman sebaya
yang sedikit banyak memiliki kesamaan wawasan dan kemampuan. Berbeda dengan
sekolah, di dalam keluarga, anak menempati posisi subordinat di bawah kendali
orang tua dan tidak mendapatkan hubungan sebaya sebagaimana yang didapatkan
dalam lingkungan sebaya di sekolah. Kedua pola komunikasi yang berbeda tersebut
merupakan dua dunia yang berbeda bagi anak.
Keluarga merupakan dunia referensi bagi anak untuk membangun
nilai hidup dan cita-cita, sedangkan dunia sebaya yang ditemui anak dalam
sekolah adalah wilayah pengembangan diri secara social bersama-sama dengan
teman-teman sebaya yang relatif dalam kualifikasi kemampuan dan wawasan yang seragam.
Hubungan antara keluarga dan sekolah terjadi pada kerjasama orang tua dengan
pihak guru. Kerjasama tersebut dibutuhkan untuk memantau kemajuan anak dalam
proses pendidikan, baik kemajuan dalam ranah intetektual maupun psikologis.
Secara intelektual sekolah adalah lingkungan yang secara sistematis melakukan
perencanaan pengembangan melalui berbagai pelajaran yang diberikan dalam
kurikulum. Orang tua, sebagai pembimbing dalam kehidupan sehari-hari bagi anak
berkewajiban mengontrol proses perkembangan anak secara keseluruhan baik
perkembangan intelektual dengan memberikan fasilitas dan dukungan keilmuan
maupun perkembangan psikologis dengan menjadi pelindung dan tempat berbagi bagi
anak.[54] Pada
dasarnya banyak tehnik yang dapat ditempuh untuk menjalin kerjasama antara
keluarga dengan sekolah, di antaranya melalui cara-cara berikut;
Kunjungan
pihak sekolah (guru) ke rumah anak didik
Cara ini berdampak positif bagi anak karena merasa selalu diperhatikan,
dan juga bagi orang tua karena termotivasi untuk selalu mangadakan kerjasama dengan
sekolah. Bagi guru dan pihak sekolah manfaat yang bisa diambil adalah adanya
kesempatan untuk melakukan observasi secara langsung dan melakukan wawancara.[55]
Kunjungan
orang tua ke sekolah
Kalau adanya acara yang diselenggarakan oleh sekolah yang
memungkinkan untuk dihadiri orang tua maka berdampak positif jika orangtua
diundang untuk menghadiri acara tersebut. Kegiatan tersebut bisa berupa class meeting yang berisi lomba-lomba,
pameran hasil karya dan lain sebagainya.[56]
Case
conference
Merupakan rapat atau konferensi tentang kasus tertentu yang
berkaitan dengan proses yang ada di sekolah dan keluarga. Kegiatan ini biasanya
dilaksanakan dalam konteks bimbingan dan konseling.[57]
Badan
Pembantu Sekolah
Organisasi atau lembaga orang tua murid dan guru untuk menjalin kerjasama
secara terorganisasi antara keduanya. Sampai sekarang ini organisasi telah
mengalami berbagai perubahan karena disesuaikan dengan situasi pendidikan dan
masyarakat.[58]
Adanya
daftar nilai atau rapor
Daftar nilai atau rapor adalah media yang menghubungkan antara
sekolah dan orang tua untuk saling mengomunikasikan proses dan hasil belajar
yang dilakukan oleh anak didik. Sekolah atau guru bisa meminta peran serta orang
tua untuk lebih aktif dalam membantu anak dalam pelajaran tertentu yang kurang
baik atau sebaliknya, sekolah juga bisa bekerjasama dengan orang tua dalam
memberikan dukungan pada pelajaran tertentu yang sudah baik[59]
B.
Hubungan antara sekolah dan masyarakat.
Sekolah
sebagai mitra masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan
Hubungan ini menempatkan sekolah dan masyarakat sebagai
lingkungan pendidikan yang potensial untuk melakukan proses-proses pendidikan. Keduanya
saling mempengaruhi peserta didik secara kuat. Seperti; (1) Pengalaman
seseorang yang didapat dalam masyarakat baik melalui pergaulan atau aktivitas
lain di tengah-tengah masyarakat membawa pengaruh pada fungsi pendidikan yang
diperankan oleh sekolah untuk orang tersebut. Begitu pula sebaliknya,
partisipasi seseorang untuk terlibat secara sadar dalam proses pendidikan di
lingkngan masyarakat juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar yang dia lakukan
di sekolah; dan (2) Fungsi pendidikan di sekolah bagi seseorang juga
dipengaruhi oleh penggunaan atau fungsi sumber-sumber belajar dalam masyarakat
seperti tokoh atau pakar masyarakat, museum, perpustakaan umum, kebun binatang
dan lain sebagainya.
Sekolah
sebagai produsen yang melayani pesanan-pesanan pendidikan dari masyarakat
Secara lebih terperinci hal tersebut dapat diuraikan sebagi
berikut; (1) Sekolah adalah pelayan bagi kebutuhan pendidikan masyarakatnya;
(2) Ketepatan sasaran dan target pendidikan yang ditangani oleh sekolah ditentukan
oleh kejelasan kontrak antara sekolah sebagai pelayan dan masyarakat sebagai
pemesan dan (3) Kualitas hubungan antara keduanya dipengaruhi oleh
ikatan-ikatan obyektif berupa perhatian, penghargaan dan topangan lainnya
seperti dukungan financial dan lain-lain.[60]
Pengaruh sekolah terhadap masyarakat tergantung dengan luas atau
tidaknya produk dan kualitas dari sekolah. Kontribusi yang diberikan oleh
sekolah kepada masyarakat meliputi hal-hal berikut.
Mencerdaskan
kehidupan masyarakat
Tingkat kecerdasan masyarakat pada dasarnya bisa ditingkatkan
melalui program pendidikan sekolah. Peningkatan kecerdasan tersebut dijalankan melalui
pemberian Pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat
melaui pelajaran disekolah. Peningkatan kecerdasan dalam masyarakat berpengaruh
kepada ketepatan dan kecepatan dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam
masyarakat.
Memberikan
pengaruh perubahan bagi perkembangan masyarakat
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu keniscayaan
yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Untuk memberikan kontribusi pengetahuan
dan wawasan bagi masyarakat, hal yang bisa dilakukan oleh sekolah selain
memberikan pengetahuan dasar juga transformasi pengetahuan dan kemampuan ke
dalam pengalamanpengalaman melaui praktik sekolah sesuai perjenjangan yang ada.
Melahirkan
masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan
masyarakat.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang memiliki tujuan dan
orientasi yang spesifik. Diantaranya adalah orientasi pendidikan ketrampilan
untuk memenuhi tuntutan pasar kerja.
Masyarakat memberikan pengaruh pada sekolah pada hal-hal
berikut;
1.
Orientasi dan tujuan pendidikan
Identitas
dan dinamika suatu masyarakat membawa pengaruh bagi terhadap orientasi dan
tujuan sekolah. Hal ini karena sekolah dilahirkan dari, oleh dan untuk
masyarakat. Pengaruh identitas masyarakat terhadap program pendidikan dapat
dilhat dalam perbedaan program-program pendidikan sekolah di berbagai negara
yang masing-masing memiliki identitas yang berbeda-beda.
2.
Proses pendidikan di sekolah
Berlangsungnya
proses pendidikan di sekolah juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sosial
budaya dalam masyarakat dan partisipasinya. Nilai social budaya dalam
masyarakat bisa menjadi faktor-faktor yang menghambat atau mendukung bagi
proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu sekolah harus
memperhitungkan pengaruh tersebut. Partisipasi masyarakat bisa berupa material
maupun spiritual atau nilai tertentu.[61]
C.
Hubungan antara Keluarga dan Masyarakat
Pendidikan keluarga merupakan basis yang sangat penting dalam
peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Keluarga adalah lembaga sosial
resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak sebagai suatu kesatuan hidup
(sistem sosial) yang menyediakan situasi belajar. Sebagai suatu system sosial,
ikatan kekeluargaan di dalamnya membantu anak dalam mengembangkan sikap
persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerjasama, disiplin, tingkah
laku yang baik, serta pengakuan akan kewibawaan. Perkembangan benih-benih
kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin dalam keluarga.
Tanggungjawab sosial adalah bagian dari keluarga yang pada gilirannya menjadi
tanggung jawab masyarakat dan bangsa. Tangung jawab sosial itu merupakan
perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh kesatuan
darah, keturunan dan keyakinan.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
pertama-tama ditemui anak. Setelah melalui proses ini, anak bertemu dengan unit
sosial yang lebih besar yaitu masyarakat. Kontribusi lingkungan masyarakat terhadap
pendidikan bagi anak antara lain diuraikan berikut ini; (1) Berdasarkan
dinamika yang terjadi di masysrakat, anak didik mendapatkan pengalaman langsung
(first hand experience). Oleh karena itu
mereka dapat memiliki pengalaman yang konkrit dan mudah diingat; dan (2) Dalam
masyarakat terdapat banyak sumber belajar yang tidak dimiliki sekolah ataupun
keluarga.[62]
Dalam kehidupan masyarakat, anak tumbuh dalam dua dunia social sekaligus.
Dunia orang dewasa, misalnya orang tua, guru dan tetangganya. Dunia teman yang
seumurnya, misalnya kelompok permainan, kelompok sekolah dan lain sebaginya.
Masing-masing dari dua dunia sosial tersebut memiliki perbedaan yang signifikan
bagi anak. Dalam dunia orang dewasa posisi anak selalu dalam posisi subordinat
dengan kata lain posisi orang tua selalu diatas. Sedangkan dalam peergroup,
anak mempunyai status yang sragam dengan yang lain (equal). Jadi peergroup selalu berada dibawah orang tua, sehingga
anak membutuhkan kelompok sendiri karena ada kesamaan dalam segala bidang.
Pengaruh peergroup semakin lama semakin penting bagi anak
dibanding dengan pengaruh keluarga. Seiring dengan semakin besarnya pengaruh peergroup terhadap perkembangan anak,
nilai pendidikan yang bisa diambil dari proses ini adalah: (a) mengajarkan
kebudayaan; (b) mengajarkan mobilitas social; dan (c) membantu peranan sosial
baru.[63] Dengan
demikian hubungan antara lingkungan keluarga dan masyarakat dapat dilihat dari
dua sisi. Pertama, keluarga adalah
peletak dasar-dasar pendidikan sosial bagi anak yang didalamnya terdapat
pendidikan pandangan hidup dan Norma sosial. Kedua, masyarakat adalah wadah pengembangan kemampuan sosial anak
yang didalamnya terdapat kebudayaan, mobilitas sosial dan peran-peran sosial
yang bisa dipelajari dan diambil oleh anak.
Daftar
Pustaka
Ahmadi,
Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi,
Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra,
Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Daradjat,
Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasbullah.
2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Langgulung,
Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
Marimba,
Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Purwanto,
Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
TIM Dosen
FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Tirtahadja,
Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pertemuan Kesebelas
URAIAN
MATERI: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Sistem Pendidikan
Nasional Pengertian Sistem
Istilah
sistem berasal dari Yunani sistem yang berarti hubungan fungsional yang teratur
antara unit-unit atau komponen-komponen[64] (Musnamar, 1985:38).
Tatang M. Arifin, mengemukakan pengertian sistem sebagai suatu keseluruhan yang
tersusun dari bagian-bagian yang satu dengan lainnya saling berhubungan secara
teratur untuk mencapai suatu tujuan.[65] Menurut Banathy sistem adalah
suatu organisme sintetik yang dirancang secara sengaja, terdiri atas
komponen-komponen yang saling terkait dan saling berinteraksi yang dimanfaatkan
agar berfungsi secara terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu.[66] Sistem meliputi tiga
macam: tujuan, proses, dan isi. Sistem terdiri atas komponen-komponen yang
secara keseluruhan disebut isi. Isi sistem ini disusun sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Bagaimana komponen-komponen tersebut
dioperasikan dan difungsikan dalam upaya mencapai tujuan itu, disebut proses.
Sistem
mempunyai beberapa tingkatan; tingkatan yang lebih rendah dari sistem disebut
subsistem, sedangkan tingkatan yang lebih tinggi disebut suprasistem. Subsistem
adalah bagian dari suatu sistem. Setiap subsistem dirancang untuk mencapai suatu
tujuan tertentu, dimana berdampak penting bagi pencapaian tujuan sistem secara
keseluruhan. Proses di dalam subsistem ditentukan oleh tujuan khusus yang ingin
dicapai dalam subsistem tersebut. Demikian pula, komponen dalam subsistem
dipilih berdasarkan kemampuannya untuk melakukan proses dalam subsistem
tersebut. Sebagai contoh, sistem pendidikan nasional terdiri atas beberapa
subsistem, antara lain; subsistem pendidikan formal, subsistem pendidikan
nonformal, subsistem pendidikan dasar, subsistem pendidikan menengah, dan sebagainya.
Masing-masing subsistem tersebut memiliki tujuan khsusus yang harus dicapai.
Kualitas pencapaian tujuan subsistem tersebut menentukan pula kualitas
pencapaian tujuan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.
Suprasistem
adalah lingkungan lebih luas tempat sistem itu berada. Pendidikan nasional
merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional. Dalam hal ini,
pembangunan nasional dapat dianggap sebagai suprasistem dari sisdiknas. Sebaliknya,
boleh juga dikatakan bahwa pendidikan nasional merupakan subsistem dari sistem
pembangunan nasional itu sendiri. Jadi suatu sistem dapat menjadi sub dari
sistem yang lebih besar atau menjadi supra dari sistem yang lebih kecil.
Pengertian Pendidikan
Nasional
Pendidikan
nasional sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 pasal 1 ayat
2 adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dalam UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003 pasal 1 ayat 2 dirumuskan bahwa pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan jaman.
Secara
prinsip kedua undang-undang tersebut adalah seragam. Bedanya, pada UUSPN No. 20
Tahun 2003 terdapat pengembangan dua aspek; (1) adanya nilai-nilai agama, dan
(2) keharusan mengikuti perkembangan jaman (kontekstual). Adanya tambahan
konsep pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 didasarkan pada kenyataan, bangsa Indonesia
adalah bangsa beragama dan karena itu keberagamaan akan menjadi hal mendasar
dalam setiap aspek kehidupan bangsa, dimana salah satunya adalah melalui dunia pendidikan.
Disamping itu, pendidikan nasional juga harus tanggap terhadap dinnamika
perkembangan jaman, agar dunia pendidikan nasional tetap bisa eksis dan lebih
jauh survive menghadapi tantangan dunia yang semakin global dan kompetitif.
Pendidikan
nasional yang berlangsung saat ini dalam dataran filosofis masih menjadi obyek
tarik menarik dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang memperebutkan bisa
dikategorikan menjadi tiga kelompok; (1) kelompok yang menjadikan pendidikan
sebagai sistem; (2) kelompok yang menjadikannya sebagai tujuan; dan (3)
kelompok yang menjadikan pendidikan sebagai proses. Kelompok yang menghendaki
pendidikan nasional dijadikan sebagai sebuah sistem berasumsi bahwa pendidikan
nasional pada hakikatnya adalah kesatuan yang bulat dari input, process, dan
output.
