BAHAN AJAR MATA KULIAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN



BAHAN AJAR 
MATA KULIAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN
Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

Konsep dan dasar-dasar pendidikan dalam kajian teoritik. Pendidikan merupakan proses membentuk sosok individu sebagai sumber daya manusia yang berperan besar dalam proses pembangunan berbangsa dan bernegara. Oleh karena peran pendidikan sangat penting sebab pendidikan merupakan kunci utama untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.[1] Maka penyelenggaraan pendidikan perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai pihak demi optimalisasi pencapaian tujuan yang diinginkan.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama sangat menyadari tentang kenyataan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, seperti rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah/madrasah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.[2]
Winarno Surakhmad menyebutkan rendahnya mutu pendidikan pada dewasa ini bertolak dari asumsi yang salah. Kita menyadari bahwa kita tidak maju-maju, bahkan mengalami setback. Seperti hasil pelajaran di sekolah khususnya, semakin merosot mutunya. Bahkan pendidikan kita berada dalam alur yang buntu dan kebuntuan ini adalah musuh dari kemajuan, tidak ada pendidikan yang buntu dapat menghasilkan kemajuan.[3] Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, langkah yang diambil sebagai satu kebijakan adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Konsep ini mengandalkan pemberian otonomi yang luas kepada sekolah dalam menyelenggarkan pendidikan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pendidikan dikembalikan kepada kebutuhan keluarga, masyarakat dan pemerintah daerah.
A. Pengertian Pendidikan.
Pendidikan merupakan proses mencerdaskan, membangun dan memanusiakan manusia seutuhnya. Sejalan dengan konsep pendidikan dalam perspektif Islam yaitu tarbiyyah. Penekanannya adalah pada proses internalisasi nilai-nilai dan pesan-pesan Ilahiyah untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa.[4]
Menurut Jhon Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.[5] Branata, menyebutkan pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya.[6]
Ki Hajar Dewantara menyebutkan konsep pendidikan adalah sebagai daya upaya untuk memberikan tuntunan pada segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mareka baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang setinggi-tingginya.[7] Muri Yusuf menyebutkan pendidikan adalah suatu proses penyesuaian terus menerus pada setiap fase yang menambah kecakapan di dalam pertumbuhan seseorang.[8]
Ahmad D. Marimba menyebutkan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.[9] Mc. Donald memberikan rumusan tentang pendidikan is a process or an activity which is directed at producing desirable in the behavior of human beings.[10] Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan menghasilkan perubahan tingkah laku manusia.
Selanjutnya Winarno Surakhmad menyebutkan pendidikan dalam pengertian pengajaran adalah satu usaha yang bersifat sadar tujuan dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku, menuju kepada kedewasaan anak didik. Perubahan itu menunjuk pada suatu proses yang harus dilalui. Tanpa proses itu perubahan tidak mungkin terjadi, tanpa proses itu tujuan tak dapat dicapai.[11] Dan proses yang dimaksud di sini adalah proses pendidikan.
Ikhsan menyebutkan pendidikan merupakan interaksi pendidik (guru) dengan siswa (peserta didik). Interaksi yang dimaksud yaitu saling mempengaruhi antara pendidik dengan peserta didik[12]. Ramayulis, pendidikan merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan[13].
Menurut Suryadharma Ali pendidikan merupakan elemen fundamental bagi setiap reformasi sosial. Pendidikan menjadi tulang punggung bagi proses perubahan sosial, tidak saja pada level individual tapi juga kehidupan komunal yang lebih besar.[14] Sedangkan pengertian pendidikan dari sudut pandang kebudayaan, Darji Darmodiharjo menjelaskan pendidikan merupakan kebudayaan yang mengarah kepada peradaban. Kebudayaan dalam arti luas adalah wujud perpaduan dari logika (pikiran), etika (kemauan), estetika (perasaan) dan praktika (karya) yang merupakan sistem nilai dan ide vital (gagasan) penting yang dihayati oleh sekelompok manusia (masyarakat) tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.[15]
Satu pengertian lain yang cukup esensi untuk dapat memahami pengertian pendidikan, dikemukakan oleh Max Muller seperti dikemukakan kembali oleh B.S. Mardiatmadja yaitu pendidikan adalah proses yang terorganisir untuk membantu agar seseorang mencapai bentuk dirinya yang benar sebagai manusia.[16]
Pendidikan dalam pengertian yang luas meliputi semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, serta kecakapanya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.[17]
Dari beberapa konsep tersebut di atas maka dapat disinopsiskan pendidikan merupakan proses bimbingan, usaha terorganisir yang diberikan kepada seseorang yang merupakan suatu proses pengalaman yang terus menerus, untuk mengembangkan kemampuan, kecakapan, kecerdasan, kebudayaan, kepribadian yang memenuhi fungsi hidupnya sebagai manusia paripurna yang berperadaban di masa datang.
B.     Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan menurut para ahli memberikan batasan tertentu tentang hakikat pendidikan sesuai sudut pandang masing-masing seperti Langeveld mendefinisikan pendidikan sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan pada anak tertuju pada pendewasaan, atau membantu anak agar cukup cakap untuk melaksanakan tugas hidupnya.[18] John Dewey menyebutkan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.[19] Muhajir, pendidikan diistilahkan sebagai to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.[20] Mulyahardjo, pendidikan adalah hidup, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup, pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup.[21]
Ki Hajar Dewantara menyebutkan pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.[22] Maksudnya pendidikan menuntun segala kekuatan pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional menegaskan pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang.[23] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menunjukkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[24]  
Syaifullah hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual terhadap kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun tidak, manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan manusia pada zaman primitif sampai zaman modern, bahkan selama masih ada kehidupan manusia di dunia, pendidikan tetap berlangsung.[25] Hakikat pendidikan menurut Suyitno, mengungkapkan bahwa pendidikan yaitu upaya memanusiakan manusia.[26] Dengan demikian makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaannya.
Robandi menjelaskan, hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup (life is education, education is life).[27] Artinya pendidikan merupakan segala pengalaman hidup yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup individu berlangsung sepanjang hayat.
Hakikat pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Rohimin, pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti dan pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan karakter dan batin), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ki Hajar Dewantara menanamkan konsep pendidikan yang utuh yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.[28] Maksudnya pendidikan pada hakikatnya mampu menjadi teladan, menjaga keseimbangan dan mendorong serta memotivasi peserta didik, sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidupnya.
Kosasih Djahiri menyebutkan hakikat pendidikan merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).[29] Dengan demikian hakikat pendidikan berlangsung secara terus menerus sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai keliang kubur.
Hakikat Pendidikan menurut Islam ada 3 (tiga) pengertian yaitu: 1) Ta”lim artinya memberikan pembinaan/ pengarahan atau proses pemberian bekal pengetahuan. (Ilmu pengetahuan); 2) Tarbiyah artinya pengajaran atau proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental; 3) Ta’dib artinya proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental dan proses pembinaan terhadap sikap moral dan estetika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.
Beberapa asumsi dasar yang berkaitan dengan hakikat pendidikan sebagai berikut: 1) Pendidikan merupakan proses interaksi manusia yang ditandai oleh keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik; 2) Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat; 3) Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat; 4)   Pendidikan berlangsung seumur hidup; dan 5) Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.
Menurut Rohimin, dkk., Hakikat pendidikan yaitu usaha untuk mengubah perilaku tiap anggota masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.[30] Paula Freire, hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran agama Islam, hakikat pendidikan adalah mengembalikan fitrah manusia dengan tuntunan Al-Quran dan hadist.[31] Alfred North White head mendefinisi pendidikan, menekankan segi keterampilan menggunakan pengetahuan.[32]
Tilaar, menggolongkan hakikat pendidikan ke dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif.[33]
1.      Pendekatan reduksionisme
Teori-teori yang dihasilkan dari pendekatan reduksionisme banyak dipaparkan dalam ilmu pendidikan. Berbagai pendekatan reduksionisme tersebut antara lain;
a.      Pendekatan pedagogis. Pendekatan ini melahirkan child centered education, yaitu bahwa pendidikan berpusat kepada kepentingan anak, sehingga cenderung melupakan bahwa anak juga anggota masyarakat;
b.      Pendekatan filosofis. Pendekatan ini melahirkan ilmu pendidikan yang memandang anak sebagai titik tolak proses pendidikan. Nilai-nilai anak yang khas, perkembangan etis dan religi anak dianggap suatu yang harus dihormati dalam pendidikan;
c.      Pendekatan religius. Pendekatan ini melahirkan pemikiran bahwa pendidikan adalah proses mengatur peserta didik menjadi manusia yang religius sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan mempersiapkan peserta didik untuk hidup sesuai dengan kodratnya;
d.      Pendekatan psikologis. Pendekatan ini cenderung mempersempit pendidikan sebagai proses belajar mengajar dan menuntun penguasaan ilmu dan spesialisasi dari tenaga medis;
e.      Pendekatan negativis. Memandang pendidikan sebagai upaya mengembangkan kepribadian dan membudayakan manusia;
f.        Pendekatan sosiologis. Memandang peserta didik  sebagai anggota masyarakat, oleh karena itu hakikat pendidikan merupakan keperluan untuk hidup bersama dalam masyarakat.[34]  
2.      Pendekatan holistik integratif
Hakikat pendidikan menurut pendekatan holistik integratif adalah proses untuk mengembangkan eksistensi peserta didik dalam bermasyarakat, berbudaya dan dalam tata kehidupan lokal, nasional, maupun global.
Dengan demikian peran pendidikan sangat penting dan strategis bagi pembangunan sumberdaya manusia, berbangsa dan bernegara, ditinjau dari sudut hakikat pendidikan baik pendekatan reduksionisme maupun pendekatan holistik integratif, yang muaranya untuk mengubah perilaku tiap anggota masyarakat agar memiliki kemampuan dan mandiri sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. 
C.     Tujuan  Pendidikan
Tujuan pendidikan dimaknai berbeda-beda dikalangan para ahli, antara lain ada yang menyebut dengan istilah pencapaian kedewasaan jasmani dan rohani. Maksud pencapaian kedewasaan mencapai manusia seutuhnya yang bertakwa, cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, berkepribadian dan tumbuh semangat kebangsaan dan cinta tanah air, serta bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Menurut Nur Syam, pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan manusia Indonesia yang memiliki kemampuan vokasional yang baik dan juga memiliki karakter dan kepribadian Indonesia yang luhur.[35] Imam Suprayogo menyebutkan pendidikan bertujuan mengantarkan anak didik menjadi manusia seutuhnya.[36]  
Tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tercantum pada Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, Pendidikan nasional bertujuan untuk mecerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[37]
Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan ideal yang dalam proses upaya pencapaiannya dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan. Oleh karena itu, setiap institusional dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan Nasional telah menetapkan tujuan sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya. Dengan harapan out put pendidikan dimasa datang, memandang manusia bukan sebagai pekerja tetapi sebagai mitra kerja dengan keunggulannya. Ridono Aidad menyebutkan, seorang leader yang keluar dari persaingan global, harus dapat memandang manusia sebagai manusia, bukan pekerja.[38] Hal ini berdasarkan satu asumsi bahwa proses pendidikan yang sengaja dilaksanakan semata–mata bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, berkemampuan dan mandiri.
Tujuan Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila adalah meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas dan terampil, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.[39] Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan ideal yang dalam proses upaya pencapaiannya dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan.
Tujuan institusional seperti contoh pada jenjang pendidikan menengah umum, tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, nomor 29, menyebutkan bahwa: a) Meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian; b) Meningkatkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya.[40]
Mashuri menyebutkan tujuan pendidikan adalah membimbing warga Negara Indonesia menjadi manusia Pancasila yang berkepribadian, berkesadaran ketuhanan dan mampu mebudayakan alam sekitarnya.[41]
E. Mulyana membagi tujuan pendidikan kedalam beberapa jenis yaitu; 1) Tujuan pendidikan secara makro adalah untuk membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan berkomunikasi social yang positif dan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan tangguh; 2) tujuan secara mikro adalah untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (mampu, cakap, cerdas, kreatif, inovatif dan bertanggungjawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri).[42]
Menurut Said Aqil Siraj, pendidikan berorientasi atau bertujuan pada kesempurnaan lahir dan batin, pada saatnya nanti, proses pendidikan mampu melahirkan pribadi yang mempunyai kepribadian yang paripurna.[43]
Tujuan pendidikan menurut para ahli, pada hakekatnya tujuan pendidikan merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.[44] Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk membimbing warga Negara Indonesia, agar menjadi manusia pancasila yang berkepribadian, berkesadaran kepada Tuhan dan mampu membudayakan alam sekitarnya, bukan hanya semata-mata tuntutan ekonomi, sebab banyak beranggapan bahwa pendidikan merupakan bekal agar nantinya bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Sesuai Abu Ahmadi menyebutkan kecenderungan kaum terpelajar untuk menjadi pegawai negeri, maka pendidikan dianggap sebagai paspor untuk tidak melakukan pekerjaan yang mengotori tangan mareka.[45]  Kecenderungan masyarakat/ peserta didik menganggap pendidikan semata-mata untuk status kehidupan pada masa mendatang, tanpa memperhatikan dan melihat tujuan pokok dari pendidikan itu sendiri.
Proses tujuan pendidikan pada visi macro, merupakan upaya mewujudkan masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat dengan tatanan sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia dan punya pemahaman serta berwawasan global, sedangkan visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global.[46]
Menurut pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. dalam pasal 3 (tiga) dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[47] Oleh karena itu tepat sekali dikatakan pada dasarnya pendidikan mempunyai dua tujuan besar yakni mengembangkan individu dan masyarakat, sesuai Lickona menyebutkan “smart and good”.[48] Berarti tujuan pendidikan untuk mengembangkan individu dan masyarakat agar cerdas dan baik.
