BAHAN AJAR MATA KULIAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN
BAHAN AJAR
MATA KULIAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN
Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Konsep dan dasar-dasar pendidikan dalam
kajian teoritik. Pendidikan merupakan proses membentuk sosok
individu sebagai sumber daya manusia yang berperan besar dalam proses
pembangunan berbangsa dan bernegara. Oleh karena peran pendidikan sangat
penting sebab pendidikan merupakan kunci utama untuk menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas.[1] Maka penyelenggaraan pendidikan perlu
mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai pihak demi
optimalisasi pencapaian tujuan yang diinginkan.
Pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama sangat menyadari
tentang kenyataan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, seperti rendahnya
mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Khususnya pendidikan
dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum
menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah/madrasah, terutama di
kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan,
namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.[2]
Winarno
Surakhmad menyebutkan rendahnya mutu pendidikan pada dewasa ini bertolak dari
asumsi yang salah. Kita menyadari bahwa kita tidak maju-maju, bahkan mengalami setback. Seperti hasil pelajaran di
sekolah khususnya, semakin merosot mutunya. Bahkan pendidikan kita berada dalam
alur yang buntu dan kebuntuan ini adalah musuh dari kemajuan, tidak ada
pendidikan yang buntu dapat menghasilkan kemajuan.[3]
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, langkah yang diambil sebagai satu
kebijakan adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu dari
manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah. Konsep ini mengandalkan pemberian otonomi yang luas kepada
sekolah dalam menyelenggarkan pendidikan. Partisipasi aktif masyarakat dalam
pendidikan dikembalikan kepada kebutuhan keluarga, masyarakat dan pemerintah
daerah.
A. Pengertian
Pendidikan.
Pendidikan merupakan proses mencerdaskan, membangun
dan memanusiakan manusia seutuhnya. Sejalan dengan konsep pendidikan dalam
perspektif Islam yaitu tarbiyyah. Penekanannya
adalah pada proses internalisasi nilai-nilai dan pesan-pesan Ilahiyah untuk
mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa.[4]
Menurut Jhon Dewey, pendidikan adalah proses
pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah
alam dan sesama manusia.[5] Branata,
menyebutkan pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai
kedewasaannya.[6]
Ki Hajar Dewantara menyebutkan konsep pendidikan adalah
sebagai daya upaya untuk memberikan tuntunan pada segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak, agar mareka baik sebagai manusia maupun sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin
yang setinggi-tingginya.[7]
Muri Yusuf menyebutkan pendidikan adalah suatu proses penyesuaian terus menerus
pada setiap fase yang menambah kecakapan di dalam pertumbuhan seseorang.[8]
Ahmad D. Marimba menyebutkan pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.[9] Mc. Donald memberikan rumusan
tentang pendidikan is a process or an
activity which is directed at producing desirable in the behavior of human
beings.[10] Pendidikan
adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan menghasilkan perubahan tingkah
laku manusia.
Selanjutnya Winarno Surakhmad menyebutkan
pendidikan dalam pengertian pengajaran adalah satu usaha yang bersifat sadar
tujuan dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku, menuju kepada
kedewasaan anak didik. Perubahan itu menunjuk pada suatu proses yang harus
dilalui. Tanpa proses itu perubahan tidak mungkin terjadi, tanpa proses itu
tujuan tak dapat dicapai.[11]
Dan proses yang dimaksud di sini adalah proses pendidikan.
Ikhsan menyebutkan pendidikan
merupakan interaksi pendidik (guru) dengan siswa (peserta didik). Interaksi
yang dimaksud yaitu saling mempengaruhi antara pendidik dengan peserta didik[12]. Ramayulis, pendidikan merupakan
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan[13].
Menurut Suryadharma
Ali pendidikan merupakan elemen fundamental bagi setiap reformasi sosial.
Pendidikan menjadi tulang punggung bagi proses perubahan sosial, tidak saja
pada level individual tapi juga kehidupan komunal yang lebih besar.[14] Sedangkan pengertian pendidikan dari
sudut pandang kebudayaan, Darji Darmodiharjo menjelaskan pendidikan merupakan
kebudayaan yang mengarah kepada peradaban. Kebudayaan dalam arti luas adalah
wujud perpaduan dari logika (pikiran), etika (kemauan), estetika (perasaan) dan
praktika (karya) yang merupakan sistem nilai dan ide vital (gagasan) penting
yang dihayati oleh sekelompok manusia (masyarakat) tertentu dalam kurun waktu
tertentu pula.[15]
Satu pengertian lain yang cukup
esensi untuk dapat memahami pengertian pendidikan, dikemukakan oleh Max Muller
seperti dikemukakan kembali oleh B.S. Mardiatmadja yaitu pendidikan adalah
proses yang terorganisir untuk membantu agar seseorang mencapai bentuk dirinya
yang benar sebagai manusia.[16]
Pendidikan
dalam pengertian yang luas meliputi semua perbuatan atau semua usaha dari
generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, serta kecakapanya
kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi
fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.[17]
Dari beberapa konsep tersebut di atas maka dapat disinopsiskan
pendidikan merupakan proses bimbingan, usaha terorganisir yang diberikan kepada
seseorang yang merupakan suatu proses pengalaman yang terus menerus, untuk
mengembangkan kemampuan, kecakapan, kecerdasan, kebudayaan, kepribadian yang
memenuhi fungsi hidupnya sebagai manusia paripurna yang berperadaban di masa datang.
B. Hakikat
Pendidikan
Hakikat pendidikan menurut para
ahli memberikan batasan tertentu tentang hakikat pendidikan sesuai sudut
pandang masing-masing seperti Langeveld mendefinisikan pendidikan sebagai
setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan pada anak
tertuju pada pendewasaan, atau membantu anak agar cukup cakap untuk
melaksanakan tugas hidupnya.[18] John Dewey menyebutkan
pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.[19] Muhajir, pendidikan
diistilahkan sebagai to educate yang
berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.[20] Mulyahardjo, pendidikan
adalah hidup, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup, pendidikan adalah segala situasi
hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup.[21]
Ki Hajar Dewantara menyebutkan
pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.[22] Maksudnya pendidikan
menuntun segala kekuatan pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Pendidikan Nasional menegaskan pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan bagi perannya di masa yang akan datang.[23] Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk menunjukkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.[24]
Syaifullah hakikat
pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual terhadap kenyataan kehidupan
manusia baik disadari maupun tidak, manusia telah melaksanakan pendidikan mulai
dari keberadaan manusia pada zaman primitif sampai zaman modern, bahkan selama
masih ada kehidupan manusia di dunia, pendidikan tetap berlangsung.[25] Hakikat pendidikan menurut Suyitno,
mengungkapkan bahwa pendidikan yaitu upaya memanusiakan manusia.[26]
Dengan demikian makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaannya.