Dalam
bahasa UU Sisdiknas, pendidikan nasional diselenggarakan sebagai kesatuan
sistemik dengan sistem terbuka dan sistem multimakna. Berangkat dari pemahaman ini,
pendidikan nasional dijadikan sebagai sebuah siklus yang bersifat mekanis dengan
berorientasi pada kualitas output. Pendidikan dengan orientasi demikian, di
satu sisi memiliki nilai positif berupa hasil didik yang berkualitas dalam hal
ntelektualitas, tetapi pada sisi yang lain memiliki sisi negatif yakni lemah
dalam hal skill dan sifat humanisnya.
Kelompok
yang menghendaki pendidikan nasional dijadikan sebagai tujuan berasumsi bahwa
pendidikan nasional pada hakikatnya adalah tujuan pendidikan itu sendiri,
artinya pendidikan nasional dijadikan sebagai tujuan proses pendidikan itu
sendiri. Karena itu, pendidikan nasional menjadi sebuah entitas yang
seolah-olah tidak menginjak bumi Indonesia yang sarat problemproblem nasional.
Akibatnya pendidikan nasional tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat luas. Sementara
itu, kelompok yang menghendaki pendidikan nasional dijadikan sebagai proses
berasumsi bahwa pendidikan adalah sebuah kegiatan yang tidak terlepas dari
kegiatan kehidupan manusia Indonesia. Proses adalah sebuah kegiatan yang tidak
pernah selesai dan berlangsung secara terus menerus. Jika pendidikan nasional
dianggap sebagai sebuah proses, maka dengan sendirinya pendidikan nasional
berlangsung selama bangsa Indonesia ini eksis. Pendidikan nasional berlangsung
secara terus menerus.
Pengertian Sistem
Pendidikan Nasional
Sistem
pendidikan nasional (Sisdiknas) tercantum di dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal
1 ayat 3 adalah keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan yang
berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya pendidikan
nasional. Sedangkan di dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 3 dirumuskan
bahwa sisdiknas adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua rumusan
sisdiknas di atas tampaknya tidak ada perbedaan yang prinsip. Perbedaan hanya
terjadi pada teknis narasi atau susunan Bahasa yang dipakai oleh keduanya. Pada
rumusan UUSPN No. 20 Tahun 2003 keseluruhan yang terpadu disebutkan secara
tegas dengan istilah komponen pendidikan. Pada sisi lain pada UUSPN No. 2 Tahun
1989 hanya disebut keseluruhan tanpa keterangan komponen pendidikan.
Sisdiknas
dirumuskan dengan misi utama dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga
negara Republik Indonesia, agar tiap-tiap warga memperoleh sekurang-kurangnya
pengetahuan dan kemampuan dasar, meliputi; kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung serta mampu menggunakan bahasa Indonesia yang diperlukan oleh setiap
warga Negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sisdiknas memberikan kesempatan belajar yang
seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Karena itu, perlakuan terhadap
peserta didik tidak dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin,
agama, ras, suku, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali
jika ada satuan atau kegiatan pendidikan yang memiliki kekhususan yang harus diindahkan.
B. Permasalahan
Sistem Pendidikan Nasional
Penyebab
utama kegagalan pendidikan sebuah negara, salah satunya adalah disebabkan oleh
sistem pendidikan yang digunakan, di samping faktor-faktor lain yang sifatnya
lebih kepada masalah-masalah praksis pendidikan, seperti biaya pendidikan,
pemerataan pendidikan, serta kualitas pengajar dan pengelolaan pendidikan.
Sisdiknas yang dipergunakan di Indonesia, tampaknya memang tidak bisa
dilepaskan dari konteks sejarah perjalanan bangsa Indonesia itu sendiri. Paling
tidak ada dua permasalahan menyangkut sisdiknas, yaitu konteks historis dan
aplikasi praksis.
Konteks Historis
Sisdiknas
UUD
1945 mengamanatkan agar disusun satu sisdiknas, berdasar fakta, bahwa pada masa
penjajahan, pendidikan yang ada di Indonesia memiliki sistem yang berbeda-beda
dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Ada system model Belanda yang
mementingkan pengetahuan umum dan berorientasi pada kerja kantor, ada
pendidikan model pesantren yang berorientasi pada pendidikan agama dan
melupakan pengetahuan umum, dan juga ada model pendidikan Taman Siswa yang
merupakan adaptasi dari pendidikan Belanda dengan tambahan penekanan pada
kebudayaan nasional. Keinginan para perintis kemerdekaan pada masa itu,
tampaknya ingin memadukan ketiga sistem pendidikan yang ada, dengan mengambil
yang terbaik dari ketiganya, sehingga tercipta suatu sisdiknas yang menekankan
kepada ketiga aspek tersebut, meliputi pengetahuan umum, pendidikan agama, dan
kebudayaan nasional.
Upaya
pembentukan satu sisdiknas itu memerlukan waktu yang panjang, hampir 45 tahun.
Di tahun 1950, ketika negara kita berhasil membuat suatu undang-undang
pendidikan, pendidikan pesantren dan madrasah belum dicakup oleh undang-undang
tersebut, karena dianggap sebagai pendidikan luar sekolah dan perlu dibuatkan
undang-undang tersendiri, sekalipun pada akhirnya tak pernah terwujud. Jadi
bisa dikatakan bahwa pada saat itu pendidikan Islam (dalam hal ini madrasah dan
pesantren) masih berada di luar sistem pendidikan nasional. Bisa juga
dikatakan, bahwa pada masa itu di negara kita masih ada dua sistem pendidikan
yang diatur UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 dan yang tidak diatur oleh UU
tersebut. Baru pada tahun 1989, melalui UUSPN (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional), keinginan memasukkan semua jenis pendidikan di Indonesia ke dalam
satu sistem itu berhasil dilakukan. Dalam UU tersebut sisdiknas terdiri atas
beberapa subsistem pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal,
pendidikan dasar, pendidikan kejuruan, dan sebagainya.
Kelahiran
UUSPN No. 2 Tahun 1989 ini dalam situasi pemerintah orde baru ingin melanjutkan
misi pendidikan nasional orde lama yang dianggap gagal. Karena itu, sisdiknas
difokuskan kepada keberlangsungan dan keselamatan negara. Dengan kata lain,
pendidikan dilaksanakan sepanjang dapat menjaga kesatuan, keutuhan, dan
kelestarian ideologi bangsa. Karena itu, tidak mengherankan jika semasa orde
baru segala bentuk kebijakan pendidikan selalu datang dari atas (pusat).
Setelah
era orde baru, kemudian pemerintahan reformasi, sisdiknas yang dianggap menjadi
salah satu penyebab rendahnya kualitas bangsa Indonesia, juga menjadi sasaran
untuk direformasi. Upaya dekonstruksi sisdiknaspun menjadi permasalahan penting
di era reformasi ini. Orde baru dianggap sebagai biang keladi kemandegan atau
kegagalan sisdiknas Indonesia. Era orde baru dianggap sebagai aktor dibalik
keterpurukan sisdiknas, karena salah menerjemahkan UUSPN No. 2 Tahun 1989. Orde
baru menerjemahkan dan memanfaatkan undang-undang tersebut sebagai alat untuk melanggengkan
kekuasaan, dengan mematikan kebebasan ekspresi dan kreasi, serta mengekang
kebebasan berpikir. Dengan kata lain, undangundang tersebut telah dijadikan
alat untuk mengeksploitasi individu-individu demi kepentingan politik orde baru
dengan dalih demi keutuhan dan keselamatan kehidupan bangsa dan negara
Indonesia.
Akan
halnya masa atau era reformasi, ternyata upaya mendekonstruksi sisdiknas pun
harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan yang tak jauh berbeda
dengan masa atau era sebelumnya. Isu pendidikan, di era ini tetap dijadikan
alat untuk kepentingan politik itu sendiri, sementara komitmen pemerintah yang
begitu fasihnya disampaikan setiap kesempatan, masih saja gagal mengantar
sisdiknas benar-benar berdaya. Alih-alih sisdiknas berdaya, dalam kebijakan
pemerintahpun ternyata sisdiknas tidak menjadi prioritas utama.
Masalah Penerapan
Sisdiknas
Kelemahan
sisdiknas Indonesia sesungguhnya adalah pada konsekuensi logis dan politis pada
penerapannya. Dengan sistem yang demikian, maka sisdiknas Indonesia
mensyaratkan bagi sistem yang bersifat sentral (terpusat) dan sistem yang
dilandasi oleh tindakan penyeragaman (uniformitas).
Sistem seperti ini pada gilirannya menjadikan intervensi pemerintah yang
terlalu berlebihan dalam bidang pendidikan, hingga pada akhirnya melumpuhkan pendidikan
itu sendiri. Usaha untuk memberikan pengetahuan yang relevan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, menjadi tidak terwujud. Individu-individu peserta didik
akhirnya hanya dieksploitasi dan dimanfaatkan demi kepentingan pemerintah atas
Nama negara dan bangsa.[67]
Jika
dicermati lebih dalam, maka sesungguhnya tidaklah mengherankan jika perumusan UUSPN No. 2 Tahun 1989 lebih memilih
pendidikan yang bersifat terpusat dan seragam, seperti dipaparkan di dalam
bahasan konteks sejarah di atas, karena memang sejarah Indonesia memungkinkan bagi
terbitnya undang-undang yang demikian. Latar belakang sosial, budaya, dan agama
yang beragam, tidak diterjemahkan sebagai peluang, melainkan hanya dipandang
sebagai tantangan dan kendala, bahkan dianggap sebagai ancaman bagi timbulnya
disintegrasi bangsa, seperti setelah timbulnya prahara politik tahun 1965
dengan munculnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Alasan
sejarah dan latar belakang menjadi landasan berpikir dalam penyusunan
sisdiknas. Kondisi ini juga ditambah dengan alasan-alasan politis yang
sebenarnya jauh dari nilai-nilai ideal pendidikan, yakni sebagai satu upaya
untuk melestarikan ideologi. Pada tahapan ini, pendidikan Indonesia sudah menjadi
alat yang sistematis bagi pemerintah untuk melestarikan dan menyelamatkan
kekuasaannya, sekalipun dalam bahsa mereka untuk menyelamatkan bangsa dan
negara.
Tujuan
pendidikan nasional menjadi perwujudan dari tujuan kebijakan politik.
Pendidikan kemudian menjadi alat seleksi, kontrol, sosialisasi nilai,
pengetahuan, ketrampilan yang efektif, dan masih demi tercapainya mobilisasi
tenaga kerja yang ujung-ujungnya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Pada sisi
yang lain, usaha pemerintah memberikan pendidikan moral, baik melalui mata
pelajaran Pancasila maupun pendidikan agama, hanya lebih mengedepankan
verbalitas daripada nilai. Akibatnya justru menimbulkan kecenderungan untuk
membawa fragmentasi berpikir anak dan lebih memperkuat primordialismenya.
Celakanya, intervesi yang dilakukan pemerintah ini tetap tidak mampu untuk
membendung keinginan masyarakat untuk menggali kemajuan di bidang teknologi dan
informasi.
Pada
akhirnya perkembangan yang demikian tidak mampu direspon dan akomodasi oleh lembaga
pendidikan. Di samping faktor di atas, sisdiknas Indonesia mencakup jangkauan
yang sangat luas dan cenderung tidak penting bagi perkembangan pendidikan. Kalau
pada zaman orde lama, lebih mengutamakan pembangunan karakter bangsa, maka pada
zaman orde baru lebih mengedepankan persoalanpersoalan mulai dari ekonomi,
politik, kebudayaan, agama, moral, hingga ke permasalahan ideologi dan moral
Pancasila. Persoalan yang sebegitu luas telah dipaksakan untuk diurus di dalam
bingkai sistem yang sentralistis. Akibatnya persoalan-persoalan yang harus
diurus menjadi sangat luas jangkauannya hingga berujung pada langkah-langkah
kebijakan yang tidak pernah fokus dan jelas.
Sisdiknas
seperti ini berdampak negatif bagi perkembangan pendidikan itu sendiri;
pendidikan menjadi terbelenggu. Padahal seharusnya pendidikan harus bersifat
membebaskan dan mencerahkan. Segala aktivitas, misalnya berupa penemuan atau
karya berharga bagi perkembangan IPTEK jika dianggap mengganggu kepentingan
negara maka harus dihentikan. Dampak negatif lainnya, pendidikan harus berada
dalam koridor yang sudah ditentukan. Akibatnya pendidikan menjadi sangat
birokratis, pendidikan dikekang oleh peraturan, pendidikan menjadi kehilangan
kreatifitasnya, dan bahkan pendidikan menjadi kehilangan maknanya. Berdasar kenyataan
di atas, nampaknya pendidikan nasional harus dibangun di atas landasan yang
kuat dan visi yang jelas, mencakup; ideologi, epistemologi, dan paradigma.
Ketiganya merupakan landasan filosofis bagi sistem pendidikan nasional terpadu
yang dilaksanakan dengan pendekatan proses.
Pada
tataran ideologi, perlu dibangun ideologi sirkularisme, yakni sebuah ideologi
yang memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hubungan antara manusia
dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan
dirinya sendiri, sebagai sebuah hubungan yang saling terkait. Artinya bahwa
pendidikan nasional memandang bahwa proses pendidikan pada dasarnya proses
memanusiakan kemanusiaannya manusia, menghewankan kebinatangannya hewan,
mengalamkan kealamannya alam, menuhankan ketuhanan-Nya Tuhan, dan memanusiakan
kemanusiaan diri manusia sendiri.
Pada
aspek epistemologi, pendidikan nasional perlu menggunakan epistemologi
tersendiri yang mencakup keempat aliran pengetahuan yang telah ada; empirisme
(pengetahuan dari pengalaman indera lahir), rasionalisme (pengetahuan dari
akal), intuisionisme (pengetahuan dari rasa atau indera batin), dan
skripturalisme (pengetahuan dari keyakinan yang datang dari Tuhan). Penggunaan
epistemologi komprehensip tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hakikat
pendidikan nasional adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas (keragaman) budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Di
sisi lain pada aspek paradigma pendidikan perlu juga dikembangkan paradigma
baru yang disebut dengan paradigma sinergisitas. Sesuai Dawam dalam Musthofa paradigma
(sudut pandang) manusia terhadap dunia sebagai sebuah proses yang terus menerus
berlangsung secara seimbang, saling membutuhkan, dan saling mempengaruhi, baik
dalam kehidupan sosial politik dengan social ekonomi, maupun sosial keagamaan
dengan sosial ekonomi, atau sinergisitas dari berbagai aspek kehidupan manusia.
