BAHAN AJAR MATA KULIAH: ILMU PENDIDIKAN ISLAM


BAHAN AJAR
MATA KULIAH: ILMU PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM STUDI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

Pertemuan Pertama
UARAIAN MATERI: HAKIKAT MANUSIA
A. Penciptaan Manusia
Manusia merupakan makhluk hidup yang keberadaannya di bumi ini, namun tidak ada yang mengetahui secara pasti. Sejarah panjangnya merupakan rangkaian peristiwa yang terputus-putus. Namun, keberadaan bumi seharusnya mendahului keberadaan manusia sebagai penghuni di atasnya. Walaupun mungkin saja terjadi, sebelum menghuni bumi ini, manusia telah berada di tempat lain kemudian mengadakan eksodus ke atas bumi.
Teori evolusi mengatakan alam ini, termasuk manusia berkembang secara evolusionis (berubah atau berkembang secara perlahan) dari makhluk yang sangat sederhana berkembang sedemikian rupa menjadi makhluk yang lebih kompleks. Perjalanannya yang sangat panjang itu menceritakan perkembangan tahap demi tahap sampai menjadi manusia seperti sekarang ini.
Prediksi ke depan, manusia terus berkembang dan mengalami transformasi ke bentuk manusia lainnya yang lebih kompleks. Golongan Realisme (orang yang beranggapan bahwa realitas ini bersifat bendawi), golongan Materialisme (orang yang beranggapan bahwa alam ini merupakan wujud gerak mekanistik) dan Atheis (orang yang tidak percaya kepada Tuhan) berpandangan demikian. Bagi mereka, yang paling utama bagi manusia adalah jasadnya (jasmaninya). Jiwa (ruhani) bersifat bayangan dari jasmani yang bersifat bendawi. Hal demikian tentu sangat berbeda dengan yang anda pikirkan, bahwa manusia mempunyai aspek ruhani yang berbeda dengan aspek jasmani.
Pandangan lain, seperti pandangan ahli agama, mengatakan manusia pertama tidak diciptakan di bumi dan bukan merupakan bagian panjang dari sejarah alam seperti diperkirakan dalam pandangan evolusionisme. Manusia pertama yang kemudian disebut dengan Adam itu diciptakan dalam surga dan keberadaannya di luar alam ini, serta berbeda dengan alam ini karena bersifat immateri). Pandangan demikian dianut oleh para pemeluk agama (terutama agama samawi dunia, seperti Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi).
Dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan, bahwa ketika Tuhan hendak menciptakan manusia (khalifah di atas bumi), Dia berdialog dengan malaikat. Malaikat mempunyai persepsi buruk tentang keberadaan makhluk baru itu. Akan tetapi Tuhan memberikan pengajaran atau pendidikan kepadanya.[1] QS: al-Baqarah, ayat 31). Tuhan telah menciptakan Adam di surga dengan aturan tidak boleh mendekati dan memakan buah pohon khuldi. Tetapi ketika Adam mendapatkan pasangannya bernama Hawa, dia tergoda bujuk rayu pasangannya itu untuk mendekati dan memakan buah larangan itu. Atas pelanggarannya tersebut Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke atas bumi. Jadilah mereka penghuni bumi pertama yang datang dari tempat lain, kemudian dilanjutkan dengan anak keturunannya.
Kehidupan Adam dan keturunannya mempunyai peran besar dalam kehidupan di bumi ini, dengan mengelola, memanfaatkan dan melestarikannya. Peran itu diwujudkan pula untuk pengembangan diri dan lingkungannya supaya mempunyai dukungan positif terhadap kehidupannya. Peran-peran itu kemudian ditransformasikan kepada generasi berikutnya melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan tidak pernah lepas dari manusia dan selalu berpusat pada manusia dan kehidupannya, baik sebagai subjek maupun sebagai objek. Tiada pendidikan tanpa manusia dan tiada manusia tanpa pendidikan. Hubungan manusia dengan pendidikan ini bersifat simbiosis, manusia mengembangkan pendidikan dan pendidikan mengembangkan manusia dan kehidupannya.
Pandangan lain menyebutkan Adam datang dari surga itu bukan bersifat fisik. Aspek fisik manusia termasuk Adam berasal dari benda-benda bumi dan berkembang secara evolusionis seperti yang dikemukakan oleh Ibn Maskawih, seorang filosof besarmuslim. Tuhan menurunkan ruh kepada benda-benda tertentu untuk menjadi manusia. Boleh jadi manusia secara fisik berkembang secara evolusionis dan pada saat mencapai kematangannya mendapatkan ruh, sehingga jadilah manusia yang berdimensi fisik dan psikis. Dalam pandangan filosofis, bahwa penciptaan oleh Tuhan berproses secara emanatif (pancaran). Tuhan sebagai Wujud al-Awwal (wujud pertama) keberadaan-Nya bersifat wajib/Wajib al-Wujud. Dalam wacana filsafat Prepatetik, Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (wajib adanya atau wujud-Nya sebagai suatu keharusan), yaitu wujud yang harus ada dan tidak boleh tidak, serta dzat dan wujudnya adalah identik. Wajib al-Wujud ini disebut pula dengan al-’Aql. Al-Aql ini adalah dzat yang berpikir. Dan yang dipikirkan adalah dirinya sendiri karena tiada yang lebih berhak untuk dipikirkan kecuali dirinya sendiri. Karena Dia berpikir, maka Dia disebut dengan al-A’qil (yang berpikir), dan karena yang dipikirkan dirinya sendiri, maka Dia pula disebut dengan al-Ma’qul (yang dipikirkan).
Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya sendiri. Ketika Tuhan berpikir semacam ini, maka terjadilah emanasi. Emanasi dari Tuhan sebagai al-wujud al-awwal (wujud pertama), memanifestasikan al-wujud al-tsani (wujud kedua) atau al-‘aql al-awwal (akal pertama). Ketika al-‘aql pertama ini berpikir tentang Tuhan, timbullah emanasi kedua yang berupa al-wujud al-tsalits (wujud ketiga) atau al-‘aql al-tsani (akal kedua), dan ketika berpikir tentang dirinya sebagai al-mumkin al-wujud, maka timbullah al-sama’ al-ula (langit pertama). Dan ketika berpikir tentang dirinya sebagai wajib al-wujud dan sebagai emanasi dari Tuhan, timbullah jiwa semesta. Dengan proses yang sama, al-‘aql al-tsani itu beremanasi dan menimbulkan ‘aql-‘aql lain, sehingga sampai pada al-‘aql al-‘asyir = akal kesepuluh). Di bawah al-‘aql ini, sebagai pengatur dunia, muncul jiwa dan materi pertama sebagai unsur alam.
Dalam proses yang hampir sama seperti di atas, al-Suhrawardi (filosof yang masuk dalam mazhab ‘Isyraqi), memandang, bahwa posisi tertinggi dari rentetan cahaya adalah Cahaya segala Cahaya atau Cahaya Murni. Dengan proses emanasi Cahaya segala Cahaya itu memanifestasikan cahaya pertama (disebut juga dengan Cahaya Ab strak atau al-Nur al-Aqrab (åCahaya lebih dekat), jumlahnya satu dan tidak semurni sumbernya, sehingga terdapat sisi kegelapan padanya. Kegelapan ini menimbulkan bayangan pertama (ismus) tertinggi. Ketika memahami kekurangannya, muncullah cahaya kedua yang menerima pencerahan dari Cahaya segala Cahaya dan cahaya pertama, karena semua cahaya bersifat tembus. Dengan proses yang sama seperti di atas timbullah cahaya-cahaya dan ismus-ismus yang lain dalam rentetan yang tidak terbatas. Manusia secara material berasal dari ismus itu yang mendapatkan pancaran cahaya dari cahaya-cahaya di atasnya. Pancaran cahaya itu merupakan aspek ruhani manusia.
          Dalam wacana sufisme bahwa penciptaan pertama adalah Nur Muhammad (cahaya Muhammad) atau sering pula disebut dengan al-Haqiqah al-Muhammadiyah (hakikat kemuhammadan), ruh Muhammad, atau al-‘aql al-awwal, karena ia identik dengan akal pertama dalam teori filsafat. Sebelum Tuhan menciptakannya Ia melihat dirinya sendiri lebih dahulu. Dalam kesendiriannya terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya yang di dalamnya tidak terdapat kata-kata ataupun huruf. Dia melihat kemuliaan dan ketinggian dzat-Nya, dan Iapun cinta pada dirinya sendiri, yaitu cinta yang tidak dapat disifatkan. Cinta inilah yang menjadi sebab wujud bagi yang banyak. Karena cinta yang mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka Tuhan mewahyukan dirinya dalam bentuk dunia fenomena. Cinta abadi-Nya untuk memandang kecantikan dan kesempurnaan diri-Nya dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk untuk diketahui oleh diri-Nya sendiri di dalam dan melalui diri-Nya sendiri. Ia mengeluarkan dari tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Hakikat kemuhammadan adalah ketuhanan dalam bentuk tanazul-nya (penurunan) yang pertama kali dan menjadi sumber tanazul-tanazul berikutnya. Dia adalah tempat tajalli (penampakan diri) Tuhan yang bersifat absulut. Dalam kesendirian-Nya, Dia ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, sehingga diciptakanlah alam ini sebagai cermin bagi diri-Nya. Atau Dia berkehendak untuk diketahui, maka Dia menampakkan dirinya dalam bentuk tajalli. Prosesnya terjadi bahwa Dzat-Nya ber-tajalli dalam tiga martabat melalui sifat dan asma-Nya yang paling sempurna, dan ia adalah al-‘ilmu al-ilahi (pengetahuan Tuhan) yang meliputi semua hakikat ketuhanan, sehingga ia bisa dikatakan al-‘aql (akal), al-‘aqil (yang berakal), dan al-ma’qul (objek yang dipikirkan). Nur Muhammad merupakan wadah tajalli (penampakan Tuhan) karena tidak bertabir (unveiling), penampakan lahir (revelation), atau pencerahan (ilumination) yang paling sempurna. Tidak satu pun yang mengatasinya kecuali esensi yang Absolut.
Cahaya Muhammad ini bersifat azali (ada tanpa permulaan), karena ia merupakan pancaran cahaya-Nya. Keazaliannya mendahului al-‘adam (ketiadaan), karena ia muncul pertama kali, dan keberadaannya mendahului semua makhluk, sehingga menjadi wajar bilamana posisinya disebut sangat dekat dengan Tuhan dan sebagai al-wasilah (penghubung) Tuhan yang pertama kali. Nur Muhammad adalah ciptaan Tuhan yang pertama dari cahaya-Nya yang menjadi sumber makhluk, sebagai perantara antara hamba dengan-Nya. Ia sebagai sebab dari semua penciptaan, ruh suci, dan aktivitas penciptaan dari Tuhan. Nur Muhammad sebagai awal atau permulaan ruh dan sebagai sumber akal pikiran, dan segala sesuatu tercipta darinya. Dia adalah intermedier (barzakh) antara Tuhan dengan fenomena, suatu untaian antara yang abadi dengan yang temporal, yang wajib dengan yang kontingen dan yang riel dengan yang fenomenal, yang aktif dengan yang pasif. Satu pihak ia berhadapan dengan Tuhan dan pihak yang lain ia berhadapan dengan makhluk. Nur Muhammad merupakan prinsip aktif dari pengetahuan kudus dan esoterik, atau menjadi sumber ilmu dan al-‘irfan (pengenalan kepada Tuhan).
Tuhan sebagai pencipta dunia tidak memerintah langsung karena Ia bersifat transenden mutlak. Fungsi ini diperankan oleh ciptaan yang mewakili arketip Muhammad yang penciptaannya sesuai dengan bayangan Tuhan dan dianggap sebagai daya kosmik tempat bergantung tata susunan dan pemeliharaan alam semesta. Ia sebagai axis (pusat) tempat segala sesuatu mengitarinya dari mula hingga akhir. Penampakan Tuhan secara esensial itu dikhususkan kepada Muhammad dan bukan kepada selainnya. Alam berada dalam hubungan yang paling dekat dengan Tuhan dan diketahui melalui dirinya sendiri, yakni alam adalah kesadaran Tuhan sendiri, merupakan substansi dari pengetahuan, dan yang mengetahui (the knower), yang diketahui (the known) dan pengetahuan (the knowledge) adalah satu. Tentu Anda tidak dapat mengenal semua dzat yang disebutkan di atas melalui pancaindera Anda. Sebabnya tidak lain adalah bahwa dzat-dzat itu bersifat immateri yang tidak bisa dicerna melalui indera yang mana pun. Namun alasan-alasan filosofis sebagaimana diterangkan di atas hanya bisa dimengerti oleh rasio kita, sehingga kebenarannya bersifat rasional.

B. Dimensi Kepribadian Manusia
Manusia dapat dipandang dari sudut yang beragam. Satu sisi dapat dipandang sebagai realitas fisik, dan sisi yang lain dapat dipandang sebagai realitas psikis.

Aspek Fisik Manusia
Pandangan satu pihak tentang manusia lebih menekankan pada realitas dan fungsi-fungsi jasmani. Anggapan demikian menunjukkan bahwa keberadan dan kehidupan manusia sangat ditentukan oleh fisiknya. Aspek jasmani yang terdiri atas benda (materi) tunduk kepada hukum-hukum materi atau hokum-hukum alam yang bekerja secara mekanik. Keberadaannya berasal dari alam dan bekerja menurut hukum alam. Semua yang dikerjakan dan diperbuat oleh manusia merupakan kausalitas alami tanpa diintervensi oleh aspek lainnya. Keberadaan manusia di alam ini sebatas/sepanjang umurnya. Anda tentunya tidak dapat menahan diri atau menolak hukum alam. Seperti Anda tidak dapat menahan diri dan tidak dapat menolak untuk menjadi tua, karena menjadi tua adalah hukum alam yang tidak mungkin Anda hindari.
Secara fisiologis (jasmani), keturunan manusia diciptakan dari sel-sel sperma yang bersatu dengan sel-sel telur (ovum) dalam rahim seorang ibu yang mengandungnya, sehingga kemudian menjadi segumpal darah, darah kemudian menjadi daging, dan daging membentuk tulang-belulang sampai hari kelahirannya mencapai kelengkapan fisiologis yang diperlukan untuk hidup. Hal demikian terjadi secara alami. Namun hal ini belum menjawab pertanyaan dari manakah manusia pertama yang menjadi sebab lahirnya manusia lainnya sebagaimana menjadi teka-teki di atas. Tentunya manusia pertama tidak terdiri dari pencampuran sperma dan ovum sebagaimana terjadi pada keturunannya. Kalau setiap sperma dan ovum berasal dari manusia, maka terjadi peristiwa yang berkelanjutan tanpa ada batasnya (et infinitum).
Aspek fisik/jasmani manusia yang hidup di alam ini tunduk kepada hokum alam, sehingga ia memerlukan penyesuaian diri dengan tuntutan hukumhukum alam. Keberlanjutan kehidupannya hanya bisa terwujud bilamana kebutuhan fisiknya secara alami dapat terpenuhi, seperti makan, minum, menghirup udara dan lain sebagainya. Barangkali Anda dapat menyebutkan beberapa kebutuhan primer (utama) manusia serta kebutuhan sekunder sebagaimana juga Anda alami. Namun demikian, aspek fisik ini mempunyai kemampuan untuk meneruskan atau melanjutkan keturunannya dengan sistem  berkembang biak melalui fungsi-fungsi biologisnya. Fungsi ini tidak terdapat pada aspek lainnya. Aspek biologis seperti disebutkan tadi bersifat fisik/ materi, sehingga dapat diketahui dan diserap melalui indera kita. Anda tentu sudah tahu kegunaan dan fungsi masing-masing kelengkapan dan angota aspek fisik Anda, seperti: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk membau dan lain sebagainya. Semua organ tubuh dan aspek lainnya secara bersinergi satu dengan lainnya menunjang kehidupan manusia, seperti fungsi jantung, paru-paru, ginjal dan organ tubuh lainnya yang telah bekerja secara sistemik dalam menunjang kehidupan manusia.

Aspek Psikis Manusia
Pandangan lain lebih menekankan pada realitas dan fungsi-fungsi ruhani. Aktivitas dan perbuatan manusia secara lahir sangat ditentukan oleh aspek ruhaninya, karena aspek jasnami hanya merupakan bayangan atau pengejawantahan dari realitas ruhani. Aspek ini dianggap telah ada sebelum manusia lahir ke dunia ini; dan melanjutkan kehidupannya di akhirat nanti ketika jasadnya sudah meninggal dunia. Kehidupan ruhani yang telah mengalami kehidupannya sebelum hidup di dunia ini dan terus hidup secara ruhani walaupun jasadnya sudah mati adalah lebih penting. Oleh karena itu, aspek manusia tidak bersifat fisik semata. Pengamatan terhadap aspek fisik semata tidak dapat menjelaskan manusia secara utuh, bahkan tidak mencukupi untuk memperjelas konsep manusia, karena manusia tidak diwakili aspek fisiknya belaka. Untuk mengetahui lebih lanjut dimensi lain dari manusia ikuti uraian berikut.
Anda menyebut diri Anda dengan aku. Yang disebut aku oleh Anda bukan yang bersifat fisik, karena aspek fisik itu hanyalah bagian dari aku, seperti rambutku, kepalaku, mataku, hidungku, telingaku dan lain-lain. Ketika bagian fisik itu terlepas dari Anda, maka aku Anda masih utuh; dan Anda masih dapat menyebut diri Anda dengan diriku. Diri Anda tidak hilang bersamaan dengan hilangnya bagian-bagian fisik itu. Tetapi kalau seluruh tubuh itu hilang semua, maka Anda tidak dapat menyebut aku lagi, bukan hilangnya diri Anda, tetapi karena yang merepresentasikan Anda tidak ada. Dengan demikian, ada dimensi lain dari diri Anda yang tidak bersifat fisik, dan sering disebut dengan psikis (ruhani), sehingga manusia terdiri dari aspek jasmani dan ruhani yang terintegrasi.
Manusia lebih mudah dikenal secara fisik, seperti mengenal benda lainnya. Aspek fisik manusia bisa dikenal melalui pancaindera kita. Disisi lain, aspek lainnya hanya dikenal dengan argumen-argumen logis yang hanya bisa dicerap oleh kemampuan rasionalitas yang cukup tinggi, atau melalui beberapa pengenalan yang tidak melalui pancaindera ataupun rasio, tetapi melalui kemampuan batin. Manusia tentu sangat lupa terhadap pengalaman batinnya, ketika masih berada di alam sebelum alam ini atau alam ruhani, dan belum dapat membayangkan yang terjadi pada dirinya kelak setelah meninggalkan alam ini, karena semuanya bersifat immateri/ruhani yang berada di alam akhirat. Hal yang bersifat akhirati ini tidak dapat dicerna oleh indera kita. Namun, penjelasan-penjelasan yang berhubungan dengan masalah akhirat dapat diterima oleh akal sehat atau melalui keyakinan kita terhadap berita akhirat yang tersebut dalam kitab suci yang kita percayai.
Aspek ruhani manusia adalah sesuatu yang tidak bersifat fisik/materi (immateri). Coba sekarang berpikir sejenak tentang diri Anda. Secara fisik Anda terdiri dari tubuh dan beberapa organ tubuh dengan fungsinya masing-masing. Anda telah dapat menyebutkan organ-organ tubuh dan anggota tubuh Anda beserta fungsinya masing-masing. Bahkan barangkali Anda dapat menyebutnya lebih dari sekedar Nama dan fungsinya, tetapi juga unsur-unsur fisika dan kimianya. Namun setelah Anda melihat tubuh Anda dengan kelengkapan organ dan anggotanya secara total, yakinkah bahwa itu diri Anda? Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Anda barangkali masih bimbang untuk meninggalkan aspek ruhani sebagai bagian dari diri Anda.
Sekarang bayangkan diri Anda. Bagian–bagian tubuh atau organ-organ tubuh Anda yang satu dengan yang lain tidak bersentuhan sehingga yang satu tidak merasakan keberadaan yang lain. Demikan pula alat pencerapan Anda, seperti mata ditutup sehingga tidak melihat pada bagian mana pun dari tubuh Anda. Telinganya pun disumbat sehingga tidak mendengar detak jantung Anda sekali pun. Demikian pula dengan alat-alat yang lain. Kalau Anda mau memperhatikan secara seksama, pada waktu itu masih ada sesuatu yang masih mengenal diri Anda melalui kesadaran Anda bahwa Anda ada. Ketika Anda sadar diri Anda, maka Anda mengetahui eksistensi Anda. Kesadaran itulah sebagai representasi Anda. Kesadaran itu bukan terletak pada fisik Anda, tetapi pada ruhani Anda. Kalau sudah yakin demikian, maka sebenarnya pengetahuan terhadap aspek psikis Anda lebih rumit dibandingkan pengetahuan Anda terhadap aspek fisiknya.
Aspek psikis Anda terdiri dari beberapa bagian walaupun tidak dapat diperlihatkan dan diketahui melalui pancaindera. Untuk sekadar mengetahuinya, sebagian orang hanya menatap gejala-gejala psikis yang tampak ke permukaan atau melalui aspek jasmaniahnya, seperti orang marah mukanya merah, orang senang banyak tersenyum dan lain sebagainya. Namun, kadang-kadang seseorang membuat kamuflase untuk menyembunyikan gejala jiwanya. Seperti orang marah tetap tersenyum, dan orang susah tetap tertawa. Hal demikian mendorong sebagian orang lain melihat gejala psikis seseorang melalui kajian filosofis
Aspek kejiwaan atau aspek ruhani (spiritual) adalah sesuatu yang lain dari tubuh dan bentuk-bentuknya berbeda dengan bentuk tubuh. Secara etimologis spiritual berarti jiwa, sesuatu yang immaterial, supramaterial. Makna etimologis semacam ini meliputi atau mengandung term al-ruh (spirit, soul), al-nafs (mind, soul, psyche, spirit), al-qalb (/mind, soul, spirit) dan al-‘aql (reason, insight, mind, intelect, intelegence). Al-‘aql masuk dalam makna spirit atas padanan kata dari istilah al-nafs yang diberikan oleh para filosof. Penggunaan arti spiritual bisa terjadi tumpang tindih atau bergeser dari makna yang satu ke makna yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, karena mewakili banyak term.
Aspek jiwani/spiritual merujuk pada bagian dalam dari pandangan dualism manusia yang mengatakan bahwa manusia mempunyai aspek fisik dan psikis. Kawasan semantik kata spiritual atau jiwa ini meliputi beberapa term yang berbeda, walaupun kadang-kadang mengacu pada makna yang seragam. Dalam pandangan al-Ghazali, aspek spiritual diwakili oleh term al-ruh (ruh) al-qalb (hati), al-nafs (jiwa), dan al-‘aql (akal) yang semuanya merupakan sinonim. Aspek spiritual adalah esensi manusia, terpisah dari fisik dan mempunyai potensi untuk mengetahui dan mengalami, serta sebagai subjek penerima informasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Keberadaannya mengambil tempat (sekadar membedakan dengan aspek fisik yang mengambil ruang dan waktu) di ‘alam al-barzakh (alam perantara) atau di ‘alam al-amr (alam perintah) atau ‘alam al-awwal (alam pertama) Wawasan tentang bentuk spiritualitas manusia menggambarkan keberadaan Tuhan, karena sifat manusia merupakan pantulan sifat-sifat Tuhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu serta terbebas dari kategori jumlah dan kualitas, bentuk, warna, ukuran dan lain sebagainya, sehingga kadang-kadang sulit untuk membentuk konsepsi tentang esensi ini.
Untuk sekadar membedakan terminologi sebagaimana tersebut di atas, uraian berikut memperjelas pemahaman Anda. Al-nafs adalah substansi spritual yang berdiri sendiri dan berasal dari alam ketuhanan, sehingga mampu mengenal dirinya sendiri dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Seperti itu pula pandangan Ibn Maskawaih tentang al-nafs, walaupun Ibn Rusyd melihatnya sebagai aktivitas dan pengetahuan rasional. Al-nafs ini terdiri dari dua substansi al-qalb dan al-ruh.
Al-qalb (hati) adalah al-lathifah al-rabbaniyah (kelembutan Tuhan) sebagai instrumen pencerapan pengertian ruhaniah guna mendapat pengalaman dan pengetahuan esoterik dan sebagai pusat pewahyuan. Ia dapat menjadi tempat ma’rifah (mengenal Allah), karena memang dipersiapkan untuk memandang keindahan Ilahi. Hati dianggap sebagai batas dan tempat pikiran yang sangat rahasia dan murni. Ia merupakan dasar yang paling dalam dari sifat pengetahuan. Kalau Anda pada suatu ketika menerima inspirasi ghaib yang tidak melalui pancaindera maupun pikiran, maka Anda menerimanya melalui hati Anda seperti terjadi pada orang suci dan wali.
Al-ruh dalam pandangan Suhrawardi sama dengan al-‘Aql al-Mustafad, sebagai prinsip rasional dan sebagai mode universal, dan berupa substansi kemalaikatan dan sebagai hakikat manusia, berfungsi mencari pengetahuan sejati. Ia dipersiapkan untuk mencintai Allah dan menerima cahaya dari-Nya. Cahaya itu dapat memancar ke seluruh bagian manusia bagaikan pelita dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, tetapi sinarnya menebar ke seluruh penjuru ruangan, sehingga ia merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi, dan bertanggung jawab terhadap cahaya penglihatan murni. Sebagian orang menerima pancaran cahaya suci yang datang dari alam ghaib. Pancaran ini memberikan pencerahan kepada seseorang sehingga segala sesuatu menjadi jelas. Tidak ada sesuatu yang bisa diketahui tanpa adanya cahaya. Akan tetapi melalui aspek ruhaninyanya manusia mendapatkan pencerahan batin sehingga ia tahu sesuatu melalui pencerahan itu.
Al-‘Aql merupakan substansi tunggal yang tak dapat dibagi, besifat spiritual, dan sebagai alat pencerapan pengertian ruhaniah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan. Ia merupakan bagian yang merasakan pengetahuan. Walaupun terpisah dari materi (tubuh), ia memerlukan materi untuk pergerakannya. Al-‘aql yang merupakan cahaya Ilahi ini mempunyai kemampuan untuk menyerap makna yang tidak dapat ditangkap oleh indera.

Daya Praktis
Daya praktis yaitu jiwa yang berhubungan dengan badan. Ketika manusia bertindak atau melakukan sesuatu secara sadar ada suatu ide yang datang kepada Anda apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Ide itu datang dari aspek ruhani yang memerintah aspek fisik untuk bertindak atau melakukan sesuatu.

 Daya Teoritis
Daya teoritis adalah kemampuan akal untuk berpikir sendiri, dan tidak untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan atau perbuatan yang bersifat fisik. Daya atau akal ini berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat, dari tingkatan yang paling rendah sampai tingkatan yang paling tinggi. Semakin maju dan berkembang pemikiran seseorang, maka semakin maju pula kemampuannya untuk mengerti sesuatu. Daya teoritis ini mempunya beberapa tingkatan sebagai berikut.
Material Intelect, yaitu akal yang baru berupa potensi untuk berpikir dan belum dilatih. Ibaratnya Anda mempunyai kendaraan tapi belum dikendarai. Tetapi kendaraan itu mempunyai potensi untuk dikendarai atau mengantarkan Anda kemana Anda mau pergi. Intelectus in Habitu, yaitu akal yang mulai dilatih berpikir tentang hal-hal yang abstrak. Seperti kendaraan tadi, maka mesinnya sudah dihidupkan, dan mulai berjalan di tempat tertentu.
Actual Intelect, yaitu akal yang telah dapat berpikir secara abstrak. Sekarang kendaraan Anda telah dapat dikendarai segala kondisi yang diperlukan. Acquired Intelect, yaitu akal yang telah sanggup memikirkan hal-hal yang abstrak dengan tidak memerlukan daya upaya. Akal ini sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (malaikat), karena akal terakhir ini dapat membangun hubungan dengannya yang di dalamnya telah terdapat bentuk-bentuk segala yang ada sejak azali. Hubungan itu dapat dimisalkan hubungan antara matahari dan mata, ia dapat melihat karena ada sinar matahari. Akal Mustafad yang mendapat limpahan cahaya dari Akal Aktif memungkinkan ia dapat menerima cahaya, wahyu atau ilham, sehingga ia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk dari Akal Aktif. Bentuk akal ini tidak lagi seperti akal yang biasa kita pergunakan sehari-hari atau akal biasa sebagaimana disebutkan di atas. Akal ini di atas kemampuan akal kita seharihari. Akal ini mempunyai kemapuan untuk berhubungan dengan alam ghaib, sehingga gambaran ghaybiyat yang pernah diterima seseorang adalah melalui akal ini, dan tidak melalui indera maupun akal sehari-hari. Atau dengan kemampuan akal ini seseorang dapat mengetahui alam di luar alam tepat kita hidup. Wujud manusia sangat ditentukan oleh wujud spiritualnya yang mempunyai hubungan dengan Akal Aktif atau cahaya ghaib.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, ‘Aisyah. 1997. Manusia Sensivitas Hermeneutika al-Qur an. Terj. Adib al-Arief, Yogyakarta: LKPSM.
‘Afifi, A. E. 1995. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi. Terj. Syahrir Mawi dan Nandi Rahman.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj.Haidar Bagir. Bandung: Mizan.
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1970. Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah al-Nafs. Kairo: Maktabah al-Jundi.
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1969. Misykah al-Anwar. Kairo: Dar al-Qudsiyah,
Fakhry, Majid. 2000. Sejarah Filsafat Islam. Terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan, Hornby, AS. 1983. Oxford Advancer Dictionary of Current English. New York: Oxford University.
Madkur, Ibrahim, tanpa tahun. Fi Falsafah al-Islamiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif. Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu. Jakarta: UI Press.
Nasution, Muhammad Yasir. 1996. Manusia Menurut al-Ghazali. Jakarta: Raja Grafindo.
Rahman, Fazlur. 1990. The Philosophy of Mulla Sadra. Beirut: Maktabah al-Jundi.
Walbridge, John Tultill.1983. The Philosophy of Quthb al-Din al-Sirazi: a Study in Integration of Islamic Philosophy. Boston: Harvard University.
Wehr, Hans.1960. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: McDonald.
Yazdi Mehdi Ha’iri.1985. Ilmu Hudhuri. Bandung: Mizan.


Pertemuan Kedua
URAIAN MATERI: KEBUTUHAN DAN PENGEMBANGAN
DIMENSI KEPRIBADIAN MANUSIA

A. Kebutuhan Manusia
Ketika manusia menyadari dirinya secara total, maka manusia mengetahui dirinya terdiri dari aspek jasmani dan ruhani. Kesadaran dirinya dapat dirasakan dan gejalanya dapat dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan fisik walaupun kesadaran itu bersifat psikis. Hal demikian menunjukkan bahwa dirinya masih eksis dan masih hidup. Kehidupan manusia tidak serta merta eksis tanpa fungsi yang berguna dari berbagai organ-organ tubuhnya. Disfungsi dari semua atau sebagian organ tubuh manusia menekan kehidupannya sampai tidak hidup lagi.