Secara elaboratif Bloom, membagi menjadi tujuan pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik yakni pengembangan pengetahuan dan pengertian, nilai dan sikap dan keterampilan psikomotorik. Selanjutnya Bloom (dalam Suwarno, 2006) tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga bagian; 1) Domain kognitif, meliputi kemampuan yang diharapkan dapat tercapai setelah dilakukannya proses belajar mengajar. Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi, 2) Domain efektif, berupa kemampuan untuk menerima, menjawab, menilai, membentuk dan mengarakterisasi, 3) Domain psikomotorik, terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan dan respons terpimpin.[49]
Langeveld, membedakan tujuan pendidikan kedalam enam bagian; 1) Tujuan umum. Tujuan umum merupakan tujuan yang dicapai di akhir proses pendidikan, yaitu tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani anak didik. Maksudnya kedewasaan jasmani adalah jika pertumbuhan jasmaniah sudah mencapai batas pertumbuhan maksimal, maka pertumbuhan jasmaniah tidak berlangsung lagi. Kedewasaan rohani adalah peserta didik sudah mampu menolong dirinya sendiri, mampu berdiri sendiri dan mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya; 2) Tujuan khusus. Tujuan khusus adalah tujuan tertentu yang hendak dicapai berdasarkan usia, jenis kelamin, sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan dan tuntutan syarat pekerjaan; 3) Tujuan tidak lengkap, maksudnya tujuan yang menyangkut sebagai aspek manusia, misalnya tujuan khusus pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan yang lainnya, jadi tujuan tidak lengkap ini bagian dari tujuan umum yang melengkapi perkembangan seluruh aspek kepribadian; 4) Tujuan sementara. Tujuan sementara adalah proses untuk mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara sekaligus, karenanya perlu ditempuh setingkat demi setingkat, tingkatan demi tingkatan, diupayakan untuk mencapai tujuan akhir itulah yang dimaksud tujuan sementara; 5) Tujuan intermedier. Tujuan intermedier adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok, misalnya anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar kelak mempunyai rasa tanggung jawab; 6) Tujuan incidental. Tujuan incidental adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, yang sifatnya seketika dan spontan. Misalnya orang tua menegur anaknya untuk berbicara sopan.[50]  
Menurut Ghozali, tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud dibalik itu membentuk individu yang tertandai dengan sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.[51]
Hujair AH. Sanaky menyebutkan  tujuan menurut visi dan misi pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebenarnya telah memiki visi dan misi ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus sebagai penyiapan kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari seperti diisyaratkan  Allah SWT dalam Al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis dan harmonis.[52]
Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka dapat disintesiskan tujuan pendidikan adalah menjadi manusia seutuhnya, pencapaian kedewasaan jasmani dan rohani, dan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manusia cerdas, baik dan terampil, mempertinggi budi pekerti yang luhur, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia pembangunan yang mandiri serta bertanggungjawab atas pembangunan masyarakat dan bangsa.
D.     Fungsi Pendidikan
Menurut pendidikan Nasional berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan fungsi pendidikan adalah sebagai alat yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Batasannya sebagai berikut; 1) Pendidikan sebagai proses transformasi budaya, artinya sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lainnya; 2) Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, artinya sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik dan terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mareka yang belum dewasa dan bagi mareka yang sudah dewasa atas usaha sendiri dan atau pendidikan diri sendiri; 3) Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara, artinya sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik; 4) Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, artinya kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, keterampilan kerja pada calon luaran.
Fungsi pendidikan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Horton dan Hunt menyebutkan fungsi pendidikan adalah sebagai berikut; 1) Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah; 2) Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat; 3) Melestarikan kebudayaan; 4) Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi; 5) Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah; 6) Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka; 7) Mempertahankan system kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya; 8) Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.[53]

Menurut David Popence menyebutkan ada empat fungsi pendidikan sebagai berikut; 1) Transmisi (pemindahan) kebudayaan; 2) Memilih dan mengajarkan peranan sosial; 3) Menjamin integrasi sosial; 4) Sekolah mengajarkan corak kepribadian; 5) Sumber inovasi sosial.[54]
Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka dapat disintesiskan fungsi pendidikan adalah sebagai transformasi kebudayaan, proses pembentukan pribadi, penyiapan tenaga kerja, menjamin integrasi sosial dan peranan sosial, sumber inovasi serta untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
E.     Sasaran Pendidikan
Muhammad Fadhil AL Djamaly dalam M. Arifin mengidentifikasikan sasaran pendidikan yang digali dari sumber ajaran Al Quran meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu; 1) Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tentang tanggungjawab dalam kehidupannya. Dengan kesadarannya, manusia mampu berperan sebagai makhluk Allah SWT; 2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggungjawabnya terhadap ketertiban masyarakat. Oleh karena itu manusia harus mengadakan interrelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat; 3) Menyadarkan manusia terhadap Pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepadaNya; 4) Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.[55]
Sasaran pendidikan untuk semua anak manusia. Dirjen UNESCO, Irina Bokova, mengatakan tercapai kemajuan yang besar dalam pendidikan global, dengan ditandatangani enam tekad global oleh 164 negara pada bulan April 2000 dengan tujuan meningkatkan pendidikan secara sistematis. Enam tekad tersebut yaitu: 1) Memperluas perawatan dan pendidikan dini; 2) Pendidikan dasar global; 3) Akses yang sama untuk belajar; 4) Melek huruf dewasa; 5) Kesetaraan gender; 6) Peningkatan kualitas pendidikan.
F.      Proses Pendidikan
Proses pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar mengajar. Ahmad Zayadi menyebutkan belajar dan pembelajaran bahwa belajar merupakan proses internal siswa dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal belajar. Dari segi guru belajar merupakan akibat tindakan pembelajaran.[56]
Dalam lingkup pendidikan, belajar merupakan hal kompleks. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subjek yaitu siswa dan guru; 1) Siswa, proses belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Bahan belajar itu sangat beragam, baik bahan- bahan yang dirancang dan disiapkan secara khusus oleh guru, ataupun bahan belajar yang ada di alam sekitar yang tidak dirancang secara khusus tapi bisa dimanfaatkan siswa; 2) Guru, proses belajar itu dapat diamati secara tidak langsung. Artinya proses belajar merupakan proses internal siswa dapat dipahami oleh guru. Proses belajar itu tampak lewat perilaku siswa dalam mempelajari bahan ajar. Perilaku belajar itu tampak pada perilaku hasil pembelajar. Perilaku belajar itu merupakan respons siswa terhadap belajar dan pembelajaran yang dilakukan guru. Belajar pula dapat diartikan memahami sesuatu yang baru dan kemudian memaknainya dan mempraktekkannya.
Menurut Usman aktivitas mengajar dan belajar itu memang berbeda tetapi tetap tidak dapat dipisahkan. Perbuatan belajar dari peserta didik terjadi sebagai akibat dari perbuatan mengajar atau mendidik dari seorang pendidik. Proses interaktif antara perbuatan mengajar pendidik dan perbuatan belajar peserta didik ini biasa disebut proses pembelajaran.[57]
Selanjutnya Usman menyebutkan proses pembelajaran dalam Islam berlangsung antara pendidik dan peserta didik, diikat oleh sebuah jalinan kerjasama untuk memperoleh manfaat yang sebesar- besarnya dari nilai- nilai yang berpusat pada kebaikan dan kebenaran Islam. Dengan kata lain, proses pembelajarannya menjadi terpusat pada nilai (value centered). Ini berarti bahwa kegiatan mengajar dan membimbing yang dilakukan oleh pendidik dan aktivitas belajar yang dilakukan peserta didik berlangsung dalam pengendalian nilai- nilai Islam. Oleh karena itu proses pembelajaran dalam Islam tidak hanya terpusat pada pendidik dan atau peserta didik tetapi juga terpusat pada nilai.[58]
Standar Proses pembelajaran dijabarkan dalam Permendikbud Nomor 65 tahun 2013, sebagai suatu kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan, ditingkat sekolah, seperti kriteria, pelaksanaan pembelajaran, pencapaian kompetensi lulusan. Standar proses tersebut merupakan suatu tahapan proses pembelajaran yang menjabarkan mengenai kriteria atau ukuran tertentu yang menjadi dasar peniliaian atau penetapan, terkait pelaksanaan pembelajaran guna mencapai kompetensi lulusan.[59]
Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 mengamanatkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.[60] Kaitan dengan proses pendidikan, baik tingkat nasional maupun tingkat kelas dinilai sukses jika kompetensi lulusan yang ditargetkan tercapai dengan sempurna. Standar proses merupakan sebuah pedoman, tahapan langkah bagi para guru saat mereka memberikan pembelajaran dalam kelas, dengan harapan proses pendidikan yang berlangsung bisa efektif, efesien dan inovatif.
Pada saat inilah keahlian guru, sebagai ujung tombak suksesnya proses pendidikan dituntut memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu mengemas proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan. Sehingga proses pembelajaran mampu menciptakan suasana seperti tahapan tersebut di atas, kualitas pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga proses pendidikan di Indonesia mampu menyaingi sistem pendidikan di beberapa negara maju lainnya. Maka dari itu, pada proses penerapan atau taktis pelaksanaan pembelajaran setiap satuan pendidikan dituntut untuk mampu melakukan perencanaan pembelajaran dengan baik, sehingga pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal mungkin, serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
G.     Komponen Pendidikan
Komponen proses pendidikan sebagai berikut; 1) Tujuan pendidikan; 2) Peserta didik; 3) Pendidik; 4) Metode pendidikan; 5) Isi pendidikan/ materi pendidikan; 6) Lingkungan pendidikan; 7) Alat dan fasilitas pendidikan. Secara rinci dapat dibahas secara rinci sebagai berikut;
Pertama, tujuan pendidikan merupakan pencapaian kedewasaan jasmani dan rohani, artinya sebagai pencapaian kedewasaan mencapai manusia seutuhnya yang bertakwa, cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, berkepribadian dan tumbuh semangat kebangsaan dan cintah tanah air, serta bertanggungjawab atas pembangunan bangsa. Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, maksudnya untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat sesuai Q.S. Al-Dzariat:56; dan Q.S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan umum pendidikan Islam untuk mewujudkan manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Maksudnya menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 : “ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”. Sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran dan perasaan yang dihadapkan kepada Allah. Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah dengan niat ibadah.
Kedua, peserta didik sangat menunjang dalam proses pendidikan, dengan perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas pada usia sekolah saja memberikan konsekuensi pada pengertian peserta didik. Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah individu yang mengalami perubahan dan perkembangan serta sangat memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian sebagai bagian dari proses pendidikan. Dengan demikian peserta didik merupakan seorang individu yang sedang mengalami fase perubahan, perkembangan atau pertumbuhan baik segi fisik dan mental maupun dari fikiran.  Sebagai individu yang sedang mengalami fase perubahan, perkembangan dan perubahan tentu saja peserta didik sangat memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Seperti waktu peserta didik berada pada usia balita, tentu saja selalu mendapat bantuan dari orang tua ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikian peserta didik merupakan barang mentah yang harus diolah dan dibentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan. Hal demikian dapat disebutkan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses ini peserta didik sangat banyak menerima bantuan yang mungkin tidak disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan pena untuk menulis yang dibeli dari sebuah toko. Dapat dibayangkan betapa banyak hal yang dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian pena tersebut, mulai pembuatan, penjualan sehingga sampai ke tangan seorang peserta didik.
Ketiga, pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidik di sekolah saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong dalam pendidik. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga dan pimpinan masyarakat baik formal maupun nonformal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatagorikan pendidik sebagai berikut; 1) orang dewasa, maksudnya orang dewasa disebut sebagai pendidik berdasarkan sifat umum kepribadian orang dewasa, 2) orang tua, maksudnya orang tua merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan kelurga. Ini berarti orang tua sebagai pendidik utama dan yang pertama yang berlandaskan pada hubungan cinta kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka, 3) Guru/ pendidik di sekolah/madrasah, maksudnya guru merupakan pendidik di sekolah yang secara langsung maupun tidak langsung mendapatkan tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik harus memenuhi persyaratan-persyaratan, baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi maksudnya ketentuan yang terkait dengan nilai dari tingkahlaku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Sedangkan persyaratan jabatan (profesi) terkait pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yang ingin disampaikan maupun cara penyampaiannya dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, 4) pemimpin masyarakat dan pemimpin agama, maksudnya peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik berdasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggotayang dipimpin. Pemimpin keagamaan sebagai pendidik berdasarkan aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerohanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
Keempat, metode pendidikan  dalam interaksi pendidikan tidak terlepas dari metode atau cara pendidikan dilaksanakan, terdapat beberapa metode yang dilakukan dalam mendidik; 1) metode diktatoran, metode ini bersumber dari teori empiris yang menyatakan bahwa perkembangan manusia semata-mata ditentukan oleh faktor luar manusia, metode ini menimbulkan sikap diktator dan otoriter, pendidik yang menentukan segalanya, 2) metode liberal, metode ini berasal dari teori naturalisme yang menyebutkan bahwa perkembangan manusia itu sebagian besar ditentukan oleh kekuatan dari dalam yang secara wajar ada pada diri manusia. Pandangan ini menimbulkan sikap bahwa pendidik jangan terlalu banyak ikut campur terhadap perkembangan anak. Membiarkan anak berkembang sesuai dengan kodratnya secara bebas, 3) metode demokratis, metode ini bersumber pada teori konvergensi yang mengatakan bahwa perkembangan manusia tergantung pada factor dalam dan luar. Maksudnya pendidik dan peserta didik sama-sama penting dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan.
Kelima, isi/ materi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan penidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/ materi pendidikan yang disebut dengan kurikulum dalam pendidikan formal. Materi atau kurikulum yang disampaikan harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang mengandung nilai dan pandangan hidup bangsa. Dan dalam menetapkan bahan/ materi harus dipertimbangkan karakter subjek didik dan fase perkembangannya. Serta harus disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, menarik perhatian, minat, umur, bakat, jenis kelamin, latar belakang dan pengalaman peserta didik. Menurut Hartoto guru harus memilih bahan/ materi yang perlu diberikan dan harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut; 1) bahan/ materi harus sesuai dan menunjang tujuan yang perlu diberikan; 2) urgensi bahan yaitu  penting untuk diketahui oleh peserta didik; 3) nilai praktis atau kegunaannya diartikan sebagai makna bahan itu bagi kehidupannya sehari-hari; 4) bahan tersebut merupakan bahan wajib, sesuai dengan tuntutan kurikulum; 5) bahan yang susah diperoleh sumbernya, perlu diupayakan untuk diberikan oleh guru. Untuk bahan yang mudah diperoleh sebaiknya ditugaskan untuk dipelajari, sedangkan guru hanya berbicara pokok-pokoknya saja.[61]
Keenam, Lingkugan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan merupakan segala sesuatu yang ada di sekeliling anak didik dan komponen-komponen pendidikan yang lain. Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa benda mati, makhluk hidup ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi termasuk kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu. Seperti lingkungan tempat pendidikan berlangsung dan lingkungan tempat anak bergaul. Lingkungan ini kemudian secara khusus disebut sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan jenis dan tanggung jawab yang secara khusus menjadi bagian dari karakter lembaga tersebut. Pengertian lembaga pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan hal lain memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan pendidikan itu bertugas memberi pendidikan kepada si terdidik (Marimba, 1980). Secara umum fungsi lembaga-lembaga pendidikan adalah menciptakan situasi yang memungkinkan proses pendidikan dapat berlangsung sesuai tugas yang bebankan kepadanya karena situasi lembaga pendidikan harus berbeda dengan situasi lembaga lain (Azra, 1998).