Selama ini, paradigm pendidikan nasional lebih cenderung bersifat statis dan
dogmatis.[68]
Dengan demikian, yang perlu ditonjolkan dalam paradigma pendidikan nasional ke depan
adalah paradigma yang lebih berorientasi pada proses yakni paradigm sinergisitas.
Dan sebenarnya paradigma ini dalam keadaan tertentu telah dilakukan oleh
beberapa kelompok orang, sekalipun belum optimal.[69]
Daftar
Pustaka
Amirin, Tatang. M. 1992. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung:
Citra Umbara.
Banathy, Bella H. 1968. Instruction System. Brelmont CA: Fearon
Publisher.
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan; Langkah-Langkah
Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem
Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Furchan, Arif. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Guna Media.
Musthofa, Imam Machali. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi; Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: CV.Eka Jaya.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung: Citra Umbara.
Pertemuan Keduabelas
URAIAN
MATERI: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Jenis dan Bentuk
Kelembagaan Pendidikan Nasional
Pendidikan
nasional dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk
sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar (Bahasa UUSPN No 2 Tahun 1989)
atau melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal (dalam bahasa UUSPN No
20 Tahun 2003).
Jalur Pendidikan
Penyelenggaraan
Sisdiknas dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 disebutkan bahwa penyelenggaraan Sisdiknas
dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu; (1) jalur pendidikan sekolah; dan (2)
jalur pendidikan luar sekolah yang sering disingkat PLS.
Jalur
pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui
kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan (pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi). Ciri-ciri jalur pendidikan
formal adalah: (1) sifatnya formal; (2) diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan
pemerintah; dan (3) mempunyai keseragaman pola yang bersifat nasional. Jalur
pendidikan luar sekolah (PLS) merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan
yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang
tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan, seperti kepramukaan, berbagai kursus,
dan lain-lain. PLS memberikan kemungkinan perkembangan sosial, kultural seperti
bahasa dan kesenian, keagamaan, dan ketrampilan yang dapat dimanfaatkan oleh
anggota masyarakat untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakatnya.
Pendidikan
luar sekolah berciri; (1) sifatnya tidak formal, dalam arti tidak ada keseragaman
pola yang bersifat nasional; dan (2) modelnya sangat beragam. Dalam hubungan
ini pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah
yang diselenggarakan dalam keluarga yang fungsi utamanya menanamkan keyakinan
agama, nilai budaya dan moral serta ketrampilan praktis.
Di
dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 istilah jalur sekolah dan luar sekolah diperinci
menjadi; (1) pendidikan formal untuk jalur pendidikan sekolah, dan (2) pendidikan
non formal dan informal untuk jalur pendidikan luar sekolah.
Jenjang Pendidikan
Jenjang
pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik serta keluasan dan kedalaman
dalam pengajaran UUSPN No. 2 Tahun 1989), atau tahapan pendidikan yang
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang dicapai,
dan kemampuan yang dikembangkan (UUSPN No. 20 Tahun 2003). Ada tiga jenjang
pendidikan dalam Sisdiknas, yakni: (1) jenjang pendidikan dasar, (2) jenjang
pendidikan menengah, dan (3) jenjang pendidikan tinggi.
Jenjang Pendidikan Dasar
Pendidikan
dasar diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup
dalam masyarakat, berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan
dasar. Disamping itu juga berfungsi mempersiapkan peserta didik yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. Oleh karena itu pendidikan
dasar menyediakan kesempatan bagi seluruh warga negara untuk memperoleh
pendidikan dasar, dan tiap-tiap warga negara diwajibkan menempuh pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi.
Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan
menengah yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar, diselenggarakan di
SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan
perluasan pendidikan dasar. Sedangkan dalam hubungan ke atas mempersiapkan
peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan
kerja.
Pendidikan
menengah terdiri atas; pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan,
pendidikan menengah luar biasa, pendidikan menengah kedinasan, dan pendidikan
menengah keagamaan.
Jenjang Pendidikan Tinggi
Pendidikan
tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah, yang diselenggarakan
untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan
dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Untuk
mencapai tujuan tersebut lembaga pendidikan tinggi melaksanakan misi Tridarma
pendidikan tinggi yang meliputi; pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat dalam ruang lingkup tanah air Indonesia sebagai
kesatuan wilayah pendidikan nasional. Pendidikan tinggi juga berfungsi sebagai
jembatan antara pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional dengan perkembangan
internasional.
Untuk
itu, dengan tujuan kepentingan nasional, pendidikan tinggi secara terbuka dan selektif
mengikuti perkembangan kebudayaan yang terjadi di luar Indonesia untuk diambil
manfaatnya bagi pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional. Untuk dapat
mencapai tujuan dan kebebasan akademik, dalam melaksanakan misinya di lembaga
pendidikan tinggi berlaku kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan dan
otonomi dalam pengelolaan lembaganya.
Jenis dan Bentuk Pendidikan
Nasional
Program
pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas; (1) pendidikan
umum; (2) pendidikan kejuruan; dan (3) pendidikan lainnya (pendidikan luar
biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan).
Pendidikan Umum
Pendidikan
umum adalah pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan ketrampilan
peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir
masa pendidikan. Pendidikan umum berfungsi sebagai acuan umum bagi jenis
pendidikan lainnya. Pendidikan ini berorientasi pada kecakapan hidup yang
general, eksistensi diri, potensi diri, berpikir kritis, kreatif, dan kecakapan
akademik. Pendidikan umum meliputi, SD, SMP, SMA, dan Universitas.
Pendidikan Kejuruan
Pendidikan
kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja
pada bidang pekerjaan tertentu, seperti bidang teknik, tata boga dan busana,
perhotelan, kerajinan, administrasi perkantoran dan lainlain. Pendidikan
kejuruan berorientasi pada kecakapan vokasional. Bentuk lembaganya meliputi,
STM/SMK, SMTK, SMIP, SMIK.
Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan
luar biasa merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik
yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental. Bentuk lembaga pendidikannya
berupa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sedang untuk pengadaan gurunya
disediakan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) setara dengan Diploma
III.
Pendidikan Kedinasan
Pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai atau calon pegawai
suatu departemen pemerintahan atau lembaga pendidikan nondepartemen. Pendidikan
kedinasan dapat terdiri dari pendidikan tingkat menengah (seperti SPK) dan
pendidikan tingkat tinggi (seperti IPDN). Undang-Undang
SISDIKNAS Tahun 2003 pasal 30 menyebutkan sebagai berikut; (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Pendidikan agama berfungsi mempersiapkan perserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan
atau/menjadi ahli agama; (3) Pendidikan agama dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, non formal, dan informal; (4) Pendidikan keagamaan berbentuk
ajaran diniyah pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis; dan (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ayat (2), ayat, (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. (SISDIKNAS, 2003)
Jadi,
pendidikan keagamaan merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat melaksanakan peranan yang menurut penguasaan pengetahuan
khusus tentang ajaran agama. Pendidikan keagamaan dapat terdiri dari tingkat pendidikan
dasar (Madrasah Ibtidaiyah), tingkat pendidikan menengah (Tsanawiyah, Aliyah),
dan tingkat pendidikan tinggi (seperti IAIN sekarang UIN, Institut Hindu Darma,
dan sebagainya). Berdasar ini berarti pendidikan keagamaan ada yang sepenuhnya
memberikan pendidikan agama dan pendidikan umum yang setara dengan pendidikan umum
yang setingkat.
B. Pengelolaan
Kelembagaan Pendidikan Nasional
Kebijakan
pemerintah selama ini belum bisa menjawab tantangan-tantangan pendidikan di
Indonesia maupun tantangan pendidikan yang bersifat universal. Permasalahan-permasalahan
mulai substansi pendidikan hingga ke praksis pendidikan tidak pernah secara
tuntas diselesaikan. Wacana-wacana yang berkembangpun hanya berkisar pada
dekonstruksi-dekonstruksi kebijakan yang pernah ada sebelumnya, tanpa ada
solusi yang pasti. Dengan kata lain, bahwa setelah paradigma lama dianggap
sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan jaman dan kemudian dirubah menjadi
paradigma baru sesuai dengan konteks jaman, ternyata paradigma baru itupun belum
juga bisa dipetakan secara jelas. Pengelolaan kelembagaan pendidikan dalam
perspektif Sisdiknas akhirnya harus masuk ke dalam lingkaran ketidakjelasan
tersebut. Ketidakjelasan pengelolaan kelembagaan sistem pendidikan nasional
menyebar dalam beberapa aspek atau bidang berikut.
Manajemen kelembagaan
(institusi) pendidikan tidak sistemik, tidak total, dan tidak mendasar
Pengelolaan
lembaga pendidikan secara umum tidak mengikuti alur yang sistematis.
Masing-masing lembaga pendidikan menyelenggarakan kegiatan kependidikan dengan
hanya bertumpu kepada situasi lokal yang ada. Sementara sistem pendidikan
nasional yang telah dirumuskan dan mestinya menjadi acuan pengelolaan lembaga
pendidikan, tidak mendapatkan perhatian yang serius (diabaikan). Akibatnya
lembaga pendidikan tidak memiliki visi yang jelas dan karena itu selalu
menghasilkan lulusan yang “gamang” dalam menghadapi hidup yang membutuhkan daya
saing tinggi ini. Karena itu, upaya merubah pengelolaan sistem kelembagaan
pendidikan nasional, salah satunya adalah harus melaksanakan inovasi manajemen
kelembagaan (institusi) pendidikan secara sistemik, menyeluruh, dan mendasar,
dengan sasaran utamanya adalah perubahan orientasi, pandangan (visi), cara
berpikir, dan pola perilaku nyata (action) sebagai manifestasi adanya perubahan
orientasi dan pandangan serta cara berpikir tersebut.
Tidak ada budaya mutu
(quality culture)
Kualitas
akademik yang mencakup kualitas proses pembelajaran, kualitas penelitian
(research), dan kualitas pengabdian kepada masyarakat kurang mendapat perhatian
serius. Akibat dari kondisi ini, mutu pendidikan tidak menjadi target dari
penyelenggaraan pendidikan.
Kurang adanya
kesesuaian dan kesepadanan (relevansi).
Antara
lembaga pendidikan dengan berbagai kebutuhan dan tuntutan masyarakat kurang
relevan, baik dari sistem persekolahan maupun dari dunia bisnis dan industri
yang ada dan berkembang di masyarakat, sehingga institusi pendidikan tidak
mampu melebarkan dan meluaskan sasaran operasionalnya.
Minimnya akses
informasi
Kerjasama
dengan lembaga pendidikan di negara lain maupun dengan lembaga-lembaga,
badan-badan, organisasi Internasional yang termasuk governmental dan
non-governmental agencies perlu ditingkatkan. Jika kerjasama dengan lembaga,
badan atau organisasi internasional tersebut tidak jalan kecil peluang bagi
pendidikan nasional kita untuk melakukan pertukaran informasi, pengalaman,
riset, karya, maupun ketenagaan serta penyegaran pandangan (visi) keilmuan yang
selama ini sangat diharapkan dan dicita-citakan oleh pendidikan nasional kita.
C. Permasalahan
Pengelolaan Madrasah sebagai Subsistem Pendidikan Nasional
Madrasah
dalam Sisdiknas
Hingga
tahun 1950 saat Indonesia telah memiliki undang-undang pendidikan, pendidikan
madrasah belum dicakup oleh undang-undang tersebut karena dianggap sebagai
pendidikan luar sekolah dan karena itu harus dibuatkan undang-undang
tersendiri. Posisi seperti inilah yang mengakibatkan madrasah tidak masuk dalam
Sisdiknas. Baru pada tahun 1989 madrasah berhasil tercakup di dalam UU
Sisdiknas sebagai subsistem pendidikan nasional yang kala itu disebut
pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan agama di Indonesia. Di negeri
kita, pendidikan Islam itu tampil dalam berbagai macam wujudnya; pendidikan
agama Islam yang merupakan subsistem dari system pendidikan agama dalam
kurikulum nasional, pendidikan di madrasah dan sekolah umum Islam yang
merupakan subsistem dari sistem pendidikan umum (formal), dan pendidikan
pesantren sebagai subsistem dalam pendidikan nonformal[70]
Sebagai
subsistem, pendidikan Islam (madrasah) mempunyai tujuan khusus tersendiri yang
harus dicapai. Tercapainya tujuan madrasah ini secara otomatis menunjang
pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi
suprasistemnya. Hal ini disebabkan karena, sebagai subsistem pendidikan
nasional, tujuan madrasah itu mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Sebagai
contoh, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan nasional adalah
terbentuknya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Aspek dari tujuan pendidikan nasional inilah yang kemudian dijabarkan
menjadi tujuan pendidikan agama Islam dan kemudian dijabarkan lagi menjadi
tujuan pendidikan madrasah.
Eksistensi Sitem
Kelembagaan Madrasah di Indonesia
Eksistensi
lembaga pendidikan Islam (madrasah) sudah diakui oleh sejarah. Sejak sebelum
bangsa penjajah datang ke bumi Nusantara ini, lembaga pendidikan Islam sudah
dikenal oleh penduduk kepulauan Nusantara. Lembaga pendidikan surau (semacam
pesantren di pulau Jawa) di Sumatra sudah di kenal sejak abad ketujuh. Bahkan
sebelum pendidikan sekolah diperkenalkan oleh Belanda, pesantren dan pengajian
al-Qur’an di masjid dan surau adalah satu satunya pendidikan yang ada bagi
rakyat biasa. Eksistensi ini tidak tergoyahkan meskipun kemudian ‘disaingi’
oleh sekolah Belanda dan sekolah pribumi lainnya yang mengambil model sekolah
Belanda. Dalam perkembangan berikutnya, lembaga pendidikan Islam ini juga mengadaptasi
diri dengan perkembangan zaman dan mengambil bentuk-bentuk lembaga pendidikan
modern. Maka, timbullah bentuk madrasah dan sekolah Islam, di samping bentuk
tradisional pesantren. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam ini merupakan usaha
swadaya masyarakat. Sampai sekarang, belum ada pesantren yang berstatus negeri
dan hanya sedikit saja dari madrasah yang berstatus negri jika di bandingkan
dengan madrasah yang berstatus swasta. Demikian pula halnya dengan sekolah
Islam. Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk memberikan pendidikan
kepada setiap warga negara, keberadaan sekolah swasta di seluruh pelosok tanah
air ini amat membantu tercapainya program pemerintah di bidang pemerataan pendidikan.
Eksistensi
lembaga pendidikan Islam ini semakin diperkuat dengan di undangkannya UUSPN
pada tahun 1989 itu. Dalam UUSPN diakui adanya sekolah umum yang bercirikan
keagamaan yang merupakan pengakuan atas keberadaan madrasah dan sekolah Islam.