Robandi
menjelaskan, hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup (life is
education, education is life).[27]
Artinya pendidikan merupakan segala pengalaman hidup yang memiliki kontribusi
terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup individu berlangsung sepanjang
hayat.
Hakikat pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara dalam Rohimin, pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti
dan pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan
berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan karakter
dan batin), pikiran (intellect)
dan tubuh anak. Ki Hajar Dewantara menanamkan konsep pendidikan yang utuh yakni
ing ngarso sung tulodo, ing
madyo mangun karso, tut wuri handayani.[28] Maksudnya pendidikan pada
hakikatnya mampu menjadi teladan, menjaga keseimbangan dan mendorong serta
memotivasi peserta didik, sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidupnya.
Kosasih
Djahiri menyebutkan hakikat pendidikan merupakan upaya yang terorganisir,
berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah
membina anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).[29] Dengan demikian hakikat pendidikan berlangsung secara
terus menerus sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai keliang kubur.
Hakikat Pendidikan menurut Islam ada 3 (tiga) pengertian yaitu: 1) Ta”lim artinya memberikan pembinaan/ pengarahan atau proses pemberian
bekal pengetahuan. (Ilmu pengetahuan); 2) Tarbiyah artinya pengajaran atau proses pembinaan dan pengarahan
bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental; 3) Ta’dib
artinya proses pembinaan dan pengarahan bagi
pembentukan kepribadian dan sikap mental dan proses pembinaan terhadap sikap
moral dan estetika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat
manusia.
Beberapa
asumsi dasar yang berkaitan dengan hakikat pendidikan sebagai berikut: 1) Pendidikan
merupakan proses interaksi manusia yang ditandai oleh keseimbangan antara kedaulatan
subjek didik dengan kewibawaan pendidik; 2) Pendidikan merupakan usaha
penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan
yang semakin pesat; 3) Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan
masyarakat; 4) Pendidikan berlangsung
seumur hidup; dan 5) Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.
Menurut Rohimin, dkk., Hakikat pendidikan yaitu
usaha untuk mengubah perilaku tiap anggota masyarakat agar sesuai dengan
nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.[30] Paula
Freire, hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam
konteks ajaran agama Islam, hakikat pendidikan adalah mengembalikan fitrah
manusia dengan tuntunan Al-Quran dan hadist.[31] Alfred North White head mendefinisi
pendidikan, menekankan segi keterampilan menggunakan pengetahuan.[32]
Tilaar, menggolongkan hakikat pendidikan ke dalam dua
kelompok besar yaitu pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik
integratif.[33]
1.
Pendekatan reduksionisme
Teori-teori yang dihasilkan dari pendekatan reduksionisme banyak
dipaparkan dalam ilmu pendidikan. Berbagai pendekatan reduksionisme tersebut
antara lain;
a. Pendekatan
pedagogis. Pendekatan ini melahirkan child
centered education, yaitu bahwa pendidikan berpusat kepada kepentingan
anak, sehingga cenderung melupakan bahwa anak juga anggota masyarakat;
b. Pendekatan
filosofis. Pendekatan ini melahirkan ilmu pendidikan yang memandang anak
sebagai titik tolak proses pendidikan. Nilai-nilai anak yang khas, perkembangan
etis dan religi anak dianggap suatu yang harus dihormati dalam pendidikan;
c. Pendekatan
religius. Pendekatan ini melahirkan pemikiran bahwa pendidikan adalah proses
mengatur peserta didik menjadi manusia yang religius sebagai makhluk ciptaan
Tuhan dan mempersiapkan peserta didik untuk hidup sesuai dengan kodratnya;
d. Pendekatan
psikologis. Pendekatan ini cenderung mempersempit pendidikan sebagai proses
belajar mengajar dan menuntun penguasaan ilmu dan spesialisasi dari tenaga
medis;
e. Pendekatan
negativis. Memandang pendidikan sebagai upaya mengembangkan kepribadian dan
membudayakan manusia;
f.
Pendekatan sosiologis. Memandang peserta didik sebagai anggota masyarakat, oleh karena itu
hakikat pendidikan merupakan keperluan untuk hidup bersama dalam masyarakat.[34]
2.
Pendekatan holistik integratif
Hakikat pendidikan menurut pendekatan holistik integratif adalah proses
untuk mengembangkan eksistensi peserta didik dalam bermasyarakat, berbudaya dan
dalam tata kehidupan lokal, nasional, maupun global.
Dengan demikian peran pendidikan sangat penting dan strategis bagi
pembangunan sumberdaya manusia, berbangsa dan bernegara, ditinjau dari sudut
hakikat pendidikan baik pendekatan reduksionisme maupun pendekatan holistik
integratif, yang muaranya untuk mengubah perilaku tiap anggota masyarakat agar memiliki
kemampuan dan mandiri sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati berdasarkan
agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan.
C. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dimaknai
berbeda-beda dikalangan para ahli, antara lain ada yang menyebut dengan istilah
pencapaian kedewasaan jasmani dan rohani. Maksud pencapaian kedewasaan mencapai
manusia seutuhnya yang bertakwa, cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian dan tumbuh semangat kebangsaan dan cinta tanah air, serta
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Menurut Nur Syam, pendidikan
di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan manusia Indonesia yang memiliki
kemampuan vokasional yang baik dan juga memiliki karakter dan kepribadian
Indonesia yang luhur.[35] Imam Suprayogo
menyebutkan pendidikan bertujuan mengantarkan anak didik menjadi manusia
seutuhnya.[36]
Tujuan
pendidikan nasional, sebagaimana tercantum pada Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, Pendidikan nasional bertujuan untuk mecerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.[37]
Tujuan
pendidikan nasional merupakan tujuan ideal yang dalam proses upaya
pencapaiannya dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan jenjang dan jenis
pendidikan. Oleh karena itu, setiap institusional dalam rangka pencapaian
tujuan pendidikan Nasional telah menetapkan tujuan sesuai dengan jenjang dan
jenis pendidikannya. Dengan harapan out
put pendidikan dimasa datang, memandang manusia bukan sebagai pekerja
tetapi sebagai mitra kerja dengan keunggulannya. Ridono Aidad menyebutkan,
seorang leader yang keluar dari persaingan global, harus dapat memandang
manusia sebagai manusia, bukan pekerja.[38]
Hal
ini berdasarkan satu asumsi bahwa proses pendidikan yang sengaja dilaksanakan
semata–mata bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, berkemampuan dan mandiri.
Tujuan Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila adalah meningkatkan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas dan terampil, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta
tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.[39] Tujuan pendidikan nasional merupakan
tujuan ideal yang dalam proses upaya pencapaiannya dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan.