Ketujuh, Alat dan fasilitas pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, dengan adanya fasilitas pendidikan maka proses pendidikan berjalan dengan lancar, sehingga tujuan pendidikan mudah dicapai. Aspek utama yang harus mendapatkan perhatian dalam proses dan setiap pengelola pendidikan adalah mengenai fasilitas pendidikan. Sarana pendidikan umumnya mencakup semua fasilitas yang secara langsung dipergunakan dan menunjang dalam proses pendidikan, seperti gedung, ruang belajar atau kelas, alat-alat atau media pendidikan seperti meja, kursi, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas atau prasarana adalah yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan, seperti halaman, kebun atau taman sekolah, jalan menuju ke sekolah dan lainnya. Untuk mewujudkan pemerataan alat dan fasilitas pendidikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 30 Desember 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2014 tentang percepatan penyediaan infrastruktur prioritas. Infrastruktur pendidikan meliputi sarana pembelajaran, laboratorium, pusat pelatihan, pusat penelitian, sarana prasarana penilitian dan pengembangan, ruang praktik siswa, perpusatakaan, fasilitas pendukung pembelajaran dan pelatihan.
H. Landasan Pendidikan
Landasan pendidikan merupakan unsur strategis dan sangat penting untuk mengembangkan pendidikan bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Mengenai landasan pendidikan terdapat beragam istilah. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, landasan berarti sebagai alas, dasar atau tumpuan. Istilah landasan dikenal pula sebagai fundasi.[62] Dengan demikian dapat dipahami landasan adalah alas atau dasar pijakan, titik tumpu atau titik tolak dari suatu hal, atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal. Dan landasan pendidikan merupakan seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak, tempat berpijak atau panduan pada proses pendidikan.
Landasan pendidikan tersebut adalah landasan agama, filosofis, hukum, psikologis, sejarah, sosial budaya, sosiologis, ekonomi dan landasan ilmiah dan teknologi (IPTEK), memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan serta mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.
1.      Landasan Agama.
Landasan agama dalam duna pendidikan merupakan landasan strategis dan sangat penting. Yang paling mendasari dari landasan agama adalah karena landasan agama dicitakan oleh Allah SWT, berupa Firman Allah SWT (Al Qu’ran) dan AL Hadist berupa risalah (tuntunan) yang dibawa oleh Rasulullah yakni Nabi Muhammad SAW. Landasan agama diciptakan untuk umat manusia, berisikan tentang tuntunan, pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Landasan agama juga sebagai rahmat bagi sekalian alam semesta.
Pendidikan memiliki kedudukan yang sangat mulia, secara substantifnya terdapat dalam Al Quran Surat Al Alaq ayat 1 – 5 sebagai berikut; 1) Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan; 2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3) Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah; 4) yang mengajarkan manusia dengan perantara Kalam; 5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[63]
Dalam Al Qur’an Surat Al Mujadalah ayat 11. Allah SWT mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.[64] Maksudnya orang yang mempunyai derajat yang paling tingi disisi Allah SWT adalah orang yang beriman dan berilmu. Ilmu yang diamalkan sesuai dengan Allah SWT dan RasulNya.
Hadist Rasulullah Muhammad SAW, carilah ilmu dari buaian sampai keliang lahat.[65] Mencari ilmu diwajibkan bagi laki-laki dan perempuan. Telah aku tinggalkan 2 perkara yang jika engkau memegang teguh keduanya, engkau tidak akan tersesat, kedua perkara tersebut adalah Al Qur’an dan Al Hadist, barang siapa menginginkan kebahagiaan di dunia, maka dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat, maka dengan ilmu dan barang siapa yang menginginkan kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat) maka dengan ilmu (HR. Turmudzi). 
Meskipun seringkali terjadi pertentangan antar agama dan filsafat, namun terdapat beberapa tokoh besar yang mengemukakan pandangan filosofis yang berpijak pada filsafat agama seperti Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), Al-Gazali (1058-1111) dan Ibnu Rush atau Averroes (1126-1198) dari agama Islam, st, Thomas Aquinas (1225-1274) dari agama Katolik yang dapat dianggap puncak skolastik Kristen dengan filsafat neothomisme Lao-tse dari Tacis China, Rabidranat tagore di India dan sebagainya.
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 10 Ayat 4 dinyatakan bahwa Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan nilai keterampilan.[66] Maksudnya bahwa agama merupakan suatu landasan pendidikan yang berakar dari keluarga.
Selanjutnya disamping sekolah dan keluarga, proses pendidikan juga dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat, seperti kelompok keagamaan, organisasi pemuda, pramuka, dll. Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari sejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat.
2.      Landasan Filosofis
Menurut Pirdata, filsafat telah ada sejak manusia lahir, manusia adalah makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat sudah memiliki gambaran dan cita-cita yang mereka kejar dalam hidupnya, baik secara individu maupun secara kelompok.[67] Selanjutnya Pirdata menyebutkan filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai akar-akarnya mengenai pendidikan.[68] Maksudnya semakin berkembang budaya, adat istiadat suatu suku bangsa, serta norma, hukum yang berlaku dalam masyarakat maka semakin berkembang pendidikan, karena hal ini akan memotivasi masyarakat melakukan aspek-aspek tertentu pada pendidikan untuk memenuhi kebutuhan cita-cita mereka.
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan, menyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme.
Pertama, Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik atau bahan ajar esensial, kedua, Perenialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal, ketiga, Pragmatisme dan Progresifme. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional, keempat, Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989, pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945, sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara Indonesia.
3.      Landasan Hukum (Yuridis)
Landasan hukum pendidikan adalah peraturan yang dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Seperti landasan hukum seorang guru boleh mengajar dengan adanya keputusan tentang pengangkatannya sebagai guru. Yang melandasi guru menjadi guru adalah keputusan dan hak-haknya.
Undang-undang Pendidikan: pertama, Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal-pasal yang berhubungan dengan pendidikan dalam Undang Undang Dasar 1945 hanya2 pasal, yaitu pasal 31 dan 32. Pasal 31 mengatur tentang pendidikan kewajiban pemerintah membiayai wajib belajar 9 tahun di SD dan SMP, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, dan sistem pendidikan nasional. Sedangkan pasal 32 mengatur tentang kebudayaan.[69]
Kedua, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, juga terdiri dari 77 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum(istilah-istilah terkait dalam dunia pendidikan), dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, prinsip penyelenggaraan pendidikan, hak dan kewajiban warga negara, orang tua dan masyarakat, peserta didik, jalur jenjang dan jenis pendidikan, bahasa pengantar, estƔndar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pendanaan pendidikan, pengelolaan pendidikan, peran serta masyarakat dalam pendidikan, evaluasi akreditasi dan sertifikasi, pendirian satuan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain, pengawasan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.[70]
Ketiga, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-undang ini memuat 84 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum (istilah dalam undang-undang), kedudukan fungsi dan tujuan, prinsip profesionalitas, seluruh peraturan tentang guru dan dosen dari kualifikasi akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi profesi dan kode etik, sangsi bagi guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.[71]
4. Landasan Psikologis
Psikologis merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia. Jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang selalu berada dan melekat pada diri manusia itu sendiri.
Kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam upaya memenuhi kebutuhanya, manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan lingkungannya itu menyebabkan manusia mengembangkan kemampuannya melalui proses belajar, semakin kuat motif sebagai upaya pemenuhan kebutuhan itu, semakin kuat pula proses belajar yang terjadi dan pada gilirannya semakin tinggi hasil belajar yang dapat dicapainya.
Abraham Maslow mengemukakan kategorisasi kebutuhan-kebutuhan menjadi enam kelompok, mulai dari yang paling sederhana dan mendasar yang meliputi: 1) Kebutuhan fisiologis; 2) Kebutuhan rasa aman; 3) Kebutuhan cinta dan pengakuan; 4) Kebutuhan harga diri (esteem needs); 5) Kebutuhan untuk aktualisasi diri; 6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.[72]
Kajian psikologis yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum (inteligensi) ataupun kecerdassan dalam bidang tertentu (bakat) banyak dipengaruhi oleh kemampuan potensial yang hanya aktual apabila dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Kecerdasan aktual terbentuk karena adanya pengalaman. Jeans Piaget berpendapat bahwa kecerdasan merupakan internalisasi pengalaman. Indeks kecerdasan, yang sering dikenal dengan IQ, dapat diukur dengan tes-tes kecerdasan. Pengembangan kecerdasan itu terwujud dalam berbagai bentuk kemampuan berpikir, baik berpikir konvergen (memusat) dan divergen (memencar), maupun berpikir intuitif dan reflektif.[73]
Perkembangan peserta didik sebagai landasan psikologi, salah satu aspek dari pengembangan manusia seutuhnya adalah yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian, utamannya agar dapat diwujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri. Meskipun terdapat variasi pendapat namun dapat dikemukakan beberapa prinsip umum perkembangan kepribadian. Disebut sebagai prinsip-prinsip umum karena: 1) Prinsip itu mungkin dirumuskan dengan variasi tertentu dalam berbagai teori kepribadian; 2) Prinsip itu tampak berfariasi pada kepribadian manusia tertentu (sebab kepribadian itu unik).
Salah satu prinsip perkembangan kepribadian ialah bahwa perkembangan keprbadian mencangkup aspek behavioral maupun aspek motivasional: dengan perkembangan kepribadian, bukan hanya perubahan dari tingkah laku yang tampak tetapi juga perubahan dari mendorong tingkah laku itu. Prinsip kedua dari perkembangan kepribadian adalah bahwa kepribadian mengalami perkembangan yang menerus dan tidak terputus-putus meskipun pada suatu periode tertentu mengalami perkembangan yang menerus dibandingkan dengan periode yang lainya.
5. Landasan Sejarah
Sejarah merupakan informasi lampau, yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, proktik, moral, cita-cita, bentuk dan lain sebagainya. Informasi lampau terutama berkaitan dengan kebudayaan. Demikian juga dalam bidang pendidikan, para ahli pendidikan sebelum menekuni salah satu bidang pendidikan, terlebih dahulu mengkaji sejarah tentang pendidikan, baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional. 
Landasan historis pendidikan Nasional Indonesia tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Pada akhirnya bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain. Para pendiri negara kita merumuskan negara kita dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, meliputi 5 prinsip (lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.
Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri.
Konsekuensinya adalah Pancasila berkedudukan sebagai dasar filsafat negara serta ideologi bangsa dan negara, bukan sebagai suatu ideologi yang menguasai bangsa, namun justru nilai-nilai dari sila-sila Pancasila itu melekat dan berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri. Maka landasan sejarah merupakan landasan pendidikan, ditinjau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan masa lalu atau pandangan retrospektif, seperti; kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita bangsa masa lampau. Dengan demikian pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional di Indonesia.
6.    Landasan Kultural
Kebudayaan merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur budaya, sebab sebagian besar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok, baik kegiatan di rumah, di kantor, di perusahaan, di perkebunan, di bengkel, hampir semuanya dilakukan oleh lebih dari seorang. Ini berarti unsur budaya ada pada kegiatan-kegiatan tersebut, seperti membenahi rumah agar indah dan rapi merupakan unsur budaya dan alat untuk mengajarkan cara mengerjakan dengan baik juga merupakan suatu budaya.
Kebudayaan selalu terkait dengan pendidikan, utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud: 1) Ideal seperti ide, gagasan, nilai dan sebagainya; 2) Kelakuan berpola dari manusia dalam mayarakat, dan 3) Fisik yakni benda hasil karya manusia.
Baik kebudayaan yang berwujud ideal, kelakuan dan teknologi, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Contoh dalam penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan anak-anak mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan bagaimana mengatakannya dan kepada siapa mengatakannya. Oleh sebab itu anak-anak harus diajarkan pola-pola tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kebudayaan Nasional sebagai landasan system pendidikan Nasional. Ini berarti pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia. Karena kebudayaan masyarakat Indonesia majemuk maka kebudayaan bangsa Indonesia lebih tepat disebut kebudayaan Nusantara. Puncak-puncak kebudayaan Nusantara itulah yang diterima secara nasional disebut kebudayaan Nasional.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan jalur sekolah dengan keragaman latar belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memerlakukan muatan lokal di dalam kurikulum sekolah. Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik dari setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhinekaan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, makin kuat pendapat bahwa pendidikan seharusnya diupayakan agar lebih menjamin adanya keterikatan antara peserta didik dengan lingkungannya. Sebagai contoh, muatan lokal dalam kurikulum tidak hanya sekedar meneruskan minat dan kemahiran yang ada di daerah tertentu tapi juga serentak memperbaiki/ meningkatkan sesuai dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat.
7. Landasan Sosiologis
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu atau bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Dengan meningkatkan sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang pendidikan sosiologi.
Menurut Pidarta, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara manusi dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya.[74] Maksudnya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dalam kelompok. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial pendidikan yang meliputi 4 bidang: 1) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat; 2) Hubungan kemanusian disekolah; 3) Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya; 4) Sekolah dalam komunitas, mempelajari interaksi sekolah dengan kelompok sosial lain dalam satu komunitas.
Masyarakat mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, serta pada umumnya bertempat tinggal disuatu wilayah tertentu dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama antara lain: 1) Adanya interaksi antar warga-warganya; 2) Pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan yang khas; 3) Ada rasa identitas kuat yang mengikat pada warganya.
8.      Landasan Ekonomi
Pada zaman pasca modern atau globalisasi sekarang ini, yang sebagian besar manusianya cenderung mengutamakan kesejahteraan materi dibanding kesejahteraan rohani, membuat ekonomi mendapat perhatian yang sangat besar. Oleh sebab itu ada kewajiban suatu lembaga pendidikan untuk memperbanyak sumber dana yang mungkin bisa digali adalah sebagai berikut: 1) Dari pemerintah dalam bentuk proyek pembangunan, penelitian bersaing, pertandingan karya ilmiah anak-anak, dan perlombaan-perlombaan lainnya; 2) Dari kerjasama dengan instansi lain, baik pemerintah, swasta, maupun dunia usaha. Kerjasama ini bisa dalam bentuk proyek penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan proyek pengembangan bersama; 3) Membentuk pajak pendidikan, dapat dimulai dari satu desa yang sudah mapan, satu daerah kecil, dan sebagainya; 4) Usaha lainnya seperti dana rutin, dana pembangunan dan dana bantuan masysrakat.
9.   Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pengetahuan (knowledge) adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui berbagai cara pengindraan terhadap fakta, penalaran (rasio), intuisi dan wahyu. Dengan demikian, pengetahuan meliputi berbagai cabang ilmu (ilmu-ilmu sosial atau social sciences, dan ilmu-ilmu alam atau natural sciences), humaniora (seni, filsafat, bahasa, dan sebagainya) serta wahyu keagamaan atau yang sejenisnya. Dilihat dari segi tujuan pokoknya, sering pula dibedakan ilmu dasar (basic science) dan ilmu terapan (applied science). Hasil dari ilmu terapan itu harus dialih ragamkan (ditransformasikan) menjadi bahan, alat, atau prosedur kerja kegiatan ini biasa disebut pengembangan (development). Tingkat lanjut dan hasil kegiatan pengembangan itulah yang disebut teknologi.
Landasan antologis dari ilmu berkaitan dengan objek yang ditelaah oleh ilmu adalah: yang ingin diketahui oleh ilmu, hubungannya dengan daya tangkap manusia. Objek ilmu itu selalu berkaitan dengan pengalaman manusia yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Landasan epistemologi dari ilmu berkaitan dengan segenap proses untuk memeroleh pengetahuan ilmiah, yakni Prosedurnya, usaha yang harus diperhatikan agar memperoleh kebenaran, Cara/teknik/sarana yang dapat membantu mendapatkannya. Seperti iptek itu sendiri, metode keilmuan juga mengalami perkembangan sebagai akumulasi pendapat manusia yang kini dikenal sebagai Model Induktif-Hipotetiko-Deduktif.