Kebutuhan Hidup yang Bersifat Fisik
Manusia memerlukan berbagai macam ragam kebutuhan hidup. Untuk mempertahankan kehidupan manusia diperlukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup primer. Kebutuhan primer adalah kebutuhan hidup yang tidak boleh tidak, harus ada dan tersedia. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka keberlangsungan kehidupan terganggu. Kebutuhan primer yang berupa nutrisi, oksigen dan asupan lain sebagainya harus selalu tersedia. Dalam nutrisi yang manusia konsumsi terdapat banyak bahan yang dapat menunjang keberlangsungan hidup manusia, misalnya: (1) karbohidrat untuk pembakaran di dalam tubuh manusia, (2) protein sebagai bahan pembangun selsel tubuh yang sudah rusak, (3) vitamin sebagai benteng pertahanan dari serangan berbagai bakteri maupun virus penyakit, dan (4) oksigen sebagai komponen lain dalam pembakaran dalam tubuh.
Asupan tersebut di atas harus proporsional dengan kebutuhan tubuh, supaya dapat meningkatkan daya tahan, vitalitas, perkembangan tubuh. Tubuh yang mendapatkan asupan yang cukup dan proporsional meningkatkan kesehatan. Semakin sehat seseorang, maka semakin meningkat vitalitasnya. Implikasinya adalah turut meningkatkan kebutuhan yang lain yang bersifat sekunder, seperti kebutuhan seks umpamanya. Pemenuhan terhadap kebutuhan ini membawa konsekuensi pengembangbiakan jumlah spesies manusia, jika pemenuhan kebutuhan seks ini dapat dilakukan secara wajar.
Di pihak lain, fungsi-fungsi tubuh dan organnya perlu dilatih sedemikian rupa agar dapat berkembang. Fungsi-fungsi tubuh dan organ-organnya yang dapat berkembang secara baik menunjang dan mempermudah manusia dalam melakukan aktivitasnya. Manusia yang dapat melakukan aktivitas secara maksimal dan optimal memberikan kontribusi bagi pemenuhan kehidupannya baik secara pisik maupun secara psikis. Manusia minimal memerlukan makan dan minum. Tidak setiap makanan dan minuman tersedia secara lengkap di hadapannya. Ada bahan makanan yang harus dicari dan bahan makanan yang harus diolah. Untuk itu, manusia memerlukan keterampilan mencari dan mengolah makanan dan minuman. Ada pula lingkungan yang sangat mendukung terhadap kehidupan manusia tetapi ada juga lingkungan yang kurang mendukung kehidupannya, seperti bencana alam. Terhadap masalah yang terakhir umpamanya, manusia harus menghindar dan melakukan perbaikan sedemikian rupa. Hal demikian memerlukan kemampuan manusia untuk merekonstruksi lingkungannya agar tetap aman dan nyaman dan tetap memberikan dukungan terhadap kehidupannya.
Secara spesifik ada kebutuhan khusus yang berbeda antara laki-laki dan perempuan terkait dengan perbedaan biologik yang bersifat kodrati yaitu perbedaan organ-organ reproduksi yang harus menjadi perhatian utama. Misalnya laki-laki membuahi dan perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Tentu saja laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda yang disebut dengan kebutuhan gender praktis.

Kebutuhan Hidup yang Bersifat Psikis
Manusia barangkali pernah mengalami, atau paling tidak pernah menyaksikan orang yang murung ketika ia menghadapi malapetaka yang mengancam jiwanya, atau paling tidak orang yang gagal dalam suatu usaha, seperti tidak lulus dalam suatu ujian sekolah, atau sebaliknya. Manusia barangkali pernah mengalami atau menyaksikan orang yang bersorak sorai sebagai tanda kegembiraannya ketika seseorang sukses dalam suatu usaha, misalnya lulus dalam suatu ujian sekolah. Orang demikian menunjukkan kebebasan dirinya dari beban yang menekan. Beban yang menekan dirinya menyebabkan stres atau depresi. Hal ini tidak ubahnya seperti orang yang kekurangan nutrisi sebagai kebutuhan primernya, yaitu mengalami sakit. Namun penyakit yang diderita tidak bersifat fisik, melainkan bersifat psikis. Setiap jenis penyakit merupakan gangguan terhadap eksistensi manusia sehingga perlu diberantas.
Aspek psikis memerlukan perhatian, pendidikan dan pembinaan sesuai dengan sifat dan karakteristiknya. Seseorang yang melupakan pendidikan dan pembinaannya, maka perkembangan dan pertumbuhan kepribadiannya dapat dipastikan menyalahi hakikat dan kodrat hidupnya. Aspek ini berasal dari alam spiritual, bahkan cenderung kembali ke asalnya bersih dan suci. Penyuciannya dapat berupa konsentrasi dalam dzikir, shalat dan ibadah lainnya.
Aspek psikis mempunyai kemampuan yang diperoleh dari ‘alam mitsal (alam bentuk) dan dari dunia materi, dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman melalui dzawq cita rasa hati), di samping dari penalaran dan pengalaman empirik (penginderaan). Sebagian pengetahuan dan pengalamannya diperoleh dengan belajar atau usaha dan dengan jalan ilham setelah terjadinya mukasyafah (keterbukaan pintu ghaib). Akibatnya mampu mengenal sesuatu dari dua alam, dapat mengenali dirinya dan di luar dirinya. Oleh karenanya, tahu (sadar). Siap menerima ilham, isyraq (pencerahan) atau ilmu ladunni (ilmu yang dicampakkan oleh Tuhan ke dalam hati seseorang tanpa belajar), jika tercipta kejernihan melalui renungan batin, perjuangan jiwa dan riyadlah (latihan spiritual), merupakan alat untuk mencapai pengetahuan ilhami dan mengenal Tuhan (ma’rifah). Ia pula yang mendekat pada-Nya. Mengenal aspek ini dengan segala potensinya menjadi penting sebagai dasar pembinaan dan pengembangannya, dan seseorang yang tidak mengenalnya berarti ia tidak akan mampu mengenal sesuatu apa pun yang bersifat spiritual.
Secara psikis seseorang memenuhi pembinaan guna pengembangan aspek psikisnya. Seperti pengembanagn berpikir, mengingat, berfantasi, menanggap, mengamati, memperhatikan dan lain sebagainya. Kebutuhan itu seharusnya dapat dipenuhi sedemikian rupa agar didapat menikmati hidup dan dalam rangka menciptakan kondisi manusia yang sehat jasmani dan ruhani. Kebutuhan psikis dapat disebutkan sebagai berikut.

Rasa Aman
Seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, memerlukan, atau yang memiliki perbedaan sosial, sama-sama memerlukan rasa aman dari berbagai ancaman yang bersifat menekan. Seseorang yang merasa tidak aman dari ancaman sesuatu menyebabkan gelisah, susah bahkan sampai putus asa. Perasaan aman bisa timbul karena orang yang mempunyai pertahanan diri yang tangguh dan dapat mengatasi segala rintangan yang bersifat menekan dirinya. Disamping itu, adanya perlindungan dari pihak lain yang bertanggungjawab atau dari pihak yang mempunyai otoritas untuk itu, seperti negara dengan segenap aparat keamanannya, atau orang tua bagi anak kecil dapat menghidarkan seseorang dari kecemasan dan rasa tidak aman.

Penghargaan
Seseorang dengan ragam perbedan sosial maupun jenis kelamin sama-sama memerlukan penghargaan dari pihak lain, terutama terhadap prestasi-prestasi yang pernah dicapainya. Apresiasi dari orang lain menimbulkan dan meningkatkan rasa percaya diri pada seseorang untuk berbuat lagi, baik perbuatan yang serupa atau perbuatan lain, karena mendapatkan kebebasan berkreasi dan optimisme yang tinggi. Orang yang tidak pernah mendapat penghargaan dari pihak lain bisa jadi menekan dirinya, pesimis dan bahkan putus asa. Namun demikian, orang yang mendapatkan apresiasi yang terlalu tinggi dari pihak lain boleh jadi bisa congkak atau sombong, karena terlalu percaya diri.

Aktualisasi Diri
Seseorang dengan ragam perbedan sosial maupun jenis kelamin sama-sama mempunyai kemauan, keinginan, dan cita-cita. Semua orang berharap agar kemauan, keinginan dan cita-citanya dapat dicapai. Hal demikian adalah wajar pada setiap orang apabila keinginanannya dapat dicapai secara baik menimbulkan rasa kepuasan dan percaya diri. Untuk mencapai keinginannnya itu seseorang selalu melakukan kegiatan yang menunjang pencapai keinginan itu. Orang yang dapat melakukan demikian adalah orang dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.

Kebutuhan Terhadap Agama
Secara naluriah, sebagaimana disebutkan di atas, manusia dilahirkan untuk mengakui dzat yang dianggap mengatasi dirinya (The Wholy Others). Manusiahidup dan dilimpahi dengan berbagai kesuksesan. Tetapi di pihak lain ada lagi yang mengalami banyak kendala dan hambatan dalam hidupnya. Akhirnya, sadar bahwa sukses yang diperoleh maupun mushibah yang menimpa dirinya bukan semata atas kehendak dan di luar kekuasaan dirinya. Semua program yang dijalankan tidak selamanya sesuai dengan rencananya. Ketika seseorang melihat penyimpangan dari pola-pola perencanaan yang diprogramkan, menyadarkan diri atas kekuasaan yang berada di luar dirinya. Kesadaran semacam ini yang menuntun seseorang untuk mempercayai dzat yang maha kuasa.
Hal demikian yang menjadi dasar keimanan seseorang untuk memeluk atau mempercayai suatu agama. Ketika seseorang telah mempercayai suatu agama, maka didapatkan kepuasaan terhadap doktrin-doktrin agamanya ketika dirasakan perlindungan agama terhadap dirinya, baik untuk kehidupan di dunia ini apalagi kehidupan di akhirat nanti. Sebagaimana Anda rasakan ketika selesai melaksanakan kewajiban agama, apabila memang dihayati secara benar, Anda merasakan suatu pengalaman keagamaan. Pengalaman agama yang dicapai dalam shalat dan do’a misalnya, telah membimbing seseorang untuk merasakan ketentraman batin bahwa dirinya berada dalam naungan kekuasaan-Nya.
Hal semacam ini yang menimbulkan kerinduan yang menyebabkan seseorang untuk selalu melaksanakan ajaran agamanya secara kontinyu. Dengan demikian, semua manusia dengan berbagai strata sosial dan perbedaan sosial maupun perbedaan jenis kelamin sama-sama membutuhkan kehadiran agama untuk membimbing kehidupan mereka. Allah pun tidak memandang manusia dari aspek perbedaan tersebut, tetapi memandang dari perbedaan ketaqwaannya.

B. Pengembangan Kepribadian Manusia
Manusia dengan ragam perbedan sosial maupun jenis kelamin tidak sematamata hidup, tetapi juga berpenghidupan. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup dan penghidupannya manusia selalu berusaha dan berupaya untuk mencari jalan agar selalu berkembang. Kehidupan duniawi tempat seseorang memulai dan melaksanakan kariernya memberikan kebebasan dan hak kepadanya untuk mewujudkan keinginannya dan memperoleh citacitanya, dengan mengembangkan hidup, kehidupan, dan semua peradabannya, demi kelangsungan hidupnya dan kariernya.
Aspek fisik mempunyai peran yang sangat penting dalam mengantarkan seseorang mencapai tujuan yang diinginkannya. Dalam hubungannya dengan alam yang memang dipersiapkan untuk kehidupannya di dunia ini, seseorang tidak harus bersifat fatalis dalam menghadapinya. Mengembangkan aspek fisik dan material sudah tersurat maupun tersirat dalam pandangan hidup manusia, dan sebagai pemenuhan kewajiban legal formal dan kewajiban moral bagi seseorang yang meniti karier kehidupanya di dunia ini. Seseorang perlu belajar dari pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain, dan mensinergikan berbagai pengalaman itu untuk mendapatkan legetimasinya dan membuat formulasinya yang tepat, efektif, dan efisien untuk mencapai kehidupan yang sempurna. Tanpa akselerasi kehidupan duniawi, maka kehidupannya stagnan, dilampaui oleh pihak lain, karena tidak dipergunakan pikiran genius dan kreatifnya untuk mengembangkannya supaya tidak tertinggal. Dalam ketertinggalan itu boleh dijadikan sub ordinasi pihak lain, sehingga ruang geraknya menjadi terbatas. Hal ini sangat berbahaya bagi dirinya dan generasi penerusnya. Pada umumnya perempuan dengan strata sosial lebih rendah dan anak-anak seringkali kurang mendapatkan perhatian sehingga mengalami ketertinggalan. Karena itu dalam pengembangan kepribadian perlu memperhatikan kelompok-kelompok marjinal dan subordinal agar sama-sama mendapatkan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dari aktivitasnya.
Di saat ini sangat dirasakan pentingnya pendidikan dan alih informasi dan teknologi dari salah satu pihak kepada pihak lain, atau sifat kerjasama yang menjadi ide sentral perubahan suatu masyarakat yang berkembang ke arah saling ketergantungan, karena diyakini tidak satu pun masyarakat atau bangsa dapat hidup mandiri memenuhi segala hajat kehidupannya tanpa bantuan pihak lain. Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri sudah menjadi keharusan supaya suatu bangsa tidak dikuasi oleh pihak lain karena sebab ketergantungannya. Suatu bangsa hanya menjadi kuat jika mempunyai ketangguhan dan ketahanan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dapat berdakwah, menyebarkan informasi dan pendidikan kepada orang lain sesuai dengan pandangan hidup yang diyakini. Fisik yang lemah, pikiran tidak kreatif dapat disebut sebagai pangkal kelemahan untuk membangun dunia yang berperadaban. Seseorang tidaklah harus menyerah secara total terhadap keadaannya dan menerima tanpa melaksanakan usaha yang mungkin bisa dilakukan dalam pandangan pikiran yang sehat.
Kehidupan masa kini umpamanya, ditandai dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin lengkapnya pemenuhan kebutuhan material, namun belum cukup memberikan makna terhadap kebutuhan ruhani sepanjang seseorang belum menemukan makna kehidupan dari berbagai dimensinya dalam dirinya sendiri secara ruhani. Seseorang perlu menyelami kedalaman aspek ruhaninya supaya tidak mengabaikan kebutuhannya yang paling dasar dalam mendapatkan ketentraman batin dan keseimbangan dalam dirinya. Pikiran seseorang pada suatu ketika memerlukan pembebasan dari kesadaran yang terbatas menuju pada kesadaran yang tidak terbatas. Bilamana aktualisasi dan kebutuhan aspek ruhaninya tidak terpenuhi sebagai kebutuhan dasar, maka sulit diharapkan terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam hidup, yang berarti pula tidak ada keseimbangan antara kondisi fisik dan psikis. Berat sebelah pengembangan antara dua aspek ini menyebabkan disharmoni antara berbagai aspek kepribadiannya yang mengakibatkan terjadinya dehumanisasi, dan banyaknya penyimpangan dari kehidupan yang normal.
Penyembuhannya tidak dapat dilakukan melalui terapi-terapi aspek fisik semata tetapi memerlukan keterlibatan aspek psikis. Menemukan akses yang bisa dipergunakan untuk menemukan diri sendiri secara ruhani dan mencari makna kehidupannya bukan sekedar kewajaran, tetapi secara moral sudah menjadi keharusan, agar seseorang tidak terperangkap ke dalam kehidupan yang profan.
Baik fisik maupun psikis membutuhkan pengembangan diri yang berupa pembinaan dan pendidikan agar dapat berkembang optimal dan maksimal sesuai dengan kapasitasnya. Fisik maupun psikis hanya merupakan potensi laten yang mungkin hanya disempurnakan lebih lanjut melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan kebutuhan yang tidak kalah penting dengan kebutuhan lain, seperti halnya Anda membaca modul ini dalam rangka pengembangan diri.
Aspek fisik mendapatkan pendidikan sedemikian rupa agar dapat berkembang dari lemah menjadi kuat. Pendidikan terhadap aspek ini melalui latihan yang ringan sampai yang berat tetapi kontinu, sehingga menjadi kuat dan sehat. Kekuatan dan kesehatan menjadi modal untuk menggapai kebutuhan yang lain sebagaimana disebut di atas. Mengasup nutrisi dan memperolehnya sebagaimana disebutkan di atas, memerlukan suatu pengetahuan yang hanya bisa didapat melalui pendidikan. Orang yang tidak terdidik pemenuhan kebutuhannya sangat bergantung kepada pihak lain, seperti anak bayi yang masih bergantung kepada orang tuanya. Namun semakin terdidik, maka semakin mahir untuk memenuhi kebutuhannya.
Manusia tidak semata terdiri dari aspek fisik, tetapi juga mempunyai aspek psikis. Aspek psikis memegang peran penting dalam kehidupan manusia, sehingga untuk mengetahui wujud manusia dalam hubungannya dengan pendidikan tidak semata dilihat dari aspek materialnya (fisik), tetapi juga dari aspek spiritualnya (psikis). Aktivitasnya sebagai instrumen batin, dengan segala unsur yang melingkupinya, mempunyai pengaruh dan memegang kendali terhadap semua aspek jasmaniahnya (fisik). Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa aspek ruhani yang paling tinggi mempunyai akses ke alam ghaib, maka didapatkan informasi ghaybiyat yang biasanya, tidak akrab bagi kebanyakan orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai akses ke alam itu dan mendapatkan pengalaman dan informasi darinya. Dengan demikian, pendidikan manusia tidak hanya dipasok dari luar yang bersifat fisik saja karena manusia dapat merangsang sesuatu melalui inderanya, dan memikirkan sesuatu yang konkrit maupun yang abstrak secara logis melalui pikirannya. Disamping itu, ia memperoleh asupan pendidikan dari dalam melalui batinnya ketika ia mendapatkan akses ke alam itu. Oleh karena itu, diperlukan mengembangkan diri melalui pendidikan, baik fisik maupun psikisnya.
Pendidikan terhadap aspek fisik yang bersifat material, mempunyai hubungan langsung terhadap kehidupan duniawi sungguhpun manusia tetap harus menatap masa depannya dengan kemajuan aspek ruhaninya. Masalah material dan spiritual seragam pentingnya, dan kedua-keduanya dapat bekerja saling inklusif dan saling mempertajam untuk mencapai tujuannya masingmasing. Potensi aspek fisik, psikis, diperlukan untuk menjalani keselarasannya, mengukuhkan, dan memantapkan kesatuannya, karena seseorang merupakan kesatuan dari berbagai aspek-aspeknya; (1) Keseimbangan (equilibrium) kegiatan jasmaniah di satu pihak dengan kegiatan ruhaniah di lain pihak akan mewujudkan pola keserasian hidup dalam diri individu, dan kemudian akan memancar dalam kehidupan masyarakat serta lingkungannya secara menyeluruh. Pendidikan yang tidak melibatkan salah satu unsur dari seluruh unsur kepribadian seseorang hanya mengganggu unsur yang lain, yaitu tidak tercapainya kehidupan yang optimal. Atas dasar ini, pendidikan harus ditujukan pada pengembangan dan pertumbuhan fisik, psikis, secara memadai, agar aspek-aspek itu dapat berkembang secara wajar dan seimbang. Ketika masing-masing aspek itu saling berusaha untuk memuaskan dirinya, adakalanya yang satu mendominasi yang lain, atau yang satu menjadi korban yang lain. Dalam kompetisi seperti ini diperlukan disiplin diri untuk mencapai kondisi yang harmonis dan serasi. Seharusnya peran masing-masing ditata dalam keserasian dan keharmonian agar setiap aspek mempunyai sumbangan yang berarti terhadap perkembangan kepribadiannya; (2) Kondisi seperti ini menuju pada perkembangan yang terpuji, dan membawa seseorang pada tingkat yang lebih baik dan sempurna.
Perlu ditekankan bahwa pemberian akses, peran, dan tanggungjawab terhadap keragaman sosial dan perbedaan gender dapat mendukung terwujudnya kondisi yang harmonis dan serasi dalam kehidupan. Ketika seseorang lebih banyak memerhatikan aspek materialnya, maka aspek lainnya terbengkalai. Betapa keringnya kehidupan jika tidak disertai nuansa ruhani. Hilangnya cita rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusakkan kecerdasan intuitif, dan lebih-lebih lagi sangat berbahaya bagi pembinaan moralitas, karena hal itu melemahkan emosi dan cita rasa batin. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan aspek ruhani tidak harus dikesampingkan, lebih-lebih hakikat seseorang pada dasarnya terletak pada aspek ruhaniahnya yang bersifat permanen, immortal dan eksistensinya sebagai bagian dari perjalanannya yang teramat panjang.
Seseorang tidak harus hanya bergelut dengan kehidupan empirik, dengan menekuni dunia luarnya yang senantiasa berubah, tetapi menguak lebih dalam hakikat keberadaannya dan hakikat alam ini sudah menjadi keharusan pula. Hubungan seseorang dengan dunia luarnya tidak bisa dihubungkan dan diukur kebenarannya hanya dengan logika linear, dan dianggap sebagai peristiwa yang berlaku secara mekanik, tetapi mungkin saja terjadi peristiwa yang tidak pernah disangka menurut penalaran logis.
Muatan ekuilibrium yang terdapat dalam seluruh pengalaman hidup seseorang, baik laki-laki maupun perempuan dan perbedaan sosial mencoba memberikan nuansa pembinaan yang tidak hanya terbatas pada aspek jasmaniahnya saja– adalah prinsip-prinsip pendidikan. Strategi pendidikan seharusnya selalu mempertimbangkan keseimbangan antara berbagai aspek kepribadian, yaitu pendidikan yang berusaha dan mengupayakan perkembangan secara menyeluruh tetapi seimbang. Pendidikan yang hanya mengarah pada perkembangan suatu aspek saja, tidak lain identik dengan pengajaran. Sebagian orang memang lebih cenderung dan menginginkan pendidikannya tersegmentasi pada aspek material, tetapi tidak perlu menghalangi kesempatan yang mungkin diperoleh seseorang untuk mendapatkan pendidikan secara spiritual, bahkan diperlukan daya upaya untuk menjadikan pendidikan spiritual sebagai gerakan yang populis.
Usaha seseorang meningkatkan martabat yang lebih tinggi secara ruhani, tetapi tidak memutuskan hubungannya secara mutlak dengan dunia luarnya, ia akan memperoleh pengetahuan yang subjektif dari pengalaman ruhaninya dan pengetahuan yang objektif dari pengalaman empiriknya, sehingga ia dapat mengembangkan penguasaan dunia pada suatu sisi dan mentransendensikannya pada sisi yang lain. Pandangan dan penglihatan seseorang hendaknya diarahkan untuk mencapai makna dan fungsi menangkap sesuatu di alam material, di samping yang bersifat immaterial melalui berbagai tanda yang memenuhi alam raya, karena kemampuan penglihatannya dalam keadaan suci dan primordialnya dapat langsung menangkap visi Ilahi. Oleh karena itu, seseorang yang baik adalah aspek fisik dan psikisnya sama-sama peka.
Arah pendidikan seharusnya selalu mempertimbangkan berbagai aspek kepribadian. Dalam kondisi seperti ini pendidikan yang bersifat eksternal dan aksidental (fisik) tidak harus merupakan terminal akhir dalam suatu proses perjalanan karier pendidikan, melainkan perlu dikaitkan dengan pendidikan yang bersifat ruhani. Dalam pendidikan yang hanya berorientasi pada sisi eksternal dan formal, ketajaman visi ruhani kurang mendapatkan tempat yang wajar dan memadai, karena seseorang hanya dipandang dari segi fisik semata. Dari pendidikan seperti itu tidak mungkin dapat melahirkan nilai etika, sebagai landasan sikap dan perbuatan, dan estetika, sebagai landasan perasaan, dan nilai-nilai lainnya yang terpancar dari dimensi penghayatannya.
JIka esensi seseorang bersifat ruhani, maka pendidikan harus dihubungkan dengan hakikatnya itu. Oleh karena itu, seseorang bukan meja lilin yang dapat dibentuk dengan berbagai pengaruh dan stimulus, atau seseorang bukanlah semata makhluk pasif yang menerima bentukan dari lingkungan sebagaimana diperkirakan oleh teori tabularasa, tetapi ia mempunyai kreativitas yang memungkinkan mengubah lingkungan sesuai dengan kehendaknya, dan bahkan mencapai sesuatu yang berada di luar kehendaknya. Namun dapat diakui bahwa pembentukan suatu kebiasaan dengan suatu kegiatan mempunyai efek kumulatif, sehingga dapat mendorong terjadinya peningkatan kualitas karakter seseorang yang pengaruhnya lambat laun menjadi semakin kuat dan menyulitkan seseorang untuk melepaskan diri darinya.
Dengan pendidikan yang bisa diperoleh dari berbagai aspek kepribadian, memungkinkan seseorang menerima berbagai akibat pendidikan, sehingga kondisi kemanusiannya dapat menerima perubahan dan perkembangan sesuai dengan pengaruh yang diterimanya baik lahir maupun batin. Dengan berbagai arah, macam, dan bentuk pendidikan yang diterimanya menyebabkan kualitas kepribadiannya diidentifikasikan dan berada. Bila seseorang dengan ragam perbedaan sosial dan perbedaan gender akibat konstruksi sosial dapat menerima pendidikan yang ditujukan kepada arah jasmani dan ruhaninya, maka semua aspeknya dapat berkembang sesuai dengan cita-cita pendidikan yang diharapkan.
Pendidikan semacam ini yang memungkinkan terciptanya kepribadian yang seimbang, dan semua pengalaman dan pengetahuannya diperoleh dari berbagai aspek kepribadiannya. Dengan demikian, bukan suatu ilusi bilamana hasil yang mungkin dicapai paling tidak berupa keseimbangan kepribadian yang tidak semata didominasi oleh salah satu aspek, tetapi merupakan sinergi dari berbagai aspek kepribadian. Betapa sangat dipentingkan dalam tujuan pendidikan adalah seseorang yang tidak hanya trampil dan pintar, tetapi juga bersikap mulia sebagai hasil keseimbangan antara aspek fisik, psikisnya. Seseorang yang mampu berpikir tentang sesuatu dan berbuat sesuatu haruslah mempergunakannya untuk kebaikan dirinya, masyarakatnya, dan bangsanya menuju kehidupan yang lebih mulia dan bermartabat. Hasil lebih jauh adalah kepuasannya dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh sehingga berujung pada kenikmatan dan kebahagiaan. Ingat, setiap yang nikmat itu dicintai, karena ada kecenderungan seseorang untuk mendapatkannya.

Daftar Pustaka

Al-Aqqad, ‘Abbas Mahmud. 1969. al-Insan fi al-Qur`an. Beirut: Dar al-Kuttab al- ‘Arabi.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terjemahan Haidar Bagir. Bandung: Mizan.
Arifin, H.M. 1983. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin. 1991. Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat. Jakarta: Golden Terayon Press.
Ashraf, Ali. 1993. Horison Baru Pendidikan Islam. Terjemahan Sori Siregar. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Barnadib, Imam. 1988. Filsafat Pendidikan: Suatu Tinjauan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Barnadib, Imam. 1988. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Barnadib, Imam. 1988. Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
IAPBE. 2007. Panduan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Buku IV. Malang: IAPBE.
Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.


Pertemuan Ketiga
URAIAN MATERI: HAKIKAT PENDIDIKAN

A. Pengertian Pendidikan dan Ilmu Pendidikan

Pengertian Pendidikan
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan Paedagogos. Dalam bahasa Romawi pendidikan diistilahkan sebagai Educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam Bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual[2] Banyak pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Namun pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti.

Pendidikan dalam Arti Luas
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup[3]. Jika diamati secara seksama pengertian di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut.

Lingkungan Pendidikan
Pendidikan berlangsung dalam segala lingkungan baik yang khusus diciptakan untuk kepentingan pendidikan maupun yang ada dengan sendirinya.

 Bentuk Kegiatan
Kegiatan pendidikan terentang dari bentuk-bentuk yang misterius atau tak disengaja sampai yang terprogram. Pendidikan berbentuk segala macam pengalaman belajar dalam hidup. Pendidikan berlangsung dalam berbagai bentuk, pola dan lembaga. Pendidikan dapat terjadi sembarang, kapan dan dimanapun dalam hidup. Pendidikan lebih berorientasi pada peserta didik.

Masa Pendidikan
Pendidikan berlangsung seumur hidup di setiap saat selama ada pengaruh lingkungan.

Tujuan
Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan. Tujuan pendidikan tidak terbatas, tujuan pendidikan adalah seragam dengan tujuan hidup.

Pendidikan dalam Arti Sempit
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan oleh sekolah terhadap anak yang bersekolah agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Jika dirinci dari pengertian di atas terdapat beberapa komponen antara lain sebagai berikut; (1) Lingkungan Pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam lingkungan pendidikan yang diciptakan khusus untuk menyelenggarakan pendidikan, Secara teknis pendidikan berlangsung di kelas; (2) Bentuk kegitaan. Isi pendidikan tersusun secara terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan pendidikan lebih berorintasi pada kegiatan guru dan siswa-siswi sehingga guru mempunyai peran yang sentral dan menentukan. Kegiatan pendidikan terjadwal dan materinya pun tertentu; (3) Masa pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam waktu terbatas yaitu untuk anak-anak dan remaja; dan (4) Tujuan. Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada kemampuan tertentu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan hidup.

Pengertian Alternatif dan Luas Terbatas
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik untuk dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat pada masa yang datang. Pendidikan adalah pengalamanpengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non formal, dan informal di sekolah dan luar sekolah yang berlangsung seumur hidup, bertujuan untuk mengoptimalisasi kemampuan-kemampuan individu. Dari pengertian di atas jika diamati secara seksama ada beberapa kekhususan penting.

Lingkungan Pendidikan
Pendidikan berlangsung dalam sebagian lingkungan hidup. Pendidikan tidak berlangsung dalam lingkungan yang alami, pendidikan hanya berlangsung dalam lingkungan hidup kultural.

Bentuk Kegiatan
Pendididikan dapat berbentuk formal, informal, dan non formal. Kegiatan pendidikan bisa berupa bimbingan, pengajaran, atau latihan pendidikan selalu merupakan usaha yang direncanakan.

Tujuan
Tujuan pendidikan merupakan perpaduan tujuan-tujuan yang bersifat pengembangan kemampuan-kemampuan individu secara optimal dengan tujuan-tujuan yang bersifat sosial untuk dapat memainkan perannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan dan kelompok sosial.