Artinya, secara hukum, lembaga pendidikan Islam diakui sebagai salah satu
subsistem dalam system pendidikan nasional. Posisi ini tidak berubah ketika
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut direvisi pada tahun
2003 yang kemudian menghasilkan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Sebagai konsekuensi
dari hubungan sistem dan subsistem ini, maka tujuan yang ingin di capai oleh
lembaga pendidikan Islam, sebagai subsistem, harus mengacu pada tujuan
pendidikan nasional sebagai suprasistemnya. Tujuan lembaga pendidikan Islam
tidak boleh menyimpang atau tidak menunjang pencapain tujuan pendidikan
nasional. Itulah sebabnya kita lihat adanya pembenahan-pambenahan terhadap
tujuan dan isi (kurikulum) di lembaga pendidikan Islam beberapa tahun terakhir
ini. Sebagai subsistem, lembaga pendidikan Islam juga diharapkan dapat membantu
menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pendidikan nasional secara
keseluruhan.
Permasalahan
Pengelolaan Madrasah dan Solusi
Karena
madrasah sebagai subsistem sisdiknas, maka yang dihadapi oleh pendidikan
nasional, sebenarnya juga dihadapi oleh madrasah. Beberapa hambatan dan
tantangan di masa lalu antara lain; keterbatasan anggaran, belum adanya
perencanaan yang terarah, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi. Memang
sebagian telah dapat diatasi, tetapi masih banya pula hambatan dan tantangan
yang belum teratasi, baik yang lama maupun masalah baru yang kemudian menyusul
yang harus segera dijawab dan diatasi. Dua
tantangan yang dihadapi oleh madrasah; Tantangan pertama yang harus dihadapi
oleh madrasah adalah globalisasi.[71]
Globalisasi
adalah suatu proses makin kaburnya dan transparannya batasbatas antar negara
akibat kemajuan teknologi komunikasi. Tantangan yang ditimbulkan oleh
globalisasi berdampak pada bidang budaya dan ekonomi. Di bidang budaya,
kemajuan teknologi komunikasi telah membuat batas Negara tidak mampu membendung
masuknya paham, budaya, dan gagasan-gagasan asing yang kadang-kadang, menurut
kita, tidak cocok dengan paham, budaya, dan gagasan yang ada (yang ingin kita
lestarikan) di Indonesia. Di bidang ekonomi, globalisasi telah membuat
persaingan antarbangsa di bidang ekonomi dan teknologi semakin ketat dan
seperti biasanya, hanya mereka yang kuat menguasai ekonomi dan teknologilah
yang akan memenangkan persaingan.
Globalisasi
nampaknya juga memiliki dampak negatif pada nilai-nilai moral pada umumnya,
bahkan hilangnya nilai-nilai agama. Sudarwan Danim sebagaimana disitir Assegaf
dalam Musthofa mencermati dampak tersebut pada pendidikan Islam. Digambarkan
efek merusaknya dengan istilah turbulensi arus global.[72]
Turbulensi
arus global bisa menimbulkan paradoks (gejala kontra moralitas), yakni
pertentangan dua sisi moral secara diametral, seperti guru mendidik disiplin
lalu lintas, namun di jalanan para sopir ugal-ugalan, di sekolah dikampanyekan
gerakan anti-narkoba tapi penjaja narkoba di masyarakat memberikan layanan
gratis bagi pemula, guru memberi pesan agar tidak terjadi tawuran pelajar tapi
di masyarakat sering terjadi bentrok antarkampung, di sekolah diadakan razia
pornografi tapi media massa terus mengumbar simbol-simbol yang merangsang nafsu
syahwat, begitu pula halnya dengan keinginan guru agar anak tampil kreatif dan
egaliter tapi perilaku orang tua cenderung otoriter, atau sebaliknya.
Tantangan
kedua adalah pergeseran masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris menuju
masyarakat industri. Pergeseran ini terjadi akibat model pembangunan nasional
yang dipilih. Pergeseran di bidang ekonomi ini pada gilirannya mengakibatkan
perubahan sistem kerja, berpikir, dan nilainilai yang berlaku. Untuk sebagian
masyarakat, perubahan-perubahan ini mungkin mengagetkan dan mencemaskan,
terutama bagi mereka yang tidak siap berubah dan tidak menginginkan perubahan.
Untuk
menghadapi perubahan-perubahan seperti itu, pendidikan menempati posisi yang
sangat strategis. Hal ini dikarenakan pendidikan pada dasarnya adalah suatu
usaha yang disengaja untuk mempersiapkan peserta didik bisa menghadapi hidup
dan kehidupan dengan sukses di jamannya. Dalam persaingan antarbangsa yang
semakin ketat di bidang ekonomi dan IPTEK, hanya bangsa yang menguasai
keduanyalah yang mampu survive (bertahan hidup). Untuk menguasai bidang ekonomi
dan IPTEK tersebut mau tidak mau harus diupayakan pendidikan yang berhidmat di
bidang itu.
Demikian
pula untuk menguasai tantangan perubahan masyarakat akibat kemajuan pembangunan
nasional, pendidikan harus diarahkan agar peserta didik tidak kebingungan
dengan perubahan yang terjadi, di samping juga tetap mampu menguasai diri
dengan mengikuti perubahan menjadi makin modern (sesuai dengan jamannya) dengan
tetap memiliki nilai-nilai luhur bangsa. Dalam percaturan hidup seperti inilah,
madrasah (sebagai subsistem pendidikan agama Islam di Indonesia) juga harus
berbenah dengan ekstra keras untuk tidak sekedar menjawab tantangan yang ada,
tetapi sekaligus menunjukkan kepada masyarakat sebagai lembaga pendidikan Islam
yang layak bersaing.
Beberapa
permasalahan pengelolaan madrasah adalah; (1) SDM berwawasan sempit dan tidak
profesional; (2) Kesalahan menerjemahkan niat ikhlas; dan (3) pencitraan kumuh
dan pinggiran. Masalah pertama adalah
SDM berwawasan sempit dan tidak profesional. Masalah ini menjadi akar persoalan
yang paling rumit dihadapi oleh madrasah. Mayoritas pengelola madrasah kurang
atau sempit wawasannya. Berdasar akar permasalahan ini, perbaikan madrasah
berarti perbaikan factor manusianya karena the
man behind the gun itulah yang menjadi faktor utama.
Masalah
kedua adalah kesalahan menerjemahkan
niat ikhlas. Banyak pengelola madrasah yang bekerja hanya berbekal niat baik
dan ikhlas saja, tanpa disertai dengan keahlian yang diperlukan. Bahkan, tidak
jarang pengurus yayasan yang dengan bangga mengatakan bahwa untuk membangun
sebuah madrasah hanya diperlukan niat yang tulus ikhlas dan nekat. Niat baik
dan ikhlas memang perlu dan penting, demikian pula kenekatan. Akan tetapi, disamping
itu juga diperlukan beberapa keahlian untuk keberhasilan sebuah madrasah.
Misalnya, di kalangan pengurus yayasan atau persyarikatan diperlukan keahlian
menggali anggara, mengoperasikan anggaran secara efektif dan efisien,
memotivasi orang, menggerakkan organisasi, membuat perencanaan, melaksanakan
rencana, dan sebagainya. Keahlian itu bisa ada pada satu manusia atau beberapa
orang yang kemudian dipadukan. Untuk menjadi kepala madrasah, misalnya, tidak
cukup hanya berdasarkan tingkat usia, melainkan harus didasarkan pada
pertimbangan kualifikasi yang dimiliki. Yang perlu disadari juga adalah bahwa
niat baik yang semula mendasari gerakan perjuangan memperjuangkan madrasah
dapat juga luntur dan dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan lain yang sering
tidak disadari. Ini sering terjadi terutama pada madrasah yang mulai tumbuh
menjadi besar. Ketika minat masyarakat semakin besar terhadap madrasah
tersebut, maka tuntutan mereka kualitas layanan pendidikan pun meningkat pula.
Peningkatan tuntutan masyarakat ini sering tidak dapat dipenuhi oleh SDM yang
dimiliki (telah ada), sehingga membutuhkan tenaga baru yang lebih profesional
dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan jaman. Penambahan tenaga baru jelas
mengakibatkan pergeseran-pergeseran kedudukan orang-orang lama yang telah
“berjasa”. Sangat dimungkinkan beberapa SDM lama keberatan dengan perubahan
tersebut. Karena itu, tanpa kebesaran hati tenaga-tenaga lama, pergeseran itu
menimbulkan gejolak yang dapat merusak keutuhan lembaga.
Masalah
ketiga adalah persoalan pencitraan.
Citra diri madrasah hingga saat ini adalah kumuh dan pinggiran. Dua kondisi
diatas mau tidak mau menyebabkan madrasah menjadi tidak bermutu. Bahkan, kesan
yang sering muncul adalah sebagai lembaga pendidikan Islam yang kumuh dan tak
layak bersaing. Lingkaran setan ini dapat diatasi dengan, misalnya,
mengusahakan agar madrasah yang dikelola dapat menciptakan citra bermutu,
sehingga menarik minat para orang tua dan para donatur. Upaya ini sekaligus
bisa dipakai untuk mengatasi masalah pedanaan. Penciptaan citra bermutu dapat dilakukan
dengan, misalnya, mengusahakan agar prestasi peserta didik melejit dan bisa
bersaing dengan sekolah-sekolah yang telah memiliki citra bagus. Ini bisa
dilakukan dengan mempersiapkan diri dengan memberikan les khusus (pelajaran
tambahan) dengan pengelolaan yang profesional kepada para peserta didik. Pelajaran
bahasa Inggris dan Arab atau pelajaran computer dapat juga digunakan untuk
menarik minat orang tua golongan menengah. Pelajaran bahasa Inggris memerlukan
biaya yang jauh lebih murah daripada pelajaran komputer karena tidak memerlukan
perangkat keras yang mahal, cukup memerlukan guru bahasa Inggris yang baik
saja. Pelajaran ekstra ini harus diarahkan pada ketrampilan berbicara agar
masyarakat dapat melihat sendiri bukti hasilnya. Disamping untuk menciptakan
citra, ketrampilan berbahasa Inggris secara aktif menyiapkan peserta didik
untuk hidup di era globalisasi dengan kemampuan diri yang telah siap bersaing
di dalamnya.[73]
Daftar
Pustaka
Banathy, Bella H. 1968. Instructional System. Brelmont CA:
Fearon Publisher.
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan; Langkah-Langkah
Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem
Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Furchan, Arif. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Guna Media.
Musthofa, Imam Machali. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi; Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan
Budaya,.
Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
CV. Eka Jaya.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung: Citra Umbara.
Pertemuan Ketigabelas
URAIAN MATERI: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERKEMBANGANYA
MASALAH PENDIDIKAN
A.
Masalah Pemerataan Pendidikan
Pengertian
masalah pemerataan pendidikan
Pendidikan bagi suatu bangsa berfungsi sebagai tehnik atau
sarana dalam memajukan peradaban kebudayaan bangsa. Pendidikan diharapkan dapat
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara dalam
memperoleh hak pendidikan yang sesuai dengan jenjangnya. Pemerataan pendidikan
adalah persoalan yang terkait dengan system pelaksanaan sistem pendidikan yang
dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk
memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan menjadi wahana bagi pembangunan
sumber daya manusia dalam menunjang pembangunan suatu bangsa.
Sukarso menguraikan masih banyak persolan pemerataan pendidikan di
Indonesia, hal ini dapat dilihat dari rendahnya jumlah siswa-siswi yang melanjutkan
sampai perguruan tinggi sesuai dengan waktunya Masalah pemerataan pendidikan
dipandang penting karena pendidikan yang bermutu dimulai dari pemerataan pada
pendidikan dasar, karena anak usia sekolah tingkat dasar memperoleh kesempatan
belajar berupa kemampuan membaca, menulis dan berhitung sehingga mereka dapat
mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber belajar
yang tersedia.[74]
Tujuan
Pemerataan Pendidikan
Tujuan pemerataan pendidikan adalah menyiapkan masyarakat untuk
dapat berpatisipasi dalam pembangunan dan pengembangan bangsa, oleh karena itu
setelah upaya pelaksanaan pemerataan pendidikan terpenuhi, maka yang harus
dilakukan selanjutnya peningkatan mutu pendidikan.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) Bab III mengenai penyelenggaraan pendidikan pasal 4 berbunyi
sebagai berikut; (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; (2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multi bermakna; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) Pendidikan diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi setiap warga
masayarakat; dan (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelanggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan.[75]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami pendidikan di
Indonesia diselenggaran berdasarkan kebutuhan warga masyarakat dalam pemberdayaan
terhadap warga negara dengan menjunjung ting nilai-nilai demokratis dan
berkeadialn serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Solusi
terhadap pemerataan pendidikan tidak semestinya dilakukan secara parsial,
tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang menyeluruh. Artinya, masalah
pemerataan pendidikan tidak hanya pada kenaikkan angaran saja, karena naiknya
anggran juga harus diimbangi dengan peningkatan sumberdaya manusia pendidikan
baik di tingkat birokrat, penyelenggara dan pelaksana pendidikan di level
sekolah. Selain itu, diharapkan sumberdaya manusia tersebut dapat mempunyai
daya saing di tingkat global.
Data statistik tahun 2000 tentang jenjang pendidikan yang berhasil
dilaluinyamenunjukkan, bahwa jumlah penduduk usia kerja sebanyak 144.033.873
orang, hanya 21.699.066 orang atau 15,06 persensaja tamatan SLTA ke atas,
selebihnya (122.334.807) orang, hanya 84,94 persen hanya tamatan SLTP ke bawah.
Data ini menunjukkan masalah penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun masih
menjadi tujuan utama dalam mengembangkan SDM yang siap pakai dalam mengatasi
persaingan global.
Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu
dicermati, yakni rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang
kita pakai. Dengan membadingkan beberapa negara tetangga: Jepang, Korea, Australia,
Thailand atau Malaysia hanya satu di antara sepuluh pelajar yang belajar dalam
taraf menghafal. Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar,
pangajar, dan pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola anggaran agar
pelajar dapat mengembangkan potensi talenta yang dimiliki para anak didik
melalui kendali dan kontrol dari guru.
Pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana harus berupaya
untuk mencukupi sarana dan prasana yang di butuhkan oleh lembaga pendidikan.
Karena buruknya sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum kurang efektif, berakibat
pada lemahnya manajemen institusi pendidikan. Persoalan tersebut di atas
bermuara pada hal yang substansial, yakni lemahnya kemauan politik pemerintah
untuk melakukan reformasi birokrasi dan sistem pendidikan dan taraf kemampuan
SDM pendidikan serta lemahnya kemauan politik pemerintah untuk meningkatkan
alokasi anggaran pendidikan yang memadai dengan meletakkan pembangunan
pendidikan sebagai perioritas utama.
B.