Landasan aksiologis dari ilmu berkaitan dengan manfaat atau kegunaan pengetahuan ilmiah yaitu: untuk apa pengetahuan ilmiah itu dipergunakan? Bagaimana kaitannya dengan nilai-nilai moral? Ilmu telah berjasa mengubah wajah dunia dalam berbagai bidang serta memajukan kesejahteraan manusia.
Perkembangan Iptek sebagai landasan ilmiah menurut Titaraharja, menyatakan pendidikan, ilmu pengetauan dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama dalam isi pembelajaran, dengan kata lain bahwa pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan Iptek.[75] Iptek merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia. Masa lampau, manusia purba senantiasa menghadapi kekuasaan alam yang mendominasi kehidupan. Berkat perkembangan iptek, hubungan kekuasaan antara manusia dan alam itu dapat dikatakan terbalik. Alam kini di bawah kekuasaan manusia.
Pada setiap perkembangan Iptek hendaknya harus diakomodasi oleh pendidikan dengan segera memasukkan hasil pengembangan Iptek ke dalam bahan ajar. Dengan perkembangan Iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin komplek, maka pendidikan dengan segala aspeknya mau tidak mau mangakomodasi perkembangan itu, baik perkembangan Iptek maupun perkembangan masyarakat. Konsekuensi perkembangan pendidikan menyebabkan penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja serta pemantapan pengelolaan haruslah dilakukan dengan memanfaatkan Iptek, karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka banyak teknologi dari berbagai bidang ilmu segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, atau kemajuan segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan.
I.    Azas Pendidikan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus di Indonesia, terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut antara lain;
1.  Asas Tut wuri Handayani
Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf-veschikkingsrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan dalam peri kehidupan umum. Asas Tut Wuri Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari jalan sendiri dan jika anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya.[76]
Sebagai asas pertama, Tut Wuri Handayani merupakan inti dari sistem among perguruan, di mana guru memperoleh sebutan pamong yang berdiri di belakang dengan semboyan tut wuri handayani. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono (fisuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso (Raka Joni, et. Al., 1985:38; Wawasan kependidikan Guru, 1982: 93). Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberi contoh), Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat), dan Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan). Semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yakni: a. Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh), b. Ing madya mangun karsa (jika di tengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan c. Tut wuri handayani (jika di belakang, mengikuti dengan awas).[77]
2.  Asas Belajar sepanjang hayat
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Dikenal dengan belajar sepanjang hayat. Kedua istilah ini memang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah belajar adalah perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif tetap karena pengaruh pengalaman, sedang istilah pendidikan menekankan pada usaha sadar dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien efektif, sebagai lingkungan yang membelajarkan subjek didik.
Selanjutnya pendidikan sepanjang hayat didefinisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan perstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan perstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai yang paling tua. Pendidikan sepanjang hayat bukan merupakan pendidikan yang berstruktur namun suatu prinsip yang menjadi dasar dalam menjiwai seluruh organisasi system pendidikan yang ada. Dengan kata lain pendidikan sepanjang hayat menembus batas-batas kelembagaan, pengelolaan dan program yang telah berabad-abad mendesakkan diri pada system pendidikan.
Ditinjau dari pendidikan sekolah, rancangan dan implementasi program belajar mengajar untuk mendorong belajar sepanjang hayat, dengan terbentuknya manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar. Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi;  
Pertama, Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan.
Kedua, Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh sebagaimana gambaran manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia; a) Mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian sepanjang hidupnya, b) Mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan yang ditawarkan dapat bersifat formal, informal dan non formal, c) Mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka pengembasngan pribadi secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan d) Mendapat kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989.
Pendidikan seumur hidup. UNESCO Institute for Education menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus; a) Meliputi seluruh hidup setiap individu, b) Mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya, c) Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, d) Meningkatkan kemampuan dan motivasi utnuk belajar mandiri, e) Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non formal dan informal.
Terkait dengan pendidikan, maka kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi berikut; Pertama, Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Disamping keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang; 1) Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum, 2) Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan; Kurikulum seyogianya memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta didik justru akan hidup dalam sosial-kebudayaan yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya, 3) The forecasting curriculum yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis, baik tentang prilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan, 4) Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu, 5) Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya, 6) Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar, dan demikian seterusnya, 7) Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan sebagainya.
Kedua, Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah antara lain: 1) Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoritis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan-persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah, 2) Memperluas kegiatan belajar  ke luar sekolah; kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, seingga kegiatan belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah, 3) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan mengguanakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan meberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society). Dengan kata lain, akan terwujudlah gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.
Asas belajar sepanjang hayat (life long education), mulai populer pada tahun 1979, yang dikemukakan UNESCO yang terkenal dengan life long education. Pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus; 1) Seluruh hidup setiap individu; 2) Merupakan pembentukka, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesorang; 3) Mengembangkan penyadaran diri; 4) Meningkatkan kemampuan motivasi untuk belajar mandiri; 4) Asas Kemandirian dalam Belajar (Self Regulated Learning) Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asa kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan ketika diperlukan. Selanjutnya asa sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena tidak mungkin seorang belajar sepanjang hayatnya jika selalu tergantung dari bantuan guru atau orang lain.
3.  Azas Kemandirian dalam Belajar
Asas ini tidak dapat dipisahkan dari 2 asas tut wuri handayani dan belajar sepanjang hayat. Implikasi dari asas ini adalah pendidik harus menjalankan peran komunikator, fasiltator, organisator, dsb. Pendidik diharapkan dapat menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta didik berinteraksi dengan sumber belajar tersebut. 
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar menempatkan guru dalam peran utama sebagai; 1) Fasilitator, yaitu guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sehingga memudahkan peserta didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut; 2) Motivator, yaitu guru mengupayakan timbulnya prakarsa sisik untuk memanfaatkan sumber belajar; 3) Organisator, yaitu guru mempunyai suatu tugas untuk mengorganisasikan peserta didiknya guna memudahkan dalam proses belajar yang akan dijalaninya; 4) Informator, yaitu guru sebagai salah satu sumber atau pemberi informasi guna membantu para peserta didiknya dan memudahkan dalam proses belajar.
Asas Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktifitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran.
Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah  sebagai berikut; a) Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri, b) Peran kemauan dan motivasi dalam belajar mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison), c)  Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).[78]
Haris Mujiman, menyebutkan belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar dan upaya pencapaiannya baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar dilakukan oleh siswa sendiri.[79] Asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan jika didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu belajar mandiri.
Beberapa jenis kegiatan belajar mandiri sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemandirian dalam proses belajar tersebut seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram dan sebagainya. Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001 dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah pertama dan menengah atas maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa.
 Pada tingkat Perguruan Tinggi, istilah SKS (Sistem Kredit Semester) merupakan pelaksanaan asas kemandirian dalam belajar bagi mahasiswa. Mahasiswa dituntut dapat mengembangkan materi yang telah diajarkan di kampus bersama dosen sehingga pengetahuan dan pemahamannya dapat berkembang dan luas. Jika menemukan hal-hal yang kurang dipahami dalam pembelajaran maka dapat mendiskusikan bersama dengan dosen yang mempunyai keahlian dan kemampuan dalam hal-hal yang kurang dimengerti tersebut. Sehingga asas kemandirian belajar berlaku bagi semua yang dengan usaha dan kemauan sendiri untuk belajar, baik secara formal maupun non formal.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebaga fasilitator dan motivator, di samping peran lain seperti Informator dan organisator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta didik berinterkasi dengan sumber tersebut.
Terdapat berbagai strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi peluang pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut mengambil prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja.
Di samping itu, beberapa jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemandirian dalam belajar itu, seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhan upaya itu akan dapat terlaksana dengan semestinya apabila setiap lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. Seperti diketahui, PSB itu memberi peluang tersedianya berbagai jenis sumber belajar, di samping bahan pustaka di perpustakaan, seperti rekaman elektronik, ruang-ruang belajar (tutorial) sebagai mitra kelas. Dengan dukungan PSB itu asas-asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.
4. Azas semesta, menyeluruh dan terpadu
Asas semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta artinya pendidikan itu terbuka untuk seluruh rakyat, menyeluruh artinya mencakup semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Terpadu artinya saling berkaitan antara pendidikan dengan pembangunan nasional. Asas semesta, menyeluruh dan terpadu yang berarti bahwa pendidikan nasional terbuka bagi setiap manusia Indonesia.
5.  Azas manfaat adil dan merata
Asas adil dan merata yang berarti bahwa semua kepentingan berbagai pihak harus mendapat perhatian dan perlakuan yang seimbang. Asas manfaat berarti pendidikan harus mengingat kemanfaatanya bagi masa depan peserta didik, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama.  Asas manfaat, adil dan merata yang meliputi asas nondiskriminatif, yang memandang manusia Indonesia seutuhnya tanpa diskriminasi, baik atas dasar kesukuan, daerah, keturunan, derajat, jenis kelamin dan kekayaan maupun atas dasar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahasa Esa.
6Azas Tanggung jawab bersama
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh negara yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, kemudian dalam batang tubuh UUD 1945 salah satu pasal yang juga menyatakan Tiap–tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.  Asas tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Asas pendidikan berlangsung dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.
Terkait pendidikan, maka tidak terlepas dari adanya guru dan siswa, interaksi antara guru dan siswa selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, guru melaksanakan tugas sesuai hak dan kewajibannya, namun perlu diketahui bahwa tugas guru adalah sangat berat, karena di samping mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru juga harus mendidik siswa agar dapat berkembang secara seimbang antara jasmani dan rohani, mendidik siswa berarti pula ikut membantu mendewasakan dan mematangkan jiwa anak, membentuk mental yang baik sehingga anak tersebut dapat berbudi pekerti yang luhur dan mampu membawa diri dengan baik sampai akhirnya dapat berguna bagi kepentingan bangsa dan negara.
Jika semua elemen masyarakat dapat menghormati dan menghargai profesi guru, orang tua siswa harus menyadari bahwa mendidik anak bukanlah persoalan yang mudah, apalagi di zaman globalisasi seperti sekarang ini, maka sepantasnyalah pendidikan ini menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah, sehingga orang tua tidak bisa melempar kesalahan begitu saja kepada sekolah atau guru jika terjadi sesuatu pada anaknya, selama semua masih dalam kerangka pendidikan dan tidak melanggar aturan yang berlaku.
Adapun azas-azas pelaksanaan pendidikan nasional yang lain yaitu; 1) Asas semesta, menyeluruh dan terpadu, yang berarti bahwa pendidikan nasional terbuka bagi setiap manusia Indonesia, mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan dan merupakan satu kesatuan usaha sadar yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan usaha pembangunan banga. 2) Asas pendidikan seumur hidup. 3) Asas tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. 4) Asas pendidikan berlangsung dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. 5) Asas keselarasan dan keterpaduan dengan ketahanan nasional dan wawasan nusantara. 6) Asas Bhineka Tunggal Ika. 7) Asas keselarasan, keseimbangan dan keserasian. 8) Asas ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, yang berarti bahwa seorang pendidik harus memberi teladan di depan, memberi motivasi di tengah, dan mengawasi dari belakang. 9) Asas mobilitas, efisiensi, dan efektivitas, yang memungkinkan pengadaan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap manusia Inndonesia. 10) Asas kepastian hukum, yang berarti bahwa sistem pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar peraturan perundang-undangan.
J.  Aliran Pendidikan
Pendidikan merupakan aspek strtegis dan sangat penting dalam membangun karakter manusia. Pendidikan merupakan aspek luar yang membangun keterampilan dan kemampuan manusia lain. Fase-fase tersebut dapat terlihat dari aliran pendidikan yang muncul, mulai dari aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Masing-masing aliran menyampaikan kelebihan dan kekurangan serta peran masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai berikut;
Pertama, Nativisme. Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Kata nativisme berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti terlahir.[80] Dalam wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa nativisme adalah aliran pendidikan yang berpandangan bahwa keterampilan atau kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir.
Dalam ilmu kebahasaan aliran nativis, Douglas Brow mengungkapkan bahwa istilah nativis diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang mempengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri manusia.[81] Teori nativis dalam penerimaan bahasa pertama yang diungkapkan oleh Douglas Brow ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan teori nativisme dalam pendidikan yang dipelopori oleh filosof Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860). Arthur Schopenhauer (Blog Swandika 2011) beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar ataupun pendidikan.[82]
Arthur Schaupenhaur (Blog Swandika 2011) menyatakan yang jahat menjadi jahat dan yang baik menjadi baik.[83] Pandangan ini sebagai lawan dari aliran empirisme atau optimisme yaitu pendidikan pesimisme memberikan dasar bahwa suatu keberhasilan ditentukan oleh faktor pendidikan, ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Schaupenhaur (Idris, 1987) juga berpendapat bahwa mendidik ialah membiarkan seseorang bertumbuh berdasarkan pembawaannya.[84] Jadi, menurut aliran ini, pengetahuan seseorang sepenuhnya dipengaruhi oleh pembawaan lahir dan gen yang diturunkan oleh kedua orang tua. Pendidikan yang diberikan haruslah disesuaikan dengan bakat dan pembawaan anak didik itu sendiri. Teori ini percaya bahwa lingkungan pendidikan maupun lingkungan sekitar yang telah direkayasa oleh orang dewasa tidak berpengaruh terhadap tumbuh kembang pengetahuan manusia. Dengan kata lain aliran ini menekankan bahwa pemerolehan pengetahuan manusia hanya berasal dari dalam (internal). Pembawaan lahir itu ada yang baik ada pula yang buruk. Manusia tumbuh dan berkembang membawa segala hal sejak lahir. Dan mereka berkembang sesuai arahnya masing-masing. Sedangkan pendidikan tidak mempengaruhi apa-apa.
Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Berarti aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir, jadi perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh keturunan. Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
Kedua, Empirisme. Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri=pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Menurut Zahra dan Idris empirisme berasal dari Bahasa latin empericus artinya pengalaman.[85] John Lock seorang filsuf dari Inggris (Purwanto, 2000) berpandangan bahwa empirisme, adalah aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui indra.[86] Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul Essay Concerning Human Understanding, mengatakan bahwa tak ada sesuatu dalam jiwa, yang sebelumnya tak ada dalam indera. Dengan kata lain: Tak ada sesuatu dalam jiwa, tanpa melalui indra.[87] Pendapat ini sebetulnya telah jauh dikemukakan oleh Plato (Husaini et. al., 2013) yang menyatakan bahwa ada dua cara untuk mengajarkan atau mengenalkan pengetahuan. Pertama adalah pengenalan indrawi (empiris), dan kedua adalah pengenalan melalui akal (rasional).[88] John Lock (Purwanto, 2000) sebagai tokoh utama dari aliran ini, mengatakan bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas putih yang kosong dan yang belum ditulisi, atau lebih dikenal dengan istilah teori tabulara (a sheet of white paper avoid of all characters).[89] Menurut aliran ini anak-anak yang lahir ke dunia tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa seperti kertas putih yang polos. Oleh karena itu anak-anak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orang dewasa yang memberikan warna pendidikannya. Sesuai Idris Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan anak yang dibawa semenjak lahir tidak dianggap penting. Selain itu, Aliran ini juga berpandangan bahwa perkembangan seseorang tergantung seratus persen kepada pengaruh lingkungan atau kepada pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya.[90]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, dan empirisme dan dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut.