Masa Pendidikan
Pendidikan berlangsung seumur hidup, yang kegiatan-kegiatannya tidak berlangsung sembarang tetapi pada waktu tertentu. Dari tiga dasar pengertian pendidikan inilah para ahli memberikan batasan-batasan tertentu tentang hakikat pendidikan sesuai dengan sudut pandang masing-masing, sebagai berikut; (1) Langeveld mendifinisikan pendidikan sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan pada anak tertuju pada pendewasaan anak itu, atau membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri; (2) John Dewey memberi batasan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia; (3) J.J. Rousseau berpendapat pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak tetapi diperlukan pada masa dewasa; (4) Ki Hajar Dewantara memberi difinisi pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya pendidikan menuntun segala kekuatan pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya; (5) Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya dimasa yang datang; (6) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spititual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari beberapa batasan di atas meskipun berbeda secara redaksional, namun secara esensial terdapat beberapa unsur atau faktor yang seragam, di antaranya: (1) Pendidikan merupakan suatu proses; (2) Pendidikan merupakan kegiatan manusiawi; (3) Pendidikan merupakan hubungan antarpribadi; dan (4) Pendidikan untuk mencapai tujuan.

Pengertian Ilmu Pendidikan
Pakar pendidikan memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian ilmu pendidikan. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda, sebagai berikut; (1) Carter (1985:36) berpendapat bahwa ilmu pendidikan adalah suatu bangunan pengetahuan sistematis yang mencakup aspek-aspek kuantitatif dan objektif dari proses belajar dan juga mengajukan instrumen secara seksama dalam mengajukan hipotesis-hipotesis pendidikan untuk diuji berdasarkan pengalaman yang sering kali dalam bentuk eksperimen; (2) Driyarkara menyebutkan ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah, yakni pemikiran yang bersifat kritis, memiliki metode, dan tersusun secara sistematis tentang pendidikan.[4] Kritis artinya menerima pengetahuan atas dasar analisis dan pemahaman serta argumen yang kuat. Memiliki metode berarti dalam proses berpikir dan menyelidiki, orang menggunakan tehnik tertentu. Sistematis berarti dalam suatu proses, pemikir ilmiah dijiwai oleh ide yang menyeluruh dan menyatukan, sehingga pikiran-pikiran dan pendapatnya tidak hanya berhubungan, namun juga merupakan satu kesatuan; (3) Barnadib mengemukakan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang membicarakan masalah masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak.[5]; (4) Langeveld, paedagogi atau ilmu mendidik adalah suatu ilmu yang bukan hanya menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak. Objek ilmu pendidikan ialah proses-proses situasi pendidikan; dan (5) Brodjonegoro menjelaskan bahwa ilmu pendidikan adalah teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas paedagogi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktik pendidikan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dilihat adanya penekanan yang seragam ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Ilmu pendidikan membicarakan masalah-masalah yang bersifat ilmu, bersifat teori, ataupun yang bersifat praktis. Sebagai ilmu pendidikan teoretis, maka ilmu pendidikan ditujukan pada penyusunan persoalan dan pengetahuan sekitar pendidikan secara ilmiah, bergerak dari praktik kepenyusunan teori, dan penyusunan sistem pendidikan. Ilmu pendidikan termasuk ilmu pengetahuan empiris, rohani, normatif yang diangkat dari pengalaman pendidikan kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri, ilmu pendidikan termasuk ilmu yang baru berkembang. Padahal secara praktis, pendidikan sudah dimulai sejak manusia itu ada.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa ilmu pendidikan dapat dikelompokkan dan diberi atribut sebagai berikut.

Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Normatif
Ilmu pendidikan selalu berhubungan dengan soal, Siapakah manusia itu? Pembahasan tentang siapakah manusia itu biasanya termasuk ranah filsafat yaitu filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik pendidikan, karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu lembaga atau bangsa yang melaksanakan pendidikan. Nilai-nilai luhur ini dijadikan Norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai luhur itu biasanya tergambar dalam rumusan tujuan pendidikannya. Nilai-nilai itu secara normatif bersumber dari Norma masyarakat, Norma filsafat, dan pandangan hidup, juga dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang. Dengan demikian, ilmu pendidikan diarahkan kepada perbuatan mendidik yang bertujuan. Tujuan itu telah ditentukan oleh nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, atau bangsa. Selanjutnya, nilai itu sendiri merupakan ukuran yang bersifat normatif, sehingga dapat kita tegaskan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang bersifat normatif.

Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu yang bersifat Teoretis dan Praktis
Ilmu pendidikan tidak hanya mencari pengetahuan deskriptif tentang objek pendidikan, tapi juga ingin mengetahui bagaimana sebaiknya untuk memperoleh manfaat terhadap objek didiknya. Jika dilihat dari maksud dan tujuannya, ilmu pendidikan dapat disebut ilmu yang praktis sebab ditujukan kepada praktik dan perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi anak didik. Walaupun ilmu pendidikan ditujukan kepada praktik pendidikan, namun untuk mendalami kajian bagaiman praktik mendidik itu dilaksanakan diperlukan suatu teori (ilmu teori) agar dapat dijadikan landasan dalam mencari kebenaran melalui praktik (ilmu praktis). Hasil yang didapat merupakan kajian yang sistematis terarah, dan empirik. Ilmu pendidikan lahir dan berkembang setelah praktik pendidikan berlangsung lama sehingga tampilan ilmu pendidikan sebagai ilmu masih belum final. Itu berarti, ilmu pendidikan masih dalam proses membentuk jati diri.
Dalam filsafat ilmu, suatu studi dapat dikategorikan disiplin ilmu jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;

1.    Memiliki objek material dan objek formal
Objek material ilmu pendidikan adalah perilaku manusia. Perlu diingat bahwa perilaku manusia tidak hanya dipelajari oleh ilmu pendidikan tetapi juga oleh ilmu-ilmu sosial lainnya seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Apabila objek material suatu ilmu mempunyai kesamaan dengan objek material ilmu lain, untuk membedakannya diperlukan objek formal dari ilmu tersebut yang menjadi kekhususan atau ciri khas untuk menentukan macam suatu ilmu. Objek formal ilmu pendidikan merupakan penelaahan, fenomena (gejala) pendidikan dalam perspektif yang luas dan integratif. Fenomena ini bukan hanya gejala yang melekat pada manusia tetapi juga berupa upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya. Upayapendidikan mencakup keseluruah aktifitas pendidikan, yaitu mendidik dan dididik, termasuk pemikiran sistematis tentang pendidikan.

2.    Memiliki Sistematika
Pendidikan sebagai fenomena manusiawi dapat dianalisis berdasarkan proses atau situasi pendidiknya, yaitu ketika terjadi interaksi antar komponen (tujuan, peserta didik, pendidik, alat dan lingkungan). Ilmu pendidikan dapat dilihat dari beberapa sudut berikut. Pendidikan sebagai upaya sadar Pendidikan sebagai upaya sadar untuk mengembangkan keperibadian dan kemampuan, pendidikan berfungsi: (1) Menumbuhkan kreatifitas peserta didik; (2) Menjaga kelestarian nilai-nilai insani dan ilahi; (3) Menyiapkan tenaga-tenaga kerja produktif; dan (4) Memiliki metode.[6]

Pendidikan Sebagi Sebuah Ilmu
Sebagai sebuah ilmu, ilmu pendidikan juga memiliki metode. Menurut Soedomo metode yang dipakai dalam ilmu pendidikan meliputi: (1) Metode normatif, yaitu metode penentuan konsep manusia yang diidealkan oleh pendidikan menyangkut nilai baik dan buruk; (2) Metode eksplanatori, yaitu metode untuk mengetahui kondisi dan kekuatan yang mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan; (3) Metode teknologis, yaitu metode yang berfungsi mengungkapkan cara agar berhasil mencapai tujuan dengan mudah; (4) Metode deskriptif-fenomenologis, yaitu metode untuk mempengaruhi dan mengklarifikasi kenyataan ditemukan hakikatnya; (5) Metode hermeneutis, yaitu metode untuk memahami kenyataan pendidikan secara konkrit dan historis agar makna dan struktur pendidikan menjadi jelas; dan (6) Metode analisis kritis, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis secara kritis istilah-istilah, pernyataan-pernyataan, konsep dan teori pendidikan.[7]

Daftar Pustaka

Arifin, M. dan Aminuddin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjen Binbagais, Depag RI.
Arikunto, Suharsini. 1997. Dasar-dasar Evaluasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Barnadib, Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Barnadib, Sutari, Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Dewantara, Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: MLTS.
Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soedomo. 1990. Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan dalam Pembangunan Nasional. Teks Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: IKIP MALANG.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas.


Pertemuan Keempat
URAIAN MATERI: KOMPONEN PENDIDIKAN

A. Komponen Pendidikan
Kegiatan pendidikan adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah system pendidikan memuat beberapa komponen-komponen tertentu yang saling mempengaruhi dan menentukan. Untuk memudahkan pemahaman tentang sistem, ambilah contoh sebuah sepeda. Sepeda adalah sebuah sistem. Sebuah sistem terdiri atas beberapa komponen. Pada sepeda terdapat beberapa komponen yaitu rantai, ban, rem, sadel, setang dan lain lain. Komponen tersebut membentuk berfungsinya sebuah sistem. Jika salah satu komponen mengalami kerusakan maka sistem tidak berfungsi. Sebagai contoh pada sepeda, jika salah satu komponenya rusak, misalnya bannya kempes, maka sepeda tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian juga pendidikan, sebagai sebuah sistem, pendidikan terdiri dari beberapa komponen, yaitu tujuan, peserta didik, alat, dan lingkungan. Jika salah satu komponen tidak ada maka pendidikan tidak dapat berfungsi. Misalnya jika tidak ada guru maka proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik. Berikut ini adalah penjelasan tentang berbagai komponen pendidikan.

Tujuan Pendidikan
Tujuan merupakan komponen penting dan sangat menentukan bahkan merupakan esensi dari pendidikan. Tujuan pendidikan memiliki berbagai tingkatan, mulai dari tujuan umum, tujuan khusus, tujuan tidak lengkap, tujuan sementara, tujuan intermediet, dan tujuan incidental.[8] Uraian tentang tujuan pendidikan secara luas dan mendalam dibahas pada pada subpokok bahasan fungsi dan tujuan pendidikan.

Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat laki-laki dan perempuan yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui pro-ses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Dasar hakiki diperlukannya pendidikan bagi pe-serta didik adalah karena manusia adalah makhluk susila yang dapat dibina dan diarahkan untuk mencapai derajat kesusilaan.
Peserta didik menurut sifatnya dapat dididik, karena mereka mempunyai bakat dan disposisi-disposisi yang memungkinkan untuk diberi pendidikan, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Tubuh anak sebagai peserta didik selalu berkembang, sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya; (2) Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Keadaan ini menyebabkan dia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab; (3) Anak membutuhkan pertolongan, perlindungan, serta pendidikan; (4) Anak mempunyai daya eksplorasi. Anak mempunyai kekuatan untuk menemukan hal-hal yang baru di dalam lingkungannya dan menuntut kepada pendidik untuk diberi kesempatan; dan (5) Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Seorang pendidik memiliki kepentingan untuk mengetahui perkembangan setiap peserta didik, sebab perkembangan antara satu peserta didik dengan lainnya itu berbeda, dan itu bergantung pada kondisi fisik dan lingkungan yang memengaruhinya.

Pendidik
Pendidik adalah orang laki-laki dan perempuan yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu membawa peserta didik ke arah kedewasaan[9]. Dewasa di sini bukan sekadar dewasa fisik atau umur, tetapi dewasa secara keseluruhan, yaitu mental, intlektual, sosial, fisik, dan psikis. Secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Undang- undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen) terutama bagi pendidik pada pendidikan tinggi. Artinya, pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Alat Pendidikan
Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga sebagai langkah atau situasi yang membantu pencapaian tujuan pendidikan. Abu Ahmadi dalam Suwarno (2006:38) membedakan alat pendidikan ini kedalam beberapa kategori, yaitu sebagai berikut;

1.    Alat Pendidikan Positif dan Negatif
Alat pendidikan positif dimaksudkan sebagai alat yang ditujukan agar anak mengerjakan sesuatu yang baik, misalnya, pujian agar anak mengulang pekerjaan yang menurut ukuran adalah baik. Alat pendidikan negative dimaksudkan agar anak tidak mengerjakan sesuatu yang buruk, misalnya, larangan atau hukuman agar anak tidak mengulangi perbuatan yang menurut ukuran Norma adalah buruk.

2.    Alat Pendidikan Preventif dan Korektif
Alat pendidikan preventif merupakan alat untuk mencegah anak mengerjakan sesuatu yang tidak baik, misalnya, peringatan atau larangan. Alat pendidikan korektif adalah alat untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan yang telah dilakukan peserta didik, misalnya, hukuman.

3.    Alat Pendidikan yang Menyenangkan dan Tidak Menyenangkan
Alat pendidikan yang menyenangkan merupakan alat yang digunakan agar peserta didik menjadi senang, Misalnya, dengan hadiah atau ganjaran. Alat pendidikan yang tidak menyenangkan dimaksudkan sebagai alat yang dapat membuat peserta didik merasa tidak senang dan tidak nyaman melakukan sesuatu kerena aktivitasnya tidak produktif. Dalam proses pendidikan, contoh alat pendidikan tidak menyenangkan adalah hukuman atau celaan.

Lingkungan
Lingkungan pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi terjadinya proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan kepribadian anak karena sebagian besar kehidupan anak berada di tengahtengah keluarganya. Untuk mengoptimalkan kemampuan dan kepribadian anak, orang tua harus menumbuhkan suasana edukatif di lingkungan keluarganya sedini mungkin. Suasana edukatif yang dimaksud adalah orang tua yang mampu menciptakan pola hidup dan tata pergaulan dalam keluarga dengan baik sejak anak dalam kandungan.
Begitu penting pengaruh pendidikan dalam keluarga, sehingga orang tua harus menyadari tanggung adalah sebagai berikut; (1) Memelihara dan membesarkannya Tanggung jawab ini merupakan dorongan alami yang harus dilaksanakan karena anak memerlukan makan, minum, dan perawatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan; (2) Melindungi dan menjamin kesehatannya Orang tua bertanggung jawab terhadap perlindungan anak, termasuk menjamin kesehatan anak, baik secara jasmani ataupun rohani dari berbagai penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya; (3)  Mendidik dengan berbagai ilmu Orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak. Orang tua perlu membekali anaknya dengan ilmu pengetahuan dan kete-rampilan yang berguna bagi kehidupan anaknya kelak, sehingga pada masa dewasanya mampu mandiri dan bermanfaat bagi kehidupan sosial, bangsa, dan agamanya; dan (4) Membahagiakan kehidupan anak Kebahagiaan anak menjadi bagian dari kebahagiaan orang tua. Oleh sebab itu, orang tua harus senantiasa mengupayakan kebahagiaan anak dalam kapasitas pemenuhan kebutuhan sesuai dengan perkembangan usianya, yang diiringi dengan memberikan pendidikan agama dan akhlak yang baik.
Untuk melaksanakan berbagai tanggung jawab itu, dalam konsep pendidikan modern, orang tua seyogianya bersikap demokratis terhadap anak. Artinya, orang tua mampu menciptakan suasana dialogis dengan anak, sehingga dapat menumbuhkan hubungan keluarga yang harmonis, saling menghormati, disiplin, dan tahu tanggung jawab masing-masing. Suasana demikian sangat mendukung kepribadian anak, sehingga anak terbiasa dengan sikap yang baik di lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.

Lingkungan Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja, dan terarah. Mulai dari tingkat Kanak-kanak (TK) sampai dengan Pendidikan Tinggi (PT). Sekolah melakukan pembinaan pendidikan kepada peserta didik yang didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Tetapi, tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan informal yang telah dikenal anak sebelumnya.
Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap berlangsungnya proses pendidikan, yang dibagi dalam tiga kategori berikut; (1) Tanggung jawab formal. Sesuai dengan fungsinya, lembaga pendidikan bertugas untuk mencapai tujuan pendidikan berdasarkan undang-undang yang berlaku; (2) Tanggung jawab keilmuan. Berdasarkan bentuk, isi, dan tujuan, serta jenjang pendidikan yang dipercayakan kepadanya oleh masyarakat; dan (3) Tanggung jawab fungsional. Tanggung jawab yang diterima sebagai pengelola fungsional dalam melaksanakan pendidikan oleh para pendidik yang pelaksanaannya berdasarkan kurikulum.

Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA).
Pelaksanaan pembelajaran di TK dan RA diintegrasikan dalam tiga bidang pengembangan.
1.    Pengembangan moral, budi pekerti, dan nilai-nilai agama melalui pendidikan agama dan kewarganegaraan.
2.    Pengembangan sosial dan emosi melalui pendidikan sosial dan pelatihan kematangan emosi.
3.    Pengembangan kemampuan dasar melalui pendidikan bahasa, kognisi, dan fisik.

Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki dasar-dasar karakter, kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan potensi diri secara optimal, sehingga lulusan memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam pendidikan lanjutan, serta kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Sekolah Menengah.
Sekolah menengah bersifat umum yang terdiri dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA). Penyelenggaraan sekolah menengah ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan, dan keterampilan yang kuat untuk mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut. Pendidikan nasional menerapkan kurikulum yang diberi Nama Kurikulum Berbasis Kompetensi yang memberikan dasar-dasar pengetahuan, kete-rampilan, dan pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta mewujudkan karakter nasional. Kurikulum ini dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumit-an-kerumitan hidup.

Lingkungan Masyarakat
Secara umum masyarakat adalah sekumpulan manusia laki-laki dan perempuan yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi dengan sesama untuk mencapai tujuan. Anggota masyarakat terdiri dari berbagai ragam pendidikan, profesi, keahlian, suku bangsa, kebudayaan, agama, maupun lapisan sosial sehingga menjadi masyarakat yang majemuk. Secara tidak langsung, setiap anggota masyarakat telah mengadakan kerjasama dan saling memengaruhi untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.
Dalam konsep pendidikan, masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang dengan berbagai ragam kualitas diri dari yang tidak berpendidikan sampai yang berpendidikan tinggi. Baik-buruknya kualitas masyarakat ditentukan oleh kualitas pendidikan anggotanya, sehingga semakin baik pendidikan anggotanya, semakin baik pula kualitas masyarakat secara keseluruhan. Ditinjau dari lingkungan pendidikan, masyarakat disebut sebagai lingkungan pendidikan nonformal yang memberikan pendidikan secara sengaja dan berencana kepada seluruh anggotanya, tetapi tidak sistematis. Masyarakat menerima semua anggota yang beragam untuk diarahkan menjadi anggota yang sejalan dengan tujuan masyarakat itu sendiri yang berorientasi pada pencapaian kesejahteraan sosial, jasmani-ruhani, dan juga mental-spiritual.
Pendidik di masyarakat adalah orang dewasa laki-laki dan perempuan yang bertanggung jawab terhadap pendewasaan warga lainnya (baca: perangkat desa, tokoh informal, lembaga swadaya masyarakat) melalui sosialisasi lanjutan. Dasar pendidikannya diberikan oleh keluarga dan sekolah. Selanjutnya, masyarakat memberikan pendidikan dalam lingkup yang lebih luas, termasuk di dalamnya pemahaman terhadap etika dan Norma masyarakat tempat peserta didik bergaul dan berinteraksi. Melalui sosialisasi lanjutan, diharapkan peserta didik yang telah menjadi warga dapat melaksanakan fungsinya sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
Secara fungsional dan struktural anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap perilaku warga di lingkungan masing-masing. Secara konsepsional, tanggung jawab pendidikan yang dibebankan kepada mereka berupa pengawasan, penyaluran, pembinaan, dan peningkatan kualitas anggotanya. Pengawasan merupakan tugas untuk mengawasi jalannya nilai sosial budaya, aturan sosial, dan aturan agama. Penyaluran merupakan tugas menyalurkan aspirasi dan keinginan masyarakat untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera, aman, serta berintegrasi dengan kebijakan pemerintah. Disisi lain maksud pembinaan dan peningkatan kualitas adalah membina dan meningkatkan kualitas kehidupan warga dengan mengadakan kegiatan yang dapat menunjang terwujudnya keluarga bahagia.

B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan
Fungsi Pendidikan
Pendidikan sebagai sebuah aktivitas tidak lepas dari fungsi dan tujuan. Fungsi utama pendidikan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta peradaban yang bermartabat dalam hidup dan kehidupan atau dengan kata lain pendidikan berfungsi memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang benar sesuai dengan Norma yang dijadikan landasannya.

Tujuan Pendidikan
Setiap kegiatan, apapun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak sadar, selalu dihadapkan pada tujuan yang ingin dicapai. Bagaimanapun, segala usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian, tujuan merupakan faktor yang sangat penting dalam setiap kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan. Cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai harus dinyatakan secara jelas sehingga semua pelaksanadan sasaran pendidikan memahami atau mengetahui suatu proses kegiatan seperti pendidikan, bila tidak mempunyai tujuan yang jelas untuk dicapai, maka prosesnya menjadi kabur. Tentang tujuan pendidikan, Langeveld membedakannya menjadi enam tujuan pendidikan.

Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan yang dicapai di akhir proses pendidikan, yaitu tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani anak didik. Maksud kedewasaan jasmani adalah jika pertumbuhan jasmani sudah mencapai batas pertumbuhan maksimal, maka pertumbuhan jasmani tidak berlangsung lagi. Kedewasaan ruhani adalah peserta didik sudah mampu menolong dirinya sendiri, mampu berdiri sendiri, dan mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya.

Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah tujuan tertentu yang hendak dicapai berdasar usia, jenis kelamin, sifat, bakat, inteligensi, lingkungan sosial-budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya.

Tujuan tidak lengkap
Tujuan tidak lengkap adalah tujuan yang me-nyangkut sebagian aspek manusia, misalnya tujuan khusus pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan yang lainnya. Jadi tujuan tidak lengkap ini bagian dari tujuan umum yang melengkapi perkembangan seluruh aspek keperibadian.

Tujuan sementara
Proses untuk mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara sekaligus, karenanya perlu ditempuh setingkat demi setingkat. Tingkatan demi tingkatan diupayakan untuk mencaai tujuan akhir itulah yang dimaksud tujuan sementara contohnya anak menyelesaikan pendidikan dijenjang pendidikan dasar merupakan tujuan sementara untuk selanjutnya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Tujuan intermedier
Tujuan intermedier adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. Misalnya, anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar kelak mempunyai rasa tanggung jawab.
  
Tujuan insidental
Tujuan insidental adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, yang sifatnya seketika dan spontan. Misalnya, orangtua menegur anaknya agar berbicara sopan. Menurut Bloom (Suwarno, 2006), tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga; (1) Domain kognitif Domain Kognitif meliputi kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat tercapai setelah dilakukannya proses belajar-mengajar. Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam kemampuan tersebut bersifat hierarkis. Artinya, untuk mencapai semuanya harus sudah memiliki kemampuan sebelumnya; (2) Domain afektif Domain afektif berupa kemampuan untuk menerima, men-jawab, menilai, membentuk, dan mengarakterisasi; dan (3) Domain psikomotor Terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan, dan respons terpimpin[10]

Daftar Pustaka
Arifin, M. dan Aminuddin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjen Binbagais, Depag RI.
Arikunto, Suharsini. 1997. Dasar-dasar Evaluasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Barnadib, Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Barnadib, Sutari Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Dewantara, Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: MLTS.
Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soedomo. 1990. Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan dalam Pembangunan Nasional. Teks Pidato Pengukuhan Pendidik Guru Besar. Malang: IKIP MALANG.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas.


Pertemuan Kelima

URAIAN MATERI: LANDASAN-LANDASAN PENDIDIKAN

Pendahuluah
Landasan-landasan pendidikan sangat penting untuk mengembangkan pendidikan yang bermartabat bagi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan memahami dan mengaktualisasikan landasan-landasan itu, manusia memiliki harkat dan martabat sangat mulia dibanding dengan hewan dan tumbuhan bahkan malaikat sekalipun, sebab manusia diberi keunggulan oleh Allah subhanahu wata’ala (SWT) berupa hati nurani dan akal pikiran.

A. Landasan Agama (Religius)
Landasan agama merupakan landasan yang paling mendasari dari landasanlandasan pendidikan, sebab landasan agama merupakan landasan yang diciptakan oleh Allah SWT, yakni Tuhan yang Maha Kuasa. Landasan agama itu berupa firman Allah SWT dalam kitab suci Al Qur’an dan Al Hadits berupa risalah (tuntunan) yang dibawakan oleh Rasulullah (utusan Allah) yakni Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam (SAW) untuk umat manusia, berisi tentang tuntunan-tuntunan atau pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akherat nanti, serta merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Dalam Al Qur’an dan Al Hadits dijelaskan bahwa pendidikan memiliki kedudukan yang sangat mulia. Terdapat banyak ayat Al Qur’an yang memiliki makna substantif tentang pendidikan. Seperti pada Surat Al Alaq ayat 1-5 yang merupakan surah pertama diturunkan dalam Al Qur’an. (1) Bacalah dengan menyebut Nama Tuhanmu Yang menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. (4) Yang mengajar manusia dengan perantara kalam. (5) “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[11]
Demikian pula pada Al Quran Surat Al Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat. Terdapat dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, artinya demikian: Carilah ilmu mulai dari buaihan sang Ibu sampai keliang lahat (meninggal). Demikian pula, Hadits Nabi tentang kewajiban mencari ilmu: Mencari ilmu diwajibkan bagi kaum muslim laki-laki dan perempuan (HR. Bukhori Muslim). Agar manusia tidak tersesat, terutama bagi orang-orang yang beriman. Nabi Muhammad SAW berpesan melalui Hadits yang artinya, Telah aku tinggalkan dua perkara yang apabila engkau memegang teguh keduanya, engkau tidak akan tersesat, kedua perkara itu adalah Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Nabi (Al Hadits).
Pada Landasan Agama terdapat pula tuntunan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat, sebagaimana pada Hadits Nabi Muhammad SAW, artinya; Barang siapa menginginkan kebahagiaan dunia, maka dengan ilmu. Dan barang siapa menginginkan kebahagiaan akherat, maka dengan ilmu. Dan barang siapa menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akherat), maka dengan ilmu.

B. Landasan Filosofi

Filsafat telah ada sejak manusia itu ada[12]. Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat sudah memiliki gambaran dan cita-cita yang mereka kejar dalam hidupnya, baik secara individu maupun secara kelompok. Gambaran dan cita-cita itu makin lama makin berkembang sesuai dengan perkembangan budaya mereka. Gambaran dan cita-cita itu yang mendasari adat istiadat suatu suku atau bangsa, serta Norma dan hokum yang berlaku dalam masyarakat. Demikan pula pendidikan yang berlangsung di suatu suku atau bangsa tidak terlepas dari gambaran dan cita-cita. Hal ini yang memotivasi masyarakat untuk menekankan aspek-aspek tertentu pada pendidikan agar dapat memenuhi gambaran dan cita-cita mereka.
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai akar-akarnya memengenai pendidikan.[13] Terdapat sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian semua filsafat pendidikan itu sebagai dasar pendidikan menjawab tiga pertanyaan pokok, yakni:
1.      Apakah pendidikan itu?
2.      Apa yang hendak dicapai oleh pendidikan?
3.      Bagaimana metode terbaik merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan itu?

Adapun masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci sebagai berikut;  
Pertanyaan-pertanyaan berikut berhubungan dengan hakikat pendidikan.
1.    Bagaimana sifat pendidikan itu?
2.    Apakah pendidikan itu merupakan sosialisasi?
3.    Apakah pendidikan itu sebagai pengembangan individu?
4.    Bagaimana mendefinisikan pendidikan itu?
5.    Apakah pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan anak?
6.    Apakah pendidikan itu mengisi perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa?
7.    Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan praktek?

Pertanyaan herhubungan dengan yang hendak dicapai oleh pendidikan.
1.    Apakah peserta didik diperbolehkan berkembang bebas?
2.    Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu?
3.    Bagaimanakah sifat manusia itu?
4.    Dapatkan manusia diperbaiki?
5.    Apakah setiap manusia itu seragam atau unik?
6.    Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi ini?
7.    Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianaut pada perkembangan manusia?

Pertanyaan yang berkaitan dengan metode terbaik merealisasikan tujuan pendidikan.
1.    Apakah pendidikan harus berpusat pada mata pelajaran atau pada peserta didik?
2.    Apakah kurikulum ditentukan lebih dahulu atau berupa pilihan bebas?
3.    Ataukah peserta didik menentukan kurikulumnya sendiri?
4.    Apakah lembaga pendidikan permanen atau bersifat tentatif?
5.    Apakah proses pendidikan berbaur pada masyarakat yang sedang berubah cepat?

C. Landasan Hukum (Yuridis)
Tiap-tiap negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di negara itu didasarkan pada perundang-undangan tersebut. Apabila terdapat suatu tindakan yang bertentangan dengan perundangan itu, dikatakan tindakan itu melanggar hukum. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, ketetapan sampai dengan surat keputusan. Semuanya mengandung hukum yang patut ditaati. Landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Landasan hukum seorang guru boleh mengajar misalnya adalah adanya surat keputusan tentang pengangkatannya sebagai guru. Yang melandasi atau mendasari guru menjadi guru adalah surat keputusan itu beserta hak-haknya. Pendidikan menurut UUD 1945 yakni terdapat pada pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

D. Landasan Psikologis
Psikologi merupakan ilmu jiwa, yakni ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia. Jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manausia, yang selalu berada dan melekat pada manusia itu sendiri. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, jiwa balita baru berkembang sediit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sederhana sekali. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya, dengan melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasaan baik dari segi kejiwaan (psikis) maupun dari segi jasmani. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa landasan psikologis pendidikan harus mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik, peserta didik harus dipandang sebagai subjek pendidikan yang berkembang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan mereka. Pendidikan harus akomodatif terhadap tingkat perkembangan dan pertumbuhan mereka.

E. Landasan Sejarah
Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari oleh konsep konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alam ini, termasuk hal hal yang dikembangkan oleh budi daya manusia. Sejarah penuh dengan informasi informasi yang mengandung kejadiankejadian, model-model, konsep-konsep, teori-teori, praktik-praktik, moral, cita-cita, bentuk, dan sebagainya. Informasi informasi yang lampau ini terutama yang bersifat kebudayaan pada umumnya berisi konsep, praktek, dan hasil yang diperoleh. Sejarah tentang masjid Ampel Surabaya, misalnya, mengandung konsep tentang tekinik membuat masjid itu serta tujuan yang ingin dicapai, proses pembuatannya, dan hasil yang diperoleh yang bisa dinikmati sampai saat ini. Informasi-informasi tersebut merupakan warisan generasi muda dari generasi pendahulunya yang tidak ternilai harganya. Generasi muda banyak belajar dari informasi ini. Belajar dalam arti memanfaatkan informasi ini dalam upaya memajukan. Belajar bukan hanya menerima dan bertahan dalam kebudayaan itu, melainkan kebudayaan itu dijadikan landasan dan bahan perbandingan untuk maju.
Setiap bidang kegiatan yang dikejar oleh manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan juga dengan bagaimana keadaan bidang itu pada masa yang lampau. Apakah bidang itu dahulu sudah baik atau maju, apakah bidang itu sudah lama dilakukan tetapi hasilnya belum memuaskan, bagaimana konsep dan praktiknya? Jawaban dari pertanyaan pertanyaan tersebut memberi dasar orang orang bersangkutan untuk bertindak lebih lanjut dalam bidang itu. Demikian juga dalam bidang pendidikan, para ahli pendidikan sebelum menangani bidang itu, terlebih dahulu mereka memeriksa sejarah tentang pendidikan baik yang bersifat nasional maupun yang internasional.