Tujuan
institusional seperti contoh pada jenjang pendidikan menengah umum, tercantum
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, nomor 29, menyebutkan bahwa: a) Meningkatkan
pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi
dan untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian; b) Meningkatkan hubungan timbal balik dengan lingkungan
sosial, budaya dan alam sekitarnya.[40]
Mashuri menyebutkan tujuan pendidikan adalah membimbing warga Negara
Indonesia menjadi manusia Pancasila yang berkepribadian, berkesadaran ketuhanan
dan mampu mebudayakan alam sekitarnya.[41]
E. Mulyana membagi tujuan pendidikan kedalam beberapa jenis yaitu; 1)
Tujuan pendidikan secara makro adalah untuk membentuk organisasi pendidikan
yang bersifat otonom sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk
menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan
berkomunikasi social yang positif dan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
sehat dan tangguh; 2) tujuan secara mikro adalah untuk membentuk manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan
berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (mampu, cakap, cerdas,
kreatif, inovatif dan bertanggungjawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib
dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis dan berbadan sehat
sehingga menjadi manusia mandiri).[42]
Menurut Said Aqil Siraj, pendidikan berorientasi atau bertujuan pada
kesempurnaan lahir dan batin, pada saatnya nanti, proses pendidikan mampu
melahirkan pribadi yang mempunyai kepribadian yang paripurna.[43]
Tujuan pendidikan menurut para
ahli, pada hakekatnya tujuan pendidikan merupakan rumusan-rumusan dari berbagai
harapan ataupun keinginan manusia.[44] Pendidikan
di Indonesia bertujuan untuk membimbing warga Negara Indonesia, agar menjadi
manusia pancasila yang berkepribadian, berkesadaran kepada Tuhan dan mampu
membudayakan alam sekitarnya, bukan hanya semata-mata tuntutan ekonomi, sebab
banyak beranggapan bahwa pendidikan merupakan bekal agar nantinya bisa
mendapatkan penghasilan yang layak. Sesuai Abu Ahmadi menyebutkan kecenderungan
kaum terpelajar untuk menjadi pegawai negeri, maka pendidikan dianggap sebagai
paspor untuk tidak melakukan pekerjaan yang mengotori tangan mareka.[45] Kecenderungan masyarakat/ peserta didik
menganggap pendidikan semata-mata untuk status kehidupan pada masa mendatang,
tanpa memperhatikan dan melihat tujuan pokok dari pendidikan itu sendiri.
Proses
tujuan pendidikan pada visi macro, merupakan
upaya mewujudkan masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat dengan tatanan
sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat
Indonesia yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi,
kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia dan punya
pemahaman serta berwawasan global, sedangkan visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya manusia Indonesia yang
memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemerdekaan dan
demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia, saling pengertian dan
berwawasan global.[46]
Menurut pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. dalam pasal 3 (tiga) dikemukakan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[47]
Oleh karena itu tepat sekali dikatakan pada dasarnya pendidikan mempunyai dua
tujuan besar yakni mengembangkan individu dan masyarakat, sesuai Lickona
menyebutkan “smart and good”.[48]
Berarti tujuan pendidikan untuk mengembangkan individu dan masyarakat agar cerdas
dan baik.
Secara elaboratif Bloom, membagi menjadi tujuan
pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik yakni pengembangan pengetahuan dan
pengertian, nilai dan sikap dan keterampilan psikomotorik. Selanjutnya Bloom
(dalam Suwarno, 2006) tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga bagian; 1)
Domain kognitif, meliputi kemampuan yang diharapkan dapat tercapai setelah
dilakukannya proses belajar mengajar. Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan,
pengertian, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi, 2) Domain efektif,
berupa kemampuan untuk menerima, menjawab, menilai, membentuk dan
mengarakterisasi, 3) Domain psikomotorik, terdiri dari kemampuan persepsi,
kesiapan dan respons terpimpin.[49]
Langeveld, membedakan tujuan pendidikan kedalam enam
bagian; 1) Tujuan umum. Tujuan umum merupakan tujuan yang dicapai di akhir
proses pendidikan, yaitu tercapainya kedewasaan jasmani dan rohani anak didik.
Maksudnya kedewasaan jasmani adalah jika pertumbuhan jasmaniah sudah mencapai
batas pertumbuhan maksimal, maka pertumbuhan jasmaniah tidak berlangsung lagi.
Kedewasaan rohani adalah peserta didik sudah mampu menolong dirinya sendiri,
mampu berdiri sendiri dan mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya; 2) Tujuan
khusus. Tujuan khusus adalah tujuan tertentu yang hendak dicapai berdasarkan
usia, jenis kelamin, sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap
perkembangan dan tuntutan syarat pekerjaan; 3) Tujuan tidak lengkap, maksudnya
tujuan yang menyangkut sebagai aspek manusia, misalnya tujuan khusus
pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan yang lainnya, jadi tujuan
tidak lengkap ini bagian dari tujuan umum yang melengkapi perkembangan seluruh
aspek kepribadian; 4) Tujuan sementara. Tujuan sementara adalah proses untuk
mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara sekaligus, karenanya perlu
ditempuh setingkat demi setingkat, tingkatan demi tingkatan, diupayakan untuk
mencapai tujuan akhir itulah yang dimaksud tujuan sementara; 5) Tujuan intermedier. Tujuan intermedier adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok,
misalnya anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar kelak mempunyai
rasa tanggung jawab; 6) Tujuan incidental.
Tujuan incidental adalah tujuan yang
dicapai pada saat-saat tertentu, yang sifatnya seketika dan spontan. Misalnya
orang tua menegur anaknya untuk berbicara sopan.[50]
Menurut Ghozali, tujuan
pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan
pembersihan jiwa dengan maksud dibalik itu membentuk individu yang tertandai
dengan sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam
masyarakat.[51]
Hujair AH. Sanaky menyebutkan tujuan menurut visi
dan misi pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebenarnya telah memiki visi
dan misi ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, konsep dasar
filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi
dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan
manusia, atau lebih khusus sebagai penyiapan kader khalifah dalam rangka
membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari seperti
diisyaratkan Allah SWT dalam Al
Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya
adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia
yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis dan harmonis.[52]
Berdasarkan konsep tersebut
di atas, maka dapat disintesiskan tujuan pendidikan adalah menjadi manusia
seutuhnya, pencapaian kedewasaan jasmani dan rohani, dan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manusia
cerdas, baik dan terampil, mempertinggi budi pekerti yang luhur, memperkuat
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat
menumbuhkan manusia pembangunan yang mandiri serta bertanggungjawab atas
pembangunan masyarakat dan bangsa.
D.