Masalah Mutu Pendidikan
Pengertian
Mutu Pendidikan
Masalah mutu pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang paling mendasar
dalam sebuah negara, karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan
oleh keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan antara
lain lewat pendidikan yang berkualitas. Perkembangan pendidikan selalu mengarah
pada hal-hal yang bersifat kualitas maupun kuantitas. Pendidikan terus
berkembang, dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi
yang sedang berkembang di masyarakat. Karena itu, masalah mutu pendidikan selalu
menjadi persoalan dalam pengembangan mutu pendidikan.
Menurut Robinson, mutu pendidikan adalah keluaran atau hasil
oleh lembaga pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari 2 bentuk, yaitu:
(1) Mutu produk pada lembaga pendidikan meliputi hal-hal seperti bahan ajar, jumlah
lulusan, persentase kelulusan ujian, alumni yang mengikuti studi lanjut, alumni
yang mendapatkan pekerjaan atau promosi; dan (2) Mutu proses terkait dengan
hal-hal seperti proses pembelajaran, bimbingan bagi peserta didik, konseling,
koordinasi pengembangan bahan ajar dan bahan ujian, jaringan kerja dengan
kantor regional di berbagai daerah, sistem registrasi, pengelolaan sistem
informasi peserta didik, produksi bahan ajar multimedia, produksi bahan ujian,
penjadwalan tutorial, layanan bantuan belajar, distribusi bahan ajar, dan
penyiaran melalui media massa.[76]
Pembahasan tentang pendidikan erat kaitannya dengan dengan visi
dan misi, kebijakan, budaya kerja, budaya lembaga, serta citra lembaga yang bersangkutan.
Hal itu karena masing-masing kompenen tersebut menjadi landasan dalam
pelaksanaan dan peningkatan mutu pendidikan khususnya peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab (Sisdiknas, 2003: 5).
Namun, yang menjadi persoalan bahwa rumusan dan substansi tujuan
dari Undang-Undang No 20 tahun 2003 tersebut masih jauh dari yang di
citacitakan. Hal ini terbukti dengan lemahnya kulaitas pendidikan di Indonesia.
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Pada tingkat 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),
dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC),
kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di
Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic
Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut
survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower
bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Menurut Suyanto (1996) suvey di atas dimaksudkan untuk melihat
profil kualitas tenaga kerja di Asia tenggara. Asumsinya ialah untuk
mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas harus dilihat dari kualitas sistem
pendidikan di suatu negara. Indikator yang terkait dengan sistem pendidikan yang
digunakan PERC sebagai berikut; (1) Impresi keseluruhan tentang sistem
pendidikan suatu Negara; (2) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan dasar;
(3) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan menengah; (4) Proporsi penduduk
yang memiliki pendidikan perguruan tinggi; (5) Jumlah biaya untuk mendidik
tenaga kerja produktif; (6) Ketersedian tenaga kerja prosuktif berkualitas
tinggi; (7) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; (8) Ketersediaan tenaga
kerja klerk; (9)Jumlah biaya untuk mendidik staff manajemen; (10) Ketersediaan
staff manajemen (11) Tingkat keterampilan tenaga kerja; (12) Semangat kerja
(work ethick) tenaga kerja; (13) Kemampuan bahasa inggris; (14) Kemampuan
berbahas asing selain bahasa inggris; (15) Kemampuan penggunaan teknologi; (16)
Tingkat keaktifan tenaga kerja (labor activism); dan (17) Frekuensi perpindahan
atau pergantian tenaga kerja yang pensiun (labor turnover). [77]
Tujuan
Mutu Pendidikan
Tujuan mutu pendidikan adalah untuk memberikan jaminan kualitas
pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Oleh karena itu mutlak
dilakukan atau diterapkan oleh lembaga pendidikan. Mutu pendidikan erat
kaitannya dengan lembaga pendidikan yaitu sekolah yang merupakan lembaga secara
khusus mengembangkan sumberdaya manusia. Sekolah sebagai sistem, secara universil
memiliki komponen input, proses, dan output.
Uraian berikut menjelaskan proses dalam lembaga pendidikan
sebagai berikut:
1.
Input
Sekolah.
Sekolah sebagai sistem harus memiliki input yang lengkap dan
siap. Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya
proses. Input yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa
perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Secara
umum, input meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran, input manajemen, dan
sumberdaya. Visi adalah pandangan jauh kedepan kemana sekolah dibawa atau
gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah. Misi adalah tindakan untuk
merealisasikan visi. Tujuan adalah penjabaran misi, yaitu yang dihasilkan oleh
sekolah dalam jangka 1-3 tahun kedepan. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu
sesuatu yang dihasilkan dalam waktu satu bulan, satu catur wulan, atau satu
tahun. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat
spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang
rinci. Input manajemen, menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997), adalah seperangkat
tugas (disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban dan hak), rencana,
program, ketentuan-ketentuan (limitasi) untuk menjalankan tugas, pengendalian
(tindakan turun tangan), dan kesan positif yang ditanamkan oleh kepala sekolah
kepada warga sekolah.
Catatan: kepala sekolah mengatur dan mengurus sekolahnya melalui
sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen membantu
kepala sekolah mengelola sumberdayanya dengan efektif dan efisien. Sumberdaya
meliputi sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya. Sumberdaya manusia
terdiri dari sumberdaya manusia jenis manajer/pimpinan dan sumberdaya manusia
jenis pelaksana. Di sisi lain, sumberdaya meliputi uang, peralatan,
perlengkapan, bahan, bangunan, dsb. Yang perlu digarisbawahi, agar sekolah
berjalan dengan baik, diperlukan kesiapan sumberdaya, terlebih-lebih sumberdaya
manusia. Kesiapan sumberdaya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan kesanggupan.
Kesiapan kemampuan menyangkut kualifikasi, sedang kesiapan kesanggupan
menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia.
2. Proses
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain.
Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedang sesuatu
dari hasil proses disebut output.
Dalam pendidikan berskala mikro (sekolah), proses yang dimaksud
meliputi hal-hal berikut; Pertama, Proses
pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan
salah satu karakteristik sekolah dalam era otonomi. Esensi proses pengambilan
keputusan partisipatif (Cangeni, et. al., 1984) adalah mencari “wilayah
kesamaan” antara kelompokkelompok kepentingan sekolah (kepala sekolah, guru, siswa,
orangtua siswa, para ahli). Pelibatan kelompok kepentingan sekolah dalam proses
pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan
relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan;
Kedua, Proses
pengelolaan kelembagaan. Sekolah yang ideal memiliki perilaku sebagai sekolah
belajar. Menurut Bovin (1999), sekolah belajar memiliki perilaku seperti
berikut: memberdayakan sumberdaya manusianya seoptimal mungkin; memfasilitasi
warganya untuk belajar terus dan belajar kembali; mendorong kemandirian
(otonomi) setiap warganya; memberikan tanggungjawab kepada warganya; mendorong setiap
warganya untuk mempertanggunggugatkan terhadap hasil kerjanya; mendorong adanya
teamwork yang kompak dan cerdas dan shared-value bagi setiap warganya;
menanggapi dengan cepat terhadap pasar (pelanggan); mengajak warganya untuk
menjadikan sekolahnya customer focused; mengajak warganya untuk nikmat/siap menghadapi
perubahan; mendorong warganya untuk berpikir sistem, baik dalam cara berpikir,
cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya; mengajak warganya untuk
komitmen terhadap keunggulan kualitas; mengajak warganya untuk melakukan perbaikan
secara terus menerus; dan melibatkan warganya secara total dalam
penyelenggaraan sekolah;
Ketiga,
Proses pengelolaan program. Menurut Roe (1980) dan Norton
(1985), pengelolaan program sekolah adalah pengkoordinasian dan penyerasian
program sekolah secara holistik dan integratif yang meliputi: perencanaan,
pengembangan, dan evaluasi program, pengembangan kurikulum, pengembangan proses
belajar mengajar, pengelolaan sumberdaya manusia (guru, konselor, karyawan.), pelayanan
siswa, pengelolaan fasilitas, pengelolaan keuangan, pengelolaan hubungan
sekolah-masyarakat, dan perbaikan program;
Keempat, Proses pemotivasian staf. Proses pemetotivasian staff
dapat dilakukan dengan cara memberi rewards and incentives bagi anak buah
(staf) atas kontribusinya terhadap pengembangan sekolah, dan memberikan punishments
bagi anak buah yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai
yang telah menjadi acuan secara nasional. Di samping itu, kepala sekolah juga
berkewajiban memastikan bahwa anak buahnya memahami, menyetujui, dan
mendapatkan rewards melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Tentu masih
banyak cara lain untuk memotivasi anak buah;
Kelima,
Proses pengkoordinasian. Sekolah harus membuat diskripsi jabatan
yang dihasilkan dari analisis jabatan. Jabatan-jabatan tersebut, harus jelas
keterkaitan dan keterikatan antar jabatan di sekolah dan dengan jabatan di luar
sekolah. Sekolah harus kaya informasi yang relevan bagi sekolahnya dan
dibagi-bagi secara merata kepada warga sekolah. Informasi juga perlu
dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga di luar sekolah yang relevan.
Keenam,
Proses belajar mengajar. Sekolah sebagai sistem harus menekankan
proses belajar mengajar sebagai pemberdayaan pelajar, yang dilakukan melalui
interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun diluar
kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka
penekanannya bukan sekadar mengajarkan sesuatu kepada pelajar dan kemudian
menyuruhnya mengerjakan soal agar memiliki jawaban baku yang dianggap benar oleh
pengajar, akan tetapi proses belajar mengajar yang mampu menumbuhkan daya
kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk
menemukan kemungkinankemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan
terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, memberikan
kemerdekaan, dan memberikan toleransi terhadap kekeliruan-kekeliruan akibat
kreativitas berpikir;
Ketujuh,
Monitoring dan evaluasi. Setiap sekolah harus memiliki kejelasan
tentang output yang dicapai. Berpangkal dari output ini kemudian dilakukan
pemantuan terhadap proses pelaksanaan, agar output yang diharapkan dapat
dicapai. Selain itu, evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah output
aktual (nyata) sesuai dengan output yang diharapkan. Hasil evaluasi ini digunakan
sebagai masukan bagi pengambilan keputusan sekolah.
3. Output Sekolah.
Sekolah sebagai sistem, seharusnya menghasilkan output yang
dapat dijamin kepastiannya. Output sekolah, pada umumnya, diukur dari tingkat kinerjanya.
Kinerja sekolah adalah pencapaian atau prestasi sekolah yang dihasilkan melalui
proses persekolahan. Kinerja sekolah diukur dari efektivitasnya, kualitasnya,
produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya,
surplusnya, dan moral kerjanya, dengan keterangan seperlunya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Indikasi
pendidikan bermutu adalah sebagai berikut; (1) Peserta didik menunjukkan
tingkat pengasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learing task) yang
harus dikuasai sesuai dengan tujuan pendidikanHasil pendidikan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik sehingga dengan belajar peseta didik bukan hanya
mengatahui sesuatu; (2) tetapi juga terampil melakukan sesuatu; (3) Hasil
pendidikan sesuai dengan kebutuhan lingkuangan khususnya dunia kerja; dan (4) Penetapan
mutu hasil pendidikan dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen terhadap
calon keluaran (output), dengan system sertifikasi.
Selanjutnya jika tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan
oleh pemakai sebagai konsumen tenaga dengan system tes unjuk (performance
test). Keluaran pendidikan (output) dapat dilihat kualitas keluaran yang sesuai
dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan artinya keluaran tersebut telah
memenuhi kreteria yang diingin setelah peroses pendidikan yang disebut dengan
nurturant effect.
C.
Masalah Efisiensi Pendidikan
Pengertian
Efisiensi Pendidikan
Efisien erat kaitannnya dengan tehnik menghasilkan efektivitas
dari suatu tujuan dengan proses yang lebih murah. Pada proses pendidikan jauh
lebih baik jika memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan
proses yang baik pula. Masalah efisiensi pendidikan terkait dengan sistem
pendidikan dalam mendayagunakan sumber daya yang ada untuk tujuan pendidikan.
Jika penggunaannya hemat dan tepat sasara efisiensinya tinggi Jika terjadi yang
sebaliknya, efisiensinya rendah.
Pendidikan disebut efisien apabila hasil yang dicapai maksimal,
dengan biaya yang wajar, karena biaya merupakan ukuran efisien dalam proses
pendidikan terutama apabila dalam proses pendidikan dapat mengahasilkan output pendidikan
dengan biaya yang efisien.
Isltilah efisien menurut Fattah menggambarkan hubungan antara
input dan output. Sistem yang efisien dapat ditunjukkan dengan output yang baik
dari input. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi efisiensi internal dan efisiensi
external.
1.
Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output
pendidikan (prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan
output pendidikan.
2.
Efisiensi internal sering diukur dengan biaya-efektivitas.
Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan
tamatan dan kemanfaatan/keuntungan kumulatif (individualsosial dan
ekonomik-bukan ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang diluar
sekolah. Termasuk analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur
efisiensi eksternal.
Tujuan
Efisiensi
Tujuan efisiensi pendidikan dalam konteks penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia erat kaitannnya dengan profesional dalam manajemen
nasional pendidikan yang diterapkan, antara lain (1) disiplin keahlian, (2)
etos kerja, dan (3) cost effectiveness.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa efisiensi
pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung dalam membentuk lembaga pendidikan
yang efektif sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu proses pendidikan
harus diusahakan agar memperolah hasil yang baik dengan waktu yang sedikit. Langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam meningkat efisiensi pendidikan menurut Fattah (2000)
dapat dilakukan sebagai berikut; (1) Pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access); (2) Pemerataan
untuk bertahan di sekolah (equality of
survival); (3) Pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam
belajar (equality of output); dan (4)
Pemerataan kesempatan menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyaratakat
(equality of outcame)
D.
Masalah Relevansi Pendidikan
Pengertian
Relevansi Pendidikan
Relevasi pendidikan adalah kesesuaian program pendidikan yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai penggunan
atau takeholders pendidikan, artinya
yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dapat di nikmati hasilnya oleh masyarat
atau tepat guna. Relevansi pendidikan menurut Tirtarahardja (2005) dapat dilihat
dari faktor-faktor sebagai berikut; (1) Status lembaga pendidikan masih bermacam-macam
statusnya Status pendidikan yang bermacam-macam menyebabkan pola pendidikan
yang bermacam-macam sehingga tidak fokus terhadap tujuan lembaga apalagi tidak
standart pendidikan yang harsu dihasilkan oleh lembaga pendidikan; (2) Sistem
yang dilaksanakan lembaga pendidikan belum menghasilkan tenaga yang siap pakai
di masyarakat, hal ini karena out put yang dihasilkan belum sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Terutama kurikulum yang di terapkan belum mencerminkan
kebutuhan masyarakat. Misalnya pada daerah yang agraris (pengunungan) perlu ada
materi tambahan tentang pertanian. Sedangkan pada daerah pesisir perlu dimasukkan
materi tentang kelautan atau tentang pengembangan budidaya perikanan; dan (3) Belum
adanya program yang tepat dalam operasional lembaga pendidikan.