F. Landasan Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian terbesar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok. Kegiatan di rumah, di kantor, di perusahaan, di perkebunan, di bengkel, dan sebagainya, hampir semuanya dilakukan oleh lebih dari seorang. Ini berani unsur sosial ada pada kegiatan-kegiatan itu. Selanjutnya tentang yang dilakukan dan teknik mengadakannya serta bentuk yang diinginkan adalah merupakan unsur dari suatu budaya. Membenahi kebun di rumah misalnya, dilakukan bertujuan agar kebun itu bersih dan indah, ini merupakan suatu budaya. Alat untuk mengajarkan dan teknik mengerjakan dengan baik juga merupakan suatu budaya.
Sosial mengacu kepada hubungan antarindividu, antarmasyarakat, dan individu dengan masyarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara alami, artinya aspek itu telah ada sejak manusia dilahirkan. Karena itu aspek sosial melekat pada individu-individu yang perlu dikembangkan dalam perjalanan hidup peserta didik agar menjadi matang. Di samping tugas pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu anak dalam upaya mengembangkan dirinya. Maka segi sosial ini perlu diperhatikan dalam proses pendidikan.
Aspek budaya sangat berperan dalain proses pendidikan. Dapat dikatakan tidak ada pendidikan yang tidak dimasuki unsur budaya. Materi yang dipelajari anak anak adalah budaya, tehnik belajar mereka adalah budaya, begitu pula kegiatan-kegiatan mereka juga budaya. Dengan demikian budaya tidak pernah lepas dari proses pendidikan itu sendiri. Bahasan landasan sosial budaya dalam pendidikan diuraikan secara berturutturut, (1) sosiologi dan pendidikan, (2) kebudayaan dan pendidikan, (3) masyarakat dan sekolah, (4) masyarakat Indonesia dan pendidikan, dan (5) dampak konsep pendidikan.

G. Landasan Sosiologi
Ada sejumlah definisi tentang sosiologi, namun walaupun berbeda-beda bentuk kalimatnya, semuanya memiliki makna yang mirip. Pidarta menyatakan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya.[14] Jadi sosiologi mempelajari manusia berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan susunan unit-unit masyarakat atau social di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain.
Sosiologi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (1) Empiris, merupakan ide utama sosiologi sebagai ilmu. Sosiologi bersumber dan diciptakan dari kenyataan yang terjadi di masyarakat; (2) Teoretis, merupakan peningkatan fase penciptaan tadi yang menjadi salah satu bentuk budaya yang bisa disimpan dalam waktu lama dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya; (3) Komulatif, sebagai akibat dari penciptaan terus menerus sebagai konsekuensi dari terjadinya perubahan di masyarakat, yang membuat teori-teori itu berakumulasi mengarah kepada teori yang lebih baik; dan (4) Non etis, karena teori itu menceritakan tentang masyarakat beserta individu-individu di dalamnya, tidak menilai apakah hal itu baik atau buruk.
Sejalan dengan lahirnya pemikiran tentang pendidikan kemasyarakatan, pada abad ke-20 sosiologi memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang diinginkan oleh aliran kemasyarakatan ini ialah proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Perwujudan cita-cita pendidikan sangat membutuhkan bantuan sosiologi. Konsep atau teori sosiologi memberi petunjuk kepada guru-guru tentang bagaimana seharusnya mereka membina para siswa agar mereka bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab sesama teman. Para guru dan pendidik lainnya menerapkan konsep sosiologi di lembaga pendidikan masing masing.
Salah satu bagian sosiologi yang dapat dipandang sebagai sosiologi khusus adalah sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan ini membabas sosiologi yang terdapat pada pendidikan. Sosiologi dan sosiologi pendidikan saling terkait. Mari kita lihat bagaimana bagian-bagian sosiologi memberi bantuan kepada pendidikan dalam wujud sosiologi pendidikan. Pertama-tama adalah tentang konsep proses sosial, yaitu suatu bentuk hubungan antar-individu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Proses sosial menjadikan seseorang atau kelompok yang belum tersosialisasi atau masih rendah tingkat sosialnya menjadi tersosialisasi atau sosialisasinya semakin meningkat. Mereka semakin kenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain.

H. Landasan Ekonomi
Pada zaman modern atau globalisasi sekarang ini, yang sebagian besar manusianya cenderung mengutamakan kesejahteraan materi disbanding kesejahteraan rohani, membuat ekonomi mendapat perhatian yang sangat besar. Tidak banyak orang mementingkan peningkatan spiritual. Sebagian terbesar dari mereka ingin hidup enak dalam arti jasmaniah. Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya, terutama dalam bidang teknologi, kesenian, dan pariwisata. Berbagai produk baru yang semakin canggih ditawarkan, berbagai perlengkapan hidup dengan model dan desain yang semakin menarik dipajang di toko-toko, dan para pemandu wisata menarik wisatawan berkunjung ke daerah-daerah wisatanya yang menjanjikan kekaguman. Situasi seperti ini membuat orang-orang berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk memenuhi seleranya.
Di samping pemenuhan selera tersebut, manusia pada umumnya tidak bisa bebas dari kebutuhan ekonomi. Sebab kebutuhan dasar manusia membutuhkan ekonomi. Ini berarti orang tidak mampu pun memerlukan uang untuk mengisi perutnya dan sekedar berteduh di waktu malam. Dengan demikian pembahasan tentang ekonomi tidak hanya menyangkut orang orang kaya, melainkan untuk semua orang, termasuk orang dan dunia pendidikan yang ditekuninya. Dunia sekarang tidak hanya disibukkan oleh masalah masalah politik yang membuat banyak pertentangan, melainkan juga masalah ekonomi atau perdagangan. Malah ada yang mengatakan sesudah perang dingin berakhir, kini diikuti oleh perang ekonomi. Tiap-tiap negara berusaha meningkatkan perekonomiannya. Berbagai system mereka lakukan termasuk membentuk organisasi atau blok-blok ekonomi.
Bidang ekonomi memunculkan berbagai usaha baru, pabrik-pabrik baru, industri-industri baru, badan-badan perdagangan baru, dan badan-badan jasa yang baru pula. Jumlah konglomerat bertambah banyak, walaupun orang orang miskin masib tetap ada. Pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi, dan penghasilan negara bertambah, walaupun hutang luar negeri cukup besar dan penghasilan rakyat kecil masih minim.
Perkembangan ekonomi makro berpengaruh pula dalam bidang pendidikan. Sudah banyak orang kaya bersedia secara sukarela menjadi bapak angkat agar anak anak dari orang tidak mampu bisa bersekolah. Sikap dan tindakan seperti ini sangat terpuji, bukan hanya karena bersifat peri-kemanusiaan, melainkan juga dalam upaya membantu menyukseskan wajib belajar 12 tahun. Mereka telah menyisihkan sebagian dari rejekinya untuk beramal bagi yang memerlukan. Hal ini merupakan bagian dari pengaruh pendidikan. Tindakan seperti ini patut dicontoh oleh mereka yang kaya yang belum menjadi bapak angkat.

I. Landasan Ilmiah dan Teknologi (IPTEK)
Tirtarahardja menyatakan bahwa pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama dalam isi pembelajaran.[15] Pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Iptek merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pada sisi lain, pada setiap perkembangan iptek harus sering diakomodasi oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek itu ke dalam bahan ajar.
Dengan perkembangan IPTEK dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks maka pendidikan dengan segala aspeknya mau tak mau mengakomodasi perkembangan itu, baik perkembangan iptek maupun perkembangan masyarakat. Konsekuensi perkembangan pendidikan itu menyebabkan penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja serta pemantapan pengelolaan dan lain sebagainya haruslah dilakuan dengan memanfaatkan IPTEK itu. Karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak maka banyak teknologi dari berbagai bidang ilmu segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan itu segara dimanfaat oleh penyelenggara pendidikan.

Daftar Pustaka
Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI. Hadits Bukhari Muslim (Kumpulan Hadits)
Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Suwarno, W. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR- Ruzz Media.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam. Surabaya: Karya Abditama.
Tirtarahardja, U dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Pertemuan Keenam
URAIAN MATERI: AZAS-AZAS PENDIDIKAN
Pendahuluan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia.[16]

A. Asas Tut Wuri Handayani
Tirtaraharja dan La Sulo (2005) menyatakan asas tut wuri handayani pada awalnya merupakan salah satu dari Asas 1922 yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922. Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sistem among dan perguruan itu. Asas ataupun semboyan tut wuri handayani yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara mendapat tanggapan positif dari Drs. R.M.P Sastrokartono dengan menambahkan dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa.
Ketiga semboyan tersebut telah menjadi satu kesatuan asas, yakni: (1) Ing ngarsa sung tulada (Jika di depan, menjadi contoh); (2) Ing madya mangun karsa (Jika di tengah tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi); dan (3) Tut wuri handayani (Jika di belakang, mengikuti dengan awas). Asas tut wuri handayani merupakan konseptualisasi konsep tujuh Asas. Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1922 yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda.
Ketujuh Asas tersebut secara singkat disebut Asas 1922 adalah sebagai berikut; (1) Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat persatuan dalam perikehidupan umum; (2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang lahir dan batin dapat memerdekakan diri; (3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri; (4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat; (5) Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh penuhnya lahir maupun batin hendaklah diusakakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apapun dan dari siapa pun yang mengikat baik berupa ikatan lahir maupun ikatan batin; (6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan; dan (7) Bahwa dalam mendidik anak anak perlu adanya keihlasan lahir dan batin untuk pengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak anak.

B. Asas Belajar Sepanjang Hayat
UNESCO menetapkan definisi kerja pendidikan seumur hidup sebagai konsep bahwa pendidikan harus menetapkan beberapa hal sebagai berikut; (1) Meliputi seluruh hidup setiap individu; (2) Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi bidupnya; (3) Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu; (4) Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri; (5) Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non formal dan informal (Lipu La Sulo, 1990). Istilah ‘pendidikan seumur hidup’ berkaitan erat dan, kadang kadang digunakan saling bergantian dengan makna seragam dengan istilah belajar sepanjang hayat. Kedua istilah ini memang tak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Seperti diketahui, penekanan istilah ‘belajar’ adalah perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif tetap karena pengaruh pengalaman, sedang isalah ‘pendidikan’ menekankan pada usaha sadar dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien dan efektif.[17] Dalam asas pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah mengemban dua misi yakni; memberikan pembelajaran kepada peserta didik dengan efisien dan efektif dan meningkatkan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang hayat. Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi sebagai berikut; (6) Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajar dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum. Kurikulum dan perubahan sosial kebudayaan, kurikulum seyogyanya memungkinkan antisipasi terhadap perubahan social kebudayaan. The forecasting curriculum yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis, baik tentang perilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup didalam sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan. Keterpaduan bahan ajar dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu. Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya. Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar dan demikian seterusnya. Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan yang didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan sebagainya; dan (7) Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah, yaitu: kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoretis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah. Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah: kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, sehingga kegiatan belajar mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun dalam kegiatan belajar di luar sekolah. Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu mendekatkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber sumber belajar yang tersedia itu memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang memiliki semangat belajar sepanjang hayat menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society).

C. Asas Kemandirian dalam Belajar
Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung berkaitan dengan Asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar. Perwujudan Asas kemandirian dalam belajar menempatkan guru, dalam peran utama sebagai fasilitator dan motivator di samping peran-peran lain seperti Informator, organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar, sehingga memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Di sisi lain sebagai motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar.
Pengembangan kemandirian dalam belajar seyogianya dimulai dalam kegiatan intrakurikuler selanjutnya dalam kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler dalam bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri.

Daftar Pustaka
Ihsan, Fuad. 1997. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ngalim, Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR- Ruzz Media.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-dasar Kependidikan Islam. Surabaya: Karya Abditama.
Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta


Pertemuan Ketujuh
URAIAN MATERI: ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

A. Aliran Empirisme
Aliran empirisme yang dipelopori oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 teorinya dikenal dengan Tabula rasa (meja lilin), yang menyebutkan anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih yang belum ditulisi. Teori ini secara jelas mengatakan anak sejak lahir tidak mempunyai bakat dan kemampuan.[18] Oleh karena itu, orang tua tidak banyak berpengaruh terhadap perkembangan anak laki-laki dan perempuan, menurutnya, pengalaman empiris yang dapat membentuk kemampuan anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya).
Menurut aliran ini, pendidik berfungsi sebagai faktor luar yang memegang peranan penting dalam membentuk peserta didik, oleh  karena itu menurut aliran ini pendidik harus menyediakan lingkungan pedidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman sehingga pengalaman yang diperoleh anak tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman, sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Empirisme berasal dari kata empiris yang artinya pengalaman. Tokoh aliran ini ialah John Locke yang mengatakan bahwa jika seorang anak itu seperti kertas putih yang dapat ditulisi menurut kehendak yang menulis. Aliran empirisme mengatakan bahwa pembawaan itu tidak ada. Yang dimiliki orang adalah akibat pendidikan, baik sifat yang baik maupun yang jelek[19]. Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan, sedangkan kemampuan dasar yang dibawa sejak lahir dianggap tidak menentukan. Menurut kenyataan dalam kehidupan sehari–hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung.
Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa kecerdasan dan kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapatpendapat yang memandang manusia sebagai mahluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku.
Aliran empirisme mengatakan bahwa pembawaan itu tidak ada, yang dimiliki anak adalah akibat pendidikan baik sifat yang baik maupun sifat yang jelek, jadi perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungan atau dengan pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil, sehingga manusia dapat menjadi apa saja atau menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya.

B. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer seorang Filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor–faktor yang dibawa sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak laki-laki dan perempuan.
Nativisme berpendapat jika anak memiliki bakat jahat dari lahir nantinya menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka nanti menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan ditentukan olah anak didik sendiri. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat, dia menjadi jahat, sebaliknya, kalau anak membawa pembawaan baik, dia menjadi orang baik. Pembawaan buruk dan baik tidak diubah dari kekuatan luar. Meskipun dalam kenyataan sehari-sehari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya, tetapi pembawaan itu bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang bisa mempengaruhi perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya. Kaum nativisme mengatakan bahwa pendidikan tidak dapat mengubah sifat –sifat pembawaan. Jadi, kalau benar pendapat tersebut percuma kita mendidik karena yang jahat tida menjadi baik

C. Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah naturalisme yang dipelopori oleh J.J. Rousseau (1712-1778). Naturalime mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga naturalisme sering disebut negativisme. Naturalisme memiliki prinsip tentang proses pembelajaran. Arifin dan Amiruddin, anak didik belajar melalui pengalaman sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam diri secara alami. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberaniaan anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik.Tanggung jawab belajar tergantung pada diri anak didik sendiri. Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik.[20]

D. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran konvergensi adalah Willian Stern. Seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939. Aliran konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran nativisme dan empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan.  Contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata, adalah juga hasil konvergensi. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Inggris, atau bahasa Makassar, dan lain-lain. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungan seragam) untuk mempelajari Bahasa mungkin tidak seragam, disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan, meskipun lingkungan kedua anak tersebut menggunakan bahasa seragam. William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan. Karena itu, teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat ke satu titik).
Menurut teori konvergensi ada tiga prinsip: (1) pendidikan mungkin untuk dilaksanakan, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik, dan (3) yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu.
Variasi-variasi itu tercermin antara lain dalam perbedaan pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia. Seperti strategi disposisional/konstitusional, strategi phenomenologis/humanistik, strategi behavioral, strategi psikodinamik/psiko-analitik, dan sebagainya. Demikian pula halnya dalam belajar mengajar, variasi pendapat itu telah menyebabkan munculnya berbagai teori belajar dan atau teori/model mengajar. Jadi tegasnya proses pendidikan adalah hasil kejasama dari faktor-faktor yang dibawa ketika lahir dengan lingkungan.

E. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya. Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.

F. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemiolog Italia, dipandang sebagai cikal bakal lahirnya konstruktivisme, dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan[21]. Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika diketahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena Dia Pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru.[22] Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi.[23]
Aliran Kontruktivisme ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri sesorang, melalui pengalaman yang diterima lewat pencaindra, yaitu penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang kepada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.


Daftar Pustaka
Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media
Tim Pegembangan MKDK IKIP Semarang. 1994. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang.
Umar, T. dan S.La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf, Syamsu. 2007. Paedagogik Pendidikan Dasar. Jakata: Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia.


Pertemuan Kedelapan
URAIAN MATERI: TEORI DAN PILAR PENDIDIKAN

A. Teori-teori Pendidikan
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan praktik-praktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses belajar-mengajar, dan manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum dan rencana pembelajaran disusun dengan mengacu pada teori pendidikan. Ada 4 (empat) teori pendidikan, yaitu (1) pendidikan klasik, (2) pendidikan personal, (3) teknologi pendidikan, dan (4) pendidikan interaksional.

Teori Pendidikan Klasik (Classical Education)
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme, essensialisme, dan eksistensialisme, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses penelitian, melalui metode ekspositori dan inkuiri.

Teori Pendidikan Personal (Personalized Education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya Francis Parker dan John Dewey- memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya, direfleksikan terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, didapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantic berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan personal menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis, seperti model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).

Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi pendidikan, yang lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.
Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa objek dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vokational. Isi disusun dalam bentuk disain program atau disain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika, dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat.
Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik. Pembelajaran dilakukan melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun media elektronik, sehingga pebelajar dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.

Teori Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerjasama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerjasama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan untuk memecahkannya.

B. Pilar-Pilar Pendidikan
Ada 5 (lima) pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan[24]

Learning to know
Learning to know bukan sebatas proses belajar di mana pebelajar mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transcendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.[25]

Learning to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong” (baca: teori), dan kurang menuntun orang untuk berbuat (praktik). Learning to do bukanlah pembelajaran yang hanya menumbuhkembangkan kemampuan berbuat mekanis dan keterampilan tanpa pemikiran; tetapi mendorong peserta didik agar terus belajar bagaimana menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori atau konsep.[26]

Learning to be
Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerja sama atau dengan kata lain manusia saling tergantung dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan waktu jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.[27]

Learning to live together
Learning to live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi manusia berpendidikan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia. Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok individu yang bervariasi membentuk kepribadian pebelajar untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.[28]

Learning how to learn
Proses belajar tidak boleh berhenti begitu saja meskipun seorang pebelajar telah menyelesaikan sekolahnya. Manusia hidup pada hakekatnya adalah berhadapan dengan masalah. Setiap manusia dituntut untuk menyelesaikan masalah. Satu masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab. Oleh karena itu, learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif dan efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat adalah learning society atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar terus- menerus. Learning how to learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari model belajar menghafal menjadi model belajar mencari/ meneliti. Asumsi yang digunakan dalam model belajar menghafal adalah pendidik tahu, peserta didik tidak tahu.[29]
Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar menghafal ini adalah penerima pelajaran, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar mencari/meneliti, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidikan dituntut membimbing, memotivasi, menfasilitasi, memprovokasi, dan menelusuri.

Daftar Pustaka
Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Rosdakarya: Bandung.
Suryabrata, Sumardi. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
Syamsu, Yusuf. 2007. Paedagogik Pendidikan Dasar. Sekolah pascasarjana Universitas Indonesia: Jakarta.
Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang. 1994. Dasar-dasar Pendidikan. IKIP Semarang.
Umar, T. dan S.La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta




Pertemuan Kesembilan
URAIAN MATERI: LINGKUNGAN PENDIDIKAN

A. Pengertian Lingkungan Pendidikan.
Manusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman. Pengalaman dapat terbangun melalui interaksi manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan meliputi kondisi dan alam dunia yang dengan cara-cara tertentu mempengaruh tingkah laku, pertumbuhan, perkembangan dan proses kehidupan.[30] Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa benda mati, makhluk hidup, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi termasuk kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu. Seperti lingkungan tempat pendidikan berlangsung dan lingkungan tempat anak bergaul.
Lingkungan ini kemudian secara khusus disebut sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan jenis dan tanggungjawab yang secara khusus menjadi bagian dari karakter lembaga tersebut. Marimba menyebutkan pengertian lembaga pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan pendidikan itu bertugas memberi pendidikan kepada siterdidik.[31] Secara umum fungsi lembaga pendidikan adalah menciptakan situasi yang memungkinkan proses pendidikan dapat berlangsung, sesuai tugas yang dibebankan kepadanya. Karena itu situasi lembaga pendidikan harus berbeda dengan situasi lembaga lain.[32]
Menurut Hasbullah (2003) lingkungan pendidikan mencakup: (1) Tempat (lingkungan fisik), keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam; (2) Kebudayaan (lingkungan budaya) denagan warisan budaya tertentu seperti bahasa, seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, pandangan hidup dan pandangan keagamaan; dan (3) Kelompok hidup bersama (lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga, kelompok bermain, desa perkumpulan dan lainnya.[33]
Lingkungan serta lembaga pendidikan bersifat positif bilamana memberikan pengaruh sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan. Lingkungan bersifat negatif bilamana berpengaruh secara kontradiktif dengan arah dan tujuan pendidikan. Sebagai contoh mendidik agama dalam lingkungan masyarakat yang agamis dengan kehidupan masyarakat yang taat menjalankan agama dengan sarana peribadatan yang lengkap memberikan dukungan positif bagi pendidikan agama. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang penuh dengan kejahatan serta minimnya sarana/pranata keagamaan menyebabkan anak terpengaruh dengan lingkungannya dan berbuat seperti yang ada dalam lingkungannya.
Lingkungan pendidikan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap peserta didik. Perbedaan pengaruh tersebut tergantung jenis lingkungan pendidikan tempat peserta didik terlibat di dalamnya. Hal ini karena masingmasing jenis lingkungan pendidikan memiliki situasi sosial yang berbeda-beda. Situasi sosial yang dimaksud meliputi faktor perencanaan, sarana, dan system pendidikan pada masing-masing jenis lingkungan. Intensitas pengaruh lingkungan terhadap peserta didik tergantung sejauh mana anak dapat menyerap rangsangan yang diberikan lingkungannya dan sejauh mana lingkungan mampu memahami dan memberikan fasilitas terhadap kebutuhan pendidikan peserta didik.

B. Fungsi Lingkungan Pendidikan
Fungsi pertama lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam beriteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya baik lingkungan fisik, social dan budaya, terutama berbagai sumberdaya pendidikan yang tersedia agar dapat dicapai tujuan pendididkan secara optimal. Penataan lingkungan pendidikan ini terutana dimaksudkan agar proses pendidikan dapat berkembang efisien dan efektif. Perkembangan manusia dari interaksinya dengan lingkungan sekitar berjalan secara alamiah, tetapi perkembangan tersebut tidak sepenuhya sesuai dengan tujuan pendidikan atau bahkan menyimpang darinya. Oleh karena itu, diperlukan usaha sadar untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan sedemikian rupa agar mempunyai orientasi pada tujuan-tujuan pendidikan.
Fungsi kedua lingkungan pendidikan adalah mengajarkan tingkah laku umum dan untuk menyeleksi serta mempersiapkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Hal ini karena masyarakat berfungsi dengan baik jika setiap individu belajar berbagi hal, baik pola tingkah laku umum maupun peranan yang berbeda-beda. Dalam menjalankan kedua fungsinya, lingkungan pendidikan haruslah digambarkan sebagai kesatuan yang utuh di antara berbagai ragam bentuknya. Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan secara menyeluruh masing-masing lingkungan mempunyai andil dalam mencapainya.[34]

C. Ragam Bentuk Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah tempat seseorang memperoleh pendidikan secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan ada yang bersifat sosial dan material. Lingkungan pendidikan secara garis besarnya oleh Ki Hajar Dewantoro dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, hal itu sejalan dengan yang dinyatakan oleh Langeveld bahwa yang bertanggung jawab dalam pendidikan adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat.[35]

Keluarga
Keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari sejumlah keluarga kecil karena hubungan sedarah. Keluarga bisa berbentuk keluarga inti (nucleus family: ayah, ibu, dan anak), ataupun keluarga yang diperluas (di samping inti, ada orang lain seperti kakek, nenek, ipar dan lain sebgainya). Pada umunya jenis kedualah yang banyak dijumpai di Indonesia. Meskipun pada mulanya ibu yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak, namun pada akhirnya anggota keluarga lainnya ikut mempengaruhi perkembangan anak. Di samping faktor iklim sosial itu, faktor-aktor lain dalam keluarga juga ikut mempengaruhi perkembangan anak seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahan dan lain sebagainya. Dengan demikian perkembangan anak dipengaruhi oleh keseluruhan situasi dan kondisi keluarga.[36] Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat yang didalamnya hubungan-hubungan yang terdapat didalamnya bersifat langsung. Disitulah berkembang individu dan terbentuknya tahap-tahap awal proses pemasyarakatan. Langgulung menyebutkan melalui interaksi keluarga diperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu diperoleh ketenangan dan ketentraman.[37] Anak dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga. Anak mendapatkan asuhan dan buaian pertama kali oleh keluarga melalui ibu bapaknya. Sebelum diberbuat sesuatu untuk kepentingan dirinya, bapak dan ibunya yang memberikan pemenuhan kebutuhan anak seperti makan, kasih sayang, perlindungan sebagaimana yang anda rasakan sewaktu masih kecil. Ibunya menyususuinya sewaktu masih kecil dan menyuapinya sampai bisa makan sendiri. Kedua orang yang menuntunnya sampai menuju kedewasaan. Mereka berdua yang mengajarnya, dari sekedar terlentang pada masa bayi sampai bisa berjalan dan berlari pada masa selanjutnya. Mereka membimbing kemampuan oralnya, sampai menjadi bahasa yang bisa dimengerti dan melatih anggota badannya, sampai dapat   mempergunakannya untuk kepentingan yang diperlukan. Mereka berdua menunjukkan sesuatu dan lain sebagainya dan menjawab pertanyaannya untuk menambah perbendaraan kosa kata-katanya dan pengetahuannya.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk generasi muda. Keluarga disebut pula sebagai lembaga pendidikan informal. Pendidikan informal, adalah kegiatan pendidikan yang tidak diorganisasikan secara struktural dan tidak mengenal penjenjangan kronologis menurut tingkatan umum maupun tingkatan ketrampilan dan pengetahuan. Persyaratan credentials tidak dipakai dan oleh karena itu tidak ada credentials yang dihakkan oleh penerima maupun yang diwajibkan dari pemberi pendidikan.[38]
Keluarga secara etimologi menurut Ki Hajar Dewantara, seperti di jelaskan oleh Abu Ahmadi adalah sebagai berikut: perkataan keluarga dikenal sebagai rangkaian perkataan-perkataan kawula dan warga, maka kawula artinya abdi yakni hamba sedangkan warga berarti anggota. Sebagai abdi dalam keluarga wajiblah seseorang menyerahkan segala kepentingan kepada keluarganya. Sebaliknya sebagai warga atau anggota berhak sepenuhnya ikut mengurus segala kepentingan didalam keluarga.[39]
Keluarga menurut pandangan antropologi adalah kesatuan-kesatuan kecil yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama yang sangat erat. Orang tua ayah dan ibu- mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya. Pada dasarnya kewajiban ayah memberikan perlindungan terhadap semua anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis. Ibu adalah menjaga, memeliharanya dengan mendidik dan merawat anak-anaknya. Deskripsi fungsi keluarga sebagaimana disebutkan di atas berdasarkan fungsi kebiasaan yang berlaku di negeri ini. Tetapi boleh jadi peran dan fungsi ayah dan ibu bisa bergantian tergantung kepada situasi dan kondisi yang diperlukan. Secara sosiologis keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat terbentuk berdasarkan sukarela dan cinta yang asasi antara dua subyek manusia (suami-istri). Berdasarkan asas cinta yang asasi ini lahirlah anak sebagai generasi penerus.[40]
Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi individu berinteraksi. Dari interaksi ini selanjutnya individu memperoleh unsur dan ciri dasar bagi pembentukan kepribadiannya melalui akhlak, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan emosinya untuk ditampakkan dalam sikap hidup dan tingkah laku.[41] Interaksi yang terjadi dalam keluarga merupakan proses pendidikan yang meneguhkan peran orang tua sebagai penanggung jawab atas proses tersebut. Orang tua merupakan pendidik yang utama dan pertama bagi anak-anak mereka. Pendidikan dalam keluarga terjadi sebagai berikut. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.[42]
Motivasi pengabdian keluarga didasarkan pada cinta kasih yang sangat natural, sehingga suasana pendidikan yang berlangsung di dalamnya berdasarkan kepada suasana yang tanpa memikirkan hak. Secara natural, ayah dan ibu terpanggil melakukan kewajiban mendidik anak-anaknya, meskipun tidak mempunyai seperangkat kompetensi profesional layaknya seorang guru di sekolah, karena kewajiban itu berjalan dengan sendirinya secara naluriah. Orang tua mempunyai kapasitas keilmuan dan peradaban yang tinggi, sehingga orang dapat melakukan kewajiban mendidik, terhadap anak-anaknya. Pendidikan dalam keluaraga ketika fase kanak-kanak merupakan pendidikan yang paling baik untuk menanamakan nilai-nilai. Teknik yang paling tepat dalam proses ini dengan imitasi atau proses pembinaan anak secara tidak langsung melalui pola dan tingkah laku seorang ayah dan ibu. Orang tua mendidik untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya serta menanamkan sikap dan mengembangkan keterampilannya. Memberikan contoh sebagai keluarga ideal dan bertanggung jawab dalam kehidupan keluarga. Motivasi pengabdian keluarga (orang tua) semata-mata demi cinta kasih yang kodrati. Di dalam suasana cinta dan kemesraan inilah proses pendidikan berlangsung seumur anak dalam tanggungjawab keluarga.
Dasar-dasar tanggungjawab keluarga terhadap pendidikan anaknya meliputi hal-hal berikut; (1) Dorongan/motivasi cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dengan anak. Cinta kasih ini mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggungjawab, dan mengabdikan dirinya untuk sang anak; (2) Dorongan/motivasi kewajiban moral, sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab moral ini meliputi nilainilai religius spiritual yang dijiwai ketuhanan Yang Maha Esa dan agama masing-masing di samping didorong oleh kesadaran memelihara martabat dan kehormatan keluarga; dan (3) Tanggungjawab sosial sebagai bagian dari keluarga, yang pada gilirannya juga menjadi bagian dari masyarakat, bangsa dan negaranya, bahkan kemanusiaan. Tanggungjawab sosial ini merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang diikuti oleh darah keturunan dan kesatuan keyakinan.[43]
            Tanggung jawab pendidikan menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka hal-hal sebagai berikut; (1) Memelihara dan membesarkan anak; Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari setiap tanggungjawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia; (2) Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya; (3) Memberi pengajaran dalam arti yang luas, sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin dapat dicapainya; dan (4) Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup seseorang.[44]
           Maksudnya pentingnya keluarga bukan hanya bagi individu di dalamnya, tetapi juga bagi masyarakat yang terbentuk dari berbagai institusi keluarga. Keluarga menjadi ukuran ketat tidaknya suatu masyarakat dalam menjaga nilai-nilai kebudayaan yang dipindahkan melalui pendidikan di dalamnya.[45]
Dasar pendidikan yang diberikan kepada anak dari orang tua meliputi tujuh hal berikut; (1) Dasar pendidikan budi pekerti dengan memberikan norma pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam pola yang masih sederhana; (2) Dasar pendidikan sosial dengan melatih anak dengan tata cara bergaul dan berkomunikasi yang baik terhadap lingkungan sosial sekitar; (3) Dasar pendidikan intelek dengan mengajar anak tentang kaidahkaidah bertutur bahasa yang baik; (4) Dasar pembentukan kebiasaan pembinaan kepribadian yang baik dan wajar dengan membiasakan anak hidup teratur bersih, disiplin, dan rajin; (5) Dasar pendidikan kekeluargaan dengan memberikan apresiasi terhadap keluarga; (6) Dasar pendidikan nasionalisme dan patriotisme dan berprikemanusiaan untuk mencintai bangsa dan tanah air; dan (7) Dasar pendidikan agama, melatih dan membiasakan anak beribadah kepada Tuhan dengan meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaaan.
Dengan demikian lingkungan keluarga berpengaruh kepada anak dari sisi: (a) perlakuan keluarga terhadap anak; (b) kedudukan anak dalam keluarga; (c) keadaan ekonomi keluarga; (d) keadaan pendidikan keluarga; dan (e) pekerjaan orang tua.