Ketiga, Naturalisme. Aliran Naturalisme merupakan aliran yang menyakini adanya pembawaan dan juga milieu (lingkungan). Namun demikian, ada dua pandangan besar mengenai hal ini. Pertama, disampaikan oleh Rousseau yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia baik, namun jika ada yang jahat, itu karena terpengaruh oleh lingkungannya. Kedua, Mensius berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu jahat. Jika menjadi manusia yang baik karena bergaul dengan lingkungannya.[91]
Dua pendapat ini jelas memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Satu sisi memandang sisi jahat manusia bersumber dari lingkungan, sementara pendapat lain menyatakan bahwa sisi jahat itu sendiri yang justru berada pada diri manusia. Namun, jika memperhatikan dua pendapat ini memiliki sisi kebenaran yang sama jika ditilik dari sudut genetis. Memang, jika melihat faktor ini. Manusia yang secara genetis tidak baik, maka menjadi manusia yang tidak baik, begitupun sebaliknya.
Kata naturalisme berasal dari bahasa Latin yaitu nature artinya alam, tabiat dan pembawaan. Zahara, mengatakan Aliran ini dinamakan juga negativisme ialah aliran yang meragukan pendidikan untuk perkembangan seseorang karena dia dilahirkan dengan pembawaan yang baik. Ciri utama aliran ini ialah dalam mendidik seseorang kembalilah kepada alam agar pembawaan seseorang yang baik itu tidak di rusak oleh pendidik.[92] Dengan kata lain pembawaan yang baik itu supaya berkembang secara spontan. Hampir senada dengan aliran Nativisme.
Menurut Ngalim Purwanto, menyebutkan pada hakikatnya semua anak (manusia) itu dilahirkan adalah baik.[93] Sependapat dengan Undang Ahmad, menjelaskan bahwa sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik. Hasil perkembangannya yang kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang memengaruhinya. Jika pengaruh itu baik, maka jadilah baik, tetapi jika pengaruh itu jelek, maka jelek pula hasilnya.[94] Jadi Aliran ini berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam (manusia dan lingkungan). Sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas.
Aliran ini mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaan, kemampuan- kemampuannya, dan kecenderungan- kecenderungannya. Tetapi seperti telah diketahui, bahwa gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini ternyata tidak terbukti, sebaliknya pendidikan makin lama makin diperlukan.
Menurut paham naturalisme paling tidak ada lima tujuan pendidikan, kelima pendapat itu disampaikan oleh Spencer (Sudrajat,2013); 1) Pemeliharaan diri; 2) Mengamankan kebutuhan hidup; 3) Meningkatkan anak didik; 4) Memelihara hubungan sosial dan politik; 5) Menikmati waktu luang.[95] Berarti aliran naturalisme ini mementingkan manfaat pendidikan dengan menjadikan pemeliharaan diri menjadi faktor utama yang kemudian disusul dengan kebutuhan hidup. Kedua faktor tersebut tercapai jika faktor ketiga secara maksimal dilaksanakan. Agar maksimal maka faktor keempat dan kelima yang kemudian menjadi perhatian dalam melakukan pendidikan.
Selanjutnya Spencer (Sudrajat, 2013), ada enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah: 1) Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; 2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; 3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; 4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; 5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; 6) Praktik mengajar adalah seni menunda; 7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; dan 8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.[96] Dengan demikian hal ini dilakukan atas dasar, bahwa anak memiliki potensi insaniyah yang memungkinkan untuk dapat berkembang secara alamiah. Adapun tokoh naturalisme ini adalah J.J. Rousseau (1712-1778) dan Schopenhauer (1788-1860 M). Kedua tokoh ini, merupakan tokoh yang sering dikutip pendapatnya berkaitan dengan naturalisme.
Keempat, Konvergensi. Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern. Gagasan ini didasari pada dua teori sebelumnya, yakni; nativisme dan empirisme. Maksudnya bahwa konvergensi merupakan gabungan antara kedua teori tersebut. Hal ini dapat ditilik dalam teori konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu bergantung pada faktor bakat/ pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman/ pendidikan.[97] Jika diidentifikasi teori tersebut, maka jelas bahwa unsur nativisme dan empirisme membangun kedua teori itu. Hal itu tercermin pada, faktor bakat merupakan gagasan teori nativisme sedangkan faktor lingkungan merupakan gagasan empirisme.
Menurut Zahara, konvergensi berasal dari bahasa Inggris dari kata convergenry, artinya pertemuan pada satu titik. Aliran ini mempertemukan atau mengawinkan dua aliran yang berlawanan di atas antara nativisme dan empirisme. Perkembangan seseorang tergantung kepada pembawaan dan lingkungannya.[98] Dengan kata lain pembawaan dan lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang. Pembawaan seseorang baru berkembang karena pengaruh lingkungan. Hendaknya pendidik dapat menciptakan lingkungan yang tepat dan cukup kaya atau beraneka ragam, agar pembawaan dapat berkembang semaksimal mungkin.
William Stern (Purwanto, 2000) ahli ilmu jiwa sekaligus pelopor aliran konvergensi berbangsa Jerman ini mengatakan bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia.[99] Selanjutnya Ngalim Purwanto mengatakan tentang pendapat W.Stern aliran ini terdapat dua aliran, yaitu aliran yang dalam hukum konvergensi ini lebih menekankan kepada pengaruh pembawaan daripada pengaruh lingkungan dan di pihak lain mereka yang lebih menekankan pengaruh lingkungan atau pendidikan, sehingga belum tepat kiranya hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia.[100] Selanjutnya Ngalim Purwanto memberikan saran kepada pendidik dalam mencari jalan untuk mengetahui pembawaan seseorang dan kemudian mengusahakan lingkungan atau pendidikan yang baik dan sesuai. Perkembangan manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan lingkungannya melainkan manusia harus diperkembangkan dan memperkembangkannya.[101] Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu anak tersebut dilahirkan tidak mungkin berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai dengan perkembangan bakat anak itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak itu tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk dikembangkannya.
Ada tiga teori konvergensi yang terkenal yang disampaikan oleh Stern, yakni; 1) Pendidikan mungkin dilaksanakan; 2) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah  berkembangnya potensi yang kurang baik; 3) Yang membatasi hasil pendidikan  adalah pembawaan dan lingkungan. Pandangan konvergensi ini tentu saja memberi arah yang jelas mengenai pentingnya pendidikan.[102] Dengan demikian, Bahwa, pendidikan harus selalu dilakukan agar potensi anak dapat ditingkatkan. Sehingga bakat yang ada semakin terasa, sementara kompetensi lainpun ikut diasah.

K. Teori dan Pilar Pendidikan
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan praktik-praktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses belajar-mengajar dan manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum dan rencana pembelajaran disusun dengan mengacu pada teori pendidikan. Ada 4 (empat) teori pendidikan, yaitu; (1) pendidikan klasik, (2) pendidikan personal, (3) teknologi pendidikan dan (4) pendidikan interaksional.
1.      Teori Pendidikan
a.  Tori Pendidikan Klasik (Classical Education).
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme, essensialisme, dan eksistensialisme, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
b.      Teori Pendidikan Personal (Personalized Education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya Francis Parker dan John Dewey memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan personal menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis, yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).
3.  Teori Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi pendidikan, yang lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa objek dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vokational. Isi disusun dalam bentuk disain program atau disain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika, dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Fungsi Guru sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik. Pembelajaran dilakukan melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun media elektronik, sehingga pebelajar dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.
4.  Teori Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerjasama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerjasama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial. Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan atau gangguan yang dihadapia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.
L.      Pilar-pilar Pendidikan
Menurut Suwarno menyebutkan ada 5 (lima) pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan.[103]
1.      Learning to know
Learning to know bukan sebatas proses belajar di mana pebelajar mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transcendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.
2.      Learning to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong” (baca: teori) dan kurang menuntun orang untuk “berbuat” (praktik). Learning to do bukanlah pembelajaran yang hanya menumbuhkembangkan kemampuan berbuat mekanis dan keterampilan tanpa pemikiran; tetapi mendorong peserta didik agar terus belajar menumbuhkembangkan kerja, juga mengembangkan teori atau konsep.
3.      Learning to be
Melengkapi learning to know dan learning to do. Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerjasama atau dengan kata lain manusia saling tergantung dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan waktu jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4.      Learning to live together
Learning to live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi manusia berpendidikan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia. Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok individu yang bervariasi membentuk kepribadian pebelajar untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.



5.      Learning how to learn
Proses belajar tidak boleh berhenti begitu saja meskipun seorang pebelajar telah menyelesaikan sekolahnya. Manusia hidup pada hakekatnya adalah berhadapan denganb masalah. Setiap manusia dituntut untuk menyelesaikan masalah. Satu masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab. Oleh karena itu, learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif dan efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat adalah learning society atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar terus- menerus.
Learning how to learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari model belajar menghafal menjadi model belajar mencari/ meneliti. Asumsi yang digunakan dalam model belajar “menghafal” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar “menghafal” ini adalah penerima pelajaran, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar “mencari/meneliti”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidikan dituntut membimbing, memotivasi, menfasilitasi, memprovokasi dan menelusuri.
M. Lingkungan Pendidikan
Pendidikan merupakan faktor penting dan bermanfaat bagi kehidupan dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa. Kegiatan pendidikan di manapun berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu, baik lingkungan yang berhubungan dengan ruang maupun waktu. Lingkungan memberikan pengaruh terhadap perkembangan peserta didik. Pengaruh yang diberikan oleh lingkungan ada yang bersifat sengaja dan ada tidak sengaja. Artinya lingkungan tidak ada kesengajaan tertentu di dalam memberikan pengaruhnya kepada perkembangan anak.
Ada tiga macam lingkungan, menurut tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut pendidikan berlangsung agar dapat memberikan pengaruh yang positif kepada perkembangan anak didik, maka hendaknya kita usahakan sedemikian rupa sehingga masing-masing lingkungan senantiasa memberikan pengaruhnya yang baik.
Setiap manusia pasti memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman. Sesuai Indrakusuma menyebutkan pengalaman itu terjadi karena adanya interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangannya. Dengan kata lain lingkungan pendidikan merupakan latar tempat berlangsungnya pendidikan.[104]
Lingkungan pendidikan dapat berupa benda, orang, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar peserta didik yang bisa memberikan pengaruh kepada perkembangannya, baik secara tidak langsung ataupun langsung, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Disamping lingkungan memberikan pengaruh dan dorongan, lingkungan juga arena yang memberikan kesempatan kepada kemungkinan-kemungkinan atau potensi (pembawaan) yang dimiliki seorang anak untuk berkembang.
Menurut Tirtarahardja fungsi lingkungan pendidikan adalah untuk membantu peserta didik dalam berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya (fisik/sosial/budaya) dan mengajarkan tingkah laku umum serta menyeleksi atau mempersiapkan individu untuk peranan-peranan tertentu.[105] Sepanjang kehidupannya manusia selalu memperoleh pengaruh atau pendidikan dari tiga tempat, yaitu; keluarga, sekolah dan masyarakat.  Ketiga tempat berlangsungnya pendidikan ini disebut dengan tri pusat pendidikan, yaitu;
Pertama, Lingkungan Keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang mula-mula dan terpenting. Sering juga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama karena memang orang tua dalam keluargalah yang terutama memiliki tanggung jawab atas pendidikan anak kandungnya. Menurut kodratnya orang tua harus mendidik anak-anaknya, terdorong oleh suatu insting, yaitu rasa cinta yang asli terhadap keturunannya.
Menurut Indrakusuma, pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga, oleh karena itu tugas utama keluarga dalam pendidikan anak adalah peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar berasal dari pendidikan kedua orang tuanya dan anggota keluarga yang lain.[106]
Keluarga juga membina dan mengembangkan perasaan sosial anak, seperti rasa tenggang rasa, suka menolong, hidup damai, kerjasama, kegotongroyongan, kepekaan dan sebagainya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan aspirasi anak, maka keluarga menyerahkan sebagian peran/tanggungjawabnya kepada jalur pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (kursus, kelompok belajar, dsb). Peran jalur pendidikan formal (sekolah) semakin lama semakin penting, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan aspek kognitif (pengetahuan) dan skill/ psikomotorik (ketrampilan). Hal ini tidak berarti bahwa keluarga dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan anaknya, diharapkan keluarga lebih banyak bekerja sama dan mendukung kegiatan pusat/ lingkungan pendidikan lainnya (sekolah dan masyarakat).
Kedua, Lingkungan Sekolah. Lingkungan sekolah disebut juga lingkungan kedua yang didirikan oleh masyarakat atau negara untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah tidak mampu lagi memberi bekal persiapan hidup bagi anaknya. Sehingga pendidikan di sekolah berperan sebagai bagian dan lanjutan dari pendidikan keluarga, serta merupakan jembatan yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.[107]
Untuk mempersiapkan anak agar hidup dengan cukup bekal kepandaian dan kecakapan dalam masyarakat yang modern, telah tinggi kebudayaannya seperti sekarang ini, anak-anak tidak cukup hanya menerima pendidikan dan pengajaran dari lingkungan keluarganya saja. Maka dari itu, masyarakat atau negara mendirikan sekolah-sekolah. Kehidupan dan pergaulan di lingkungan sekolah sifatnya lebih tegas dan lugas, harus ada ketertiban dan peraturan-peraturan tertentu yang harus dijalankan oleh peserta didik dan pendidikan. Pendidikan etika juga diberikan di sekolah, namun hanya merupakan bantuan terhadap pendidikan budi pekerti yang telah dilaksanakan oleh keluarga, karena tujuan dan tanggung jawab utama sekolah membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan dalam kehidupannya di masyarakat.[108] Sekolah sebagai pusat pendidikan adalah sekolah yang mencerminkan masyarakat yang maju karena pemanfaatan secara optimal ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu.