Tujuan
Relevansi Pendidikan
Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan bertujuan
agar hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dalam arti dapat
memberi dampak bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan kerja, kehidupan
di masyarakat dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi peningkatan
relevansi ini perlu disesuaikan dengan tujuan masing-masing jenjang, jenis dan
jalur pendidikan. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
(1) Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga negara
yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan; (2) Dapat
mencapai hasil yang bermutu, artinya perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat
mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan; (3) Dapat terlaksana
secara efisien, artinya pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan tujuan
yang ditulis dalam rancangan; dan (4) Produknya yang bermutu tersebut relevan,
artinya hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Uraian di atas merupakan gambaran tentang tahap awal dari
pembangunan sebelum suatu negara memenuhi keinginan dalam upaya pemerataan pendidikan
sehingga pada tahap berikutnya pembangunan di bidang pendidikan dapat
menempatkan prioritas pada peningkatan mutu pendidikan.[78]
Daftar
Pustaka
Bovin, Oile. 1999. Towards A Learning Organization. Geneva:
International Labor Office.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.
Bandung: Rosda Karya.
Robinson, B., 2005. The Management of Quality in Open and
Distance Learning, [Online], available at (http://joe.org/joe/2001june/a1.html)
Slamet, PH. 2008. Karakteristik Kepala Sekolah Tangguh. (online)
(http://www.depdiknas .go.id/Jurnal/ 25/slametph.htm, diakses 10 April 2008)
Sukarso, Ekodjatmiko. 2005. Pengembangan Jejaring Sekolah Global
dan Pengoptimalan Pemanfaatannya. Makalah disajikan dalam Semiloka
Pengembangan dan Optimalisasi Pemanfaatan Jaringan Pendidikan Sekolah
Global Salatiga Salatiga, 26 April 2005
Suryadi, Ace & H. A. R. Tilaar.1998. Analisis Kebijakan
Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
Tirtarahardja, Umar & S. L. La Sulo. 2005. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Renika
Pertemuan Keempatbelas
URAIAN MATERI: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BERKEMBANGANYA
MASALAH
Pendidikan
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Masalah Pendidikan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa
perubahan hampir semua aspek kehidupan manusia. Perubahan selain membawa manfaat
bagi kehidupan manusia, di satu sisi perubahan tersebut juga membawa manusia
pada era persaingan global yang semakin ketat. Oleh karena itu, agar mampu
berperan dalam persaingan global, sebagai bangsa kita harus terus mengembangkan
dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena peningkatan kualitas
sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana,
terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang
peran yang sangat penting. Hal itu karena peningkatan kualitas pendidikan
merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia itu sendiri. Akan tetapi pada kenyataannya upaya yang
dilakukan oleh pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan
kuailtas pendidikan. Salah satu indicator kegagalan pendidikan antara lain
ditunjukkan dengan nilai akhir UAN siswa untuk berbagai bidang studi pada
jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan
boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah
dengan jumlah yang relative sangat kecil. Hal ini karena dalam penerapan sistem
pendidikan di sekolah belum terlaksana secara menyeluruh serta belum mampu
menyentuh pada tingkat yang lebih bawah pada elemen pendidikan yaitu masyarakat
sebagai stakeholders pendidikan.
Membahas faktor-faktor masalah pendidikan tidak mungkin kita
lihat dari satu sisi saja, karena masalah-masalah pendidikan sangat kompleks untuk
dibahas. Pendidikan sebanarnya berbicara tentang sebuah sistem yang terdiri dari
sub-sub sistem di dalamnya saling terkait. Sebuah sistem yang tidak berjalan
dengan baik merusak sistem yang lain. Menurut Pidarta (1990) sistem adalah
sebagai strategi yang menyeluruh atau rencana yang dikomposisi oleh satu set
elemen yang harmonis, mempresentasikan kesatuan unit, masing-masing elemen
mempunyai elemen yang mempunyai tujuan sendiri yang kesemuanya berkaitan
terurut dalam bentuk yang logis.
Uraian ini menjelaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem
yang terdiri dari beberapa unit atau sub sistem dan sub-sub yang saling
mendukung serta mempunyai arah yang seragam dalam mencapai tujuan yang
diinginkan. Keluarga, sekolah, masyarakat merupakan gambaran dari sistem
pendidikan yang saling terkait dalam penyelenggraan pendidikan, keluarga
merupakan dasar pendidikan dan merupakan awal dari sebuah proses pendidikan, sedangkan
sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua setelah keluarga karena lembaga
pendidikan sekolah merupakan proses pendidikan formal yang di rancang secara
sistematis, terukur serta terarah, selanjutnya masyarakat merupakan jenjang
pendidikan setelah kedua sistem pendidikan
tersebut,
hal itu karena masyarakat merupakan lingkungan sebagai apalikasi dari ilmu yang
telah diperoleh peserta didik pada proses pendidikan yang telah mereka alami
sebelumnya.
Tujuan pendidikan bangsa Indonesia sebagaimana tertera dalam
undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003: mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan rumusan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan pada
dasarnya adalah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara mengembangkan potensi peserta
didik dengan berlandaskan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
peserta menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Namun, kanyataan yang terjadi pada
tingkat implementsi dari undang-undang tersebut di atas masih banyak persolan
pendidikan yang masih sulit untuk dipecahkan. Terutama dalam penerapan
manajemen pendidikan, kebijakan pendidikan belum menyentuh pada tingkat
kebijakan makro dan maupun mikro. Hal ini karena kebijakan-kebijakan pendidikan
lebih banyak terpusat yang mengakibatkan pemerintah hanya bisa menangani
masalah makro pendidikan dan tidak bisa menyentuh masalah mikro.
Pemetaan ini penting untuk dilakukan karena setiap daerah mempunyai
masalah berbeda-beda dalam mengurus serta mengembangkan pola pendidikan yang
diterapkan di daerah tersebut. Pola manajemen pendidikan dan pembelajaran yang
terapkan terutama dalam praktik pembelajaran lebih memfokuskan kepada
penguasaan materi daripada kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Hal ini karena, pendidikan adalah untuk membimbing jiwa dan raga anak didik
lewat pengajaran sehingga mereka memiliki kompetensi sesuai bakatnya
masing-masing, seperti menjadi pengusaha, menjadi alat negara, dan menjadi
ksatria. Pendidikan tidak hanya membentuk kecerdasan, tetapi juga dibekali
dengan kompetensi serta nilai-nilai etik sekaligus pembentukan watak yang
membuat mereka mempunyai jati diri dan kepercayaan yang kuat kompetensinya.
Menurut Tilaar, pendidikan merupakan proses untuk
menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam
tata kehidupan yang berdimensi lokal dan global, rumusan pendidikan tersebut
memiliki tujuan bahwa: 1) pendidikan merupakan proses berkesinambungan; 2)
proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia; 3) eksistensi
manusia untuk memasyarakat; dan 4) proses bermasyarakat dan membudaya yang
mempunyai dimensi waktu dan ruang.[79]
Sagala mengatakan bahwa berbicara pendidikan, sebenarnya kita
sedang membicarakan suatu aspek kehidupan yang melibatkan semua manusia.
Pendidikan diselenggarakan oleh manusia dan sasarannya juga adalah manusia.
Upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, bisa dilihat dan aspek
kuantitatif maupun kualitatif, secara nasional pemerintah telah mengambil
berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti (1) perubahan dan
penyempurnaan kurikulum pendidikan nasional; (2) undang-undang dan peraturan
mengenai pendidikan; (3) peningkatan angka partisipasi belajar anak usia
sekolah pada semua jenjang sekolah; (4) penambahan alokasi anggaran pendidikan;
dan (5) konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah. Masalah-masalah yang
paling mendasar yang mempengaruhi masalah pendidikan adalah masalah lulusan
satuan pendidikan (sekolah), khususnya pendidikan dasar dan menengah.[80]
Dari sejumlah pakar pendidikan cenderung tidak mempunyai nilai
tambah, sehingga muncul kesan bahwa orientasi satuan pendidikan adalah kegiatan
yang bersifat rutin saja, tidak punya arah yang jelas. Hal ini antara lain
ditandai dengan kualifikasi lulusan tersebut yang sulit untuk mampu
meningkatkan kualitas ekonominya atas dasar pengetahuan dan keterampilan yang
diperolehnya di sekolah. Faktor lain adalah kemampuan dan keterampilan mereka
masih kabur dalam merespon pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini karena
perolehan pendidikan dan pelajaran di sekolah belum mampu menjamin pemenuhan kebutuhan
hidupnya bila dilihat dari sudut ekonomi.
Shiddiq Al-Jawi (2006) menjelaskan bahwa permasalahan pendidikan
di Indonesia terdiri dari dua masalah penting. Pertama, masalah mendasar, yaitu
kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem
pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan
aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti
mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik,
rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya.[81]
Sagala menguraikan beberapa problematika pendidikan nasional
antara lain sebagai berikut; (1) Rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan
adalah sebagai alat pembangunan nasional, namun realitas menunjukkan bahwa
kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas
pembangunan; (2) Paradigma keberhasilan baru dapat dikatakan berhasil jika
memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan
ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetitif; (3) Tugas utama
pendidikan dirumuskan bukan sebagai merintis masa depan mengacu pada
prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu
(status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka; (4) Anggaran
pendidikan, khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran di sekolah yang
bersumber dan APBD kabupaten/kota dan provinsi maupun yang bersumber dan APBN
(pusat), belum pernah menembus angka di atas 7,5% dan anggaran pembangunan
pemerintah pusat maupun daerah, meskipun dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan
anggaran pendidikan 20 % dari APBN dan APBD. Penggunaannya lebih banyak untuk
keperluan birokrasi dalam bentuk proyek-proyek daripada untuk pelayanan belajar
di sekolah; (5) Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan
(need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan kemauan
para birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh
birokrasi tersebut; (6) Rendahnya kualitas kesejahteraan dan perlindungan
terhadap profesi guru dan tenaga kependidikan, serta karier profesionalnya
tidak jelas; (7) Hubungan pengelolaan pendidikan antara pemenintah sebagai
fasilitator dan pihak lain sekolah sebagai pihak yang difasilitasi amat
kompleks dan birokratis; (8) Biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua
cukup mahal, khususnya bagi sekolah-sekolah yang peminatnya dalam masyarakat cukup
besar atau biasa disebut sekolab favorit; (9) Pasar kerja bagi lulusan sekolah
labil, khususnya sekolah menengah dan kejuruan, sehingga setiap tahun angka
pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah; dan (10) Tekanan ekonomi
yang kuat dan memprihatinkan (angka kemiskinan yang tinggi) bagi masyarakat
luas dan mereka turut menanggung beban biaya pendidikan.
Hasbullah otonomi pendidikan mengungkapkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah pendidikan adalah 1) masalah kurikulum, 2) masalah
sumberdaya manusia, 3) masalah anggaran, sarana dan prasarana, 4) organisasi
kelembagaan, 5) masalah perundang-undangan, dan 6) masalah pembimbinaan dan
koordinasi.[82]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah pendidikan sangat kompleks terutama yang berkaitan
dengan pengambilan kebijakan pendidikan antara lain tidak adanya batasan yang
tegas apakah urusan pendidikan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
masih bagian dari manajemen pendidikan atau manajemen pendidikan itu hanya pada
satuan pendidikan (sekolah) saja. Menurut Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun
2004 tentang otonomi daerah serta Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten/
kota bertanggung jawab secara operasional memfasilitasi kebutuhan satuan pendidikan,
seperti TK, SD, SLTP, SMU, SMK, dan PLS untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Pada sisi lain, kepedulian masyarakat yang cenderung rendah untuk mendukung
program sekolah merupakan salah satu bagian dan problematika pendidikan.
Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan selama ini dirasakan
masih kurang berfungsi dengan baik, antara lain disebabkan oleh: (1) pemahaman
terhadap problematika pendidikan oleh masyarakat yang kabur; (2) lemahnya kemampuan
memberi bantuan pemikiran dan dukungan dana untuk pendidikan; (3) rendahnya
daya dukung dan fasilitas pendidikan di sekolah; (4) kepekaan birokrasi
pemerintah termasuk birokrasi pendidikan yang tumpul atas aspirasi masyarakat;
(5) kepekaan parlemen atau legislatif yang rendah atas kebutuhan masyarakat
ditandai dan program pendidikan belum menjadi prioritas pembangunan; (6)
kepastian dan komitmen politik pemerintah yang kabur merespon tuntutan
Iingkungan strategis di bidang pendidikan; dan (7) keengganan memikirkan peran
yang mungkin dilakukannya dalam program pendidikan di daerahnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa permasalahan
pendidikan nasional berkisar pada kekuasaan dan kekuatan yang dominan dan pemerintah
maupun dalam kekuasaan sosial politik dalam masyarakat yang berorientasi
kekuasaan. Sikap yang demikian tentu tidak pernah dapat menempatkan posisi dan
peran pendidikan sebagai prioritas yang penting dalam pengambilan kebijakan
pemerintahan tentang pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
pendidikan dalam memiliki berbagai macam variabel mempengaruhinya.
Menurut Sagala permasalahan pendidikan dapat dilihat dari 2
sudut pandang yang saling terkait dalam implementasinya. Pertama, masalah makro pendidikan yang terdiri dari: standarisasi
pendidikan, persamaan, pemeratan, dan berkeadilan, standar mutu, dan kemampuan
bersaing. Kedua, permasalahan mikro
pendidikan yang terdiri atas: kualitas manajemen, pemberdayaan satuan
pendidikan, profesionallisme dan ketenagakerjaan, dan relevansi kebutuhan.[83]
Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami bahwa faktor yang mempengaruhi permaslahan
pendidikan di Indonesia terdiri atas dua yaitu masalah makro dan mikro. Oleh
karena itu, perlu ada solusi-solusi yang konkret dalam mengatasi persoalan
tersebut terutama dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia dalam konteks
otonomi pendidikan dengan mengubah paradigma dalam pengelolaannya. Otonomi
pendidikan setidaknya mengubah paradigma lama menjadi pradigma baru yang
beroriantasi pada mutu serta tingkat efektivitas, dan efisiensi pengelolaan
lembaga pendidikan.
Pemahaman terhadap problematika tersebut, tentu menjadi
kewajiban pemerintah untuk menentukan solusi yang tepat sehingga sekolah
sebagai institusi pendidikan dapat menunjukkan kemampuannya memberdayakan seluruh
potensinya. Solusi yang mungkin dapat dilakukan antara lain: (1) mempertegas
visi dan misi melalui analisis kebutuhan (need assessment); (2) menjaga
institusi pendidikan yang managable dengan orientasi dan konsistensi visi dan
misinya terhadap tujuan dan target; (3) perlindungan guru dan profesionalisme
kepemimpinan kepala sekolah; (4) pemberdayaan satuan pendidikan sesuai prinsip
otonomi sekolah dengan melakukan desentralisasi, debirokratisasi, dan
profesionalisasi; dan (5) otonomi pengelolaan anggaran oleh satuan pendidikan.