Fungsi Pendidikan
Menurut
pendidikan Nasional berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan fungsi pendidikan adalah sebagai alat yang bertujuan untuk
mengembangkan pribadi. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Batasannya sebagai berikut; 1) Pendidikan
sebagai proses transformasi budaya, artinya sebagai kegiatan pewarisan budaya
dari satu generasi ke generasi lainnya; 2) Pendidikan sebagai proses
pembentukan pribadi, artinya sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan
sistemik dan terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses
pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mareka
yang belum dewasa dan bagi mareka yang sudah dewasa atas usaha sendiri dan atau
pendidikan diri sendiri; 3) Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara,
artinya sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik
agar menjadi warga Negara yang baik; 4) Pendidikan sebagai penyiapan tenaga
kerja, artinya kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar
untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan,
keterampilan kerja pada calon luaran.
Fungsi
pendidikan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Horton
dan Hunt menyebutkan fungsi pendidikan adalah sebagai berikut; 1) Mempersiapkan
anggota masyarakat untuk mencari nafkah; 2) Mengembangkan bakat perseorangan
demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat; 3) Melestarikan
kebudayaan; 4) Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam
demokrasi; 5) Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan sekolah
orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah;
6) Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk
menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya
perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya
pendidikan seks dan sikap terbuka; 7) Mempertahankan system kelas sosial.
Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya
untuk menerima perbedaan prestise, privilese dan status yang ada dalam
masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status
sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya;
8) Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa
dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang
tuanya.[53]
Menurut
David Popence menyebutkan ada empat fungsi pendidikan sebagai berikut; 1) Transmisi
(pemindahan) kebudayaan; 2) Memilih dan mengajarkan peranan sosial; 3) Menjamin
integrasi sosial; 4) Sekolah mengajarkan corak kepribadian; 5) Sumber inovasi
sosial.[54]
Berdasarkan konsep tersebut
di atas, maka dapat disintesiskan fungsi pendidikan adalah sebagai transformasi
kebudayaan, proses pembentukan pribadi, penyiapan tenaga kerja, menjamin
integrasi sosial dan peranan sosial, sumber inovasi serta untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
E. Sasaran
Pendidikan
Muhammad Fadhil AL Djamaly dalam M. Arifin
mengidentifikasikan sasaran pendidikan yang digali dari sumber ajaran Al Quran
meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu; 1) Menyadarkan manusia secara
individual pada posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tentang
tanggungjawab dalam kehidupannya. Dengan kesadarannya, manusia mampu berperan
sebagai makhluk Allah SWT; 2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya
dengan masyarakat, serta tanggungjawabnya terhadap ketertiban masyarakat. Oleh
karena itu manusia harus mengadakan interrelasi dan interaksi dengan sesamanya
dalam kehidupan bermasyarakat; 3) Menyadarkan manusia terhadap Pencipta alam
dan mendorongnya untuk beribadah kepadaNya; 4) Menyadarkan manusia tentang
kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan
menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk
mengambil manfaatnya.[55]
Sasaran pendidikan untuk semua anak manusia. Dirjen UNESCO, Irina
Bokova, mengatakan tercapai kemajuan yang besar dalam pendidikan global, dengan
ditandatangani enam tekad global oleh 164 negara pada bulan April 2000 dengan
tujuan meningkatkan pendidikan secara sistematis. Enam tekad tersebut yaitu: 1)
Memperluas perawatan dan pendidikan dini; 2) Pendidikan dasar global; 3) Akses
yang sama untuk belajar; 4) Melek huruf dewasa; 5) Kesetaraan gender; 6) Peningkatan
kualitas pendidikan.
F.
Proses Pendidikan
Proses pendidikan tidak
terlepas dari kegiatan belajar mengajar. Ahmad Zayadi menyebutkan belajar dan pembelajaran bahwa
belajar merupakan proses internal siswa dan pembelajaran merupakan kondisi
eksternal belajar. Dari segi guru belajar merupakan akibat tindakan
pembelajaran.[56]
Dalam lingkup pendidikan,
belajar merupakan hal kompleks. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua
subjek yaitu siswa dan guru; 1) Siswa, proses belajar dialami sebagai suatu
proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Bahan
belajar itu sangat beragam, baik bahan- bahan yang dirancang dan disiapkan secara
khusus oleh guru, ataupun bahan belajar yang ada di alam sekitar yang tidak
dirancang secara khusus tapi bisa dimanfaatkan siswa; 2) Guru, proses belajar
itu dapat diamati secara tidak langsung. Artinya proses belajar merupakan
proses internal siswa dapat dipahami oleh guru. Proses belajar itu tampak lewat
perilaku siswa dalam mempelajari bahan ajar. Perilaku belajar itu tampak pada perilaku
hasil pembelajar. Perilaku belajar itu merupakan respons siswa terhadap belajar
dan pembelajaran yang dilakukan guru. Belajar pula dapat diartikan memahami
sesuatu yang baru dan kemudian memaknainya dan mempraktekkannya.
Menurut
Usman aktivitas mengajar dan belajar itu memang berbeda tetapi tetap tidak
dapat dipisahkan. Perbuatan belajar dari peserta didik terjadi sebagai akibat
dari perbuatan mengajar atau mendidik dari seorang pendidik. Proses interaktif
antara perbuatan mengajar pendidik dan perbuatan belajar peserta didik ini
biasa disebut proses pembelajaran.[57]
Selanjutnya
Usman menyebutkan proses pembelajaran dalam Islam berlangsung
antara pendidik dan peserta didik, diikat oleh sebuah jalinan kerjasama untuk
memperoleh manfaat yang sebesar- besarnya dari nilai- nilai yang berpusat pada
kebaikan dan kebenaran Islam. Dengan kata lain, proses pembelajarannya menjadi
terpusat pada nilai (value centered).
Ini berarti bahwa kegiatan mengajar dan membimbing yang dilakukan oleh pendidik
dan aktivitas belajar yang dilakukan peserta didik berlangsung dalam
pengendalian nilai- nilai Islam. Oleh karena itu proses pembelajaran dalam Islam
tidak hanya terpusat pada pendidik dan atau peserta didik tetapi juga terpusat
pada nilai.[58]
Standar
Proses pembelajaran dijabarkan dalam Permendikbud Nomor 65 tahun 2013, sebagai
suatu kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk
mencapai Standar Kompetensi Lulusan, ditingkat sekolah, seperti kriteria,
pelaksanaan pembelajaran, pencapaian kompetensi lulusan. Standar proses
tersebut merupakan suatu tahapan proses pembelajaran yang menjabarkan mengenai
kriteria atau ukuran tertentu yang menjadi dasar peniliaian atau penetapan,
terkait pelaksanaan pembelajaran guna mencapai kompetensi lulusan.[59]
Permendikbud
Nomor 65 tahun 2013 mengamanatkan bahwa proses pembelajaran pada satuan
pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.[60]
Kaitan dengan proses pendidikan, baik tingkat nasional maupun tingkat kelas dinilai
sukses jika kompetensi lulusan yang ditargetkan tercapai dengan sempurna.