Lingkungan Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak, disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan pembentukan kepribadian anak. Karena sekolah itu sengaja disediakan dan dibangun khusus sebagai tempat pendidikan, dan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, yang mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagi ganti orang tua yang harus ditaati.[46]
Pendidikan sekolah merupakan pendidikan formal karena sekolah adalah pendidikan yang mempunyai dasar, tujuan, isi, metode, alat-alatnya disusun secara eksplisit, sistematis dan distandarisasikan.[47] Penjabaran fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan formal, terlihat pada tujuan institusional, seperti tujuan kelembagaan pada masing-masing jenis dan tingkatan sekolah. Di Indonesia lembaga pendidikan formal pra sekolah (TK/RA), Sekolah Dasar (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas (SMA/MA/SMK/MAK) yang terdiri dari sekolah menengah umum dan kejuruan, serta perguruan tinggi dengan aneka ragam bidangnya (PTU/PTK).
Tujuan institusional masing-masing tingkat atau jenis pendidikan, pencapaiannya ditopang tujuan-tujuan kurikuler didalamnya dan tujuan instruksional. Sekolah hendaknya memberikan pendidikan keagamaan, akhlak, sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Pendidikan agama yang diberikan tidak bertentangan dengan pendidikan agama yang telah diberikan keluarga, karena si anak nantinya dihadapkan dengan pertentangan nilai-nilai, sehingga mereka menjadi bingung dan kehilangan kepercayaan. Guru merupakan pendidik profesional, karenanya secara implisit telah merelakan dirinya menerima dan memikul tanggungjawab pendidikan yang dipikul orang tua.[48]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menerima fungsi pendidikan berdasarkan asas-asas tanggung jawab sebagai berikut: (1) Tanggung jawab formal kelembagaan sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku (undang-undang pendidikan); (2) Tanggung jawab keilmuan berdasarkan bentuk, isi, tujuan dan tingkat pendidikan yang dipercayakan kepadanya oleh masyarakat dan Negara; dan (3) Tanggung jawab fungsional ialah tanggungjawab profesional pengelola dan pelaksana pendidikan (para guru dan pendidik) yang menerima ketetapan ini berdasarkan ketentuan-ketentuan jabatannya. Tanggung jawab ini merupakan pelimpahan tanggungjawab dan kepercayaan orang tua (masyarakat) kepada sekolah dari para guru.[49]
Sekolah yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar sekolah dengan pendidiknya (guru) yang mempunyai kompetensi professional, personal, sosial, dan pedagogik. Persekolahan seringkali diidentifikasikan sebagai lembaga pendidikan formal, sebagai akibat persekolahan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang pengelolaannya dengan aturan yang lebih ketat dibandingkan dengan lembaga lainnya. Sekolah sebagai tempat pendidikan formal. Pembinaan dan pengembangan kepribadian anak di sekolah diorientasikan pada tujuan tertentu sesuai dengan visi, misi, dan tujuan sekolah, di antaranya dioreintasikan kepada kehidupan masyarakat dalam rangka menumbuhkan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat disekitarnya.
Sekolah sebagai pendidikan formal dirancang sedemikian rupa agar lebih efektif dan lebih efisein, yaitu bersifat klasikal dan berjenjang. Sistem klasikal memungkinan beberapa/sejumlah anak belajar bersama dan dipimpin oleh seorang atau beberapa orang guru sebagai fasilitator. Sebagai konsekuensinya mereka mendapatkan perlakuan seragam menerima materi pelajaran. Untuk itu, pada suatu kelas biasanya murid-muridnya mempunyai kemampuan yang relatif seragam dari kelompok umur yang hamper setingkat pula.
Pada dasarnya sekolah sekarang sudah tidak disekat oleh tembok atau gedung karena sumber belajar yang dipergunakan di sekolah sudah beragam, dari sesuatu yang dapat dibawa ke dalam kelas sampai sesuatu yang hanya bisa dikunjungi oleh anak karena tidak mungkin dibawa ke dalam kelas, seperti museum, gunung, hutan, pantai dan lain sebagainya.
Sekolah memiliki ciri jenjang dapat dijelaskan sebagai berikut; (1) Jenjang lembaga. Sekolah dirancang dengan berbagai tingkatan, dari Taman Kanak-kanak (TK), sampai Perguruan Tinggi (PT). Sebagian dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dan sebagian lainnya dikelola oleh Departemen Agama; (2) Jenjang kelas Di samping berjenjang ke atas menurut tingkatan lembaga, juga berjenjang menurut tingkatan kelas. Seperti pada jenjang lembaga, murid hanya bisa mengikuti pendidikan pada kelas yang lebih tinggi jika telah dapat menyelesaikan pendidikannya di tingkat sebelumnya. Jenjang kelas ini bervariasi. Pada tingkat SD/MI terdiri dari enam kelas, SMP/MTs tiga kelas, dan SMA/MA termasuk sekolah yang sederajat tiga kelas. Sedangkan pada jenjang PT tidak ditentukan oleh jenjang kelas, tetapi sejauhmana mahasiswa dan mahasiswi dapat menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan kecepatannya. Setiap mahasiswa dan mahasiswi diberi kesempatan untuk memilih matakuliah dan dosen secara mandiri. Masing-masing mata kuliah diberi bobot sendiri-sendiri yang disebut dengan satuan kredit semester (sks). Ada matakuliah yang berbobot 2 sks, 3 sks, 4 sks, 6 sks, 7, sksk dan 8 sks. Mahasiswa dan mahasiswi hanya diperkenankan mengambil maksimal 24 sks. Jika mahasiswa dan mahasiswi mendapatkan kesempatan untuk menempuh 24 sksk, maka jumlah sks itu dibagi dengan jumlah sks masing-masing mata kuliah. Dengan demikian diperoleh jumlah mata kuliah yang ditempuh dalam satu semseter. Jika jumlah mata kuliah yang ditempuh dalam satu semester itu mendapatkan nilai baik, dapat mempertahankan jumlah sks maksimal untuk semester berikutnya. Akan tetapi jika nilai yang diperolehnya adalah kurang baik jumlah sks yang diperkenankan diambil pada semester beriktunya dikurangi. Konsekuensi dari sistem seperti ini, adalah bahwa setiap mahasiswa dan mahasiswi yang dapat menyelesaikan jumlah maksimal sks setiap semester. Dampaknya cepat selesai karena setiap semeser mendapatkan jatah sks yang banyak. Disisi lain apabila setiap semester mendapatkan nilai kurang baik, hanya diperkenankan mengambil jumlah sks sedikit, sehingga berakibat penyelesaian studinya lebih lama.
Sistem pembelajaran pada masing-masing jenjang tersebut telah ditentukan muatan materi, desain, strategi pembelajaran yang disebut dengan kurikulum. Masing-masing level atau jenis sekolah mempunyai kurikulum sendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dengan memperhatikan asopan kurikulum ini, seorang anak dapat berpindah ke tempat lembaga dan atau jenjang pendidikan lainnya sesuai dengan kompetensi yang pernah dicapainya sesuai dengan muatan kurikulumnya. Sebaliknya anak yang tidak dapat menyelesaikan suatu tingkat/jenis pendidikannya dapat mengulang kembali pada jenjang yang pernah ditempuhnya menguasai kompetensi yang dipersyaratkan oleh jenjang di jenis sekolah itu.
Evaluasi untuk mengukur kemampuan murid untuk menyelesaikan pendidikan nya pada suatu jenjang atau jenis pendidikan dilakukan sebagai berikut; (1) Formatif, dilakukan setiap selesai satu sesi pembelajaran; (2) Sumatif, yang dilakukan setiap semester, atau setiap tahun. Untuk evaluasi yang diselenggarakan setiap tahun ini kadang-kadang disebut dengan Evaluasi Tahap Akhir (EBTA); dan (3) UAN (Ujian Akhir Nasional), adalah evaluasi yang diselenggarakan pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (sekolah negeri) atau sekolah swasta yang berada dalam naungan pemerintah. Ujian ini bertujuan mengawasi kualitas penyelenggaraan pendidikan dan bermaksud mengukur kompetensi murid yang menyelesaikan pendidikaan pada satu tingkat lembaga supaya mempunyai standar kualitas minimal yang relatif seragam secara nasional. Pelaksanaan UAN di sekolah agar seorang murid belajar materi sebagaimana dikehendaki oleh kurikulum sehingga segala aspek keprbadiannya dapat berkembang secara maksimal dan optimal, sesuai dengan rancangan kurikulumnya. Meskipun demikian, tidak semua pertumbuhan dan perkembangan kepribadian murid itu berkembang semata karena kurikulum, tetapi boleh jadi perkembangan itu melalui interaksi antara satu muirid dengan lainnya, atau dengan gurunya, bahkan dengan lingkungannya. Interaksi seorang murid dengan lingkungan sosialnya misalnya (murid atau guru) mengembangkan sikapnya untuk dapat menerima kehadiraan pihak lain disamping dirinya. Interaksi dengan lingkungannya memungkinkan murid untuk dapat mengadaptasikan dirinya dengannya agar dapat mengelala lingkungannya sedemikian rupa untuk tujuan hidupnya dan sebagainya. Interkasi demikian barangkali tidak dicantumkan secara jelas dalam kurikulum, tetapi manakala seorang pimpinan sekolah atau guru memikirkan hal demikian maka kejadian seperti itu masuk dalam hiden kurikulum (hidden curriculum).
Suatu keniscayaan yang sulit untuk dipungkiri bahwa di sekolah murid dilatih dengan disiplin yang lebih ketat dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya (keluarga atau masyarakat), sehingga mareka harus bersekolah pada harihari dan jam-jam tertentu dan libur pada hari-hari tertentu. Sekolah diangap sebagai suatu lingkungan yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-muridnya, lebih-lebih bila dikaitkan dengan pengadaan sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat bersaing secara global. Maka pembangunan sekolah dianggap sebagai investasi yang prospektif demi menyongsong kemajuan bangsa.

Lingkungan Masyarakat
Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Secara sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Lembaga pendidikan ini berorientasi langsung kepada hal-hal yang bertalian dengan kehidupan. Pendidikan masyarakat merupakan pendidikan yang menunjang pendidikan keluarga dan sekolah. Masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada didalamnya.[50] Sekalipun terdapat tanggung jawab perseorangan dan pribadi, bagi manusia menganggapnya sebagai asas, dengan tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan.
Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar dimana tanggungjawab manusia melebihi perbuatanperbuatannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab, hukum yang berlaku pada masyarakat dan yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian (pengetahuan) sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.[51] Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan Islam ini, menjadi sarana pengembangan pribadi ke arah kesempurnaan sebagai hasil dari pengumpulan dan latihan secara terus-menerus. Lembaga pendidikan kemasyarakatan Islam dapat mengambil bentuk organisasi kepanduan, perkumpulan pemuda, olahraga, kesenian, remaja masjid, majlis taklim, koperasi, pusat keterampilan dan latihan, partai politik, perkumpulan agama dan lain-lain. Semua lembaga seperti ini dapat difungsikan dalam mengemban misi pendidikan Islam.[52]
Sosial/masyarakat, adalah pendidikan tersier yang merupakan pendidikan terakhir, tapi bersifat permanen dengan pendidiknya masyarakat itu sendiri secara sosial, kebudayaan adat istiadat dan kondisi masyarakat setempat sebagai lingkungan material. Pendidikan dalam pergaualan masyarakat terutama banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan seperti: (a) masjid, surau atau langgar, musholla; (b) madrasah, pondok pesantren; (c) pengajian atau majelis taklim; (d) kursus-kursus; dan (e) badan-badan pembinaan rohani (biro pernikahan, biro konsultasi keagamaan dan lain-lainnya).

Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
D. Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al- Ma’arif.
Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
Purwanto, Ngalim 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tirtahadja, Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Pertemuan Kesepuluh

URAIAN MATERI: KETERKAITAN ANTARA LINGKUNGAN PENDIDIKAN

A. Hubungan antara Keluarga dengan Sekolah
Sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama, keluarga dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan berikutnya. Menurut Hasbullah keluarga merupakan satu kesatuan hidup yang menyediakan situasi belajar. Situasi belajar dalam keluarga merupakan bentuk-bentuk interaksi dan komunikasi antara orang tua dan anak yang berisi tentang nilai-nilai pendidikan.[53]
Sebagai lingkungan pendidikan yang terorganisasi secara sistematis, sekolah merupakan wadah yang menempatkan anak dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan tingkat kemampuan dan kesesuaian umur, sehingga anak mempunyai wilayah interaksi secara intens dengan teman sebaya yang sedikit banyak memiliki kesamaan wawasan dan kemampuan. Berbeda dengan sekolah, di dalam keluarga, anak menempati posisi subordinat di bawah kendali orang tua dan tidak mendapatkan hubungan sebaya sebagaimana yang didapatkan dalam lingkungan sebaya di sekolah. Kedua pola komunikasi yang berbeda tersebut merupakan dua dunia yang berbeda bagi anak.
Keluarga merupakan dunia referensi bagi anak untuk membangun nilai hidup dan cita-cita, sedangkan dunia sebaya yang ditemui anak dalam sekolah adalah wilayah pengembangan diri secara social bersama-sama dengan teman-teman sebaya yang relatif dalam kualifikasi kemampuan dan wawasan yang seragam. Hubungan antara keluarga dan sekolah terjadi pada kerjasama orang tua dengan pihak guru. Kerjasama tersebut dibutuhkan untuk memantau kemajuan anak dalam proses pendidikan, baik kemajuan dalam ranah intetektual maupun psikologis. Secara intelektual sekolah adalah lingkungan yang secara sistematis melakukan perencanaan pengembangan melalui berbagai pelajaran yang diberikan dalam kurikulum. Orang tua, sebagai pembimbing dalam kehidupan sehari-hari bagi anak berkewajiban mengontrol proses perkembangan anak secara keseluruhan baik perkembangan intelektual dengan memberikan fasilitas dan dukungan keilmuan maupun perkembangan psikologis dengan menjadi pelindung dan tempat berbagi bagi anak.[54] Pada dasarnya banyak tehnik yang dapat ditempuh untuk menjalin kerjasama antara keluarga dengan sekolah, di antaranya melalui cara-cara berikut;

Kunjungan pihak sekolah (guru) ke rumah anak didik
Cara ini berdampak positif bagi anak karena merasa selalu diperhatikan, dan juga bagi orang tua karena termotivasi untuk selalu mangadakan kerjasama dengan sekolah. Bagi guru dan pihak sekolah manfaat yang bisa diambil adalah adanya kesempatan untuk melakukan observasi secara langsung dan melakukan wawancara.[55]

Kunjungan orang tua ke sekolah
Kalau adanya acara yang diselenggarakan oleh sekolah yang memungkinkan untuk dihadiri orang tua maka berdampak positif jika orangtua diundang untuk menghadiri acara tersebut. Kegiatan tersebut bisa berupa class meeting yang berisi lomba-lomba, pameran hasil karya dan lain sebagainya.[56]

Case conference
Merupakan rapat atau konferensi tentang kasus tertentu yang berkaitan dengan proses yang ada di sekolah dan keluarga. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan dalam konteks bimbingan dan konseling.[57]
  
Badan Pembantu Sekolah
Organisasi atau lembaga orang tua murid dan guru untuk menjalin kerjasama secara terorganisasi antara keduanya. Sampai sekarang ini organisasi telah mengalami berbagai perubahan karena disesuaikan dengan situasi pendidikan dan masyarakat.[58]

Adanya daftar nilai atau rapor
Daftar nilai atau rapor adalah media yang menghubungkan antara sekolah dan orang tua untuk saling mengomunikasikan proses dan hasil belajar yang dilakukan oleh anak didik. Sekolah atau guru bisa meminta peran serta orang tua untuk lebih aktif dalam membantu anak dalam pelajaran tertentu yang kurang baik atau sebaliknya, sekolah juga bisa bekerjasama dengan orang tua dalam memberikan dukungan pada pelajaran tertentu yang sudah baik[59]

B. Hubungan antara sekolah dan masyarakat.

Sekolah sebagai mitra masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan
Hubungan ini menempatkan sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang potensial untuk melakukan proses-proses pendidikan. Keduanya saling mempengaruhi peserta didik secara kuat. Seperti; (1) Pengalaman seseorang yang didapat dalam masyarakat baik melalui pergaulan atau aktivitas lain di tengah-tengah masyarakat membawa pengaruh pada fungsi pendidikan yang diperankan oleh sekolah untuk orang tersebut. Begitu pula sebaliknya, partisipasi seseorang untuk terlibat secara sadar dalam proses pendidikan di lingkngan masyarakat juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar yang dia lakukan di sekolah; dan (2) Fungsi pendidikan di sekolah bagi seseorang juga dipengaruhi oleh penggunaan atau fungsi sumber-sumber belajar dalam masyarakat seperti tokoh atau pakar masyarakat, museum, perpustakaan umum, kebun binatang dan lain sebagainya.

Sekolah sebagai produsen yang melayani pesanan-pesanan pendidikan dari masyarakat
Secara lebih terperinci hal tersebut dapat diuraikan sebagi berikut; (1) Sekolah adalah pelayan bagi kebutuhan pendidikan masyarakatnya; (2) Ketepatan sasaran dan target pendidikan yang ditangani oleh sekolah ditentukan oleh kejelasan kontrak antara sekolah sebagai pelayan dan masyarakat sebagai pemesan dan (3) Kualitas hubungan antara keduanya dipengaruhi oleh ikatan-ikatan obyektif berupa perhatian, penghargaan dan topangan lainnya seperti dukungan financial dan lain-lain.[60]

Pengaruh sekolah terhadap masyarakat tergantung dengan luas atau tidaknya produk dan kualitas dari sekolah. Kontribusi yang diberikan oleh sekolah kepada masyarakat meliputi hal-hal berikut.

Mencerdaskan kehidupan masyarakat
Tingkat kecerdasan masyarakat pada dasarnya bisa ditingkatkan melalui program pendidikan sekolah. Peningkatan kecerdasan tersebut dijalankan melalui pemberian Pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat melaui pelajaran disekolah. Peningkatan kecerdasan dalam masyarakat berpengaruh kepada ketepatan dan kecepatan dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam masyarakat.

Memberikan pengaruh perubahan bagi perkembangan masyarakat
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu keniscayaan yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Untuk memberikan kontribusi pengetahuan dan wawasan bagi masyarakat, hal yang bisa dilakukan oleh sekolah selain memberikan pengetahuan dasar juga transformasi pengetahuan dan kemampuan ke dalam pengalamanpengalaman melaui praktik sekolah sesuai perjenjangan yang ada.

Melahirkan masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan masyarakat.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang memiliki tujuan dan orientasi yang spesifik. Diantaranya adalah orientasi pendidikan ketrampilan untuk memenuhi tuntutan pasar kerja.
Masyarakat memberikan pengaruh pada sekolah pada hal-hal berikut;
1.    Orientasi dan tujuan pendidikan
Identitas dan dinamika suatu masyarakat membawa pengaruh bagi terhadap orientasi dan tujuan sekolah. Hal ini karena sekolah dilahirkan dari, oleh dan untuk masyarakat. Pengaruh identitas masyarakat terhadap program pendidikan dapat dilhat dalam perbedaan program-program pendidikan sekolah di berbagai negara yang masing-masing memiliki identitas yang berbeda-beda.
2.    Proses pendidikan di sekolah
Berlangsungnya proses pendidikan di sekolah juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sosial budaya dalam masyarakat dan partisipasinya. Nilai social budaya dalam masyarakat bisa menjadi faktor-faktor yang menghambat atau mendukung bagi proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu sekolah harus memperhitungkan pengaruh tersebut. Partisipasi masyarakat bisa berupa material maupun spiritual atau nilai tertentu.[61]

C. Hubungan antara Keluarga dan Masyarakat
Pendidikan keluarga merupakan basis yang sangat penting dalam peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Keluarga adalah lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak sebagai suatu kesatuan hidup (sistem sosial) yang menyediakan situasi belajar. Sebagai suatu system sosial, ikatan kekeluargaan di dalamnya membantu anak dalam mengembangkan sikap persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta pengakuan akan kewibawaan. Perkembangan benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin dalam keluarga. Tanggungjawab sosial adalah bagian dari keluarga yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab masyarakat dan bangsa. Tangung jawab sosial itu merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh kesatuan darah, keturunan dan keyakinan.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang pertama-tama ditemui anak. Setelah melalui proses ini, anak bertemu dengan unit sosial yang lebih besar yaitu masyarakat. Kontribusi lingkungan masyarakat terhadap pendidikan bagi anak antara lain diuraikan berikut ini; (1) Berdasarkan dinamika yang terjadi di masysrakat, anak didik mendapatkan pengalaman langsung (first hand experience). Oleh karena itu mereka dapat memiliki pengalaman yang konkrit dan mudah diingat; dan (2) Dalam masyarakat terdapat banyak sumber belajar yang tidak dimiliki sekolah ataupun keluarga.[62]
Dalam kehidupan masyarakat, anak tumbuh dalam dua dunia social sekaligus. Dunia orang dewasa, misalnya orang tua, guru dan tetangganya. Dunia teman yang seumurnya, misalnya kelompok permainan, kelompok sekolah dan lain sebaginya. Masing-masing dari dua dunia sosial tersebut memiliki perbedaan yang signifikan bagi anak. Dalam dunia orang dewasa posisi anak selalu dalam posisi subordinat dengan kata lain posisi orang tua selalu diatas. Sedangkan dalam peergroup, anak mempunyai status yang sragam dengan yang lain (equal). Jadi peergroup selalu berada dibawah orang tua, sehingga anak membutuhkan kelompok sendiri karena ada kesamaan dalam segala bidang.
Pengaruh peergroup semakin lama semakin penting bagi anak dibanding dengan pengaruh keluarga. Seiring dengan semakin besarnya pengaruh peergroup terhadap perkembangan anak, nilai pendidikan yang bisa diambil dari proses ini adalah: (a) mengajarkan kebudayaan; (b) mengajarkan mobilitas social; dan (c) membantu peranan sosial baru.[63] Dengan demikian hubungan antara lingkungan keluarga dan masyarakat dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, keluarga adalah peletak dasar-dasar pendidikan sosial bagi anak yang didalamnya terdapat pendidikan pandangan hidup dan Norma sosial. Kedua, masyarakat adalah wadah pengembangan kemampuan sosial anak yang didalamnya terdapat kebudayaan, mobilitas sosial dan peran-peran sosial yang bisa dipelajari dan diambil oleh anak.

Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tirtahadja, Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Pertemuan Kesebelas

URAIAN MATERI: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A. Sistem Pendidikan Nasional Pengertian Sistem
Istilah sistem berasal dari Yunani sistem yang berarti hubungan fungsional yang teratur antara unit-unit atau komponen-komponen[64] (Musnamar, 1985:38). Tatang M. Arifin, mengemukakan pengertian sistem sebagai suatu keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian yang satu dengan lainnya saling berhubungan secara teratur untuk mencapai suatu tujuan.[65] Menurut Banathy sistem adalah suatu organisme sintetik yang dirancang secara sengaja, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan saling berinteraksi yang dimanfaatkan agar berfungsi secara terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.[66] Sistem meliputi tiga macam: tujuan, proses, dan isi. Sistem terdiri atas komponen-komponen yang secara keseluruhan disebut isi. Isi sistem ini disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Bagaimana komponen-komponen tersebut dioperasikan dan difungsikan dalam upaya mencapai tujuan itu, disebut proses.
Sistem mempunyai beberapa tingkatan; tingkatan yang lebih rendah dari sistem disebut subsistem, sedangkan tingkatan yang lebih tinggi disebut suprasistem. Subsistem adalah bagian dari suatu sistem. Setiap subsistem dirancang untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dimana berdampak penting bagi pencapaian tujuan sistem secara keseluruhan. Proses di dalam subsistem ditentukan oleh tujuan khusus yang ingin dicapai dalam subsistem tersebut. Demikian pula, komponen dalam subsistem dipilih berdasarkan kemampuannya untuk melakukan proses dalam subsistem tersebut. Sebagai contoh, sistem pendidikan nasional terdiri atas beberapa subsistem, antara lain; subsistem pendidikan formal, subsistem pendidikan nonformal, subsistem pendidikan dasar, subsistem pendidikan menengah, dan sebagainya. Masing-masing subsistem tersebut memiliki tujuan khsusus yang harus dicapai. Kualitas pencapaian tujuan subsistem tersebut menentukan pula kualitas pencapaian tujuan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.
Suprasistem adalah lingkungan lebih luas tempat sistem itu berada. Pendidikan nasional merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional. Dalam hal ini, pembangunan nasional dapat dianggap sebagai suprasistem dari sisdiknas. Sebaliknya, boleh juga dikatakan bahwa pendidikan nasional merupakan subsistem dari sistem pembangunan nasional itu sendiri. Jadi suatu sistem dapat menjadi sub dari sistem yang lebih besar atau menjadi supra dari sistem yang lebih kecil.

Pengertian Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 pasal 1 ayat 2 adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2 dirumuskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman.
Secara prinsip kedua undang-undang tersebut adalah seragam. Bedanya, pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 terdapat pengembangan dua aspek; (1) adanya nilai-nilai agama, dan (2) keharusan mengikuti perkembangan jaman (kontekstual). Adanya tambahan konsep pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 didasarkan pada kenyataan, bangsa Indonesia adalah bangsa beragama dan karena itu keberagamaan akan menjadi hal mendasar dalam setiap aspek kehidupan bangsa, dimana salah satunya adalah melalui dunia pendidikan. Disamping itu, pendidikan nasional juga harus tanggap terhadap dinnamika perkembangan jaman, agar dunia pendidikan nasional tetap bisa eksis dan lebih jauh survive menghadapi tantangan dunia yang semakin global dan kompetitif.
Pendidikan nasional yang berlangsung saat ini dalam dataran filosofis masih menjadi obyek tarik menarik dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang memperebutkan bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok; (1) kelompok yang menjadikan pendidikan sebagai sistem; (2) kelompok yang menjadikannya sebagai tujuan; dan (3) kelompok yang menjadikan pendidikan sebagai proses. Kelompok yang menghendaki pendidikan nasional dijadikan sebagai sebuah sistem berasumsi bahwa pendidikan nasional pada hakikatnya adalah kesatuan yang bulat dari input, process, dan output.
Dalam bahasa UU Sisdiknas, pendidikan nasional diselenggarakan sebagai kesatuan sistemik dengan sistem terbuka dan sistem multimakna. Berangkat dari pemahaman ini, pendidikan nasional dijadikan sebagai sebuah siklus yang bersifat mekanis dengan berorientasi pada kualitas output. Pendidikan dengan orientasi demikian, di satu sisi memiliki nilai positif berupa hasil didik yang berkualitas dalam hal ntelektualitas, tetapi pada sisi yang lain memiliki sisi negatif yakni lemah dalam hal skill dan sifat humanisnya.
Kelompok yang menghendaki pendidikan nasional dijadikan sebagai tujuan berasumsi bahwa pendidikan nasional pada hakikatnya adalah tujuan pendidikan itu sendiri, artinya pendidikan nasional dijadikan sebagai tujuan proses pendidikan itu sendiri. Karena itu, pendidikan nasional menjadi sebuah entitas yang seolah-olah tidak menginjak bumi Indonesia yang sarat problemproblem nasional. Akibatnya pendidikan nasional tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat luas. Sementara itu, kelompok yang menghendaki pendidikan nasional dijadikan sebagai proses berasumsi bahwa pendidikan adalah sebuah kegiatan yang tidak terlepas dari kegiatan kehidupan manusia Indonesia. Proses adalah sebuah kegiatan yang tidak pernah selesai dan berlangsung secara terus menerus. Jika pendidikan nasional dianggap sebagai sebuah proses, maka dengan sendirinya pendidikan nasional berlangsung selama bangsa Indonesia ini eksis. Pendidikan nasional berlangsung secara terus menerus.

Pengertian Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) tercantum di dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 1 ayat 3 adalah keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya pendidikan nasional. Sedangkan di dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 3 dirumuskan bahwa sisdiknas adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua rumusan sisdiknas di atas tampaknya tidak ada perbedaan yang prinsip. Perbedaan hanya terjadi pada teknis narasi atau susunan Bahasa yang dipakai oleh keduanya. Pada rumusan UUSPN No. 20 Tahun 2003 keseluruhan yang terpadu disebutkan secara tegas dengan istilah komponen pendidikan. Pada sisi lain pada UUSPN No. 2 Tahun 1989 hanya disebut keseluruhan tanpa keterangan komponen pendidikan.
Sisdiknas dirumuskan dengan misi utama dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara Republik Indonesia, agar tiap-tiap warga memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, meliputi; kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta mampu menggunakan bahasa Indonesia yang diperlukan oleh setiap warga Negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sisdiknas memberikan kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Karena itu, perlakuan terhadap peserta didik tidak dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin, agama, ras, suku, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali jika ada satuan atau kegiatan pendidikan yang memiliki kekhususan yang harus diindahkan.