Petunjuk dan batasan yang tegas tentang kewenangan provinsi dan kabupaten/kota
sebagai daerah otonom dalam mengambil kebijakan pengelolaan pendidikan telah
diatur dalam UU No. 32 dan 33 tahun 2004, UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas, serta PP No. 25 tahun 2000. Oleh karena itu, kebijakan mendasar yang
harus dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat adalah pemberdayaan sekolah
atau satuan pendidikan sebagai institusi. Strateginya adalah dengan memberikan
otonomi kepada semua personel yang berkedudukan sebagai kelompok fungsional
tenaga kependidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dengan pemberian
otonomi serta kepercayaan terhadap masyarakat menghilangkan masalah-masalah di
lembaga pendidikan baik dalam skala makro maupun mikro. Oleh karena itu, yang
harus dilakukan adalah pelaksanaan dan pengendalian kewenangan pendidikan yang
diarahkan pada pemberdayaan sekolah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peran
serta sekolah dalam mengelola pendidikan dengan memberikan kesempatan dalam
membantu meningkatkan kinerja sekolah. Konsep kerjasama yang erat antara
sekolah, masyarakat, dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing
memberikan kemandirian kepada sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis
dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan sumber daya
sekolah yang ada.[84]
Daftar
Pustaka
Hasbulla. 2007. Otonomi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.
Pidarta, Made. 1990. Perencanaan Pendidikan Partispatori dengan Pendekatan
Sistem. Jakarta: Renika Cipta.
Sagala, Saiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat:
Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Rakasta Semasta.
Tilaar, H.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia. Bandung: Rosda Karya.
[1]
Qura’an Surat Al Baqarah ayat 31.
[2]Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar
Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[3] Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar
Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[4] Driyarkara. 1980.
Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
[5] Barnadib, Sutari
Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Baca Juga: Barnadib, Sutari, Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis.
Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
[6] Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar
Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[7]Soedomo. 1990.
Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan dalam Pembangunan Nasional. Teks
Pidato Pengukuhan Pendidik Guru Besar. Malang: IKIP MALANG.
[8] Barnadib, Sutari Imam.
1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset. Baca
juga: Barnadib, Sutari Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis.
Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
[10] Suwarno, W. 2006.
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR- Ruzz Media.
[14]Pidarta, Made. 2001.
Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[15] Tirtarahardja, Umar, dan
S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta
[16] Tirtarahardja, Umar, dan
S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta
[17] Tirtarahardja, Umar, dan
S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta
[19]Tim Pegembangan MKDK IKIP Semarang.
1994. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang, h. 65
[20]Arifin, M. dan
Aminuddin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjen Binbagais, Depag RI.
[21] Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
[22] Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
[31] D. Marimba, Ahmad. 1980.
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al- Ma’arif.
[32]
Azra,
Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
[34] Tirtahadja,
Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[35] Tirtahadja,
Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[36] Tirtahadja,
Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[38]Azra, Azyumardi. 1998.
Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[39] Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca juga; Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[40] Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca juga; Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[43] TIM Dosen FIP-IKIP
Malang. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
[45] Langgulung,
Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
[46] Ahmadi,
Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca juga;
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[47] Azra, Azyumardi. 1998.
Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[49] TIM Dosen
FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
[50] Daradjat, Zakiyah. 1992.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[51] D. Marimba, Ahmad. 1980.
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al- Ma’arif.
[52]Azra, Azyumardi. 1998.
Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[54]
Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991.
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[55]Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991.
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[56]Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991.
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[57]
Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991.
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[58]Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991.
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[60]
TIM Dosen FIP-IKIP
Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
[61]
TIM Dosen FIP-IKIP
Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
[63] Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991.
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[67]Bastian, Aulia Reza.
2002. Reformasi Pendidikan; Langkah-Langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan
Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta:
Lappera Pustaka Utama.
[68]Musthofa, Imam Machali.
2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Buah Pikiran Seputar
Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[69] Rangkuman (1) Terjadinya
perbedaan konsep pengertian pendidikan nasional antara UUSPN No. 2 Tahun 1989
dan UUSPN No. 20 Tahun 2003 lebih banyak disebabkan oleh konteks dinamika
perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berubah. Persoalan agama dan
tuntutan perkembangan jaman sebagaimana dirumuskan dalam UUSPN No. 20 Tahun
2003 (dimana masalah tersebut tidak dirumuskan di dalam UUSPN sebelumnya)
menunjukkan keinginan kuat bangsa Indonesia untuk bersikap fleksibel dan
akomodatif terhadap perkembangan dan kebutuhan yang melingkupi. Dalam
perspektif ini, pendidikan nasional sebenarnya sudah mencerminkan sebuah visi
yang cukup bagus untuk mengantar bangsa dan negara Indonesia menuju kehidupan
yang semakin berkualitas, sekalipun, karena disebabkan beberapa distorsi pada
tataran aplikasi praksis keinginan yang cukup visioner tersebut pada akhirnya
kandas di tengah jalan; (2) Dari sudut konsep, pengertian sisdiknas antara
rumusan UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003, tidak ada perbedaan
yang prinsip. Perbedaan justru terjadi pada penafsiran terhadap keduanya.
Sisdiknas hasil rumusan UUSPN No. 2 Tahun 1989 menghasilkan sisdiknas yang
sentralistis, sehingga berakibat penyeragaman dan terkesan paket kebijakan dari
atas (pemerintah) yang tidak lagi bisa ditawar. Karenanya, pendidikan yang
mestinya melakukan pembebasan dan pencerahan berbalik arah menjadi pendidikan
yang membelenggu dan membodohkan. Sementara sisdiknas hasil rumusan UUSPN No.
20 Tahun 2003 sudah tidak lagi ditafsirkan sebagai sisdiknas yang sentralistik,
tetapi bersifat desentralistik. Sayangnya, peraturan operasional yang mengatur
implementasi sisdiknas yang bersifat desentralistis, meliputi pengelolaan,
mekanisme peranan daerah dan pusat, serta dampak-dampaknya belum terbahas
secara tuntas. Dipicu kenyataan ini, sisdiknas akhirnya sampai hari ini pun
belum mampu memberikan solusi yang solutif untuk mengentas bangsa dan negeri
ini keluar dari keterpurukan dan kehancuran; (3) Akar permasalahan sisdiknas
ternyata cukup beragam dan kompleks. Secara garis besar seluruh permasalahan
sisdiknas tersebut dikelompokkan dalam dua masalah besar. Pertama, konteks
historis sisdiknas yang lebih menekankan pada kepentingan pemerintah
(melestarikan status-quo kekuasaan) terpaksa harus melahirkan pendidikan yang
sentralistis. Dengan atas Nama keutuhan dan keselamatan negara seluruh kegiatan
pendidikan dibalut dalam logika tersebut. Karenanya, pendidikan justru
melahirkan para peserta didik yang tidak lagi memiliki kebebasan berpikir dan
berkreasi. Kedua, masalah penerapan sisdiknas, yakni bersifat sentralistis dan
seragam. Lagi-lagi masalah ini terulang lagi di era reformasi seperti ini.
Permasalahan aturan main tentang upaya desentralisasi pendidikan serta hal-hal
terkait dengannya yang belum jelas atau gamang, ternyata menjadi pemicu utama
terjadinya hal ini. Karena itu, perubahan paradigma sisdiknas harus segera
dilakukan agar tujuan bangsa dan negara Indonesia menggapai peradaban unggul
segera terwujud; (4) Paradigma pendidikan nasional Indonesia membutuhkan
sentuhan pemikiran berbagai pihak, agar proses pendidikan ke depan bangsa ini
bisa menemui kebermaknaan. Paradigma sinergisitas adalah sebuah alternatif yang
dimungkinkan layak bisa dipakai untuk mengkritisi penerapan sisdiknas selama
ini sekaligus bahan pemikiran untuk menggagas paradigma pendidikan nasional
yang membangun.
[70] Furchan, Arif. 2004.
Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Guna Media.
[72] Musthofa, Imam Machali.
2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Buah Pikiran Seputar
Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[73]Rangkuman (1) Pendidikan
nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 dilaksanakan melalui lembaga-lembaga
pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar.
Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 pendidikan nasional dilaksanakan melalui
pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selanjutnya, di dalam UUSPN No. 20
Tahun 2003 istilah jalur sekolah dan luar sekolah diperinci menjadi; pendidikan
formal untuk jalur pendidikan sekolah, dan pendidikan nonformal dan informal
untuk pendidikan luar sekolah; (2) Pengelolaan kelembagaan Sisdiknas terlalu
disibukkan oleh berbagai perubahan kebijakan pendidikan yang ujung-ujungnya
merubah atau mendekonstruksi kebijakan lama dan berkutat pada aktifitas itu.
Sementara di wilayah praksis pengelolaan kelembagaan pendidikan nasional masih
menemui kendala-kendala berikut: manajemen pengelolaan lembaga pendidikan yang
belum sistemik, total, dan mendasar, belum adanya budaya mutu, kurang adanya
relevansi dengan dunia luar, dan kurangnya akses dengan lembaga-lembaga
pendidikan dalam skala internasional hingga menyebabkan kurangnya informasi dan
akses di bidang pengembangan keilmuan dan kependidikan; (3) Sementara
pengelolaan madrasah sebagai subsistem dari Sisdiknas yang sangat diharapkan
akan melahirkan bangsa yang cendekia-islami ternyata juga belum mampu mengelola
sistem kelembagaan internalnya disebabkan persoalan-persoalan yang kompleks dan
rumit, mulai dari persoalan SDM yang masih rendah, dana yang sangat kecil,
manajemen yang tidak profesional, dan seterusnya.
[74]Sukarso, Ekodjatmiko.
2005. Pengembangan Jejaring Sekolah Global dan Pengoptimalan Pemanfaatannya. Makalah
disajikan dalam Semiloka
[75]Undang-Undang
No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab III
mengenai penyelenggaraan pendidikan pasal 4
[76] Robinson, B., 2005. The
Management of Quality in Open and Distance Learning, [Online], available at
(http://joe.org/joe/2001june/a1.html)
[78] Rangkuman; (1) Pemerataan pendidikan adalah persoalan yang terkait dengan
system pelaksanaan sistem pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga
pendidikan menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia dalam menunjang
pembangunan suatu bangsa; (2) Mutu pendidikan adalah keluaran atau hasil oleh
lembaga pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari 2 bentuk. Pertama, mutu
produk pada lembaga pendidikan meliputi hal-hal seperti bahan ajar, jumlah
lulusan, persentase kelulusan ujian, alumni yang mengikuti studi lanjut, alumni
yang mendapatkan pekerjaan atau promosi. Kedua, mutu proses terkait dengan
hal-hal seperti proses pembelajaran, bimbingan bagi peserta didik, konseling,
koordinasi pengembangan bahan ajar dan bahan ujian, jaringan kerja dengan
kantor regional di berbagai daerah, sistem registrasi, pengelolaan sistem
informasi peserta didik, produksi bahan ajar multimedia, produksi bahan ujian,
penjadwalan tutorial, layanan bantuan belajar, distribusi bahan ajar, dan
penyiaran melalui media massa; (3) Efisiensi pendidikan adalah apabila hasil
yang dicapai maksimal, dengan biaya yang wajar, karena biaya merupakan ukuran
efisien dalam proses pendidikan terutama apabila dalam proses pendidikan dapat
menghasilkan output pendidikan dengan biaya yang efisien; dan (4) Relevasi
pendidikan adalah kesesuaian program pendidikan yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai penggunan atau stakeholders
pendidikan, artinya apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dapat di nikmati
hasilnya oleh masyarat atau tepat guna.
[79]Tilaar,
H.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung:
Rosda Karya
[80]Sagala, Saiful. 2004.
Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu.
Jakarta: Rakasta Semasta.
[83]Sagala,
Saiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan
Persaingan Mutu. Jakarta: Rakasta Semasta
[84] Rangkuman: Permasalahan
pendidikan dapat dilihat dari 2 sudut pandang yang saling terkait dalam
implementasinya. Pertama, masalah makro pendidikan yang terdiri atas:
standarisasi pendidikan, persamaan, pemeratan, dan berkeadilan, standart mutu,
kemampuan bersaing. Kedua, permasalahan mikro pendidikan yang terdiri dari:
kualitas manajemen, pemberdayaan satuan pendidikan, profesionalisme dan
ketenagakerjaan, dan relevansi kebutuhan.
Nama : Azizah ovinur kamala
BalasHapusKelas: 2B PGMI
Nim: 1911240057
Matkul : IPI
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.pd
Soal :
1. Jelaskan tentang hakikat manusia dalam pendidikan, dan berilah 1 contohnya ?
Jwb :
Hakikat manusia adalah pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian dalam langkah survive manuisa mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara, hakikat dalam pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, Membudaya, dlam tata kehidupan yang berdemensi lokal, nasional dn global. Pendidkan adalah actual, artinya pendidkan bermula dari kondisi kondisi actual dari individu yang belajar dan lingkungan belajarnya. Contohnya : siswa diharuskan kan untuk wajib belajar
2. Jelaskan tentang pengembangan kepribadian manusia dalam pendidikan, dan berilah 1 contohnya?
Jwb :
Pengembangan kepribadian manusia dalam pendidikan pada dasarnya jiwa manusia dibedakan menjadi dua aspek, yakni aspek kemapuan dan aspek kepribadian, aspek kemampuan meliputi prestasi belajar : inteleglegensia, dan bakat, sesangkan aspek kepribadian meliputi watak : sifat penyesuaian diri : minat,emosi,sikap dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran tentang kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan,dan diperbuat, yang terungkap melalui prilaku.
Contohnya : perilaku seseorang, misalnya dia sedang keadaan gembira atau sedih
3. Jelaskan tentang tujuan dan fungsi pendidikan bagi manusia ?
Jwb :
Fungsi pendidikan :
1. Mengurangi pengendalian orang tua terhadap anak anaknya
2. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah
3. Mempertahankan sistem kelas sosial
4. Memperpanjang masa remaja
5. Mengembangkan bakat seseorang
6. Melestarikan kebudayaan
7. Menanamkan keterampilan
Tujuan pendidikan :
Didalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan fotensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhun YME, berakhlak mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif, mandiri serta menjadi warga negara demokratis dan juga bertanggung jawab
4. Jelaskan tentang landasan pendidikan pada perguruan tinggi ?
Jwb :
Landasan pendidikan dalam perguruan tinggi adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan studi pendidikan.