Standar proses merupakan sebuah pedoman, tahapan langkah bagi para guru saat
mereka memberikan pembelajaran dalam kelas, dengan harapan proses pendidikan
yang berlangsung bisa efektif, efesien dan inovatif.
Pada
saat inilah keahlian guru, sebagai ujung tombak suksesnya proses pendidikan
dituntut memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu mengemas
proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan. Sehingga proses
pembelajaran mampu menciptakan suasana seperti tahapan tersebut di atas, kualitas
pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga proses
pendidikan di Indonesia mampu menyaingi sistem pendidikan di beberapa negara
maju lainnya. Maka dari itu, pada proses penerapan atau taktis pelaksanaan
pembelajaran setiap satuan pendidikan dituntut untuk mampu melakukan
perencanaan pembelajaran dengan baik, sehingga pelaksanaan proses pembelajaran
dapat berjalan semaksimal mungkin, serta penilaian proses pembelajaran bisa
diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi
lulusan.
G. Komponen
Pendidikan
Komponen proses pendidikan sebagai berikut; 1) Tujuan
pendidikan; 2) Peserta didik; 3) Pendidik; 4) Metode pendidikan; 5) Isi
pendidikan/ materi pendidikan; 6) Lingkungan pendidikan; 7) Alat dan fasilitas
pendidikan. Secara rinci dapat dibahas secara rinci sebagai berikut;
Pertama, tujuan pendidikan merupakan pencapaian kedewasaan
jasmani dan rohani, artinya sebagai pencapaian kedewasaan mencapai manusia
seutuhnya yang bertakwa, cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian dan tumbuh semangat kebangsaan dan cintah tanah air, serta
bertanggungjawab atas pembangunan bangsa. Tujuan
pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, maksudnya untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya dan
dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat sesuai Q.S.
Al-Dzariat:56; dan Q.S. ali Imran: 102).
Dalam konteks
sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala
kecil maupun besar. Tujuan umum pendidikan Islam untuk mewujudkan manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh
manusia yang menghambakan kepada Allah. Maksudnya menghambakan diri ialah
beribadah kepada Allah. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu
merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah.
Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti
dalam surat a Dzariyat ayat 56 : “ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia
kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”. Sebagian orang mengira ibadah
itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan
zakat, ibadah Haji serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu
mencakup semua amal, pikiran dan perasaan yang dihadapkan kepada Allah. Ibadah
ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah dengan niat ibadah.
Kedua, peserta didik sangat menunjang dalam proses
pendidikan, dengan perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas
pada usia sekolah saja memberikan konsekuensi pada pengertian peserta didik. Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah individu yang
mengalami perubahan dan perkembangan serta sangat memerlukan bimbingan dan
arahan dalam membentuk kepribadian sebagai bagian dari proses pendidikan.
Dengan demikian peserta didik merupakan seorang individu yang sedang mengalami
fase perubahan, perkembangan atau pertumbuhan baik segi fisik dan mental maupun
dari fikiran. Sebagai individu yang sedang mengalami fase perubahan,
perkembangan dan perubahan tentu saja peserta didik sangat memerlukan bantuan,
bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Seperti waktu peserta didik
berada pada usia balita, tentu saja selalu mendapat bantuan dari orang tua
ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikian peserta didik merupakan barang
mentah yang harus diolah dan dibentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.
Hal demikian dapat disebutkan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi
atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga,
pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses ini peserta didik sangat
banyak menerima bantuan yang mungkin tidak disadarinya, sebagai contoh seorang
peserta didik mendapatkan pena untuk menulis yang dibeli dari sebuah toko.
Dapat dibayangkan betapa banyak hal yang dilakukan orang lain dalam proses
pembuatan dan pendistribusian pena tersebut, mulai pembuatan, penjualan
sehingga sampai ke tangan seorang peserta didik.
Ketiga, pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam
pendidikan. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai
gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidik di sekolah saja. Ditinjau
dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong dalam
pendidik. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai
pendidik dalam lingkungan keluarga dan pimpinan masyarakat baik formal maupun
nonformal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatagorikan
pendidik sebagai berikut; 1) orang dewasa, maksudnya orang dewasa disebut
sebagai pendidik berdasarkan sifat umum kepribadian orang dewasa, 2) orang tua,
maksudnya orang tua merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan kelurga.
Ini berarti orang tua sebagai pendidik utama dan yang pertama yang berlandaskan
pada hubungan cinta kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan
keluarga mereka, 3) Guru/ pendidik di sekolah/madrasah, maksudnya guru
merupakan pendidik di sekolah yang secara langsung maupun tidak langsung
mendapatkan tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan.
Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik harus memenuhi
persyaratan-persyaratan, baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan.
Persyaratan pribadi maksudnya ketentuan yang terkait dengan nilai dari
tingkahlaku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Sedangkan
persyaratan jabatan (profesi) terkait pengetahuan yang dimiliki baik yang
berhubungan dengan pesan yang ingin disampaikan maupun cara penyampaiannya dan
memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, 4) pemimpin
masyarakat dan pemimpin agama, maksudnya peran pemimpin masyarakat menjadi
pendidik berdasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau
bimbingan kepada anggotayang dipimpin. Pemimpin keagamaan sebagai pendidik
berdasarkan aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerohanian manusia,
yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
Keempat, metode pendidikan
dalam interaksi pendidikan tidak terlepas dari metode atau cara
pendidikan dilaksanakan, terdapat beberapa metode yang dilakukan dalam
mendidik; 1) metode diktatoran, metode ini bersumber dari teori empiris yang
menyatakan bahwa perkembangan manusia semata-mata ditentukan oleh faktor luar
manusia, metode ini menimbulkan sikap diktator dan otoriter, pendidik yang
menentukan segalanya, 2) metode liberal, metode ini berasal dari teori
naturalisme yang menyebutkan bahwa perkembangan manusia itu sebagian besar
ditentukan oleh kekuatan dari dalam yang secara wajar ada pada diri manusia.
Pandangan ini menimbulkan sikap bahwa pendidik jangan terlalu banyak ikut
campur terhadap perkembangan anak. Membiarkan anak berkembang sesuai dengan
kodratnya secara bebas, 3) metode demokratis, metode ini bersumber pada teori
konvergensi yang mengatakan bahwa perkembangan manusia tergantung pada factor
dalam dan luar. Maksudnya pendidik dan peserta didik sama-sama penting dalam
proses pendidikan untuk mencapai tujuan.