B. Permasalahan Sistem Pendidikan Nasional
Penyebab utama kegagalan pendidikan sebuah negara, salah satunya adalah disebabkan oleh sistem pendidikan yang digunakan, di samping faktor-faktor lain yang sifatnya lebih kepada masalah-masalah praksis pendidikan, seperti biaya pendidikan, pemerataan pendidikan, serta kualitas pengajar dan pengelolaan pendidikan. Sisdiknas yang dipergunakan di Indonesia, tampaknya memang tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah perjalanan bangsa Indonesia itu sendiri. Paling tidak ada dua permasalahan menyangkut sisdiknas, yaitu konteks historis dan aplikasi praksis.

Konteks Historis Sisdiknas
UUD 1945 mengamanatkan agar disusun satu sisdiknas, berdasar fakta, bahwa pada masa penjajahan, pendidikan yang ada di Indonesia memiliki sistem yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Ada system model Belanda yang mementingkan pengetahuan umum dan berorientasi pada kerja kantor, ada pendidikan model pesantren yang berorientasi pada pendidikan agama dan melupakan pengetahuan umum, dan juga ada model pendidikan Taman Siswa yang merupakan adaptasi dari pendidikan Belanda dengan tambahan penekanan pada kebudayaan nasional. Keinginan para perintis kemerdekaan pada masa itu, tampaknya ingin memadukan ketiga sistem pendidikan yang ada, dengan mengambil yang terbaik dari ketiganya, sehingga tercipta suatu sisdiknas yang menekankan kepada ketiga aspek tersebut, meliputi pengetahuan umum, pendidikan agama, dan kebudayaan nasional.
Upaya pembentukan satu sisdiknas itu memerlukan waktu yang panjang, hampir 45 tahun. Di tahun 1950, ketika negara kita berhasil membuat suatu undang-undang pendidikan, pendidikan pesantren dan madrasah belum dicakup oleh undang-undang tersebut, karena dianggap sebagai pendidikan luar sekolah dan perlu dibuatkan undang-undang tersendiri, sekalipun pada akhirnya tak pernah terwujud. Jadi bisa dikatakan bahwa pada saat itu pendidikan Islam (dalam hal ini madrasah dan pesantren) masih berada di luar sistem pendidikan nasional. Bisa juga dikatakan, bahwa pada masa itu di negara kita masih ada dua sistem pendidikan yang diatur UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 dan yang tidak diatur oleh UU tersebut. Baru pada tahun 1989, melalui UUSPN (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional), keinginan memasukkan semua jenis pendidikan di Indonesia ke dalam satu sistem itu berhasil dilakukan. Dalam UU tersebut sisdiknas terdiri atas beberapa subsistem pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendidikan dasar, pendidikan kejuruan, dan sebagainya.
Kelahiran UUSPN No. 2 Tahun 1989 ini dalam situasi pemerintah orde baru ingin melanjutkan misi pendidikan nasional orde lama yang dianggap gagal. Karena itu, sisdiknas difokuskan kepada keberlangsungan dan keselamatan negara. Dengan kata lain, pendidikan dilaksanakan sepanjang dapat menjaga kesatuan, keutuhan, dan kelestarian ideologi bangsa. Karena itu, tidak mengherankan jika semasa orde baru segala bentuk kebijakan pendidikan selalu datang dari atas (pusat).
Setelah era orde baru, kemudian pemerintahan reformasi, sisdiknas yang dianggap menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas bangsa Indonesia, juga menjadi sasaran untuk direformasi. Upaya dekonstruksi sisdiknaspun menjadi permasalahan penting di era reformasi ini. Orde baru dianggap sebagai biang keladi kemandegan atau kegagalan sisdiknas Indonesia. Era orde baru dianggap sebagai aktor dibalik keterpurukan sisdiknas, karena salah menerjemahkan UUSPN No. 2 Tahun 1989. Orde baru menerjemahkan dan memanfaatkan undang-undang tersebut sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, dengan mematikan kebebasan ekspresi dan kreasi, serta mengekang kebebasan berpikir. Dengan kata lain, undangundang tersebut telah dijadikan alat untuk mengeksploitasi individu-individu demi kepentingan politik orde baru dengan dalih demi keutuhan dan keselamatan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Akan halnya masa atau era reformasi, ternyata upaya mendekonstruksi sisdiknas pun harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan yang tak jauh berbeda dengan masa atau era sebelumnya. Isu pendidikan, di era ini tetap dijadikan alat untuk kepentingan politik itu sendiri, sementara komitmen pemerintah yang begitu fasihnya disampaikan setiap kesempatan, masih saja gagal mengantar sisdiknas benar-benar berdaya. Alih-alih sisdiknas berdaya, dalam kebijakan pemerintahpun ternyata sisdiknas tidak menjadi prioritas utama.

Masalah Penerapan Sisdiknas
Kelemahan sisdiknas Indonesia sesungguhnya adalah pada konsekuensi logis dan politis pada penerapannya. Dengan sistem yang demikian, maka sisdiknas Indonesia mensyaratkan bagi sistem yang bersifat sentral (terpusat) dan sistem yang dilandasi oleh tindakan penyeragaman (uniformitas). Sistem seperti ini pada gilirannya menjadikan intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan dalam bidang pendidikan, hingga pada akhirnya melumpuhkan pendidikan itu sendiri. Usaha untuk memberikan pengetahuan yang relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menjadi tidak terwujud. Individu-individu peserta didik akhirnya hanya dieksploitasi dan dimanfaatkan demi kepentingan pemerintah atas Nama negara dan bangsa.[67]
Jika dicermati lebih dalam, maka sesungguhnya tidaklah mengherankan jika  perumusan UUSPN No. 2 Tahun 1989 lebih memilih pendidikan yang bersifat terpusat dan seragam, seperti dipaparkan di dalam bahasan konteks sejarah di atas, karena memang sejarah Indonesia memungkinkan bagi terbitnya undang-undang yang demikian. Latar belakang sosial, budaya, dan agama yang beragam, tidak diterjemahkan sebagai peluang, melainkan hanya dipandang sebagai tantangan dan kendala, bahkan dianggap sebagai ancaman bagi timbulnya disintegrasi bangsa, seperti setelah timbulnya prahara politik tahun 1965 dengan munculnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Alasan sejarah dan latar belakang menjadi landasan berpikir dalam penyusunan sisdiknas. Kondisi ini juga ditambah dengan alasan-alasan politis yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai ideal pendidikan, yakni sebagai satu upaya untuk melestarikan ideologi. Pada tahapan ini, pendidikan Indonesia sudah menjadi alat yang sistematis bagi pemerintah untuk melestarikan dan menyelamatkan kekuasaannya, sekalipun dalam bahsa mereka untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan nasional menjadi perwujudan dari tujuan kebijakan politik. Pendidikan kemudian menjadi alat seleksi, kontrol, sosialisasi nilai, pengetahuan, ketrampilan yang efektif, dan masih demi tercapainya mobilisasi tenaga kerja yang ujung-ujungnya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Pada sisi yang lain, usaha pemerintah memberikan pendidikan moral, baik melalui mata pelajaran Pancasila maupun pendidikan agama, hanya lebih mengedepankan verbalitas daripada nilai. Akibatnya justru menimbulkan kecenderungan untuk membawa fragmentasi berpikir anak dan lebih memperkuat primordialismenya. Celakanya, intervesi yang dilakukan pemerintah ini tetap tidak mampu untuk membendung keinginan masyarakat untuk menggali kemajuan di bidang teknologi dan informasi.
Pada akhirnya perkembangan yang demikian tidak mampu direspon dan akomodasi oleh lembaga pendidikan. Di samping faktor di atas, sisdiknas Indonesia mencakup jangkauan yang sangat luas dan cenderung tidak penting bagi perkembangan pendidikan. Kalau pada zaman orde lama, lebih mengutamakan pembangunan karakter bangsa, maka pada zaman orde baru lebih mengedepankan persoalanpersoalan mulai dari ekonomi, politik, kebudayaan, agama, moral, hingga ke permasalahan ideologi dan moral Pancasila. Persoalan yang sebegitu luas telah dipaksakan untuk diurus di dalam bingkai sistem yang sentralistis. Akibatnya persoalan-persoalan yang harus diurus menjadi sangat luas jangkauannya hingga berujung pada langkah-langkah kebijakan yang tidak pernah fokus dan jelas.
Sisdiknas seperti ini berdampak negatif bagi perkembangan pendidikan itu sendiri; pendidikan menjadi terbelenggu. Padahal seharusnya pendidikan harus bersifat membebaskan dan mencerahkan. Segala aktivitas, misalnya berupa penemuan atau karya berharga bagi perkembangan IPTEK jika dianggap mengganggu kepentingan negara maka harus dihentikan. Dampak negatif lainnya, pendidikan harus berada dalam koridor yang sudah ditentukan. Akibatnya pendidikan menjadi sangat birokratis, pendidikan dikekang oleh peraturan, pendidikan menjadi kehilangan kreatifitasnya, dan bahkan pendidikan menjadi kehilangan maknanya. Berdasar kenyataan di atas, nampaknya pendidikan nasional harus dibangun di atas landasan yang kuat dan visi yang jelas, mencakup; ideologi, epistemologi, dan paradigma. Ketiganya merupakan landasan filosofis bagi sistem pendidikan nasional terpadu yang dilaksanakan dengan pendekatan proses.
Pada tataran ideologi, perlu dibangun ideologi sirkularisme, yakni sebuah ideologi yang memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan dirinya sendiri, sebagai sebuah hubungan yang saling terkait. Artinya bahwa pendidikan nasional memandang bahwa proses pendidikan pada dasarnya proses memanusiakan kemanusiaannya manusia, menghewankan kebinatangannya hewan, mengalamkan kealamannya alam, menuhankan ketuhanan-Nya Tuhan, dan memanusiakan kemanusiaan diri manusia sendiri.
Pada aspek epistemologi, pendidikan nasional perlu menggunakan epistemologi tersendiri yang mencakup keempat aliran pengetahuan yang telah ada; empirisme (pengetahuan dari pengalaman indera lahir), rasionalisme (pengetahuan dari akal), intuisionisme (pengetahuan dari rasa atau indera batin), dan skripturalisme (pengetahuan dari keyakinan yang datang dari Tuhan). Penggunaan epistemologi komprehensip tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hakikat pendidikan nasional adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas (keragaman) budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Di sisi lain pada aspek paradigma pendidikan perlu juga dikembangkan paradigma baru yang disebut dengan paradigma sinergisitas. Sesuai Dawam dalam Musthofa paradigma (sudut pandang) manusia terhadap dunia sebagai sebuah proses yang terus menerus berlangsung secara seimbang, saling membutuhkan, dan saling mempengaruhi, baik dalam kehidupan sosial politik dengan social ekonomi, maupun sosial keagamaan dengan sosial ekonomi, atau sinergisitas dari berbagai aspek kehidupan manusia. Selama ini, paradigm pendidikan nasional lebih cenderung bersifat statis dan dogmatis.[68] Dengan demikian, yang perlu ditonjolkan dalam paradigma pendidikan nasional ke depan adalah paradigma yang lebih berorientasi pada proses yakni paradigm sinergisitas. Dan sebenarnya paradigma ini dalam keadaan tertentu telah dilakukan oleh beberapa kelompok orang, sekalipun belum optimal.[69]

Daftar Pustaka
Amirin, Tatang. M. 1992. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Banathy, Bella H. 1968. Instruction System. Brelmont CA: Fearon Publisher.
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan; Langkah-Langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Furchan, Arif. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Guna Media.
Musthofa, Imam Machali. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV.Eka Jaya.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.



Pertemuan Keduabelas

URAIAN MATERI: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A. Jenis dan Bentuk Kelembagaan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar (Bahasa UUSPN No 2 Tahun 1989) atau melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal (dalam bahasa UUSPN No 20 Tahun 2003).

Jalur Pendidikan
Penyelenggaraan Sisdiknas dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 disebutkan bahwa penyelenggaraan Sisdiknas dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu; (1) jalur pendidikan sekolah; dan (2) jalur pendidikan luar sekolah yang sering disingkat PLS.
Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi). Ciri-ciri jalur pendidikan formal adalah: (1) sifatnya formal; (2) diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah; dan (3) mempunyai keseragaman pola yang bersifat nasional. Jalur pendidikan luar sekolah (PLS) merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan, seperti kepramukaan, berbagai kursus, dan lain-lain. PLS memberikan kemungkinan perkembangan sosial, kultural seperti bahasa dan kesenian, keagamaan, dan ketrampilan yang dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakat untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakatnya.
Pendidikan luar sekolah berciri; (1) sifatnya tidak formal, dalam arti tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasional; dan (2) modelnya sangat beragam. Dalam hubungan ini pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang fungsi utamanya menanamkan keyakinan agama, nilai budaya dan moral serta ketrampilan praktis.
Di dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 istilah jalur sekolah dan luar sekolah diperinci menjadi; (1) pendidikan formal untuk jalur pendidikan sekolah, dan (2) pendidikan non formal dan informal untuk jalur pendidikan luar sekolah.

Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik serta keluasan dan kedalaman dalam pengajaran UUSPN No. 2 Tahun 1989), atau tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (UUSPN No. 20 Tahun 2003). Ada tiga jenjang pendidikan dalam Sisdiknas, yakni: (1) jenjang pendidikan dasar, (2) jenjang pendidikan menengah, dan (3) jenjang pendidikan tinggi.



Jenjang Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat, berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan dasar. Disamping itu juga berfungsi mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. Oleh karena itu pendidikan dasar menyediakan kesempatan bagi seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar, dan tiap-tiap warga negara diwajibkan menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.

Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar, diselenggarakan di SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau satuan pendidikan yang sederajat. Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar. Sedangkan dalam hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan kerja.
Pendidikan menengah terdiri atas; pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan, pendidikan menengah luar biasa, pendidikan menengah kedinasan, dan pendidikan menengah keagamaan.

Jenjang Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah, yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga pendidikan tinggi melaksanakan misi Tridarma pendidikan tinggi yang meliputi; pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam ruang lingkup tanah air Indonesia sebagai kesatuan wilayah pendidikan nasional. Pendidikan tinggi juga berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional dengan perkembangan internasional.
Untuk itu, dengan tujuan kepentingan nasional, pendidikan tinggi secara terbuka dan selektif mengikuti perkembangan kebudayaan yang terjadi di luar Indonesia untuk diambil manfaatnya bagi pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional. Untuk dapat mencapai tujuan dan kebebasan akademik, dalam melaksanakan misinya di lembaga pendidikan tinggi berlaku kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan dan otonomi dalam pengelolaan lembaganya.

Jenis dan Bentuk Pendidikan Nasional
Program pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas; (1) pendidikan umum; (2) pendidikan kejuruan; dan (3) pendidikan lainnya (pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan).

Pendidikan Umum
Pendidikan umum adalah pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan. Pendidikan umum berfungsi sebagai acuan umum bagi jenis pendidikan lainnya. Pendidikan ini berorientasi pada kecakapan hidup yang general, eksistensi diri, potensi diri, berpikir kritis, kreatif, dan kecakapan akademik. Pendidikan umum meliputi, SD, SMP, SMA, dan Universitas.

Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang pekerjaan tertentu, seperti bidang teknik, tata boga dan busana, perhotelan, kerajinan, administrasi perkantoran dan lainlain. Pendidikan kejuruan berorientasi pada kecakapan vokasional. Bentuk lembaganya meliputi, STM/SMK, SMTK, SMIP, SMIK.

Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental. Bentuk lembaga pendidikannya berupa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sedang untuk pengadaan gurunya disediakan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) setara dengan Diploma III.

Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai atau calon pegawai suatu departemen pemerintahan atau lembaga pendidikan nondepartemen. Pendidikan kedinasan dapat terdiri dari pendidikan tingkat menengah (seperti SPK) dan pendidikan tingkat tinggi (seperti IPDN). Undang-Undang SISDIKNAS Tahun 2003 pasal 30 menyebutkan sebagai berikut; (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (2) Pendidikan agama berfungsi mempersiapkan perserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau/menjadi ahli agama; (3) Pendidikan agama dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (4) Pendidikan keagamaan berbentuk ajaran diniyah pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis; dan (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2), ayat, (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (SISDIKNAS, 2003)
Jadi, pendidikan keagamaan merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat melaksanakan peranan yang menurut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama. Pendidikan keagamaan dapat terdiri dari tingkat pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah), tingkat pendidikan menengah (Tsanawiyah, Aliyah), dan tingkat pendidikan tinggi (seperti IAIN sekarang UIN, Institut Hindu Darma, dan sebagainya). Berdasar ini berarti pendidikan keagamaan ada yang sepenuhnya memberikan pendidikan agama dan pendidikan umum yang setara dengan pendidikan umum yang setingkat.

B. Pengelolaan Kelembagaan Pendidikan Nasional
Kebijakan pemerintah selama ini belum bisa menjawab tantangan-tantangan pendidikan di Indonesia maupun tantangan pendidikan yang bersifat universal. Permasalahan-permasalahan mulai substansi pendidikan hingga ke praksis pendidikan tidak pernah secara tuntas diselesaikan. Wacana-wacana yang berkembangpun hanya berkisar pada dekonstruksi-dekonstruksi kebijakan yang pernah ada sebelumnya, tanpa ada solusi yang pasti. Dengan kata lain, bahwa setelah paradigma lama dianggap sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan jaman dan kemudian dirubah menjadi paradigma baru sesuai dengan konteks jaman, ternyata paradigma baru itupun belum juga bisa dipetakan secara jelas. Pengelolaan kelembagaan pendidikan dalam perspektif Sisdiknas akhirnya harus masuk ke dalam lingkaran ketidakjelasan tersebut. Ketidakjelasan pengelolaan kelembagaan sistem pendidikan nasional menyebar dalam beberapa aspek atau bidang berikut.

Manajemen kelembagaan (institusi) pendidikan tidak sistemik, tidak total, dan tidak mendasar
Pengelolaan lembaga pendidikan secara umum tidak mengikuti alur yang sistematis. Masing-masing lembaga pendidikan menyelenggarakan kegiatan kependidikan dengan hanya bertumpu kepada situasi lokal yang ada. Sementara sistem pendidikan nasional yang telah dirumuskan dan mestinya menjadi acuan pengelolaan lembaga pendidikan, tidak mendapatkan perhatian yang serius (diabaikan). Akibatnya lembaga pendidikan tidak memiliki visi yang jelas dan karena itu selalu menghasilkan lulusan yang “gamang” dalam menghadapi hidup yang membutuhkan daya saing tinggi ini. Karena itu, upaya merubah pengelolaan sistem kelembagaan pendidikan nasional, salah satunya adalah harus melaksanakan inovasi manajemen kelembagaan (institusi) pendidikan secara sistemik, menyeluruh, dan mendasar, dengan sasaran utamanya adalah perubahan orientasi, pandangan (visi), cara berpikir, dan pola perilaku nyata (action) sebagai manifestasi adanya perubahan orientasi dan pandangan serta cara berpikir tersebut.

Tidak ada budaya mutu (quality culture)
Kualitas akademik yang mencakup kualitas proses pembelajaran, kualitas penelitian (research), dan kualitas pengabdian kepada masyarakat kurang mendapat perhatian serius. Akibat dari kondisi ini, mutu pendidikan tidak menjadi target dari penyelenggaraan pendidikan.

Kurang adanya kesesuaian dan kesepadanan (relevansi).
Antara lembaga pendidikan dengan berbagai kebutuhan dan tuntutan masyarakat kurang relevan, baik dari sistem persekolahan maupun dari dunia bisnis dan industri yang ada dan berkembang di masyarakat, sehingga institusi pendidikan tidak mampu melebarkan dan meluaskan sasaran operasionalnya.

Minimnya akses informasi
Kerjasama dengan lembaga pendidikan di negara lain maupun dengan lembaga-lembaga, badan-badan, organisasi Internasional yang termasuk governmental dan non-governmental agencies perlu ditingkatkan. Jika kerjasama dengan lembaga, badan atau organisasi internasional tersebut tidak jalan kecil peluang bagi pendidikan nasional kita untuk melakukan pertukaran informasi, pengalaman, riset, karya, maupun ketenagaan serta penyegaran pandangan (visi) keilmuan yang selama ini sangat diharapkan dan dicita-citakan oleh pendidikan nasional kita.

C. Permasalahan Pengelolaan Madrasah sebagai Subsistem Pendidikan Nasional
Madrasah dalam Sisdiknas
Hingga tahun 1950 saat Indonesia telah memiliki undang-undang pendidikan, pendidikan madrasah belum dicakup oleh undang-undang tersebut karena dianggap sebagai pendidikan luar sekolah dan karena itu harus dibuatkan undang-undang tersendiri. Posisi seperti inilah yang mengakibatkan madrasah tidak masuk dalam Sisdiknas. Baru pada tahun 1989 madrasah berhasil tercakup di dalam UU Sisdiknas sebagai subsistem pendidikan nasional yang kala itu disebut pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan agama di Indonesia. Di negeri kita, pendidikan Islam itu tampil dalam berbagai macam wujudnya; pendidikan agama Islam yang merupakan subsistem dari system pendidikan agama dalam kurikulum nasional, pendidikan di madrasah dan sekolah umum Islam yang merupakan subsistem dari sistem pendidikan umum (formal), dan pendidikan pesantren sebagai subsistem dalam pendidikan nonformal[70]
Sebagai subsistem, pendidikan Islam (madrasah) mempunyai tujuan khusus tersendiri yang harus dicapai. Tercapainya tujuan madrasah ini secara otomatis menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistemnya. Hal ini disebabkan karena, sebagai subsistem pendidikan nasional, tujuan madrasah itu mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Sebagai contoh, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan nasional adalah terbentuknya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Aspek dari tujuan pendidikan nasional inilah yang kemudian dijabarkan menjadi tujuan pendidikan agama Islam dan kemudian dijabarkan lagi menjadi tujuan pendidikan madrasah.

Eksistensi Sitem Kelembagaan Madrasah di Indonesia
Eksistensi lembaga pendidikan Islam (madrasah) sudah diakui oleh sejarah. Sejak sebelum bangsa penjajah datang ke bumi Nusantara ini, lembaga pendidikan Islam sudah dikenal oleh penduduk kepulauan Nusantara. Lembaga pendidikan surau (semacam pesantren di pulau Jawa) di Sumatra sudah di kenal sejak abad ketujuh. Bahkan sebelum pendidikan sekolah diperkenalkan oleh Belanda, pesantren dan pengajian al-Qur’an di masjid dan surau adalah satu satunya pendidikan yang ada bagi rakyat biasa. Eksistensi ini tidak tergoyahkan meskipun kemudian ‘disaingi’ oleh sekolah Belanda dan sekolah pribumi lainnya yang mengambil model sekolah Belanda. Dalam perkembangan berikutnya, lembaga pendidikan Islam ini juga mengadaptasi diri dengan perkembangan zaman dan mengambil bentuk-bentuk lembaga pendidikan modern. Maka, timbullah bentuk madrasah dan sekolah Islam, di samping bentuk tradisional pesantren. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam ini merupakan usaha swadaya masyarakat. Sampai sekarang, belum ada pesantren yang berstatus negeri dan hanya sedikit saja dari madrasah yang berstatus negri jika di bandingkan dengan madrasah yang berstatus swasta. Demikian pula halnya dengan sekolah Islam. Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk memberikan pendidikan kepada setiap warga negara, keberadaan sekolah swasta di seluruh pelosok tanah air ini amat membantu tercapainya program pemerintah di bidang pemerataan pendidikan.
Eksistensi lembaga pendidikan Islam ini semakin diperkuat dengan di undangkannya UUSPN pada tahun 1989 itu. Dalam UUSPN diakui adanya sekolah umum yang bercirikan keagamaan yang merupakan pengakuan atas keberadaan madrasah dan sekolah Islam. Artinya, secara hukum, lembaga pendidikan Islam diakui sebagai salah satu subsistem dalam system pendidikan nasional. Posisi ini tidak berubah ketika Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut direvisi pada tahun 2003 yang kemudian menghasilkan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Sebagai konsekuensi dari hubungan sistem dan subsistem ini, maka tujuan yang ingin di capai oleh lembaga pendidikan Islam, sebagai subsistem, harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagai suprasistemnya. Tujuan lembaga pendidikan Islam tidak boleh menyimpang atau tidak menunjang pencapain tujuan pendidikan nasional. Itulah sebabnya kita lihat adanya pembenahan-pambenahan terhadap tujuan dan isi (kurikulum) di lembaga pendidikan Islam beberapa tahun terakhir ini. Sebagai subsistem, lembaga pendidikan Islam juga diharapkan dapat membantu menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pendidikan nasional secara keseluruhan.

Permasalahan Pengelolaan Madrasah dan Solusi
Karena madrasah sebagai subsistem sisdiknas, maka yang dihadapi oleh pendidikan nasional, sebenarnya juga dihadapi oleh madrasah. Beberapa hambatan dan tantangan di masa lalu antara lain; keterbatasan anggaran, belum adanya perencanaan yang terarah, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi. Memang sebagian telah dapat diatasi, tetapi masih banya pula hambatan dan tantangan yang belum teratasi, baik yang lama maupun masalah baru yang kemudian menyusul yang harus segera dijawab dan diatasi.  Dua tantangan yang dihadapi oleh madrasah; Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh madrasah adalah globalisasi.[71]
Globalisasi adalah suatu proses makin kaburnya dan transparannya batasbatas antar negara akibat kemajuan teknologi komunikasi. Tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi berdampak pada bidang budaya dan ekonomi. Di bidang budaya, kemajuan teknologi komunikasi telah membuat batas Negara tidak mampu membendung masuknya paham, budaya, dan gagasan-gagasan asing yang kadang-kadang, menurut kita, tidak cocok dengan paham, budaya, dan gagasan yang ada (yang ingin kita lestarikan) di Indonesia. Di bidang ekonomi, globalisasi telah membuat persaingan antarbangsa di bidang ekonomi dan teknologi semakin ketat dan seperti biasanya, hanya mereka yang kuat menguasai ekonomi dan teknologilah yang akan memenangkan persaingan.
Globalisasi nampaknya juga memiliki dampak negatif pada nilai-nilai moral pada umumnya, bahkan hilangnya nilai-nilai agama. Sudarwan Danim sebagaimana disitir Assegaf dalam Musthofa mencermati dampak tersebut pada pendidikan Islam. Digambarkan efek merusaknya dengan istilah turbulensi arus global.[72]
Turbulensi arus global bisa menimbulkan paradoks (gejala kontra moralitas), yakni pertentangan dua sisi moral secara diametral, seperti guru mendidik disiplin lalu lintas, namun di jalanan para sopir ugal-ugalan, di sekolah dikampanyekan gerakan anti-narkoba tapi penjaja narkoba di masyarakat memberikan layanan gratis bagi pemula, guru memberi pesan agar tidak terjadi tawuran pelajar tapi di masyarakat sering terjadi bentrok antarkampung, di sekolah diadakan razia pornografi tapi media massa terus mengumbar simbol-simbol yang merangsang nafsu syahwat, begitu pula halnya dengan keinginan guru agar anak tampil kreatif dan egaliter tapi perilaku orang tua cenderung otoriter, atau sebaliknya.
Tantangan kedua adalah pergeseran masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Pergeseran ini terjadi akibat model pembangunan nasional yang dipilih. Pergeseran di bidang ekonomi ini pada gilirannya mengakibatkan perubahan sistem kerja, berpikir, dan nilainilai yang berlaku. Untuk sebagian masyarakat, perubahan-perubahan ini mungkin mengagetkan dan mencemaskan, terutama bagi mereka yang tidak siap berubah dan tidak menginginkan perubahan.
Untuk menghadapi perubahan-perubahan seperti itu, pendidikan menempati posisi yang sangat strategis. Hal ini dikarenakan pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha yang disengaja untuk mempersiapkan peserta didik bisa menghadapi hidup dan kehidupan dengan sukses di jamannya. Dalam persaingan antarbangsa yang semakin ketat di bidang ekonomi dan IPTEK, hanya bangsa yang menguasai keduanyalah yang mampu survive (bertahan hidup). Untuk menguasai bidang ekonomi dan IPTEK tersebut mau tidak mau harus diupayakan pendidikan yang berhidmat di bidang itu.
Demikian pula untuk menguasai tantangan perubahan masyarakat akibat kemajuan pembangunan nasional, pendidikan harus diarahkan agar peserta didik tidak kebingungan dengan perubahan yang terjadi, di samping juga tetap mampu menguasai diri dengan mengikuti perubahan menjadi makin modern (sesuai dengan jamannya) dengan tetap memiliki nilai-nilai luhur bangsa. Dalam percaturan hidup seperti inilah, madrasah (sebagai subsistem pendidikan agama Islam di Indonesia) juga harus berbenah dengan ekstra keras untuk tidak sekedar menjawab tantangan yang ada, tetapi sekaligus menunjukkan kepada masyarakat sebagai lembaga pendidikan Islam yang layak bersaing.
Beberapa permasalahan pengelolaan madrasah adalah; (1) SDM berwawasan sempit dan tidak profesional; (2) Kesalahan menerjemahkan niat ikhlas; dan (3) pencitraan kumuh dan pinggiran. Masalah pertama adalah SDM berwawasan sempit dan tidak profesional. Masalah ini menjadi akar persoalan yang paling rumit dihadapi oleh madrasah. Mayoritas pengelola madrasah kurang atau sempit wawasannya. Berdasar akar permasalahan ini, perbaikan madrasah berarti perbaikan factor manusianya karena the man behind the gun itulah yang menjadi faktor utama.
Masalah kedua adalah kesalahan menerjemahkan niat ikhlas. Banyak pengelola madrasah yang bekerja hanya berbekal niat baik dan ikhlas saja, tanpa disertai dengan keahlian yang diperlukan. Bahkan, tidak jarang pengurus yayasan yang dengan bangga mengatakan bahwa untuk membangun sebuah madrasah hanya diperlukan niat yang tulus ikhlas dan nekat. Niat baik dan ikhlas memang perlu dan penting, demikian pula kenekatan. Akan tetapi, disamping itu juga diperlukan beberapa keahlian untuk keberhasilan sebuah madrasah. Misalnya, di kalangan pengurus yayasan atau persyarikatan diperlukan keahlian menggali anggara, mengoperasikan anggaran secara efektif dan efisien, memotivasi orang, menggerakkan organisasi, membuat perencanaan, melaksanakan rencana, dan sebagainya. Keahlian itu bisa ada pada satu manusia atau beberapa orang yang kemudian dipadukan. Untuk menjadi kepala madrasah, misalnya, tidak cukup hanya berdasarkan tingkat usia, melainkan harus didasarkan pada pertimbangan kualifikasi yang dimiliki. Yang perlu disadari juga adalah bahwa niat baik yang semula mendasari gerakan perjuangan memperjuangkan madrasah dapat juga luntur dan dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan lain yang sering tidak disadari. Ini sering terjadi terutama pada madrasah yang mulai tumbuh menjadi besar. Ketika minat masyarakat semakin besar terhadap madrasah tersebut, maka tuntutan mereka kualitas layanan pendidikan pun meningkat pula. Peningkatan tuntutan masyarakat ini sering tidak dapat dipenuhi oleh SDM yang dimiliki (telah ada), sehingga membutuhkan tenaga baru yang lebih profesional dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan jaman. Penambahan tenaga baru jelas mengakibatkan pergeseran-pergeseran kedudukan orang-orang lama yang telah “berjasa”. Sangat dimungkinkan beberapa SDM lama keberatan dengan perubahan tersebut. Karena itu, tanpa kebesaran hati tenaga-tenaga lama, pergeseran itu menimbulkan gejolak yang dapat merusak keutuhan lembaga.
Masalah ketiga adalah persoalan pencitraan. Citra diri madrasah hingga saat ini adalah kumuh dan pinggiran. Dua kondisi diatas mau tidak mau menyebabkan madrasah menjadi tidak bermutu. Bahkan, kesan yang sering muncul adalah sebagai lembaga pendidikan Islam yang kumuh dan tak layak bersaing. Lingkaran setan ini dapat diatasi dengan, misalnya, mengusahakan agar madrasah yang dikelola dapat menciptakan citra bermutu, sehingga menarik minat para orang tua dan para donatur. Upaya ini sekaligus bisa dipakai untuk mengatasi masalah pedanaan. Penciptaan citra bermutu dapat dilakukan dengan, misalnya, mengusahakan agar prestasi peserta didik melejit dan bisa bersaing dengan sekolah-sekolah yang telah memiliki citra bagus. Ini bisa dilakukan dengan mempersiapkan diri dengan memberikan les khusus (pelajaran tambahan) dengan pengelolaan yang profesional kepada para peserta didik. Pelajaran bahasa Inggris dan Arab atau pelajaran computer dapat juga digunakan untuk menarik minat orang tua golongan menengah. Pelajaran bahasa Inggris memerlukan biaya yang jauh lebih murah daripada pelajaran komputer karena tidak memerlukan perangkat keras yang mahal, cukup memerlukan guru bahasa Inggris yang baik saja. Pelajaran ekstra ini harus diarahkan pada ketrampilan berbicara agar masyarakat dapat melihat sendiri bukti hasilnya. Disamping untuk menciptakan citra, ketrampilan berbahasa Inggris secara aktif menyiapkan peserta didik untuk hidup di era globalisasi dengan kemampuan diri yang telah siap bersaing di dalamnya.[73]
Daftar Pustaka
Banathy, Bella H. 1968. Instructional System. Brelmont CA: Fearon Publisher.
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan; Langkah-Langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Furchan, Arif. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Guna Media.
Musthofa, Imam Machali. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya,.
Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Eka Jaya.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.