Ketiga, Lingkungan Masyarakat. Masyarakat yang berperan aktif dalam bidang pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Kelompok ini berupa organisasi-organisasi pendidikan, sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan sebagainya. Semua kelompok ini perlu dilibatkan secara aktif dalam membantu dan mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengelola atau pihak sekolah hendaknya mampu menganalisis kelompok masyarakat mana yang bisa dilibatkan dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Dari ketiga macam pengaruh lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), kiranya lingkungan masyarakatlah yang cukup sulit dirancang agar selalu memberikan pengaruhnya yang baik untuk perkembangan anak didik. Karena lingkungan masyarakat itu sangat luas dan banyak berbagai pihak yang berperan dalam masyarakat tersebut, sehingga memerlukan pengawasan dan pengontrolan yang lebih agar suasana lingkungan masyarakat dapat memberikan pengaruh yang baik bagi pendidikan anak.
Sebagai gambaran dibawah ini disajikan skema tentang keterlibatan berbagai pihak dalam School District di Amerika menurut Hoy & Miskel.[109]

 


Unruh (1974) mengelompokkan masyarakat menurut hubungannya dengan sekolah. Yaitu; (1) Immadiate (pihak yang sangat cepat berhubungan dengan sekolah yaitu siswa, guru, dan orang tua siswa); (2) Associated (pihak yang tertarik pada sekolah); (3) Disassociated (pihak yang tidak tertarik dengan sekolah); dan (4) Institusionalized (lembaga umum).[110]
Hubungan sekolah/ madrasah dengan tri pusat pendidikan. Tri pusat pendidikan hanya dapat dibahas terpisah-pisah secara teoritis, namun realitanya secara simultan dan terpadu saling memberikan pengaruh timbal-balik dan tidak dapat dipilah-pilah. Buku ini lebih menyoroti/ membahas tentang keterkaitan hubungan sekolah, sebagai bagian dari tri pusat pendidikan, dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Hubungan pengaruh timbal balik antara tingkat partisipasi masyarakat dengan kualitas proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah, menuntut adanya jalinan hubungan yang harmonis antara sekolah dengan masyarakat. Jalinan hubungan yang dimaksud, realisasinya bisa diwujudkan di dalam berbagai bentuk dan jalinan. Beberapa bentuk atau cara yang telah dikenal, adalah: open door politics, atau pemberian kesempatan kepada orang tua murid berkunjung ke sekolah untuk membicarakan masalah khusus yang terjadi pada anaknya; home visiting atau kunjungan sekolah ke rumah murid; penggunaan resources persons, kunjungan sekolah ke objek-objek tertentu di masyarakat, pertemuan antara orang tua murid dan warga sekolah, serta pengadaan serta mengefektifkan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Menurut Hymes (Indrafachrudi, 1994) teknik penyelenggaraan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu; 1) Pertemuan kelompok, berupa seminar, lokakarya, sarasehan, dsb. Ragam unsur masyarakat yang dilibatkan di dalam kegiatan ini tergantung dari tema yang sedang dibahas; 2) Tatap muka, pihak sekolah dapat memanggil orang tua siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kemampuan lebih, yang perlu pembinaan bersama agar kemampuannya dapat berkembang secara maksimal; 3) Observasi dan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah, agar masyarakat tersebut mengetahui secara langsung hambatan dan faktor pendukung penyelenggaraan pendidikan, mengetahui keberhasilan sekolah, sehingga diharapkan bersedia membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah; dan 4) Surat menyurat dengan berbagai pihak yang dapat dikaitkan dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Seiring dengan perkembangan teknologi, sekolah dapat menerapkan teknik ini dengan menggunakan alat-alat komunikasi berupa telepon, fax, internet, e-mail.[111]
Dengan adanya kerja sama tersebut, para guru akan dapat memperoleh keterangan-keterangan dari orang tua tentang kehidupan dan sifat anak-anaknya yang sangat besar gunanya bagi guru dalam memberikan pelajaran dan pendidikan terhadap murid-muridnya. Sebaliknya, orang tua juga memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya sehingga dapat mengetahui kesulitan-kesulitan manakah yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah. Orang tua dapat mengetahui apakah anaknya itu rajin, malas, bodoh, suka mengantuk atau pandai. Dengan demikian, orang tua dapat menjauhkan pandangan dan pendapat yang keliru sehingga terhindarlah salah pengertian yang mungkin timbul antara keluarga dan sekolah.
Maisyaroh, mengelompokkan masyarakat secara umum, yaitu: 1) Masyarakat orang tua, adalah gabungan dari orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah tertentu; 2) Masyarakat yang terorganisasi dalam organisasi tertentu; dan 3) Masyarakat luas yang terdiri dari individu-individu yang tidak terkait secara langsung terhadap penyelenggaraan program pendidikan.[112]
Kenyataan di Indonesia, dari sekian kelompok tersebut yang paling aktif peranannya adalah masyarakat, orang tua siswa. Sedangkan masyarakat terorganisasi dan masyarakat luas sudah berperan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan namun masih belum optimal. Perhatian orang tua itupun hanya ditujukan pada lembaga pendidikan tempat anaknya bersekolah, sementara lembaga pendidikan yang lain di luar perhatiannya.
Kelompok terorganisasi di Indonesia yang bisa diajak kerjasama antara lain anggota kelompok dari pengelola perusahaan, DPR, dewan pendidikan, komite sekolah, majelis madrasah, kelompok layanan kesehatan, kelompok agama, pengelola televisi, radio, bank, kantor pos/giro dan LSM.
Wujud kerjasama sekolah dengan kelompok terorganisasi di atas berupa pemberian beasiswa, pembangunan gedung dan pembelian fasilitas sekolah, peningkatan kemampuan kepala sekolah, guru dan pegawai sekolah (pelatihan, seminar dan lokakarya), bantuan pengembangan pembelajaran, bantuan publikasi dan penayangan kegiatan sekolah. Pelaksanaan kerjasama ini menuntut pihak sekolah lebih proaktif dalam menjalin kerjasama sehingga kelompok terorganisasi yang ada mau dan berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kualitas sekolah.
Sekolah juga perlu mewaspadai kemungkinan usaha-usaha negatif dari kelompok yang bersedia diajak kerjasama, tetapi berusaha untuk mengeksploitasi keberadaan sekolah serta berusaha mengeritik dan menyerang sekolah dengan tujuan untuk menjatuhkan kebijakan sekolah. Misalnya suatu perusahaan bersedia menjadi donatur penyelenggaraan suatu sekolah dengan syarat agar siswa mau menggunakan produk perusahaan tersebut, sementara produk tersebut kalau dikonsumsi siswa dapat membahayakan perkembangannya, dapat merusak masa depan siswa. Kalau terjadi usaha-usaha yang demikian maka pihak sekolah, dalam hal ini pimpinan sekolah, perlu tanggap dengan cara menganalisis motif di balik pemberian dana tersebut dan memecahkan masalahnya secara bijaksana.
Peningkatan kontribusi setiap pusat pendidikan terhadap perkembangan peserta didik memerlukan keserasian serta kerja sama yang erat dan harmonis antar tripusat pendidikan (lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat). Berbagai upaya perlu dilakukan agar program pendidikan di setiap pusat pendidikan tersebut saling mendukung dan memperkuat satu dengan lainnya.
Dalam lingkungan keluarga telah diupayakan berbagai hal (seperti perbaikan gizi, permainan edukatif) yang dapat menjadi ladasan untuk pelaksanaan pengembangan pendidikan selanjutnya di sekolah dan masyarakat. Pada lingkungan sekolah diupayakan berbagai hal yang lebih mendekatkan hubungan sekolah dengan orang tua siswa, misalnya melalui organisasi orang tua siswa, kunjungan guru ke rumah orang tua murid atau sebaliknya kunjungan orang tua murid ke sekolah.
Sekolah juga mengupayakan agar programnya berkaitan erat dengan masyarakat sekitarnya (seperti menerjunkan siswa ke masyarakat, mendatangkan nara sumber dari masyarakat ke sekolah). Akhirnya lingkungan masyarakat mengusahakan berbagai kegiatan atau program yang menunjang serta melengkapi program pendidikan di lingkungan keluarga dan sekolah. Dengan adanya kontribusi tripusat pendidikan yang saling memperkuat dan saling melengkapi tersebut, maka diharapkan akan memberikan peluang untuk mewujudkan sumber daya manusia terdidik yang bermutu.
N.     Sistem Pendidikan Nasional
Menurut Idris, sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen, elemen atau unsur sebagai sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekedar acak, yang saling membantu untuk mencapai suatu hasil (product).[113] Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Istilah sistem dipakai untuk menunjukkan beberapa pengertian, salah satunya adalah sistem dapat dipakai untuk menunjukkan sehimpunan gagasan atau ide yang tersusun dan terorganisasi sehingga membentuk suatu kesatuan yang logis.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau jenjang, kurikulum dan peralatan/ fasilitas.[114] Sistem pendidikan adalah jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerjasama untuk mencapai hasil yang diharapkan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan. Setiap sistem pasti mempunyai tujuan dan semua kegiatan dari semua komponen atau bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk tercapainya tujuan terebut. Karena itu, proses pendidikan merupakan sebuah sistem, yang disebut sebagai sistem pendidikan.[115]
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, menyangkut 3 (tiga) unsur pokok yaitu; 1) Unsur masukan ialah peserta didik dengan berbagai ciri yang ada pada diri peserta didik (bakat, minat, kemampuan, keadaan jasmani); 2) Unsur usaha adalah proses pendidikan yang terkait berbagai hal, seperti pendidik, kurikulum, gedung sekolah, buku, metode belajar; 3) Unsur hasil uasaha adalah hasil pendidikan yang meliputi hasil belajar (pengetahuan, sikap dan keterampilan) setelah selesainya suatu proses belajar mengajar tertentu.
Pendidikan merupakan proses dan alat mewariskan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda. Pendidikan nasional merupakan proses dan alat mewariskan kebudayaan nasional. Manusia Indonesia terbina oleh tata nilai sosio-budayanya sendiri dan manusia Indonesia merupakan pewaris dan penerus tata nilai tersebut. Oleh karena itu, sosio-budaya harus dijadikan dasar dalam proses pendidikan.[116]
Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional merupakan suatu supra sistem, yaitu suatu sistem yang besar dan kompleks, yang didalamnya tercakup beberapa beberapa bagian yang juga merupakan sistem-sistem.[117] Satuan dan kegiatan pendidikan yang ada merupakan sistem pendidikan yang terdiri dari sistem pendidikan tergabung secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional, yang secara bersama berusaha mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara teoritis, sistem pendidikan terdiri dari komponen yang menjadi inti dari proses pendidikan. Menurut P.H. Combs (1982) komponen pendidikan yaitu; 1) Tujuan dan Prioritas. Fungsinya mengarahkan kegiatan sistem. Hal ini merupakan informasi tentang apa yang hendak dicapai oleh sistem pendidikan dan urutan pelaksanaannya.Contohnya ada tujuan umum pendidikan, yaitu tujuan yang tercantum dalam peraturan perundangan negara, yaitu tujuan pendidikan nasional, ada tujuan institusional yaitu tujuan lembaga tingkat pendidikan dan tujuan program, seperti; S1, S2, S3 dan tujuan kulikuler, yaitu tujuan setiap suatu mata pelajaran/ mata kuliah. Tujuan yang terakhir ini dibagi dua yaitu tujuan pengajaran umum (instrusional umum) dan tujuan pengajaran khusus (instruksional khusus); 2) Peserta Didik. Fungsinya ialah belajar. Diharapkan peserta didik mengalami proses perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan sistem pendidikan. Contohnya, berapa umurnya, berapa jumlahnya, bagaimana tingkat perkembangannya, pembawaannya, motivasinya untuk belajar dan sosial ekonomi orang tuanya; 3) Manajemen atau Pengelolaan. Fungsinya mengkoordinasikan, mengarahkan dan menilai sistem pendidikan. Komponen ini bersumber pada sistem nilai dan cita-cita yang merupakan pola kepemimpinan dalam pengelolaan sistem pendidikan, Contohnya pemimpin yang mengelola sistem pendidikan itu bersifat otoriter, demokratis, atau laissez-faire; 4) Struktur dan Jadwal Waktu. Fungsinya mengatur pembagian waktu dan kegiatan.Contohnya, pembagian waktu ujian, wisuda, kegiatan perkuliahan, seminar, kuliah kerja nyata, kegiatan belajar mengajar dan program pengamalan lapangan; 5) Isi dan Bahan Pengajaran. Fungsinya untuk menggambarkan luas dan dalamnya bahan pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. Selain itu untuk mengarahkan dan mempolakan kegiatan-kegiatan dalam proses pendidikan. Contohnya, isi bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran atau mata kuliah dan untuk pengamalan lapangan; 6) Guru dan pelaksana. Berfungsi menyediakan bahan pelajaran dan menyelenggarakan proses pembelajaran untuk peserta didik. Selain itu, guru dan pelaksana juga berfungsi sebagai pembimbing, pengaruh, untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Contonya, pengalaman dalam mengajar, status resminya guru yang sudah di angkat atau tenaga sukarela dan tingkatan pendidikannya; 7) Alat Bantu Belajar. Maksudnya segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berfungsi untuk mempermudah atau mempercepat tercapainya tujuan pendidikan, contohnya; film, buku, papan tulis, peta; 8) Fasilitas. Fungsinya untuk tempat terselenggaranya proses pendidikan. Contohnya, gedung dan laboratorium beserta perlengkapannya; 9) Teknologi. Fungsinya memperlancar dan meningkatkan hasil guna proses pendidikan. Yang dimaksud dengan teknologi ialah semua teknik yang digunakan sehingga sistem pendidikan berjalan dengan efisien dan efektif. Contohnya, pola komonikasi satu arah, artinya guru menyampaikan pelajaran dengan berceramah, peserta didik mendengarkan dan mencatat: atau pola komonikasi dua arah, artinya ada dialog antara guru dan peserta didik; 10) Pengawasan Mutu. Fungsinya membina peraturan-peraturan dan standar pendidikan. Contohnya, peraturan tentang penerimaan anak/ peserta didik dan staf pengajar, peraturan ujian dan penilaian; 11) Penelitian. Fungsinya untuk memperbaiki dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penampilan sistem pendidikan. Contohnya, dulu bangsa Indonesia belum mampu membuat kapal terbang dan mobil tetapi sekarang bangsa Indonesia sudah pandai. Sebelum tahun 1980-an, kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia belum melaksanakan sistem satuan kredit semester (SKS), sekarang seluruh perguruan tinggi telah melaksanakannya; 12) Biaya. Fungsinya melancarkan proses pendidikan dan menjadi petunjuk tentang tingkat efisiensi sistem pendidikan. Contohnya, sekarang biaya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat.[118]
Sistem pendidikan terdiri dari satuan dan kegiatan yang tergabung secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional, bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Tujuan sistem pendidikan nasional berfungsi memberikan arah pada semua kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan yang ada. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan umum yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidikannya, meskipun setiap satuan pendidikan mempunyai tujuan sendiri, namun tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional. Menurut Undang-Undang RI No.2 tahun 1989 BAB II Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[119]
Tujuan Pendidikan Nasional adalah membangun kualitas manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan, sebagai warga negara yang berjiwa pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan menyuburkan sikaf domokrasi, memelihara hubungan baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetik, berkesanggupan membangun diri dan masyarakatnya.[120]
Dalam sistem pendidikan nasional, peserta didik adalah semua warga negara, setiap satuan pendidikan yang ada harus memberikan kesempatan menjadi peserta didik kepada semua warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan kekhususannya, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, suku bangsa dan sebagainya, hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan  bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar  dan pemerintah wajib membiayainya.