Kelima,
isi/ materi
pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan penidikan. Untuk mencapai
tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/ materi pendidikan
yang disebut dengan kurikulum dalam pendidikan formal. Materi atau kurikulum
yang disampaikan harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang mengandung nilai
dan pandangan hidup bangsa. Dan dalam menetapkan bahan/ materi harus
dipertimbangkan karakter subjek didik dan fase perkembangannya. Serta harus
disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, menarik perhatian, minat, umur,
bakat, jenis kelamin, latar belakang dan pengalaman peserta didik. Menurut
Hartoto guru harus memilih bahan/ materi yang perlu diberikan dan harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut; 1) bahan/ materi harus sesuai dan
menunjang tujuan yang perlu diberikan; 2) urgensi bahan yaitu penting untuk diketahui oleh peserta didik;
3) nilai praktis atau kegunaannya diartikan sebagai makna bahan itu bagi
kehidupannya sehari-hari; 4) bahan tersebut merupakan bahan wajib, sesuai
dengan tuntutan kurikulum; 5) bahan yang susah diperoleh sumbernya, perlu
diupayakan untuk diberikan oleh guru. Untuk bahan yang mudah diperoleh
sebaiknya ditugaskan untuk dipelajari, sedangkan guru hanya berbicara
pokok-pokoknya saja.[61]
Keenam, Lingkugan pendidikan meliputi segala segi kehidupan
atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai
gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja.
Lingkungan pendidikan merupakan segala sesuatu yang ada di sekeliling anak
didik dan komponen-komponen pendidikan yang lain. Lingkungan
pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa benda
mati, makhluk hidup ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi termasuk kondisi
masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu. Seperti lingkungan tempat pendidikan berlangsung
dan lingkungan tempat anak bergaul. Lingkungan ini kemudian secara khusus
disebut sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan jenis dan tanggung jawab yang
secara khusus menjadi bagian dari karakter lembaga tersebut. Pengertian lembaga
pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan hal
lain memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan pendidikan itu
bertugas memberi pendidikan kepada si terdidik (Marimba, 1980). Secara umum
fungsi lembaga-lembaga pendidikan adalah menciptakan situasi yang memungkinkan
proses pendidikan dapat berlangsung sesuai tugas yang bebankan kepadanya karena
situasi lembaga pendidikan harus berbeda dengan situasi lembaga lain (Azra,
1998).
Ketujuh, Alat dan fasilitas pendidikan sangat dibutuhkan
dalam proses pendidikan, dengan adanya fasilitas pendidikan maka proses
pendidikan berjalan dengan lancar, sehingga tujuan pendidikan mudah dicapai. Aspek
utama yang harus mendapatkan perhatian dalam proses dan setiap pengelola pendidikan adalah mengenai
fasilitas pendidikan. Sarana pendidikan umumnya mencakup semua fasilitas yang
secara langsung dipergunakan dan menunjang dalam proses pendidikan, seperti gedung,
ruang belajar atau kelas, alat-alat atau media pendidikan seperti meja, kursi,
dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas atau prasarana adalah
yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan, seperti
halaman, kebun atau taman sekolah, jalan menuju ke sekolah dan lainnya. Untuk
mewujudkan pemerataan alat dan fasilitas pendidikan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) pada tanggal 30 Desember 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 122 Tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor
75 Tahun 2014 tentang percepatan penyediaan infrastruktur prioritas. Infrastruktur
pendidikan meliputi sarana pembelajaran, laboratorium, pusat pelatihan, pusat
penelitian, sarana prasarana penilitian dan pengembangan, ruang praktik siswa,
perpusatakaan, fasilitas pendukung pembelajaran dan pelatihan.
H. Landasan
Pendidikan
Landasan pendidikan merupakan unsur strategis dan sangat
penting untuk mengembangkan pendidikan bagi individu, keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara. Mengenai landasan pendidikan terdapat beragam istilah.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, landasan berarti sebagai alas, dasar atau
tumpuan. Istilah landasan dikenal pula sebagai fundasi.[62] Dengan demikian dapat
dipahami landasan adalah alas atau dasar pijakan, titik tumpu atau titik tolak
dari suatu hal, atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal. Dan landasan
pendidikan merupakan seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak, tempat
berpijak atau panduan pada proses pendidikan.
Landasan
pendidikan tersebut adalah landasan agama, filosofis, hukum, psikologis,
sejarah, sosial budaya, sosiologis, ekonomi dan landasan ilmiah dan teknologi
(IPTEK), memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan serta
mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.
1.
Landasan Agama.
Landasan agama dalam duna pendidikan merupakan landasan
strategis dan sangat penting. Yang paling mendasari dari landasan agama adalah
karena landasan agama dicitakan oleh Allah SWT, berupa Firman Allah SWT (Al Qu’ran)
dan AL Hadist berupa risalah (tuntunan) yang dibawa oleh Rasulullah yakni Nabi
Muhammad SAW. Landasan agama diciptakan untuk umat manusia, berisikan tentang
tuntunan, pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Landasan agama juga sebagai rahmat bagi sekalian alam semesta.
Pendidikan memiliki kedudukan yang sangat mulia, secara substantifnya
terdapat dalam Al Quran Surat Al Alaq ayat 1 – 5 sebagai berikut; 1) Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan; 2) Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah; 3) Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah; 4) yang
mengajarkan manusia dengan perantara Kalam; 5) Dia mengajarkan kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.[63]
Dalam Al Qur’an Surat Al Mujadalah ayat 11. Allah SWT
mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat.[64]
Maksudnya orang yang mempunyai derajat yang paling tingi disisi Allah SWT
adalah orang yang beriman dan berilmu. Ilmu yang diamalkan sesuai dengan Allah
SWT dan RasulNya.
Hadist Rasulullah Muhammad SAW, carilah ilmu dari buaian
sampai keliang lahat.[65]
Mencari ilmu diwajibkan bagi laki-laki dan perempuan. Telah aku tinggalkan 2
perkara yang jika engkau memegang teguh keduanya, engkau tidak akan tersesat,
kedua perkara tersebut adalah Al Qur’an dan Al Hadist, barang siapa
menginginkan kebahagiaan di dunia, maka dengan ilmu, barang siapa yang
menginginkan kebahagiaan di akhirat, maka dengan ilmu dan barang siapa yang
menginginkan kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat) maka dengan ilmu (HR.
Turmudzi).
Meskipun seringkali terjadi pertentangan antar agama dan filsafat,
namun terdapat beberapa tokoh besar yang mengemukakan pandangan filosofis yang
berpijak pada filsafat agama seperti Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037),
Al-Gazali (1058-1111) dan Ibnu Rush atau Averroes (1126-1198) dari agama Islam,
st, Thomas Aquinas (1225-1274) dari agama Katolik yang dapat dianggap puncak
skolastik Kristen dengan filsafat neothomisme Lao-tse dari Tacis China,
Rabidranat tagore di India dan sebagainya.