Beberapa alasan mengapa landasan harus dipelajari pendidikan dalam perguruan tinggi adalah
1. Untuk membangun landasan pendidikan yang kokoh
2. Sebagai tolak ukuran dasar dalam studi pendidikan
3. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
4. Untuk menjadikan sumber daya yang cerdas
5. Landasan pendidikan menjadi pedoman yang kongkret
5. jelaskan tentang aliran aliran pendidikan
Jwb :
Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan pendidikan. Macam - macam aliran pendidikan adalah :
1. Aliran nativisme
Istilah nativisme dri kata natie yang artinya adalah terlahir. Tokoh aliran ini adalah Schopenhawer ialah filosofi jerman pada tahun 1788- 1880
2. Aliran empirisme
Tokoh aliran empirisme adalah Jhon lock, filosof inggris yang hidup pada tahun 1632-1701. Menyebutkan bahwa anak yang terlahir kedunia seperti Kertas putih yang bersih.
3. Aliran naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J Rousseyau, ialah filosof perancis pada tahun 1712 sampai 1778.
Naturalisme berasal dari kata nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir
4. Aliran konvergensi
Tokoh aliran ini adalah william stern, ialah seorang tokoh pendidikan jerman pada tahun 1871-1939. aliran konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran nativisme dan empirisme.
Nama: Fuspa Nawulan Sari
BalasHapusnim: 1911240070
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Assalamualaikum wr.wb, maaf menggangu waktu nya sebentar buk, perkenalkan buk, nama saya Detia Anjela (1911240052) prodi PGMI, Kls B( C.36), ingin mengumpulkan tugas UTS IPI dari ibuk,, sekian terimakasih, w assalammualaikum wr.wb🙏
BalasHapusJawaban Soal IPI :
1. seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia didunia. contohnya : manusia sebagai makhluk Tuhan.
2. sebuah wawasan pengetahuan dan keterampilan manusia yang bersifat sangat luas, dikaitkan dengan ilmu pengetahuan.
contohnya : pendidikan yang di keluarkan disekolah untuk semakin membentuk kepribadian manusia adalah pendidikan pancasila.
3. Tujuan : mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakep, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis.
Fungsi : fungsi pendidikan menurut Horton dan Hunt, ialah mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, serta mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
4. dapat dipahami dengan menelaah dasar-dasar pendidikan pancasila sebagai bagian yang tidak terpisah dalam penyelenggaraan pendidikan pancasila di perguruan tinggi.
5. a. Aliran Nativisme yg artinya adalah terlahir.
b. Aliran Empirisme yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih.
c. Aliran Naturalisme yang artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir.
d. Aliran konvergensi yang berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk.
e. Aliran Esensialisme yaitu pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan sejak awal peradaban umat manusia.
f. Aliran Progresivisme ialah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
g. Aliran Prenelialism yaitu suatu aliran dalam pendidikan yang terlahir pada abad ke dua puluh.
h. Aliran Rekontruksi onisme yang artinya menyusun kembali.
i. Aliran Pragmatisme yaitu suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar.
Nama : Nurul Febri Anggraini
BalasHapusNim : 1911240060
Kelas : 2B PGMI C.3.6
Fakultas tarbiyah dan tadris
Nama: Elsyah Dwi Putri
BalasHapusNim : 1911240040
Kelas: 2B
Prodi: PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan tadris
Mata kuliah: ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.pd
Nama:Dea cucu pratama
BalasHapusKls:2B
Nim:1911240046
Prodi:pgmi
Fakultas:Tarbiyah dan tadris
Matkuliah:ilmu pendidikan islam
Nama: Winna Fatimah
BalasHapusNim: 1911240043
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama : Firda Wahyuni
BalasHapusNim : 1911240065
Prodi : Pgmi
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Kelas : 2b
Nama : Putri Rizki Amelia 1911240045
BalasHapusProdi : PGMI
Kelas : 2B
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
Nim : 1911240065
BalasHapusProdi : Pgmi
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Kelas : 2b
Mata kuliah: Ilmu pendidikan Islam
Dosen pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama : DEPI ABPERI YANTI
BalasHapusNIM : 1911240058
KELAS : 2 B
PRODI : PGMI
FAKULTAS: TARBIYAH DAN TADRIS
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus
BalasHapusNama : Reza Oktariani
Nim : 1911240047
kelas : 2b pgmi
Matkul : ilmu pendidikan islam
Prodi : pgmi
Fakultas : tarbiyah dan tadris
Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah, M.od
Nama : Adestia Wahyuni
BalasHapusNim : 1911240053
Prodi : PGMI 2B
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Mata kuliah : ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama : Nadiya Dwi Juliani
BalasHapusNim: 1911240041
Prodi : PGMI
Fakultas : tarbiyah dan tadris
Kelas : 2B
Mata kuliah : ilmu pendidikan Islam
Dosen pengampu : Dr. Hj.khairiah,M.pd
Nama : Nadiya Dwi Juliani
BalasHapusNim: 1911240041
Prodi : PGMI
Fakultas : tarbiyah dan tadris
Kelas : 2B
Mata kuliah : ilmu pendidikan Islam
Dosen pengampu : Dr. Hj.khairiah,M.pd
Nama : Shintia Novella
BalasHapusNIM : 1911240068
Prodi : PGMI 2B
Fakultas : tarbiyah dan tadris
Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
Nama: Yeni Marseli
BalasHapusNim: 1911240069
Kelas: pgmi 2b
Prodi: pgmi
Fakultas: tarbiyah dan tadris
Nama: Eka puji lestari
BalasHapusNim: 1911240066
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama: nabella listari
BalasHapusNim:1911240056
Kelas: pgmi 2b
Prodi:pgmi
Fakultas: tarbiya dan tadris
Mata kuliah:pendidikan ilmu islam
Guru pengampu:Dr.Hj.Khariah,M.pd
Nama : Agil Dayu Setiawan
BalasHapusNIM : 1911240037
Kelas : PGMI / 2 B
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama :yokos timor
BalasHapusNim :1911240059
Kelas :2B PGMI
Fakultas tarbiyah dan tadris
Mata kuliah:ilmu pendidikan islam
Dosen pengampuh: Dr.Hj.Khairiah.MPd.
Nama: Serly Windiasti
BalasHapusNim: 1911240063
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama: Deska Yusrika
BalasHapusNim: 1911240042
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama : Tiara mayang sari
BalasHapusNim. : 1911240048
Kelas : PGMI 2b
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan tadris
Mapel : ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M. Pd
Nama : Mita octavia
BalasHapusNim : 1911240064
Kelas : 2(B) pgmi
Prodi: Pgmi
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Mata kuliah : ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu :Dr. Hj. Khairiah, M.Pd.
Nama: Nining Marlinda
BalasHapusNim: 1911240051
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama: Dita Anggraini
BalasHapusNim:1911240067
Kelas:2B
Mata kuliah: ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
Nama: Ranisah (1911240054)
BalasHapusProdi: PGMI 2B
Fakultas Tarbiyah dan Tadris
Nama: Isna ainun nadia
BalasHapusNim: 1911240049
Kelas: 2B PGMI
Prodi: PGMI
Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama:Belina sentika
BalasHapusNim:1911240046
Prodi:pgmi
Fakultas:Tarbiyah dan tadris
Mata kuliah:ilmu pendidikan islam
Dosen:dr.hj.khairiah m. Pd
Nama:Belina sentika
BalasHapusNim:1911240039
Kelas:2B
UTS: ilmu pendidikan islam
Dosen:Dr.Hj.khairiah,M.pd
1.jelaskan tentang hakikat manusia dalam pendidikan dan sebutkan 1 contohnya!
Jawaban no 1.Hakikat manusia dari sisi penciptaannya adalah makhluk yang sempurna karena dibekali dengan akal. Maka dengan akal itulah manusia itu akan selalu berfikir tentang kelangsungan hidupnya dan generasinya. Manusia akan selalu berupaya untuk menemukan berbagai cara untuk survive baik bagi dirinya maupun keturunan atau generasinya, sekaligus meningkatkan kualitas kehidupannya baik fisik maupun non fisik yang berlangsung secara alami. Hal tersebut merupakan hakikat pendidikan secara umum.
Seiring perkembangan peradaban manusia, pendidikan dilaksanakan secara lebih sistematis dan terorganisir dalam bentuk pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini manusia pada dasarnya bisa sebagai subyek sekaligus obyek dari pendidikan. Sebagai subyek pendidikan berarti mereka berperan aktif dalam proses dan pelaksanaannya, mereka bertanggung jawab sebagai perencana, pengelola sekaligus pihak yang harus mengevaluasi dan mengawasi proses berlangsungnya pendidikan tersebut. Sedangkan sebagai obyek berarti mereka menjadi sasaran yang harus digarap dan dituju oleh pendidikan (khususnya manusia yang belum dewasa).
2.jelaskan tentang pengembangan kepribadian manusia dalam pendidikan dan sebutkan 1 contohnya!
Jawaban no
2. Pengembangan kepribadian adalah sebuah wawasan pengetahuan dan ketrampilan manusia yang bersifat sangat luas, dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Pengembangan kepribadian itu merupakan perpaduan dari gabungan beberapa disiplin ilmu, yang diantaranya ; ilmu psikologi, ilmu komunikasi, sosial, filsafat, seni, antropologi, budaya dasar, sumber daya manusia, manajemen, arkeologi, antropologi, kesusastraan, pedagogi, ilmu ketrampilan khusus dan lain sebagainya yang terkait dengan diri pribadi manusia sesuai dengan kebutuhan dan perubahan gaya hidup serta kemajuan jaman.
Yang dimaksud dengan kepribadian adalah “segala sesuatu yang mendasari kebiasaan, sikap, pola reaksi (pengenalan diri, cara berpikir dan bertingkah laku, cara merasa, cara mengendalikan diri, cara mengungkapkan dirinya, cara menggali potensi dirinya, memupuk kepercayaan pada dirinya, membentuk citra dirinya, cara berkomunikasi dan lainnya), bahkan juga cara menghadapi situasi kritis, bisa diajarkan”. Ada pembawaan – pembawaan khusus yang dapat diarahkan, diajarkan dan diterapkan oleh setiap individu yang mana bisa ditempuh melalui pelatihan – pelatihan atau pendidikan, kursus – kursus yang melatih dan mengajarkan pengembangan kepribadian, baik secara “luar” (menyangkut penampilan, etiket, sikap tubuh, ketrampilan, kecantikan, dan lain – lain secara lahiriah), maupun “dalam” (menyangkut sikap hidup, cara berpikir, dan lain – lain),
3.jelaskan tentang tujuan dan fungsi pendidikan bagi manusia!
Jawaban no
3. Tujuan Pendidikan
Di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab.
3. Fungsi Pendidikan
Menurut pendapat Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifest) yakni sebagai berikut:
· Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
· Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
· Melestarikan kebudayaan.
· Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi lain dari lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.
Mengurangi pengendalian orang tua terhadap anak-anaknya. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas serta wewenangnya dalam mendidik anak kepada pihak sekolah.
Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah mempunyai potens
Nama : Dita Tri Inesti
BalasHapusNIM : 1911240036
Kelas : PGMI / 2 B
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama : Sipriansyah
BalasHapusNim : (1911240061)
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam ( IPI)
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Telah selesai mengerjakan UjianTengah Semester(UTS) pada tanggal 21 april 2020
Dalam bentuk format file document Word
Nama : Putri Indah Muslimah
BalasHapusNim : (1911240014)
Kelas : 2A PGMI
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam ( IPI)
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Telah selesai mengerjakan UjianTengah Semester(UTS) pada tanggal 21 april 2020
Nama : Nurul Aulia
BalasHapusRuang : 2A PGMI
NIM : 1911240027
Prodi : pendidikan guru madrasah ibtidaiyah
Fakultas : tarbiyah dan tadris
Mata kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama. : Wulan Fitri sari
BalasHapusKls. :2A
Nim. :1911240026
Mata kuliah :Ilmu Pendidikan Islam (IPI)
Dosen pengampu : Dr.Hj Khairiah, M.pd
Prodi. : PGMI
Fakultas. : tarbiyah dan Tadris
Tekah selesai mengerjakan ulangan tengah semester (UTS) pada tanggal 21 April 2020 Terimakasih.
Nama : Ayu Andira
BalasHapusNim : 1911240006
Kelas : 2A ruang C.35
Mata kuliah: Ilmu Pengetahuan Islam
Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
Prodi : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
Fakultas : Tarbiyah
Telah selesai mengerjakan Ujian Tengah Semester (UTS)
Pada tanggal 21 April 2020
Nama : Indah Fuji Lestari
BalasHapusNim : 1911240028
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Tugas : Uts Ilmu Pendidikan Islam
Dosen : Dr. Hj. Khairiah,M.Pd
Telah selesai mengerjakan Ujian Tengah Semester (UTS)
Pada tanggal 21 April 2020
Nama : Indah Fuji Lestari
BalasHapusNim : 1911240028
Kelas : 2A ruang C.35
Prodi : PGMI
Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
Tugas : Uts Ilmu Pendidikan Islam
Dosen : Dr. Hj. Khairiah,M.Pd
Telah selesai mengerjakan Ujian Tengah Semester (UTS)
Pada tanggal 21 April 2020
Nama : Sulistya Ningsih
BalasHapusNim : 1911240012
Kelas : 2A
Prodi : PGMI
Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
Fakultas: Tarbiyah
Telah selesai mengerjakan ujian tengah semester (UTS) pada tanggal 21 april 2020
Nama : Sulistya Ningsih
BalasHapusNim : 1911240012
Kelas : 2A
Prodi : PGMI
Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
Fakultas: Tarbiyah
Telah selesai mengerjakan ujian tengah semester (UTS) pada tanggal 21 april 2020
Nama : Audia Rizki
BalasHapusNim : 1911240032
Kelas : 2A ruang C.35
Mata kuliah: Ilmu Pengetahuan Islam
Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
Prodi : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
Fakultas : Tarbiyah
Nama : Nita Aulia
BalasHapusNIM : 1911240015
Kelas : 2A.(C3.5)
Prodi : PGMI
Matkul : Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Nama:nabella listari
BalasHapusNim:1911240056
Kelas :2B pgmi
Prodi:pgmi
Fakultas:Tarbiyah dan Tadris
Mata kuliah:ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu:Dr.Hj.Khariah ,M.pd
Nama:reren nopriani
BalasHapusNim:1911240062
Kelas:2B pgmi
Prodi:pgmi
Fakultas:tarbiyah dan tadris
Matakuliah:ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu:Dr.Hj.khariah,M.Pd.
Nama:Reren nopriani
BalasHapusNim:1911240062
Kelas:2B pgmi
Prodi:pgmi
Fakultas:Tarbiyah dan tadris
Matakuliah:ilmu pendidikan islam
Dosen pengampu:Dr.Hj.khairiah,M.Pd.
Nama : Azizah ovinur kamala
BalasHapusNim : 1911240057
Kelas : 2B PGMI
Matkul : IPI
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.pd
Nama : Nining Marlinda
BalasHapusNIM :1911240051
prodi : PGMI 2B
Mata kuliah : UAS Ilmu Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M. Pd
Nama : Sucipta Julia Angeriani
BalasHapusNim : 1911240017
Kelas :2A
Prodi : PGMI
Telah menyelesaikan UTS
Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Terima kasih
BalasHapus