O. Kelembagaan dan Pengelolaan Pendidikan Nasional
Kata pengelolaan berasal dari kata manajemen. Oteng Sutisna menyebutkan manajemen artinya administrasi[121]. Pengelolaan pendidikan diartikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah administrasi dalam bidang pendidikan. Sondang P. Siagian mendefisinikan pengertian pengelolaan/ manajemen/ administrasi adalah sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnnya.[122] Dengan demikian pengelolaan adalah manajemen dan manajemen adalah administrasi.
Menurut Nur Syam, pengelolaan pendidikan merupakan manajemen pendidikan, artinya proses mencapai tujuan pendidikan melalui kerjasama dengan orang lain. Selanjutnya Nur Syam menambahkan guru sebagai komponen penting di dalam pengelolaan pendidikan sebagai penggerak untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka pembinaan terhadap guru menjadi urgen dalam proses pengelolaan pendidikan. Kemudian staf dan tenaga kependidikan juga menempatkan posisi yang sangat mendasar. Jangan pernah berfikir bahwa tenaga kependidikan tidak penting. Di dalam standar pendidikan nasional pendidikan bahwa keberadaan tenaga kependidikan sangat diperhitungkan.[123] Dengan demikian dalam tataran pengelolaan pendidikan memperlihatkan pengaturan lalu lintas uang yang diterima dan dibelanjakan mulai dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai dengan penyampaian umpan balik dalam proses pendidikan.
1. Pengelolaan Pendidikan
a. Pengambilan Keputusan
Membuat putusan merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari baik secara individu ataupun secara kelompok dalam suatu organisasi. Oteng Sutisna, mengemukakan bahwa suatu putusan sebenarnya proses memilih tindakan tertentu antara sejumlah tindakan alternatif yang mungkin.[124]
Pembuatan putusan merupakan salah satu fungsi administrasi yang mesti dilakukan oleh para administrator yang membawa dampak terhadap seluruh organisasi, perilaku dan hasil dari putusan. Sebab proses pembuatan putusan merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya. Urutan langkah pembuatan putusan adalah; a. menentukan masalah; b. menganalisa situasi yang ada; c. mengembangkan alternatif kemungkinan; d. menganalisa alternatif kemungkinan; e. memilih altenatif yang paling mungkin.
b. Perencanaan
Merencanakan adalah kegiatan persiapan untuk mengantisipasi tindakan yang dilaksanakan. Perencanaan adalah merumuskan tujuan dan teknik untuk dapat mewujudkan tujuan.
c. Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan suatu gerak langkah menuju ke arah pelaksanaan rencana yang telah disusun sebelumnya. Pelaksanaan fungsi pengorganisasian harus menghasilkan suatu organisasi yang bergerak dengan suatu kesatuan yang bulat.
Pengorganisasian juga merupakan suatu fungsi administrasi setelah fungsi perencanaan. Dalam suatu organisasi yang baik, semua bagian semestinya bekerjasama dalam suatu keselarasan dan terintegrasi dari bagian yang terpisah menuju kepada suatu kesatuan yang tak terpisahkan disebabkan adanya unsur yang mempersatukan yaitu pengorganisasian.
d. Komunikasi
Mengkomunikasikan berarti menyalurkan informasi, ide, penjelasan, perasaan, pertanyaan dari satu orang kepada orang lain atau dari satu kelompok kepada kelompok yang lain. Mengkomunikasikan dalam suatu organisasi adalah agar dapat mempengaruhi sikap dan perilaku para anggota organisasi secara sendiri atau secara berkelompok.
e. Koordinasi
Mengkoordinasikan adalah serangkaian kegiatan untuk mempersatukan sumbang, saran, bahan dan sumber lain dari para anggota dalam organisasi, ke arah pencapaian tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan secara bersama. Dengan kata lain tanpa koordinasi yang baik dalam organisasi sulit untuk mengharapkan tercapainya keteraturan, ketertiban dalam upaya mengejar tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Dengan koordinasi unit-unit yang terpisah dalam organisasi diupayakan untuk saling dihubungkan dengan unit-unit yang lainnya, sehingga unit-unit yang terpisah menjadi saling mempengaruhi unit-unit lain dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dan harmonis. Fungsi koordinasi adalah mempersatukan unit-unit dan menciptakan setiap unit untuk saling melengkapi dan mendukung unit yang lainnya.
f. Pengawasan
Pengawasan identik dengan supervisi. Menurut Good Carter dalam Mahmudah, supervisi adalah usaha dari petugas sekolah dalam memimpin dan membimbing guru dan petugas lainnya, dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulir, menyeleksi pertumbuhan jabatan-jabatan, perkembangan guru-guru dan merevisi tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran dan metode pengajaran serta evaluasi pengajaran.[125] Pengawasan adalah sebagai suatu proses fungsi dan prinsip administrasi untuk melihat yang terjadi sesuai dengan yang semestinya terjadi. Apabila tidak sesuai dengan semestinya maka perlu adanya penyesuaian yang mesti dilakukan. Dengan kata lain pengawasan adalah fungsi administratif untuk memastikan bahwa yang dikerjakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya.
g. Evaluasi
Penilaian sebagai seperangkat kegiatan yang menentukan baik tidaknya program-program atau kegiatan-kegiatan organisasi yang sedang dijalankan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan menerapkan proses penilaian terhadap suatu program atau kegiatan yang sedang dijalankan organisasi kekuatan dan kelemahan dari program atau kegiatan tersebut dapat diketahui untuk dapat terus dipertahankan kekuatannya dan sedikit demi sedikit dikurangi untuk dihilangkan kelemahannya dalam menjalankan program atau kegiatan organisasi berikutnya.
2. Beberapa Pendekatan Pengelolaan Pendidikan
a. Pendekatan Organisasi Klasik
Pendekatan organisasi klasik sering disebut dengan gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori oleh Frederick Taylor seorang yang memiliki latar belakang dan pengalaman sebagai buruh, juru ketik, mekanik dan akhirnya berpengalaman sebagai kepala teknik yang hidup antara tahun 1856 sampai dengan tahun 1915. Gerakan ini mencari upaya untuk dapat menggunakan orang secara efektif dalam organisasi industri. Konsep ini adalah orang dapat juga bekerja layaknya sebagai mesin. Frederick Taylor dan teman-temannya berkeyakinan bahwa para pekerja yang didorong motivasi ekonomi dan keinginan psikologis yang terbatas yang memerlukan arahan-arahan tetap.
b.   Pendekatan Hubungan Manusia
Pendekatan hubungan manusia adalah gerakan yang lahir dan berkembang sebagai reaksi terhadap pendekatan organisasi klasik. Pendekatan hubungan manusia ini dipelopori oleh Mary Parker Follett (1868-1933) orang yang pertama kali mengenal pentingnya faktor-faktor manusia dalam administrasi. Mary Follet juga banyak menulis yang berkenaan dengan sisi manusia dalam administrasi. Mary Follet percaya bahwa masalah yang mendasar dalam semua organisasi adalah mengembangkan dan mempertahankan hubungan dinamis dan harmonis. Walaupun terjadi konflik, menurut pemikiran Mary Follet, konflik tersebut merupakan suatu proses yang normal bagi pengembangan hal yang mengakibatkan terjadinya konflik itu.
c.   Pendekatan Prilaku
Pendekatan prilaku dalam administrasi adalah menggabungkan antara hubungan sosial dengan struktur formal dan menambahkannya dengan proposisi yang diambil dari psikologi, sosiologi, ilmu politik dan ekonomi. Pendekatan ini dipelopori oleh Chester I. Barnard yang hidup antara tahun 1886 sampai dengan tahun 1961. Barnard adalah seorang kepala eksekutif pada perusahaan Bell Telepone di New Jersey yang menulis buku dengan judul "Functions of the Executive" (1938). Dalam buku ini Barnard mengulas secara lengkap teori perilaku yang kooperatif dalam organisasi formal. Barnard menyimpulkan bahwa kontribusi kerjanya berkenaan dengan konsep struktur dan dinamis. Konsep-konsep struktur yang dianggap penting adalah individu, sistem kerjasama, organisasi formal, organisasi formal yang komplek, dan juga organisasi informal. Konsep-konsep dinamis yang penting, menurut Barnard, adalah kerelaan, kerjasama, komunikasi, otoritas, proses keputusan dan keseimbangan dinamik.
2.   Kelembagaan pendidikan
Lembaga pendidikan dibagi menjadi 4, yaitu; Pertama, orang tua sebagai lembaga pendidikan. Orang tua adalah orang pertama yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada anak, sebab orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, maka orang tua dapat dikatakan sabagai suatu lembaga pendidikan.  
Kedua, Yayasan sebagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan yayasan adalah yayasan yang bersifat sosial, seperti yayasan pemeliharaan anak yatim piatu dan yayasan pemeliharaan anak cacat. Yayasan ini merupakan tempat para anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua atau menyandang cacat serta tidak mempunyai tempat tinggal, maka mendapatkan perlindungan dari yayasan.
Ketiga, Lembaga keagamaan. Di Indonesia banyak kita jumpai lembaga keagamaan, seperti; pondok pesantren, masjid, gereja serta biara. Lembaga tersebut mempunyai tugas dalam penyelenggaraan pendidikan agama bagi para penganutnya.
Keempat, Negara sebagai lembaga pendidikan. Negara sebagai suatu lembaga persekutuan hidup yang tertinggi, yang menginginkan untuk memiliki warga negara itu yang berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi calon warganegaranya. Hal ini mengharuskan negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan didalam negaranya, maka dengan demikian Negara dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan.
Lembaga Pendidikan merupakan tempat berlangsungnya proses pendidikan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional menyebutkan bahwa lembaga pendidikan terdiri dari lembaga pendidikan formal, lembaga non formal dan lembaga informal. Serta ruang lingkup pendidikan meliputi informal, formal dan nonformal.[126]
1.  Lembaga Pendidikan Formal
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 lembaga pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan jalur normal terdiri dari lembaga pendidikan prasekolah, lembaga pendidikan dasar (SD/SMP), lembaga pendidikan menengah (SMA/SMK) dan lembaga pendidikan tinggi (PT).[127]
PP No. 7 tahun 1990 pengelolaan pendidikan prasekolah, terutama Taman Kanak-kanak dilakukan oleh seorang kepala dan dibantu oleh tenaga kependidikan lainnya. Kepala TK bertanggung jawab atas pengelolaan tenaga kependidikan, peserta didik, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dana, sarana dan prasarana serta administrasi.[128] PP No. 28 tahun 1990, pengelolaan pendidikan dasar sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional merupakan tanggung jawab Mendikbud.  Pengadaan, pendayagunaan dan pengembangan tenaga kependidikan, kurikulum, buku pelajaran dan peralatan pendidikan dari satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah adalah tanggung jawab Mendikbud.[129]
PP No. 71 tahun 1991, pengelolaan pendidikan luar sekolah dilakukan oleh penyelenggara pendidikan luar sekolah yang terdiri dari pemerintah, badan kelompok atau perorangan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan jenis pendidikan luar sekolah yang diselenggarakannya.[130] PP No. 71 tahun 1991, pengelolaan pendidikan Luar biasa sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab  Mendikbud.[131]
Sedangkan dalam system pendidikan nasional, dinyatakan bahwa setiap warga Negara diwajibkan mengikuti pendidikan formal minimal sampai tamat SMP. Lembaga pendidikan formal berorientasi pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
Adapun ciri-ciri pendidikan formal adalah; 1) Pendidikan berlangsung dalam ruang kelas yang sengaja dibuat oleh lembaga pendidikan formal, 2) Guru adalah orang yang ditetapkan secara resmi oleh lembaga, 3) Memiliki administrasi dan manajemen yang jelas, 4) Adanya batasan usia sesuai dengan jenjang pendidikan, 5) Memiliki kurikulum formal, 6) Adanya perencanaan, metode, media, serta evaluasi pembelajaran, 7) Adanya batasan lama studi, 8) Kepada peserta yang lulus diberikan ijazah, 9) Dapat meneruskan pada jenjang yang lebih inggi.
Sedangkan lembaga-lembaga penyelenggaraan pendidikan formal antara lain sebagai berikut; 1) Taman Kanak-kanak (TK); 2) Raudatul Athfal (RA); 3) Sekolah Dasar (SD); 4) Madrasah Ibtidaiyah (MI); 5) Sekolah Menengah Pertama (SMP); 6) Madrasah Tsanawiyah (MTs); 7) Sekolah Menengah Atas (SMA); 8) Madrasah Aliyah (MA); 9) Sekolah Menengah Kejuruan SMK); 10)    Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK); 11) Perguruan Tinggi, meliputi; Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas.
Dalam sistem pendidikan Nasional, dinyatakan setiap warga negara diwajibkan mengikuti pendidikan formal minimal sampai tamat SMP. Lembaga pendidikan formal berorientasi pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
2.  Lembaga Pendidikan Nonformal
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang lembaga pendidikan non formal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Lembaga pendidikan nonformal adalah lembaga penbdidikan yang disediakan bagi warga Negara yang tidak sempat mengikuti ataupun menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu dalam pendidikan formal. Pendidikan nonformal semakin berkembang, dengan bukti semakin dibutuhkannya keterampilan pada seseorang unrtuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.[132]
Faktor pendorong perkembangan pendidikan nonformal, diantaranya; a. Semakin banyaknya jumlah angkatan muda yang tidak dapat melanjutkan sekolah, b.  Lapangan kerja, khususnya sektor swasta mengalami perkembangan cukup pesat dan lebih dibandingkan perkembangan sektor pemerintah.
Adapun program pendidikan nonformal yang disetarakan dengan pendidikan formal, contohnya kejar paket A, kejar paket B, kejar paket C. Pendidikan nonformal yang terjadi pada organisasi masyarakat seperti organisasi keagamaan, sosial, kesenian, olah raga dan pramuka.
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dengan kata lain, pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik melalui pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kemudaan, pendidikan pembedayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lainnya.
Adapun ciri-ciri pendidikan nonformal tersebut adalah sebagai berikut; 1) Pendidikan berlangsung dalam lingkungan masyarakat. Guru adalah fasilitator yang diperlukan; 2) Tidak adanya pembatasan usia; 3) Materi pelajaran praktis disesuaikan dengan kebutuhan pragmatis; 4) Waktu pendidikan singkat dan padat materi; 5) Memiliki manajemen yang terpadu dan terarah; 6) Pembelajaran bertujuan membekali peserta dengan keterampilan khusus untuk persiapan diri dalam dunia kerja.