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 10 Ayat 4 dinyatakan
bahwa Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah
yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai
budaya, nilai moral dan nilai keterampilan.[66] Maksudnya
bahwa agama merupakan suatu landasan pendidikan yang berakar dari keluarga.
Selanjutnya disamping sekolah dan keluarga, proses
pendidikan juga dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat,
seperti kelompok keagamaan, organisasi pemuda, pramuka, dll. Pendidikan sebagai
usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari sejumlah landasan serta
pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat
penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia
dan masyarakat.
2.
Landasan
Filosofis
Menurut Pirdata, filsafat telah ada
sejak manusia lahir, manusia adalah makhluk sosial dalam kehidupan
bermasyarakat sudah memiliki gambaran dan cita-cita yang mereka kejar dalam
hidupnya, baik secara individu maupun secara kelompok.[67]
Selanjutnya Pirdata menyebutkan filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan
perenungan secara mendalam sampai akar-akarnya mengenai pendidikan.[68]
Maksudnya semakin berkembang budaya, adat istiadat suatu suku bangsa, serta norma,
hukum yang berlaku dalam masyarakat maka semakin berkembang pendidikan, karena
hal ini akan memotivasi masyarakat melakukan aspek-aspek tertentu pada
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan cita-cita mereka.
Landasan filosofis bersumber dari
pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan, menyangkut keyakinan terhadap hakekat
manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan dan tentang
kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai
saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme
dan Progresivisme dan Ekstensialisme.
Pertama, Esensialisme adalah mashab pendidikan yang
mengutamakan pelajaran teoretik atau bahan ajar esensial, kedua, Perenialisme
adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan yakni kebenaran,
keindahan, cinta kepada kebaikan universal, ketiga,
Pragmatisme dan Progresifme. Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan
praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional, keempat, Rekonstruksionisme adalah
mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai
pelopor perubahan masyarakat.
Pancasila sebagai Landasan Filosofis
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989, pendidikan nasional
berdasarkan pancasila dan UUD 1945, sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978
tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia,
kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara
Indonesia.
3.
Landasan
Hukum (Yuridis)
Landasan hukum
pendidikan adalah peraturan yang dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan
kegiatan pendidikan. Landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau
titik tolak. Seperti landasan hukum seorang guru boleh mengajar dengan adanya keputusan
tentang pengangkatannya sebagai guru. Yang melandasi guru menjadi guru adalah
keputusan dan hak-haknya.
Undang-undang
Pendidikan: pertama, Menurut
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal-pasal yang berhubungan dengan pendidikan dalam
Undang Undang Dasar 1945 hanya2 pasal, yaitu pasal 31 dan 32. Pasal 31 mengatur
tentang pendidikan kewajiban pemerintah membiayai wajib belajar 9 tahun di SD
dan SMP, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, dan sistem
pendidikan nasional. Sedangkan pasal 32 mengatur tentang kebudayaan.[69]
Kedua,
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang
undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, juga
terdiri dari 77 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum(istilah-istilah
terkait dalam dunia pendidikan), dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional,
prinsip penyelenggaraan pendidikan, hak dan kewajiban warga negara, orang tua
dan masyarakat, peserta didik, jalur jenjang dan jenis pendidikan, bahasa
pengantar, estƔndar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pendanaan pendidikan,
pengelolaan pendidikan, peran serta masyarakat dalam pendidikan, evaluasi
akreditasi dan sertifikasi, pendirian satuan pendidikan, penyelenggaraan
pendidikan oleh lembaga negara lain, pengawasan, ketentuan pidana, ketentuan
peralihan dan ketentuan penutup.[70]
Ketiga, Undang-Undang
No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-undang ini memuat 84 Pasal yang
mengatur tentang ketentuan umum (istilah dalam undang-undang), kedudukan fungsi
dan tujuan, prinsip profesionalitas, seluruh peraturan tentang guru dan dosen
dari kualifikasi akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi profesi dan kode
etik, sangsi bagi guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana
mestinya, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.[71]
4.
Landasan Psikologis
Psikologis
merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia. Jiwa atau psikis dapat
dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang selalu berada dan melekat
pada diri manusia itu sendiri.
Kejiwaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam upaya memenuhi
kebutuhanya, manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan
lingkungannya itu menyebabkan manusia mengembangkan kemampuannya melalui proses
belajar, semakin kuat motif sebagai upaya pemenuhan kebutuhan itu, semakin kuat
pula proses belajar yang terjadi dan pada gilirannya semakin tinggi hasil belajar
yang dapat dicapainya.
Abraham Maslow
mengemukakan kategorisasi kebutuhan-kebutuhan menjadi enam kelompok, mulai dari
yang paling sederhana dan mendasar yang meliputi: 1) Kebutuhan fisiologis; 2) Kebutuhan
rasa aman; 3) Kebutuhan cinta dan pengakuan; 4) Kebutuhan harga diri (esteem needs); 5) Kebutuhan untuk
aktualisasi diri; 6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.[72]
Kajian
psikologis yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan
kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum (inteligensi) ataupun kecerdassan dalam bidang tertentu (bakat)
banyak dipengaruhi oleh kemampuan potensial yang hanya aktual apabila
dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Kecerdasan aktual terbentuk karena
adanya pengalaman. Jeans Piaget berpendapat bahwa kecerdasan merupakan
internalisasi pengalaman. Indeks kecerdasan, yang sering dikenal dengan IQ,
dapat diukur dengan tes-tes kecerdasan. Pengembangan kecerdasan itu terwujud
dalam berbagai bentuk kemampuan berpikir, baik berpikir konvergen (memusat) dan divergen
(memencar), maupun berpikir intuitif dan reflektif.[73]
Perkembangan peserta didik sebagai landasan psikologi, salah satu aspek dari pengembangan
manusia seutuhnya adalah yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian,
utamannya agar dapat diwujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri. Meskipun
terdapat variasi pendapat namun dapat dikemukakan beberapa prinsip umum
perkembangan kepribadian. Disebut sebagai prinsip-prinsip umum karena: 1)
Prinsip itu mungkin dirumuskan dengan variasi tertentu dalam berbagai teori
kepribadian; 2) Prinsip itu tampak berfariasi pada kepribadian manusia
tertentu (sebab kepribadian itu unik).
Salah satu
prinsip perkembangan kepribadian ialah bahwa perkembangan keprbadian mencangkup
aspek behavioral maupun aspek motivasional: dengan perkembangan kepribadian,
bukan hanya perubahan dari tingkah laku yang tampak tetapi juga perubahan dari
mendorong tingkah laku itu. Prinsip kedua dari perkembangan kepribadian adalah
bahwa kepribadian mengalami perkembangan yang menerus dan tidak terputus-putus
meskipun pada suatu periode tertentu mengalami perkembangan yang menerus
dibandingkan dengan periode yang lainya.