Pertemuan Ketigabelas

URAIAN MATERI: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERKEMBANGANYA MASALAH PENDIDIKAN

A. Masalah Pemerataan Pendidikan

Pengertian masalah pemerataan pendidikan
Pendidikan bagi suatu bangsa berfungsi sebagai tehnik atau sarana dalam memajukan peradaban kebudayaan bangsa. Pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara dalam memperoleh hak pendidikan yang sesuai dengan jenjangnya. Pemerataan pendidikan adalah persoalan yang terkait dengan system pelaksanaan sistem pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia dalam menunjang pembangunan suatu bangsa.
Sukarso menguraikan masih banyak persolan pemerataan pendidikan di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari rendahnya jumlah siswa-siswi yang melanjutkan sampai perguruan tinggi sesuai dengan waktunya Masalah pemerataan pendidikan dipandang penting karena pendidikan yang bermutu dimulai dari pemerataan pada pendidikan dasar, karena anak usia sekolah tingkat dasar memperoleh kesempatan belajar berupa kemampuan membaca, menulis dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia.[74]

Tujuan Pemerataan Pendidikan
Tujuan pemerataan pendidikan adalah menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan dan pengembangan bangsa, oleh karena itu setelah upaya pelaksanaan pemerataan pendidikan terpenuhi, maka yang harus dilakukan selanjutnya peningkatan mutu pendidikan.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab III mengenai penyelenggaraan pendidikan pasal 4 berbunyi sebagai berikut; (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi bermakna; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi setiap warga masayarakat; dan (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelanggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[75]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami pendidikan di Indonesia diselenggaran berdasarkan kebutuhan warga masyarakat dalam pemberdayaan terhadap warga negara dengan menjunjung ting nilai-nilai demokratis dan berkeadialn serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Solusi terhadap pemerataan pendidikan tidak semestinya dilakukan secara parsial, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang menyeluruh. Artinya, masalah pemerataan pendidikan tidak hanya pada kenaikkan angaran saja, karena naiknya anggran juga harus diimbangi dengan peningkatan sumberdaya manusia pendidikan baik di tingkat birokrat, penyelenggara dan pelaksana pendidikan di level sekolah. Selain itu, diharapkan sumberdaya manusia tersebut dapat mempunyai daya saing di tingkat global.
Data statistik tahun 2000 tentang jenjang pendidikan yang berhasil dilaluinyamenunjukkan, bahwa jumlah penduduk usia kerja sebanyak 144.033.873 orang, hanya 21.699.066 orang atau 15,06 persensaja tamatan SLTA ke atas, selebihnya (122.334.807) orang, hanya 84,94 persen hanya tamatan SLTP ke bawah. Data ini menunjukkan masalah penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun masih menjadi tujuan utama dalam mengembangkan SDM yang siap pakai dalam mengatasi persaingan global.
Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu dicermati, yakni rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang kita pakai. Dengan membadingkan beberapa negara tetangga: Jepang, Korea, Australia, Thailand atau Malaysia hanya satu di antara sepuluh pelajar yang belajar dalam taraf menghafal. Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar, pangajar, dan pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola anggaran agar pelajar dapat mengembangkan potensi talenta yang dimiliki para anak didik melalui kendali dan kontrol dari guru.
Pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana harus berupaya untuk mencukupi sarana dan prasana yang di butuhkan oleh lembaga pendidikan. Karena buruknya sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum kurang efektif, berakibat pada lemahnya manajemen institusi pendidikan. Persoalan tersebut di atas bermuara pada hal yang substansial, yakni lemahnya kemauan politik pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi dan sistem pendidikan dan taraf kemampuan SDM pendidikan serta lemahnya kemauan politik pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan yang memadai dengan meletakkan pembangunan pendidikan sebagai perioritas utama.

B. Masalah Mutu Pendidikan
Pengertian Mutu Pendidikan
Masalah mutu pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang paling mendasar dalam sebuah negara, karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan antara lain lewat pendidikan yang berkualitas. Perkembangan pendidikan selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat kualitas maupun kuantitas. Pendidikan terus berkembang, dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi yang sedang berkembang di masyarakat. Karena itu, masalah mutu pendidikan selalu menjadi persoalan dalam pengembangan mutu pendidikan.
Menurut Robinson, mutu pendidikan adalah keluaran atau hasil oleh lembaga pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari 2 bentuk, yaitu: (1) Mutu produk pada lembaga pendidikan meliputi hal-hal seperti bahan ajar, jumlah lulusan, persentase kelulusan ujian, alumni yang mengikuti studi lanjut, alumni yang mendapatkan pekerjaan atau promosi; dan (2) Mutu proses terkait dengan hal-hal seperti proses pembelajaran, bimbingan bagi peserta didik, konseling, koordinasi pengembangan bahan ajar dan bahan ujian, jaringan kerja dengan kantor regional di berbagai daerah, sistem registrasi, pengelolaan sistem informasi peserta didik, produksi bahan ajar multimedia, produksi bahan ujian, penjadwalan tutorial, layanan bantuan belajar, distribusi bahan ajar, dan penyiaran melalui media massa.[76]
Pembahasan tentang pendidikan erat kaitannya dengan dengan visi dan misi, kebijakan, budaya kerja, budaya lembaga, serta citra lembaga yang bersangkutan. Hal itu karena masing-masing kompenen tersebut menjadi landasan dalam pelaksanaan dan peningkatan mutu pendidikan khususnya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Sisdiknas, 2003: 5).
Namun, yang menjadi persoalan bahwa rumusan dan substansi tujuan dari Undang-Undang No 20 tahun 2003 tersebut masih jauh dari yang di citacitakan. Hal ini terbukti dengan lemahnya kulaitas pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Pada tingkat 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Menurut Suyanto (1996) suvey di atas dimaksudkan untuk melihat profil kualitas tenaga kerja di Asia tenggara. Asumsinya ialah untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas harus dilihat dari kualitas sistem pendidikan di suatu negara. Indikator yang terkait dengan sistem pendidikan yang digunakan PERC sebagai berikut; (1) Impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan suatu Negara; (2) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan dasar; (3) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan menengah; (4) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan perguruan tinggi; (5) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; (6) Ketersedian tenaga kerja prosuktif berkualitas tinggi; (7) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; (8) Ketersediaan tenaga kerja klerk; (9)Jumlah biaya untuk mendidik staff manajemen; (10) Ketersediaan staff manajemen (11) Tingkat keterampilan tenaga kerja; (12) Semangat kerja (work ethick) tenaga kerja; (13) Kemampuan bahasa inggris; (14) Kemampuan berbahas asing selain bahasa inggris; (15) Kemampuan penggunaan teknologi; (16) Tingkat keaktifan tenaga kerja (labor activism); dan (17) Frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja yang pensiun (labor turnover). [77]

Tujuan Mutu Pendidikan
Tujuan mutu pendidikan adalah untuk memberikan jaminan kualitas pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Oleh karena itu mutlak dilakukan atau diterapkan oleh lembaga pendidikan. Mutu pendidikan erat kaitannya dengan lembaga pendidikan yaitu sekolah yang merupakan lembaga secara khusus mengembangkan sumberdaya manusia. Sekolah sebagai sistem, secara universil memiliki komponen input, proses, dan output.
Uraian berikut menjelaskan proses dalam lembaga pendidikan sebagai berikut:

1.  Input Sekolah.
Sekolah sebagai sistem harus memiliki input yang lengkap dan siap. Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Input yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Secara umum, input meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran, input manajemen, dan sumberdaya. Visi adalah pandangan jauh kedepan kemana sekolah dibawa atau gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah. Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Tujuan adalah penjabaran misi, yaitu yang dihasilkan oleh sekolah dalam jangka 1-3 tahun kedepan. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang dihasilkan dalam waktu satu bulan, satu catur wulan, atau satu tahun. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci. Input manajemen, menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997), adalah seperangkat tugas (disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban dan hak), rencana, program, ketentuan-ketentuan (limitasi) untuk menjalankan tugas, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan positif yang ditanamkan oleh kepala sekolah kepada warga sekolah.
Catatan: kepala sekolah mengatur dan mengurus sekolahnya melalui sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen membantu kepala sekolah mengelola sumberdayanya dengan efektif dan efisien. Sumberdaya meliputi sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya. Sumberdaya manusia terdiri dari sumberdaya manusia jenis manajer/pimpinan dan sumberdaya manusia jenis pelaksana. Di sisi lain, sumberdaya meliputi uang, peralatan, perlengkapan, bahan, bangunan, dsb. Yang perlu digarisbawahi, agar sekolah berjalan dengan baik, diperlukan kesiapan sumberdaya, terlebih-lebih sumberdaya manusia. Kesiapan sumberdaya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut kualifikasi, sedang kesiapan kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia.




2.  Proses
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output.
Dalam pendidikan berskala mikro (sekolah), proses yang dimaksud meliputi hal-hal berikut; Pertama, Proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu karakteristik sekolah dalam era otonomi. Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangeni, et. al., 1984) adalah mencari “wilayah kesamaan” antara kelompokkelompok kepentingan sekolah (kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, para ahli). Pelibatan kelompok kepentingan sekolah dalam proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan;
Kedua, Proses pengelolaan kelembagaan. Sekolah yang ideal memiliki perilaku sebagai sekolah belajar. Menurut Bovin (1999), sekolah belajar memiliki perilaku seperti berikut: memberdayakan sumberdaya manusianya seoptimal mungkin; memfasilitasi warganya untuk belajar terus dan belajar kembali; mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya; memberikan tanggungjawab kepada warganya; mendorong setiap warganya untuk mempertanggunggugatkan terhadap hasil kerjanya; mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared-value bagi setiap warganya; menanggapi dengan cepat terhadap pasar (pelanggan); mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused; mengajak warganya untuk nikmat/siap menghadapi perubahan; mendorong warganya untuk berpikir sistem, baik dalam cara berpikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya; mengajak warganya untuk komitmen terhadap keunggulan kualitas; mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus menerus; dan melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah;
Ketiga, Proses pengelolaan program. Menurut Roe (1980) dan Norton (1985), pengelolaan program sekolah adalah pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah secara holistik dan integratif yang meliputi: perencanaan, pengembangan, dan evaluasi program, pengembangan kurikulum, pengembangan proses belajar mengajar, pengelolaan sumberdaya manusia (guru, konselor, karyawan.), pelayanan siswa, pengelolaan fasilitas, pengelolaan keuangan, pengelolaan hubungan sekolah-masyarakat, dan perbaikan program;
 Keempat, Proses pemotivasian staf. Proses pemetotivasian staff dapat dilakukan dengan cara memberi rewards and incentives bagi anak buah (staf) atas kontribusinya terhadap pengembangan sekolah, dan memberikan punishments bagi anak buah yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai yang telah menjadi acuan secara nasional. Di samping itu, kepala sekolah juga berkewajiban memastikan bahwa anak buahnya memahami, menyetujui, dan mendapatkan rewards melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Tentu masih banyak cara lain untuk memotivasi anak buah;
Kelima, Proses pengkoordinasian. Sekolah harus membuat diskripsi jabatan yang dihasilkan dari analisis jabatan. Jabatan-jabatan tersebut, harus jelas keterkaitan dan keterikatan antar jabatan di sekolah dan dengan jabatan di luar sekolah. Sekolah harus kaya informasi yang relevan bagi sekolahnya dan dibagi-bagi secara merata kepada warga sekolah. Informasi juga perlu dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga di luar sekolah yang relevan.
Keenam, Proses belajar mengajar. Sekolah sebagai sistem harus menekankan proses belajar mengajar sebagai pemberdayaan pelajar, yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun diluar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekadar mengajarkan sesuatu kepada pelajar dan kemudian menyuruhnya mengerjakan soal agar memiliki jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar, akan tetapi proses belajar mengajar yang mampu menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menemukan kemungkinankemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, memberikan kemerdekaan, dan memberikan toleransi terhadap kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berpikir;
Ketujuh, Monitoring dan evaluasi. Setiap sekolah harus memiliki kejelasan tentang output yang dicapai. Berpangkal dari output ini kemudian dilakukan pemantuan terhadap proses pelaksanaan, agar output yang diharapkan dapat dicapai. Selain itu, evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah output aktual (nyata) sesuai dengan output yang diharapkan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai masukan bagi pengambilan keputusan sekolah.

3.  Output Sekolah.
Sekolah sebagai sistem, seharusnya menghasilkan output yang dapat dijamin kepastiannya. Output sekolah, pada umumnya, diukur dari tingkat kinerjanya. Kinerja sekolah adalah pencapaian atau prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses persekolahan. Kinerja sekolah diukur dari efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, surplusnya, dan moral kerjanya, dengan keterangan seperlunya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Indikasi pendidikan bermutu adalah sebagai berikut; (1) Peserta didik menunjukkan tingkat pengasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learing task) yang harus dikuasai sesuai dengan tujuan pendidikanHasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik sehingga dengan belajar peseta didik bukan hanya mengatahui sesuatu; (2) tetapi juga terampil melakukan sesuatu; (3) Hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan lingkuangan khususnya dunia kerja; dan (4) Penetapan mutu hasil pendidikan dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen terhadap calon keluaran (output), dengan system sertifikasi.
Selanjutnya jika tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh pemakai sebagai konsumen tenaga dengan system tes unjuk (performance test). Keluaran pendidikan (output) dapat dilihat kualitas keluaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan artinya keluaran tersebut telah memenuhi kreteria yang diingin setelah peroses pendidikan yang disebut dengan nurturant effect.

C. Masalah Efisiensi Pendidikan
Pengertian Efisiensi Pendidikan
Efisien erat kaitannnya dengan tehnik menghasilkan efektivitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih murah. Pada proses pendidikan jauh lebih baik jika memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Masalah efisiensi pendidikan terkait dengan sistem pendidikan dalam mendayagunakan sumber daya yang ada untuk tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasara efisiensinya tinggi Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya rendah.
Pendidikan disebut efisien apabila hasil yang dicapai maksimal, dengan biaya yang wajar, karena biaya merupakan ukuran efisien dalam proses pendidikan terutama apabila dalam proses pendidikan dapat mengahasilkan output pendidikan dengan biaya yang efisien.
Isltilah efisien menurut Fattah menggambarkan hubungan antara input dan output. Sistem yang efisien dapat ditunjukkan dengan output yang baik dari input. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi efisiensi internal dan efisiensi external.
1.    Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan (prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan output pendidikan.
2.    Efisiensi internal sering diukur dengan biaya-efektivitas. Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan kemanfaatan/keuntungan kumulatif (individualsosial dan ekonomik-bukan ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Termasuk analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.

Tujuan Efisiensi
Tujuan efisiensi pendidikan dalam konteks penyelenggaraan pendidikan di Indonesia erat kaitannnya dengan profesional dalam manajemen nasional pendidikan yang diterapkan, antara lain (1) disiplin keahlian, (2) etos kerja, dan (3) cost effectiveness.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa efisiensi pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung dalam membentuk lembaga pendidikan yang efektif sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu proses pendidikan harus diusahakan agar memperolah hasil yang baik dengan waktu yang sedikit. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam meningkat efisiensi pendidikan menurut Fattah (2000) dapat dilakukan sebagai berikut; (1) Pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access); (2) Pemerataan untuk bertahan di sekolah (equality of survival); (3) Pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output); dan (4) Pemerataan kesempatan menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyaratakat (equality of outcame)

D. Masalah Relevansi Pendidikan
Pengertian Relevansi Pendidikan
Relevasi pendidikan adalah kesesuaian program pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai penggunan atau takeholders pendidikan, artinya yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dapat di nikmati hasilnya oleh masyarat atau tepat guna. Relevansi pendidikan menurut Tirtarahardja (2005) dapat dilihat dari faktor-faktor sebagai berikut; (1) Status lembaga pendidikan masih bermacam-macam statusnya Status pendidikan yang bermacam-macam menyebabkan pola pendidikan yang bermacam-macam sehingga tidak fokus terhadap tujuan lembaga apalagi tidak standart pendidikan yang harsu dihasilkan oleh lembaga pendidikan; (2) Sistem yang dilaksanakan lembaga pendidikan belum menghasilkan tenaga yang siap pakai di masyarakat, hal ini karena out put yang dihasilkan belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terutama kurikulum yang di terapkan belum mencerminkan kebutuhan masyarakat. Misalnya pada daerah yang agraris (pengunungan) perlu ada materi tambahan tentang pertanian. Sedangkan pada daerah pesisir perlu dimasukkan materi tentang kelautan atau tentang pengembangan budidaya perikanan; dan (3) Belum adanya program yang tepat dalam operasional lembaga pendidikan.

Tujuan Relevansi Pendidikan
Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan bertujuan agar hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dalam arti dapat memberi dampak bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan kerja, kehidupan di masyarakat dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi peningkatan relevansi ini perlu disesuaikan dengan tujuan masing-masing jenjang, jenis dan jalur pendidikan. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut; (1) Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga negara yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan; (2) Dapat mencapai hasil yang bermutu, artinya perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan; (3) Dapat terlaksana secara efisien, artinya pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan tujuan yang ditulis dalam rancangan; dan (4) Produknya yang bermutu tersebut relevan, artinya hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Uraian di atas merupakan gambaran tentang tahap awal dari pembangunan sebelum suatu negara memenuhi keinginan dalam upaya pemerataan pendidikan sehingga pada tahap berikutnya pembangunan di bidang pendidikan dapat menempatkan prioritas pada peningkatan mutu pendidikan.[78]

Daftar Pustaka
Bovin, Oile. 1999. Towards A Learning Organization. Geneva: International Labor Office.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Robinson, B., 2005. The Management of Quality in Open and Distance Learning, [Online], available at (http://joe.org/joe/2001june/a1.html)
Slamet, PH. 2008. Karakteristik Kepala Sekolah Tangguh. (online) (http://www.depdiknas .go.id/Jurnal/ 25/slametph.htm, diakses 10 April 2008)
Sukarso, Ekodjatmiko. 2005. Pengembangan Jejaring Sekolah Global dan Pengoptimalan Pemanfaatannya. Makalah disajikan dalam Semiloka
Pengembangan dan Optimalisasi Pemanfaatan Jaringan Pendidikan Sekolah Global Salatiga Salatiga, 26 April 2005
Suryadi, Ace & H. A. R. Tilaar.1998. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
Tirtarahardja, Umar & S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Renika



Pertemuan Keempatbelas
URAIAN MATERI: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI 
BERKEMBANGANYA MASALAH
Pendidikan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masalah Pendidikan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan hampir semua aspek kehidupan manusia. Perubahan selain membawa manfaat bagi kehidupan manusia, di satu sisi perubahan tersebut juga membawa manusia pada era persaingan global yang semakin ketat. Oleh karena itu, agar mampu berperan dalam persaingan global, sebagai bangsa kita harus terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting. Hal itu karena peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Akan tetapi pada kenyataannya upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indicator kegagalan pendidikan antara lain ditunjukkan dengan nilai akhir UAN siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relative sangat kecil. Hal ini karena dalam penerapan sistem pendidikan di sekolah belum terlaksana secara menyeluruh serta belum mampu menyentuh pada tingkat yang lebih bawah pada elemen pendidikan yaitu masyarakat sebagai stakeholders pendidikan.
Membahas faktor-faktor masalah pendidikan tidak mungkin kita lihat dari satu sisi saja, karena masalah-masalah pendidikan sangat kompleks untuk dibahas. Pendidikan sebanarnya berbicara tentang sebuah sistem yang terdiri dari sub-sub sistem di dalamnya saling terkait. Sebuah sistem yang tidak berjalan dengan baik merusak sistem yang lain. Menurut Pidarta (1990) sistem adalah sebagai strategi yang menyeluruh atau rencana yang dikomposisi oleh satu set elemen yang harmonis, mempresentasikan kesatuan unit, masing-masing elemen mempunyai elemen yang mempunyai tujuan sendiri yang kesemuanya berkaitan terurut dalam bentuk yang logis.
Uraian ini menjelaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa unit atau sub sistem dan sub-sub yang saling mendukung serta mempunyai arah yang seragam dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Keluarga, sekolah, masyarakat merupakan gambaran dari sistem pendidikan yang saling terkait dalam penyelenggraan pendidikan, keluarga merupakan dasar pendidikan dan merupakan awal dari sebuah proses pendidikan, sedangkan sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua setelah keluarga karena lembaga pendidikan sekolah merupakan proses pendidikan formal yang di rancang secara sistematis, terukur serta terarah, selanjutnya masyarakat merupakan jenjang pendidikan setelah kedua sistem pendidikan
tersebut, hal itu karena masyarakat merupakan lingkungan sebagai apalikasi dari ilmu yang telah diperoleh peserta didik pada proses pendidikan yang telah mereka alami sebelumnya.
Tujuan pendidikan bangsa Indonesia sebagaimana tertera dalam undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan rumusan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan pada dasarnya adalah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara mengembangkan potensi peserta didik dengan berlandaskan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga peserta menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Namun, kanyataan yang terjadi pada tingkat implementsi dari undang-undang tersebut di atas masih banyak persolan pendidikan yang masih sulit untuk dipecahkan. Terutama dalam penerapan manajemen pendidikan, kebijakan pendidikan belum menyentuh pada tingkat kebijakan makro dan maupun mikro. Hal ini karena kebijakan-kebijakan pendidikan lebih banyak terpusat yang mengakibatkan pemerintah hanya bisa menangani masalah makro pendidikan dan tidak bisa menyentuh masalah mikro.
Pemetaan ini penting untuk dilakukan karena setiap daerah mempunyai masalah berbeda-beda dalam mengurus serta mengembangkan pola pendidikan yang diterapkan di daerah tersebut. Pola manajemen pendidikan dan pembelajaran yang terapkan terutama dalam praktik pembelajaran lebih memfokuskan kepada penguasaan materi daripada kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik. Hal ini karena, pendidikan adalah untuk membimbing jiwa dan raga anak didik lewat pengajaran sehingga mereka memiliki kompetensi sesuai bakatnya masing-masing, seperti menjadi pengusaha, menjadi alat negara, dan menjadi ksatria. Pendidikan tidak hanya membentuk kecerdasan, tetapi juga dibekali dengan kompetensi serta nilai-nilai etik sekaligus pembentukan watak yang membuat mereka mempunyai jati diri dan kepercayaan yang kuat kompetensinya.
Menurut Tilaar, pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal dan global, rumusan pendidikan tersebut memiliki tujuan bahwa: 1) pendidikan merupakan proses berkesinambungan; 2) proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia; 3) eksistensi manusia untuk memasyarakat; dan 4) proses bermasyarakat dan membudaya yang mempunyai dimensi waktu dan ruang.[79]
Sagala mengatakan bahwa berbicara pendidikan, sebenarnya kita sedang membicarakan suatu aspek kehidupan yang melibatkan semua manusia. Pendidikan diselenggarakan oleh manusia dan sasarannya juga adalah manusia. Upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, bisa dilihat dan aspek kuantitatif maupun kualitatif, secara nasional pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti (1) perubahan dan penyempurnaan kurikulum pendidikan nasional; (2) undang-undang dan peraturan mengenai pendidikan; (3) peningkatan angka partisipasi belajar anak usia sekolah pada semua jenjang sekolah; (4) penambahan alokasi anggaran pendidikan; dan (5) konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah. Masalah-masalah yang paling mendasar yang mempengaruhi masalah pendidikan adalah masalah lulusan satuan pendidikan (sekolah), khususnya pendidikan dasar dan menengah.[80]
Dari sejumlah pakar pendidikan cenderung tidak mempunyai nilai tambah, sehingga muncul kesan bahwa orientasi satuan pendidikan adalah kegiatan yang bersifat rutin saja, tidak punya arah yang jelas. Hal ini antara lain ditandai dengan kualifikasi lulusan tersebut yang sulit untuk mampu meningkatkan kualitas ekonominya atas dasar pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya di sekolah. Faktor lain adalah kemampuan dan keterampilan mereka masih kabur dalam merespon pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini karena perolehan pendidikan dan pelajaran di sekolah belum mampu menjamin pemenuhan kebutuhan hidupnya bila dilihat dari sudut ekonomi.
Shiddiq Al-Jawi (2006) menjelaskan bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia terdiri dari dua masalah penting. Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya.[81]
Sagala menguraikan beberapa problematika pendidikan nasional antara lain sebagai berikut; (1) Rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan nasional, namun realitas menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan; (2) Paradigma keberhasilan baru dapat dikatakan berhasil jika memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetitif; (3) Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai merintis masa depan mengacu pada prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka; (4) Anggaran pendidikan, khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersumber dan APBD kabupaten/kota dan provinsi maupun yang bersumber dan APBN (pusat), belum pernah menembus angka di atas 7,5% dan anggaran pembangunan pemerintah pusat maupun daerah, meskipun dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan anggaran pendidikan 20 % dari APBN dan APBD. Penggunaannya lebih banyak untuk keperluan birokrasi dalam bentuk proyek-proyek daripada untuk pelayanan belajar di sekolah; (5) Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan (need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan kemauan para birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut; (6) Rendahnya kualitas kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru dan tenaga kependidikan, serta karier profesionalnya tidak jelas; (7) Hubungan pengelolaan pendidikan antara pemenintah sebagai fasilitator dan pihak lain sekolah sebagai pihak yang difasilitasi amat kompleks dan birokratis; (8) Biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua cukup mahal, khususnya bagi sekolah-sekolah yang peminatnya dalam masyarakat cukup besar atau biasa disebut sekolab favorit; (9) Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah menengah dan kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah; dan (10) Tekanan ekonomi yang kuat dan memprihatinkan (angka kemiskinan yang tinggi) bagi masyarakat luas dan mereka turut menanggung beban biaya pendidikan.
Hasbullah otonomi pendidikan mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan adalah 1) masalah kurikulum, 2) masalah sumberdaya manusia, 3) masalah anggaran, sarana dan prasarana, 4) organisasi kelembagaan, 5) masalah perundang-undangan, dan 6) masalah pembimbinaan dan koordinasi.[82]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan sangat kompleks terutama yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan pendidikan antara lain tidak adanya batasan yang tegas apakah urusan pendidikan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih bagian dari manajemen pendidikan atau manajemen pendidikan itu hanya pada satuan pendidikan (sekolah) saja. Menurut Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 tentang otonomi daerah serta Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota bertanggung jawab secara operasional memfasilitasi kebutuhan satuan pendidikan, seperti TK, SD, SLTP, SMU, SMK, dan PLS untuk peningkatan kualitas pendidikan. Pada sisi lain, kepedulian masyarakat yang cenderung rendah untuk mendukung program sekolah merupakan salah satu bagian dan problematika pendidikan.
Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan selama ini dirasakan masih kurang berfungsi dengan baik, antara lain disebabkan oleh: (1) pemahaman terhadap problematika pendidikan oleh masyarakat yang kabur; (2) lemahnya kemampuan memberi bantuan pemikiran dan dukungan dana untuk pendidikan; (3) rendahnya daya dukung dan fasilitas pendidikan di sekolah; (4) kepekaan birokrasi pemerintah termasuk birokrasi pendidikan yang tumpul atas aspirasi masyarakat; (5) kepekaan parlemen atau legislatif yang rendah atas kebutuhan masyarakat ditandai dan program pendidikan belum menjadi prioritas pembangunan; (6) kepastian dan komitmen politik pemerintah yang kabur merespon tuntutan Iingkungan strategis di bidang pendidikan; dan (7) keengganan memikirkan peran yang mungkin dilakukannya dalam program pendidikan di daerahnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa permasalahan pendidikan nasional berkisar pada kekuasaan dan kekuatan yang dominan dan pemerintah maupun dalam kekuasaan sosial politik dalam masyarakat yang berorientasi kekuasaan. Sikap yang demikian tentu tidak pernah dapat menempatkan posisi dan peran pendidikan sebagai prioritas yang penting dalam pengambilan kebijakan pemerintahan tentang pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan dalam memiliki berbagai macam variabel mempengaruhinya.
Menurut Sagala permasalahan pendidikan dapat dilihat dari 2 sudut pandang yang saling terkait dalam implementasinya. Pertama, masalah makro pendidikan yang terdiri dari: standarisasi pendidikan, persamaan, pemeratan, dan berkeadilan, standar mutu, dan kemampuan bersaing. Kedua, permasalahan mikro pendidikan yang terdiri atas: kualitas manajemen, pemberdayaan satuan pendidikan, profesionallisme dan ketenagakerjaan, dan relevansi kebutuhan.[83]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa faktor yang mempengaruhi permaslahan pendidikan di Indonesia terdiri atas dua yaitu masalah makro dan mikro. Oleh karena itu, perlu ada solusi-solusi yang konkret dalam mengatasi persoalan tersebut terutama dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia dalam konteks otonomi pendidikan dengan mengubah paradigma dalam pengelolaannya. Otonomi pendidikan setidaknya mengubah paradigma lama menjadi pradigma baru yang beroriantasi pada mutu serta tingkat efektivitas, dan efisiensi pengelolaan lembaga pendidikan.
Pemahaman terhadap problematika tersebut, tentu menjadi kewajiban pemerintah untuk menentukan solusi yang tepat sehingga sekolah sebagai institusi pendidikan dapat menunjukkan kemampuannya memberdayakan seluruh potensinya. Solusi yang mungkin dapat dilakukan antara lain: (1) mempertegas visi dan misi melalui analisis kebutuhan (need assessment); (2) menjaga institusi pendidikan yang managable dengan orientasi dan konsistensi visi dan misinya terhadap tujuan dan target; (3) perlindungan guru dan profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah; (4) pemberdayaan satuan pendidikan sesuai prinsip otonomi sekolah dengan melakukan desentralisasi, debirokratisasi, dan profesionalisasi; dan (5) otonomi pengelolaan anggaran oleh satuan pendidikan.
Petunjuk dan batasan yang tegas tentang kewenangan provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom dalam mengambil kebijakan pengelolaan pendidikan telah diatur dalam UU No. 32 dan 33 tahun 2004, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, serta PP No. 25 tahun 2000. Oleh karena itu, kebijakan mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat adalah pemberdayaan sekolah atau satuan pendidikan sebagai institusi. Strateginya adalah dengan memberikan otonomi kepada semua personel yang berkedudukan sebagai kelompok fungsional tenaga kependidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dengan pemberian otonomi serta kepercayaan terhadap masyarakat menghilangkan masalah-masalah di lembaga pendidikan baik dalam skala makro maupun mikro. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah pelaksanaan dan pengendalian kewenangan pendidikan yang diarahkan pada pemberdayaan sekolah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta sekolah dalam mengelola pendidikan dengan memberikan kesempatan dalam membantu meningkatkan kinerja sekolah. Konsep kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing memberikan kemandirian kepada sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada.[84]


Daftar Pustaka
Hasbulla. 2007. Otonomi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.
Pidarta, Made. 1990. Perencanaan Pendidikan Partispatori dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Renika Cipta.
Sagala, Saiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Rakasta Semasta.
Tilaar, H.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Rosda Karya.
