Sedangkan lembaga penyelenggaraan pendidikan nonformal antara lain; 1) Kelompok bermain (KB); 2) Taman penitipan anak (TPA); 3) Lembaga khusus; 4) Sanggar; 5) Lembaga pelatihan; 6) Kelompok belajar; 7) Pusat kegiatan belajar masyarakat; 8) Majelis taklim; 9) Lembaga Keterampilan dan Pelatihan.
3. Lembaga Pendidikan Informal
Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[133] Lembaga pendidikan informal adalah pendidikan yang ruang lingkupnya lebih terarah pada keluarga dan masyarakat. Pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama dan utama. Dikatakan pertama, karena anggota keluargalah yang pertama sekali memperkenalkan bayi atau anaknya dengan lingkungan dan memberikan pembinaan terhadap bayi atau anak adalah dari sebuah anggota keluarga.
Pendidikan pertama dapat dipandang sebagai peletak pondasi pengembangan berikutnya. Adanya istilah pendidikan utama juga dikarenakan adanya pengembangan tersebut. Namun pendidikan informal, khususnya pendidikan keluarga memang belum ditangani seperti pada pendidikan formal, sehingga masuk akal jika sebagian besar keluarga tidak paham tentang mendidik anak dengan benar.
Ciri-ciri pendidikan informal adalah; a) Pendidikan berlangsung terus-menerus tanpa mengenal tempat dan waktu, b) Guru adalah orang tua, c) Tidak adanya manajemen yang jelas. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Ayat 2 menjelaskan hasil pendidikan seperti dimaksud pada ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ayat 3 menjelaskan ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal seperti dimaksud dalam ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[134]



[1]  Sintong Silaban (ed.). Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta, Bagian IV, (Jakarta: Dasamedia Utama, 1993), h., 65
[2]  Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, h. 3
[3]   Winarno  Surakhmad,   Guru dan Mutu”,   Majalah   Pendidikan   Koridor,  Edisi 3, Depdiknas Propinsi Jawa barat, Bandung, h., 43
[4]   Departemen Agama RI, Mukaddimah AL-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 Juz 28-29-30, edisi disempurnakan, tidak diperjualbelikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 719
[5]  Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Semarang: Rineka Cipta, 1991), h. 69
[6]  Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ibid., h. 69
[7]  Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 24
[8]  Muri Yusuf,  Ibid., h. 24
[9]  Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Cetakan II Al Maarif, 1964), h.19
[10] Mc.  Donald,  Education Psychology, (San Francisco: Wadsworth Publising Company, Inc. 1995) h.4-6
[11]  Winarno  Surakhmad.  Metodologi  pengajaran  Nasional, (Bandung: Jemmars, 1979), h. 13
[12]   Ikhsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan. (Jakarta: Rineka Citra, 2003), h.3.
[13]   Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. IV; (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 1
[14]   Suryadharma Ali, Paradigma Al-Qur’an, Reformasi Epistemologi Keilmuan Islam, (Malang, UIN MALIKI PRESS, 2013), h. 21
[15]  Darji Darmodiharjo. Peranan Guru Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Dalam Analisis Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud, 1982), h., 34
[16]  Mardiatmadja, B.S., Tantangan Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1986, h. 39
[17]  Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 92.
[18]   Langeveld, M.J, Pedagogik Teoritis dan Sistematis, Alih Bahasa Firmansyah, (Bandung: Jemmars, 1980)
[19]   John Dewey, Experience And Education, Terjemahan,  (Bandung: Teraju, 2004)
[20]   Muhajir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Tiori Pendidikan, Pelaku Sosial Kreatif, (Yogyakarta: Raka Sarasin, 2000), h. 20
[21]   Mulyahardjo, Radja, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.3
[22]   Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: MLTS, 1977)
[23]  UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdikbud, 1989)
[24]  UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdiknas, 1989)
[25]  Saifullah, Ali, Antra Filsafat dan Pendidikan. (Surabaya: Usaha Offset Printing, 2004)
[26]  Suyitno.  Landasan Filosofis Pendidikan Dasar. Modul Perkuliahan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. (Jakarta: UPI, 2009), h. 4 Tidak diterbitkan.
[27]   Robandi, Bambang. Landasan Pendidikan. Modul Perkuliahan Fakultas Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Unversitas Pendidikan Indonesia, 2005), h. 4.
[28]   Rohimin dkk. (2009). Hakikat Pendidikan. Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai, (Jakarta: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2009). h. 4.
[29]   Djahiri, A. Kosasih, Pendekatan broadfield (METODOLOGI PENGAJARAN), (Jakarta : Depdikbud, 1980), h. 3
[30]  Rohimin dkk. Hakikat Pendidikan. Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai, (Jakarta: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2011). h. 8.
[31]  Rohimin dkk. h. 8.
[32] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 6
[33] Tilaar, H. A. R., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 18 - 32
[34]   Tilaar, H. A. R., Ibid., h. 18 - 32
[35]   Nur Syam, Dari Bilik Birokrasi, Esai Agama, Pendidikan dan Birorasi, (Jakarta: PT. Senama Sejahtera Utama, 2014), h. 69
[36] Imam Suprayogo, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Malang: UIN –Maliki Press, 2013), hal. 26, 27
[37] Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4
[38]  Ridono Aidad,  Harapan dan Partisipasi masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan, Makalah seminar : School and Base Education, 2000, h. 6
[39] MPR RI., GBHN TAP MPR No. II/MPR/1983, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1983), h. 90
[40]  Peraturan  Pemerintah  RI,  No. 29  Tahun 1999, tentang Pendidikan Menengah, pasal 2
[41]  Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982), h. 116
[42]  E.Mulyana, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakara Offset, 2004), h. 21
[43]  Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi), (Banten: Pustaka Irvan, 2008), hal. 203
[44]  Hilda Taba dalam Munzir Hitami, Ibid, hal. 32
[45]  Abu Ahmadi, Ibid.,  h. 117
[46]  Peraturan  Pemerintah RI,  No. 29  Tahun 1999, tentang Pendidikan Menengah, pasal 2
[47]  UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 butir 1
[48]  Lickona, Thomas, Educating For Character, How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility, (New York: Bantam Books, 1992), h. 6
[49]  Suwarno, Wiji, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 35-36
[50]  Langeveld, M.J, Pedagogik Teoritis dan Sistematis, Alih Bahasa Firmansyah, (Bandung: Jemmars, 1980)
[51]  Sulaiman,  Op Cit., h. 33
[52] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, hal. 142
[53]  Horton, Chaster, L. Hunt, Sosiologi, Alih Bahasa, (Jakarta: Erlangga, 1999)
[54]   Popenoe, David, Sosiology, (New York: Prentice Hall Inc, 1989)
[55]   M. Arifin, Ibid., h. 33-34
[56]   Dr. Ahmad Zayadi, M.Pd dan Abdul Majid, S.Ag, M.Pd. Tadzkirah : Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Surabaya: ELKAF, 2004), h. 7-9
[57]  Dr. Usman, MAg.  Filsafat Pendidikan. (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2003), h. 315
[58]  Dr. Usman, MAg.  Ibid., h.322-325
[59]  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pembelajaran
[60]  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pembelajaran
[62]Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 560
[63]   Departemen Agama RI, Mukadimah AL-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 Juz 28-29-30, edisi disempurnakan, tidak diperjualbelikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 719
[64]   Departemen Agama RI., Ibid., h. 22
[65]  kitab hadis yang mencantumkan hadis tersebut, disebut “al-kutub al-sittah”–yaitu 6 kitab yang menghimpun hadis-hadis Rasulullah yang terdiri dari Shohih Bukhari dan Muslim, Sunan Abi Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i–maupun “al-kutub at-tis’ah”–yaitu 9 kitab induk hadis yang terdiri dari al-kutub as-sittah ditambah al-Muwatho Imam Malik, Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ad-Darimy. Bahkan, bukan hanya di kitab-kitab hadis induk. Ungkapan yang diklaim sebagai hadis Nabi di atas sama sekali tidak terdapat pula dalam puluhan kita-kitab hadis lain yang mencakup berbagai kitab al-jawami’, kitab-kitab sunan, musnad, al-majami’, al-muwatho’, kitab-kitab al-ilal was su’alat, sampai kitab-kitab muskyilat wa ghoroibul hadis dan takhrij al-ahadits. Hal ini disimpulkan setelah dilakukan pencarian “searching” dan penelitian (takhrij) dengan bantuan Program al-Maktabah asy-Syamilah al-Ishdar 3.32. Hadis, atau ungkapan di atas, hanya ditemukan dalam Kitab Kasyf adz-Dzunun karya Musthofa bin Abdullah (1/52) tanpa penyebutan sanad periwayatannya. Juga Kitab Abjad al-‘ilmi tulisan Muhammad Shiddiq Hasan Khan al-Qanuji yang juga tanpa menyebutkan sanadnya dan bahkan tanpa menyatakannya sebagai hadis Nabi SAW, tapi hanya menyebut “qiila” (maknanya = “katanya atau dikatakan”) dalam bentuk shighat tamridh (bentuk pasif dalam periwayatan hadis yang digunakan oleh ahli hadis untuk mengutip riwayat yang diragukan sumber dan validitasnya). Karena tidak adanya kitab hadis yang memuat hadis ini dengan sanad yang dapat diteliti, maka Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullah menilainya La ashla lahu (tidak ada sumbernya berupa sanad) (Arsip Multaqo Ahlil hadis-3, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[66]  Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[67]  Pirdata, Made, 2007 Landasan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
[68]  Pirdata, Made, Ibid., h. 68
[69]   Undang-undang Dasar 1945
[70]   Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[71]   Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[72]   Abraham,  M.  Maslow.  (1996).   Motivasi   dan   Kepribadian I  Teori Motivasi  dan  Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia). (Jakarta: PT.PBP, 1996)
[73]  Piaget,  Jean, & Barbel  Inhelder,  Psikologi   Anak,   Terj. Miftahul Jannah,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. 1, 2010.
[74]  Pidarta, Made, Landasan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007)
[75] Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
[76]  Hamzah, Andi,  Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 90
[77]  Raka  Joni, T.,  Strategi  Belajar-Mengajar,   Suatu Tujuan Pengantar. (Jakarta : P2LPTK Depdikbud, 1985), h. 38
[78] Abdullah,  Faisal  M., Dasar-dasar   Manajemen Keuangan,  (Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, 2001), hal. 1-4
[79]  Mudjiman, Haris, Belajar Mandiri. (Surakarta: UNS PRESS, 2007) h. 1
[80]  Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 31
[81]  Brow, H. Douglas, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat. 2008), h. 30
[82]  Swandika, Agung. 2011. Aliran Nativisme. Diunduh pada 17 Oktober 2015 pukul 11:15. Didapatkan dari http://agungswandika.blogspot.com/ 2011/alirannativisme.html.
[83]  Swandika, Agung. 2011. Aliran Nativisme. Diunduh pada 17 Oktober 2015 pukul 11:15. Didapatkan dari http://agungswandika.blogspot.com/ 2011/alirannativisme.html.
[84]   Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 31
[85]  Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 30
[86]  Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 16 
[87]  Soejono, Ag. 1987. Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1. Bandung: C.V. Ilmu. 1987.), h.19
[88]  Husaini,  Adian at. al.,  Filsafat  Ilmu Perspektif  Barat dan Islam. (Depok: Gema Insani, 2013). h. 4
[89]  Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 16
[90] Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 30
[91]  Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta Saphuha, 1991), h. 296
[92] Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 31
[93] Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 59
[94] Undang Ahmad, Filsafat Manusia Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Pustaka Setia, 2013), h. 147
[95]Sudrajat,Ahmad.2013.  www.wordpress.com/pendekatan_saintipik/ilmiah_dalam_proses_pembelajaran.  [Online]. Diakses tanggal 09 Januari 2014 Pukul 19.21
[96] Sudrajat, Ahmad. 2013. www.wordpress.com/pendekatan_saintipik/ilmiah_dalam_proses_pembelajaran. [Online]. Diakses tanggal 09 Januari 2014 Pukul 19.21
[97] Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta Saphuha, 1991), h. 294
[98] Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 33
[99] Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 60
[100] Ngalim, Purwanto, Ibid., h. 60
[101] Ngalim, Purwanto, Ibid., h. 61
[102] Sudrajat, Ahmad. 2013. www.wordpress.com/pendekatan_saintipik/ilmiah_dalam_proses_pembelajaran. [Online]. Diakses tanggal 09 Januari 2014 Pukul 19.21
[103] Suwarno, Wiji, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 35-36
[104]  Indrakusuma, A.D., Pengantar Ilmu Pendidikan. Malang: FIP IKIP Malang, 1978).
[105] Tirtarahardja, dkk., Pengantar Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2000).
[106]  Indrakusuma, A.D., Pengantar Ilmu Pendidikan. Malang: FIP IKIP Malang, 1978).
[107] Indrakusuma, A.D., Pengantar Ilmu Pendidikan. Malang: FIP IKIP Malang, 1978).
[108] Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 16
[109] Hoy, W. K. & Miskel, C. C.,   Educational Administration:   Theory,  Research  &   Practices.   (New York: Random House, 1987).
[110] Unruh, A. & Willer, R.A. 1974. Public Relations for School. (Belmont California: Liar Siagler Inc./ Fearon Publishers, 1974)

[111] Indrafachrudi, S., Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orangtua Murid dan Masyarakat. (Malang: IKIP Malang, 1994)
[112] Maisyaroh,  Manajemen  Keterlibatan  Masyarakat  dalam  Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam, Imron, A., Maisyaroh dan Burhanuddin (Eds.), Manajemen Pendidikan: Analisis Substansi dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan, (Malang: UM Press, 2003). h. 121-128

[113]  Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), h. 33
[114]  H. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan. (Jakata: Rineka Cipta. 2003), h. 107.
[115] Hasbullah. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.123
[116] H. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h.192
[117] Hasbullah. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 124.
[118] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.124.
[119] Hasbullah, Ibid., h. 127
[120]  H. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h.198
[121] Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1983), h.149
[122]  Sondang P. Siagian, Teori & Praktek Kepmimpinan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 16-17
[123] Nur Syam, Ibid., h. 75
[124] Oteng Sutisna, Ibid., h.149
[125] Mahmudah,  Majalah,  Fokus  Pengawasan, Tegas  dan  Independen,  Pagari Kemenag Dari Pungli, Nomor 54 Tahun XIV Triwulan II 2017, ww.itjen.kemenag.go.id, h. 59 
[126]  Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 5
[127] Undang-undang No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[128] Peraturan Pemerintah  Nomor  7  Tahun 1990, Tentang  Pengelolaan Pendidikan Prasekolah
[129] Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990, Tentang Pengelolaan Pendidikan Dasar
[130] Peraturan  Pemerintah  Nomor  71  Tahun  1991,  Pengelolaan  Pendidikan  Luar Sekolah
[131] Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1991, Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa
[132] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang lembaga pendidikan non formal
[133]  Undang-undang No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, hal. 72
[134] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003   tentang Sisdiknas. Bandung: Citra Umbara. Pasal 27

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Pembelajaran Berbasis Riset Mata Kuliah Evaluasi Kelembagaan An. Ahmad Isna Muhdi

BAHAN AJAR MATA KULIAH: ILMU PENDIDIKAN ISLAM