[1] Qura’an Surat Al Baqarah ayat 31.
[2]Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[3] Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

[4] Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
[5] Barnadib, Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset. Baca Juga: Barnadib, Sutari, Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

[6] Mudyaharjo, Radja. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[7]Soedomo. 1990. Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan dalam Pembangunan Nasional. Teks Pidato Pengukuhan Pendidik Guru Besar. Malang: IKIP MALANG.

[8] Barnadib, Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset. Baca juga: Barnadib, Sutari Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
[9] Suwarno, W. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR- Ruzz Media.
[10] Suwarno, W. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: AR- Ruzz Media.

[11] Quran Surat Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5
[12]Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
[13] Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
[14]Pidarta, Made. 2001. Landasan-Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

[15] Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta
[16] Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta

[17] Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta

[18]Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
[19]Tim Pegembangan MKDK IKIP Semarang. 1994. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang, h. 65

[20]Arifin, M. dan Aminuddin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjen Binbagais, Depag RI.

[21] Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
[22] Purwanto, Ngalim. 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
[23] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.

[24] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
[25] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
[26] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
[27] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
[28] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
[29] Suwarno, Wiji 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jokjakarta.
[30]Purwanto, Ngalim 1994. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
[31] D. Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al- Ma’arif.
[32] Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[33]Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

[34] Tirtahadja, Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[35] Tirtahadja, Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[36] Tirtahadja, Umar. 2004. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[37] Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
[38]Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[39] Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca juga; Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[40] Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca juga; Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[41] Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
[42] Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[43] TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
[44] Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[45] Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra.
[46] Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca juga; Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[47] Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[48] Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[49] TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

[50] Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[51] D. Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al- Ma’arif.
[52]Azra, Azyumardi. 1998. Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.  
[53]Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[54] Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[55]Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[56]Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[57] Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


[58]Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
[59]Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
[60] TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

[61] TIM Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

[62] Hasbullah. 2003. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
[63] Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

[65]Amirin, Tatang. M. 1992. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
[66]Banathy, Bella H. 1968. Instruction System. Brelmont CA: Fearon Publisher.
[67]Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan; Langkah-Langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

[68]Musthofa, Imam Machali. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[69] Rangkuman (1) Terjadinya perbedaan konsep pengertian pendidikan nasional antara UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003 lebih banyak disebabkan oleh konteks dinamika perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berubah. Persoalan agama dan tuntutan perkembangan jaman sebagaimana dirumuskan dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 (dimana masalah tersebut tidak dirumuskan di dalam UUSPN sebelumnya) menunjukkan keinginan kuat bangsa Indonesia untuk bersikap fleksibel dan akomodatif terhadap perkembangan dan kebutuhan yang melingkupi. Dalam perspektif ini, pendidikan nasional sebenarnya sudah mencerminkan sebuah visi yang cukup bagus untuk mengantar bangsa dan negara Indonesia menuju kehidupan yang semakin berkualitas, sekalipun, karena disebabkan beberapa distorsi pada tataran aplikasi praksis keinginan yang cukup visioner tersebut pada akhirnya kandas di tengah jalan; (2) Dari sudut konsep, pengertian sisdiknas antara rumusan UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003, tidak ada perbedaan yang prinsip. Perbedaan justru terjadi pada penafsiran terhadap keduanya. Sisdiknas hasil rumusan UUSPN No. 2 Tahun 1989 menghasilkan sisdiknas yang sentralistis, sehingga berakibat penyeragaman dan terkesan paket kebijakan dari atas (pemerintah) yang tidak lagi bisa ditawar. Karenanya, pendidikan yang mestinya melakukan pembebasan dan pencerahan berbalik arah menjadi pendidikan yang membelenggu dan membodohkan. Sementara sisdiknas hasil rumusan UUSPN No. 20 Tahun 2003 sudah tidak lagi ditafsirkan sebagai sisdiknas yang sentralistik, tetapi bersifat desentralistik. Sayangnya, peraturan operasional yang mengatur implementasi sisdiknas yang bersifat desentralistis, meliputi pengelolaan, mekanisme peranan daerah dan pusat, serta dampak-dampaknya belum terbahas secara tuntas. Dipicu kenyataan ini, sisdiknas akhirnya sampai hari ini pun belum mampu memberikan solusi yang solutif untuk mengentas bangsa dan negeri ini keluar dari keterpurukan dan kehancuran; (3) Akar permasalahan sisdiknas ternyata cukup beragam dan kompleks. Secara garis besar seluruh permasalahan sisdiknas tersebut dikelompokkan dalam dua masalah besar. Pertama, konteks historis sisdiknas yang lebih menekankan pada kepentingan pemerintah (melestarikan status-quo kekuasaan) terpaksa harus melahirkan pendidikan yang sentralistis. Dengan atas Nama keutuhan dan keselamatan negara seluruh kegiatan pendidikan dibalut dalam logika tersebut. Karenanya, pendidikan justru melahirkan para peserta didik yang tidak lagi memiliki kebebasan berpikir dan berkreasi. Kedua, masalah penerapan sisdiknas, yakni bersifat sentralistis dan seragam. Lagi-lagi masalah ini terulang lagi di era reformasi seperti ini. Permasalahan aturan main tentang upaya desentralisasi pendidikan serta hal-hal terkait dengannya yang belum jelas atau gamang, ternyata menjadi pemicu utama terjadinya hal ini. Karena itu, perubahan paradigma sisdiknas harus segera dilakukan agar tujuan bangsa dan negara Indonesia menggapai peradaban unggul segera terwujud; (4) Paradigma pendidikan nasional Indonesia membutuhkan sentuhan pemikiran berbagai pihak, agar proses pendidikan ke depan bangsa ini bisa menemui kebermaknaan. Paradigma sinergisitas adalah sebuah alternatif yang dimungkinkan layak bisa dipakai untuk mengkritisi penerapan sisdiknas selama ini sekaligus bahan pemikiran untuk menggagas paradigma pendidikan nasional yang membangun.

[70] Furchan, Arif. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Guna Media.

[71] Furchan, Arif. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Guna Media.
[72] Musthofa, Imam Machali. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Presma F. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[73]Rangkuman (1) Pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar. Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 pendidikan nasional dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selanjutnya, di dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 istilah jalur sekolah dan luar sekolah diperinci menjadi; pendidikan formal untuk jalur pendidikan sekolah, dan pendidikan nonformal dan informal untuk pendidikan luar sekolah; (2) Pengelolaan kelembagaan Sisdiknas terlalu disibukkan oleh berbagai perubahan kebijakan pendidikan yang ujung-ujungnya merubah atau mendekonstruksi kebijakan lama dan berkutat pada aktifitas itu. Sementara di wilayah praksis pengelolaan kelembagaan pendidikan nasional masih menemui kendala-kendala berikut: manajemen pengelolaan lembaga pendidikan yang belum sistemik, total, dan mendasar, belum adanya budaya mutu, kurang adanya relevansi dengan dunia luar, dan kurangnya akses dengan lembaga-lembaga pendidikan dalam skala internasional hingga menyebabkan kurangnya informasi dan akses di bidang pengembangan keilmuan dan kependidikan; (3) Sementara pengelolaan madrasah sebagai subsistem dari Sisdiknas yang sangat diharapkan akan melahirkan bangsa yang cendekia-islami ternyata juga belum mampu mengelola sistem kelembagaan internalnya disebabkan persoalan-persoalan yang kompleks dan rumit, mulai dari persoalan SDM yang masih rendah, dana yang sangat kecil, manajemen yang tidak profesional, dan seterusnya.
[74]Sukarso, Ekodjatmiko. 2005. Pengembangan Jejaring Sekolah Global dan Pengoptimalan Pemanfaatannya. Makalah disajikan dalam Semiloka
[75]Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab III mengenai penyelenggaraan pendidikan pasal 4
[76] Robinson, B., 2005. The Management of Quality in Open and Distance Learning, [Online], available at (http://joe.org/joe/2001june/a1.html)

[77]Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

[78] Rangkuman; (1) Pemerataan pendidikan adalah persoalan yang terkait dengan system pelaksanaan sistem pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia dalam menunjang pembangunan suatu bangsa; (2) Mutu pendidikan adalah keluaran atau hasil oleh lembaga pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari 2 bentuk. Pertama, mutu produk pada lembaga pendidikan meliputi hal-hal seperti bahan ajar, jumlah lulusan, persentase kelulusan ujian, alumni yang mengikuti studi lanjut, alumni yang mendapatkan pekerjaan atau promosi. Kedua, mutu proses terkait dengan hal-hal seperti proses pembelajaran, bimbingan bagi peserta didik, konseling, koordinasi pengembangan bahan ajar dan bahan ujian, jaringan kerja dengan kantor regional di berbagai daerah, sistem registrasi, pengelolaan sistem informasi peserta didik, produksi bahan ajar multimedia, produksi bahan ujian, penjadwalan tutorial, layanan bantuan belajar, distribusi bahan ajar, dan penyiaran melalui media massa; (3) Efisiensi pendidikan adalah apabila hasil yang dicapai maksimal, dengan biaya yang wajar, karena biaya merupakan ukuran efisien dalam proses pendidikan terutama apabila dalam proses pendidikan dapat menghasilkan output pendidikan dengan biaya yang efisien; dan (4) Relevasi pendidikan adalah kesesuaian program pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai penggunan atau stakeholders pendidikan, artinya apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dapat di nikmati hasilnya oleh masyarat atau tepat guna.

[79]Tilaar, H.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Rosda Karya
[80]Sagala, Saiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Rakasta Semasta.
[82]Hasbulla. 2007. Otonomi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.

[83]Sagala, Saiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Rakasta Semasta
[84] Rangkuman: Permasalahan pendidikan dapat dilihat dari 2 sudut pandang yang saling terkait dalam implementasinya. Pertama, masalah makro pendidikan yang terdiri atas: standarisasi pendidikan, persamaan, pemeratan, dan berkeadilan, standart mutu, kemampuan bersaing. Kedua, permasalahan mikro pendidikan yang terdiri dari: kualitas manajemen, pemberdayaan satuan pendidikan, profesionalisme dan ketenagakerjaan, dan relevansi kebutuhan.


Komentar

  1. Nama : Azizah ovinur kamala
    Kelas: 2B PGMI
    Nim: 1911240057
    Matkul : IPI
    Dosen Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.pd

    Soal :
    1. Jelaskan tentang hakikat manusia dalam pendidikan, dan berilah 1 contohnya ?
    Jwb :
    Hakikat manusia adalah pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian dalam langkah survive manuisa mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara, hakikat dalam pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, Membudaya, dlam tata kehidupan yang berdemensi lokal, nasional dn global. Pendidkan adalah actual, artinya pendidkan bermula dari kondisi kondisi actual dari individu yang belajar dan lingkungan belajarnya. Contohnya : siswa diharuskan kan untuk wajib belajar
    2. Jelaskan tentang pengembangan kepribadian manusia dalam pendidikan, dan berilah 1 contohnya?
    Jwb :
    Pengembangan kepribadian manusia dalam pendidikan pada dasarnya jiwa manusia dibedakan menjadi dua aspek, yakni aspek kemapuan dan aspek kepribadian, aspek kemampuan meliputi prestasi belajar : inteleglegensia, dan bakat, sesangkan aspek kepribadian meliputi watak : sifat penyesuaian diri : minat,emosi,sikap dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran tentang kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan,dan diperbuat, yang terungkap melalui prilaku.
    Contohnya : perilaku seseorang, misalnya dia sedang keadaan gembira atau sedih
    3. Jelaskan tentang tujuan dan fungsi pendidikan bagi manusia ?
    Jwb :
    Fungsi pendidikan :
    1. Mengurangi pengendalian orang tua terhadap anak anaknya
    2. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah
    3. Mempertahankan sistem kelas sosial
    4. Memperpanjang masa remaja
    5. Mengembangkan bakat seseorang
    6. Melestarikan kebudayaan
    7. Menanamkan keterampilan
    Tujuan pendidikan :
    Didalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan fotensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhun YME, berakhlak mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif, mandiri serta menjadi warga negara demokratis dan juga bertanggung jawab
    4. Jelaskan tentang landasan pendidikan pada perguruan tinggi ?
    Jwb :
    Landasan pendidikan dalam perguruan tinggi adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan studi pendidikan.
    Beberapa alasan mengapa landasan harus dipelajari pendidikan dalam perguruan tinggi adalah
    1. Untuk membangun landasan pendidikan yang kokoh
    2. Sebagai tolak ukuran dasar dalam studi pendidikan
    3. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
    4. Untuk menjadikan sumber daya yang cerdas
    5. Landasan pendidikan menjadi pedoman yang kongkret
    5. jelaskan tentang aliran aliran pendidikan
    Jwb :
    Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan pendidikan. Macam - macam aliran pendidikan adalah :
    1. Aliran nativisme
    Istilah nativisme dri kata natie yang artinya adalah terlahir. Tokoh aliran ini adalah Schopenhawer ialah filosofi jerman pada tahun 1788- 1880
    2. Aliran empirisme
    Tokoh aliran empirisme adalah Jhon lock, filosof inggris yang hidup pada tahun 1632-1701. Menyebutkan bahwa anak yang terlahir kedunia seperti Kertas putih yang bersih.
    3. Aliran naturalisme
    Tokoh aliran ini adalah J.J Rousseyau, ialah filosof perancis pada tahun 1712 sampai 1778.
    Naturalisme berasal dari kata nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir
    4. Aliran konvergensi
    Tokoh aliran ini adalah william stern, ialah seorang tokoh pendidikan jerman pada tahun 1871-1939. aliran konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran nativisme dan empirisme.

    BalasHapus
  2. Nama: Fuspa Nawulan Sari
    nim: 1911240070
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum wr.wb, maaf menggangu waktu nya sebentar buk, perkenalkan buk, nama saya Detia Anjela (1911240052) prodi PGMI, Kls B( C.36), ingin mengumpulkan tugas UTS IPI dari ibuk,, sekian terimakasih, w assalammualaikum wr.wb🙏
    Jawaban Soal IPI :
    1. seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia didunia. contohnya : manusia sebagai makhluk Tuhan.

    2. sebuah wawasan pengetahuan dan keterampilan manusia yang bersifat sangat luas, dikaitkan dengan ilmu pengetahuan.
    contohnya : pendidikan yang di keluarkan disekolah untuk semakin membentuk kepribadian manusia adalah pendidikan pancasila.

    3. Tujuan : mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakep, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis.

    Fungsi : fungsi pendidikan menurut Horton dan Hunt, ialah mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, serta mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.

    4. dapat dipahami dengan menelaah dasar-dasar pendidikan pancasila sebagai bagian yang tidak terpisah dalam penyelenggaraan pendidikan pancasila di perguruan tinggi.

    5. a. Aliran Nativisme yg artinya adalah terlahir.

    b. Aliran Empirisme yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih.

    c. Aliran Naturalisme yang artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir.

    d. Aliran konvergensi yang berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk.

    e. Aliran Esensialisme yaitu pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan sejak awal peradaban umat manusia.

    f. Aliran Progresivisme ialah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.

    g. Aliran Prenelialism yaitu suatu aliran dalam pendidikan yang terlahir pada abad ke dua puluh.

    h. Aliran Rekontruksi onisme yang artinya menyusun kembali.

    i. Aliran Pragmatisme yaitu suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar.

    BalasHapus
  4. Nama : Nurul Febri Anggraini
    Nim : 1911240060
    Kelas : 2B PGMI C.3.6
    Fakultas tarbiyah dan tadris

    BalasHapus
  5. Nama: Elsyah Dwi Putri
    Nim : 1911240040
    Kelas: 2B
    Prodi: PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan tadris
    Mata kuliah: ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.pd

    BalasHapus
  6. Nama:Dea cucu pratama
    Kls:2B
    Nim:1911240046
    Prodi:pgmi
    Fakultas:Tarbiyah dan tadris
    Matkuliah:ilmu pendidikan islam

    BalasHapus
  7. Nama: Winna Fatimah
    Nim: 1911240043
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  8. Nama : Firda Wahyuni
    Nim : 1911240065
    Prodi : Pgmi
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Kelas : 2b

    BalasHapus
  9. Nama : Putri Rizki Amelia 1911240045
    Prodi : PGMI
    Kelas : 2B
    Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam

    BalasHapus
  10. Nim : 1911240065
    Prodi : Pgmi
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Kelas : 2b
    Mata kuliah: Ilmu pendidikan Islam
    Dosen pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  11. Nama : DEPI ABPERI YANTI
    NIM : 1911240058
    KELAS : 2 B
    PRODI : PGMI
    FAKULTAS: TARBIYAH DAN TADRIS

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

  13. Nama : Reza Oktariani
    Nim : 1911240047
    kelas : 2b pgmi
    Matkul : ilmu pendidikan islam
    Prodi : pgmi
    Fakultas : tarbiyah dan tadris
    Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah, M.od

    BalasHapus
  14. Nama : Adestia Wahyuni
    Nim : 1911240053
    Prodi : PGMI 2B
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Mata kuliah : ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  15. Nama : Nadiya Dwi Juliani
    Nim: 1911240041
    Prodi : PGMI
    Fakultas : tarbiyah dan tadris
    Kelas : 2B
    Mata kuliah : ilmu pendidikan Islam
    Dosen pengampu : Dr. Hj.khairiah,M.pd

    BalasHapus
  16. Nama : Nadiya Dwi Juliani
    Nim: 1911240041
    Prodi : PGMI
    Fakultas : tarbiyah dan tadris
    Kelas : 2B
    Mata kuliah : ilmu pendidikan Islam
    Dosen pengampu : Dr. Hj.khairiah,M.pd

    BalasHapus
  17. Nama : Shintia Novella
    NIM : 1911240068
    Prodi : PGMI 2B
    Fakultas : tarbiyah dan tadris
    Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah,M.Pd

    BalasHapus
  18. Nama: Yeni Marseli
    Nim: 1911240069
    Kelas: pgmi 2b
    Prodi: pgmi
    Fakultas: tarbiyah dan tadris

    BalasHapus
  19. Nama: Eka puji lestari
    Nim: 1911240066
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  20. Nama: nabella listari
    Nim:1911240056
    Kelas: pgmi 2b
    Prodi:pgmi
    Fakultas: tarbiya dan tadris
    Mata kuliah:pendidikan ilmu islam
    Guru pengampu:Dr.Hj.Khariah,M.pd

    BalasHapus
  21. Nama : Agil Dayu Setiawan
    NIM : 1911240037
    Kelas : PGMI / 2 B
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  22. Nama :yokos timor
    Nim :1911240059
    Kelas :2B PGMI
    Fakultas tarbiyah dan tadris
    Mata kuliah:ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampuh: Dr.Hj.Khairiah.MPd.

    BalasHapus
  23. Nama: Serly Windiasti
    Nim: 1911240063
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  24. Nama: Deska Yusrika
    Nim: 1911240042
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  25. Nama : Tiara mayang sari
    Nim. : 1911240048
    Kelas : PGMI 2b
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan tadris
    Mapel : ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M. Pd

    BalasHapus
  26. Nama : Mita octavia
    Nim : 1911240064
    Kelas : 2(B) pgmi
    Prodi: Pgmi
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Mata kuliah : ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu :Dr. Hj. Khairiah, M.Pd.

    BalasHapus
  27. Nama: Nining Marlinda
    Nim: 1911240051
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  28. Nama: Dita Anggraini
    Nim:1911240067
    Kelas:2B
    Mata kuliah: ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.Pd

    BalasHapus
  29. Nama: Ranisah (1911240054)
    Prodi: PGMI 2B
    Fakultas Tarbiyah dan Tadris

    BalasHapus
  30. Nama: Isna ainun nadia
    Nim: 1911240049
    Kelas: 2B PGMI
    Prodi: PGMI
    Fakultas: Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kulah: Ilmu Pendidikan Islam
    Guru Pengampu: Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  31. Nama:Belina sentika
    Nim:1911240046
    Prodi:pgmi
    Fakultas:Tarbiyah dan tadris
    Mata kuliah:ilmu pendidikan islam
    Dosen:dr.hj.khairiah m. Pd

    BalasHapus
  32. Nama:Belina sentika
    Nim:1911240039
    Kelas:2B
    UTS: ilmu pendidikan islam
    Dosen:Dr.Hj.khairiah,M.pd
    1.jelaskan tentang hakikat manusia dalam pendidikan dan sebutkan 1 contohnya!
    Jawaban no 1.Hakikat manusia dari sisi penciptaannya adalah makhluk yang sempurna karena dibekali dengan akal. Maka dengan akal itulah manusia itu akan selalu berfikir tentang kelangsungan hidupnya dan generasinya. Manusia akan selalu berupaya untuk menemukan berbagai cara untuk survive baik bagi dirinya maupun keturunan atau generasinya, sekaligus meningkatkan kualitas kehidupannya baik fisik maupun non fisik yang berlangsung secara alami. Hal tersebut merupakan hakikat pendidikan secara umum.

    Seiring perkembangan peradaban manusia, pendidikan dilaksanakan secara lebih sistematis dan terorganisir dalam bentuk pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini manusia pada dasarnya bisa sebagai subyek sekaligus obyek dari pendidikan. Sebagai subyek pendidikan berarti mereka berperan aktif dalam proses dan pelaksanaannya, mereka bertanggung jawab sebagai perencana, pengelola sekaligus pihak yang harus mengevaluasi dan mengawasi proses berlangsungnya pendidikan tersebut. Sedangkan sebagai obyek berarti mereka menjadi sasaran yang harus digarap dan dituju oleh pendidikan (khususnya manusia yang belum dewasa).

    2.jelaskan tentang pengembangan kepribadian manusia dalam pendidikan dan sebutkan 1 contohnya!
    Jawaban no
    2. Pengembangan kepribadian adalah sebuah wawasan pengetahuan dan ketrampilan manusia yang bersifat sangat luas, dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Pengembangan kepribadian itu merupakan perpaduan dari gabungan beberapa disiplin ilmu, yang diantaranya ; ilmu psikologi, ilmu komunikasi, sosial, filsafat, seni, antropologi, budaya dasar, sumber daya manusia, manajemen, arkeologi, antropologi, kesusastraan, pedagogi, ilmu ketrampilan khusus dan lain sebagainya yang terkait dengan diri pribadi manusia sesuai dengan kebutuhan dan perubahan gaya hidup serta kemajuan jaman.

    Yang dimaksud dengan kepribadian adalah “segala sesuatu yang mendasari kebiasaan, sikap, pola reaksi (pengenalan diri, cara berpikir dan bertingkah laku, cara merasa, cara mengendalikan diri, cara mengungkapkan dirinya, cara menggali potensi dirinya, memupuk kepercayaan pada dirinya, membentuk citra dirinya, cara berkomunikasi dan lainnya), bahkan juga cara menghadapi situasi kritis, bisa diajarkan”. Ada pembawaan – pembawaan khusus yang dapat diarahkan, diajarkan dan diterapkan oleh setiap individu yang mana bisa ditempuh melalui pelatihan – pelatihan atau pendidikan, kursus – kursus yang melatih dan mengajarkan pengembangan kepribadian, baik secara “luar” (menyangkut penampilan, etiket, sikap tubuh, ketrampilan, kecantikan, dan lain – lain secara lahiriah), maupun “dalam” (menyangkut sikap hidup, cara berpikir, dan lain – lain),

    3.jelaskan tentang tujuan dan fungsi pendidikan bagi manusia!
    Jawaban no
    3. Tujuan Pendidikan
    Di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab.

    3. Fungsi Pendidikan
    Menurut pendapat Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifest) yakni sebagai berikut:

    · Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
    · Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
    · Melestarikan kebudayaan.
    · Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.

    Fungsi lain dari lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.
    Mengurangi pengendalian orang tua terhadap anak-anaknya. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas serta wewenangnya dalam mendidik anak kepada pihak sekolah.
    Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah mempunyai potens

    BalasHapus
  33. Nama : Dita Tri Inesti
    NIM : 1911240036
    Kelas : PGMI / 2 B
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  34. Nama : Sipriansyah
    Nim : (1911240061)
    Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam ( IPI)
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Telah selesai mengerjakan UjianTengah Semester(UTS) pada tanggal 21 april 2020
    Dalam bentuk format file document Word

    BalasHapus
  35. Nama : Putri Indah Muslimah
    Nim : (1911240014)
    Kelas : 2A PGMI
    Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam ( IPI)
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Telah selesai mengerjakan UjianTengah Semester(UTS) pada tanggal 21 april 2020

    BalasHapus
  36. Nama : Nurul Aulia
    Ruang : 2A PGMI
    NIM : 1911240027
    Prodi : pendidikan guru madrasah ibtidaiyah
    Fakultas : tarbiyah dan tadris
    Mata kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  37. Nama. : Wulan Fitri sari
    Kls. :2A
    Nim. :1911240026
    Mata kuliah :Ilmu Pendidikan Islam (IPI)
    Dosen pengampu : Dr.Hj Khairiah, M.pd
    Prodi. : PGMI
    Fakultas. : tarbiyah dan Tadris
    Tekah selesai mengerjakan ulangan tengah semester (UTS) pada tanggal 21 April 2020 Terimakasih.

    BalasHapus
  38. Nama : Ayu Andira
    Nim : 1911240006
    Kelas : 2A ruang C.35
    Mata kuliah: Ilmu Pengetahuan Islam
    Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
    Prodi : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
    Fakultas : Tarbiyah
    Telah selesai mengerjakan Ujian Tengah Semester (UTS)
    Pada tanggal 21 April 2020

    BalasHapus
  39. Nama : Indah Fuji Lestari
    Nim : 1911240028
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Tugas : Uts Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen : Dr. Hj. Khairiah,M.Pd
    Telah selesai mengerjakan Ujian Tengah Semester (UTS)
    Pada tanggal 21 April 2020

    BalasHapus
  40. Nama : Indah Fuji Lestari
    Nim : 1911240028
    Kelas : 2A ruang C.35
    Prodi : PGMI
    Fakultas : Tarbiyah dan Tadris
    Tugas : Uts Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen : Dr. Hj. Khairiah,M.Pd
    Telah selesai mengerjakan Ujian Tengah Semester (UTS)
    Pada tanggal 21 April 2020

    BalasHapus
  41. Nama : Sulistya Ningsih
    Nim : 1911240012
    Kelas : 2A
    Prodi : PGMI
    Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
    Fakultas: Tarbiyah
    Telah selesai mengerjakan ujian tengah semester (UTS) pada tanggal 21 april 2020

    BalasHapus
  42. Nama : Sulistya Ningsih
    Nim : 1911240012
    Kelas : 2A
    Prodi : PGMI
    Dosen pengampu: Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
    Fakultas: Tarbiyah
    Telah selesai mengerjakan ujian tengah semester (UTS) pada tanggal 21 april 2020

    BalasHapus
  43. Nama : Audia Rizki
    Nim : 1911240032
    Kelas : 2A ruang C.35
    Mata kuliah: Ilmu Pengetahuan Islam
    Dosen pengampu : Dr.Hj.Khairiah,M.Pd
    Prodi : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
    Fakultas : Tarbiyah

    BalasHapus
  44. Nama : Nita Aulia
    NIM : 1911240015
    Kelas : 2A.(C3.5)
    Prodi : PGMI
    Matkul : Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus
  45. Nama:nabella listari
    Nim:1911240056
    Kelas :2B pgmi
    Prodi:pgmi
    Fakultas:Tarbiyah dan Tadris
    Mata kuliah:ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu:Dr.Hj.Khariah ,M.pd

    BalasHapus
  46. Nama:reren nopriani
    Nim:1911240062
    Kelas:2B pgmi
    Prodi:pgmi
    Fakultas:tarbiyah dan tadris
    Matakuliah:ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu:Dr.Hj.khariah,M.Pd.

    BalasHapus
  47. Nama:Reren nopriani
    Nim:1911240062
    Kelas:2B pgmi
    Prodi:pgmi
    Fakultas:Tarbiyah dan tadris
    Matakuliah:ilmu pendidikan islam
    Dosen pengampu:Dr.Hj.khairiah,M.Pd.

    BalasHapus
  48. Nama : Azizah ovinur kamala
    Nim : 1911240057
    Kelas : 2B PGMI
    Matkul : IPI
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.pd

    BalasHapus
  49. Nama : Nining Marlinda
    NIM :1911240051
    prodi : PGMI 2B
    Mata kuliah : UAS Ilmu Pendidikan Islam
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M. Pd

    BalasHapus
  50. Nama : Sucipta Julia Angeriani
    Nim : 1911240017
    Kelas :2A
    Prodi : PGMI
    Telah menyelesaikan UTS
    Dosen pengampu : Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHAN AJAR MATA KULIAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN

Contoh Pembelajaran Berbasis Riset Mata Kuliah Evaluasi Kelembagaan An. Ahmad Isna Muhdi