5. Landasan
Sejarah
Sejarah
merupakan informasi lampau, yang mengandung kejadian, model, konsep, teori,
proktik, moral, cita-cita, bentuk dan lain sebagainya. Informasi lampau
terutama berkaitan dengan kebudayaan. Demikian juga dalam bidang pendidikan,
para ahli pendidikan sebelum menekuni salah satu bidang pendidikan, terlebih
dahulu mengkaji sejarah tentang pendidikan, baik yang bersifat lokal, nasional
maupun internasional.
Landasan
historis pendidikan Nasional Indonesia tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia
itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya
bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Pada akhirnya
bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas,
sifat dan karakter bangsa Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain. Para
pendiri negara kita merumuskan negara kita dalam suatu rumusan yang sederhana
namun mendalam, meliputi 5 prinsip (lima sila) yang kemudian diberi nama
Pancasila.
Secara historis
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan
disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki
oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut
tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri.
Konsekuensinya
adalah Pancasila berkedudukan sebagai dasar filsafat negara serta ideologi
bangsa dan negara, bukan sebagai suatu ideologi yang menguasai bangsa, namun
justru nilai-nilai dari sila-sila Pancasila itu melekat dan berasal dari bangsa
Indonesia itu sendiri. Maka landasan sejarah merupakan landasan pendidikan, ditinjau
historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan masa lalu atau
pandangan retrospektif, seperti; kejadian, model, konsep, teori, praktik,
moral, cita-cita bangsa masa lampau. Dengan demikian pandangan ini melahirkan
studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional di Indonesia.
6. Landasan Kultural
Kebudayaan
merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur budaya, sebab
sebagian besar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok, baik kegiatan
di rumah, di kantor, di perusahaan, di perkebunan, di bengkel, hampir semuanya
dilakukan oleh lebih dari seorang. Ini berarti unsur budaya ada pada
kegiatan-kegiatan tersebut, seperti membenahi rumah agar indah dan rapi
merupakan unsur budaya dan alat untuk mengajarkan cara mengerjakan dengan baik
juga merupakan suatu budaya.
Kebudayaan
selalu terkait dengan pendidikan, utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti luas
dapat berwujud: 1) Ideal seperti ide, gagasan, nilai dan sebagainya; 2)
Kelakuan berpola dari manusia dalam mayarakat, dan 3) Fisik yakni benda hasil
karya manusia.
Baik kebudayaan
yang berwujud ideal, kelakuan dan teknologi, dapat diwujudkan melalui proses
pendidikan. Contoh dalam penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan
mengajarkan anak-anak mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan
bagaimana mengatakannya dan kepada siapa mengatakannya. Oleh sebab itu
anak-anak harus diajarkan pola-pola tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat.
Kebudayaan Nasional sebagai landasan system pendidikan Nasional. Ini berarti pendidikan yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia. Karena kebudayaan masyarakat Indonesia majemuk
maka kebudayaan bangsa Indonesia lebih tepat disebut kebudayaan Nusantara.
Puncak-puncak kebudayaan Nusantara itulah yang diterima secara nasional disebut
kebudayaan Nasional.
Salah satu
upaya penyesuaian pendidikan jalur sekolah dengan keragaman latar belakang
sosial budaya di Indonesia adalah dengan memerlakukan muatan lokal di dalam
kurikulum sekolah. Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik dari setiap
daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhinekaan masyarakat
dan bangsa Indonesia.
Beberapa tahun
terakhir, makin kuat pendapat bahwa pendidikan seharusnya diupayakan agar lebih
menjamin adanya keterikatan antara peserta didik dengan lingkungannya. Sebagai
contoh, muatan lokal dalam kurikulum tidak hanya sekedar meneruskan minat dan
kemahiran yang ada di daerah tertentu tapi juga serentak memperbaiki/ meningkatkan
sesuai dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat.
7.
Landasan Sosiologis
Kegiatan
pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu atau bahkan dua
generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Dengan
meningkatkan sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang
pendidikan sosiologi.
Menurut Pidarta,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara manusi dalam
kelompok-kelompok dan struktur sosialnya.[74]
Maksudnya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dalam
kelompok. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial
dan pola-pola interaksi sosial pendidikan yang meliputi 4 bidang: 1) Hubungan
sistem pendidikan dengan aspek masyarakat; 2) Hubungan kemanusian disekolah; 3)
Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya; 4) Sekolah dalam komunitas,
mempelajari interaksi sekolah dengan kelompok sosial lain dalam satu komunitas.
Masyarakat
mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung
dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, serta pada umumnya
bertempat tinggal disuatu wilayah tertentu dan adakalanya mereka memiliki
hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat sebagai kesatuan
hidup memiliki ciri utama antara lain: 1) Adanya interaksi antar warga-warganya;
2) Pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat, norma-norma, hukum,
dan aturan-aturan yang khas; 3) Ada rasa identitas kuat yang mengikat pada
warganya.
8.
Landasan
Ekonomi
Pada zaman
pasca modern atau globalisasi sekarang ini, yang sebagian besar manusianya
cenderung mengutamakan kesejahteraan materi dibanding kesejahteraan rohani,
membuat ekonomi mendapat perhatian yang sangat besar. Oleh sebab itu ada
kewajiban suatu lembaga pendidikan untuk memperbanyak sumber dana yang mungkin
bisa digali adalah sebagai berikut: 1) Dari pemerintah dalam bentuk proyek pembangunan,
penelitian bersaing, pertandingan karya ilmiah anak-anak, dan
perlombaan-perlombaan lainnya; 2) Dari kerjasama dengan instansi lain, baik
pemerintah, swasta, maupun dunia usaha. Kerjasama ini bisa dalam bentuk proyek
penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan proyek pengembangan bersama; 3) Membentuk
pajak pendidikan, dapat dimulai dari satu desa yang sudah mapan, satu daerah
kecil, dan sebagainya; 4) Usaha lainnya seperti dana rutin, dana pembangunan dan
dana bantuan masysrakat.
9. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pengetahuan (knowledge) adalah segala sesuatu yang
diperoleh melalui berbagai cara pengindraan terhadap fakta, penalaran (rasio),
intuisi dan wahyu. Dengan demikian, pengetahuan meliputi berbagai cabang ilmu
(ilmu-ilmu sosial atau social sciences,
dan ilmu-ilmu alam atau natural sciences),
humaniora (seni, filsafat, bahasa, dan sebagainya) serta wahyu keagamaan atau
yang sejenisnya. Dilihat dari segi tujuan pokoknya, sering pula dibedakan ilmu
dasar (basic science) dan ilmu
terapan (applied science). Hasil dari
ilmu terapan itu harus dialih ragamkan (ditransformasikan) menjadi bahan, alat,
atau prosedur kerja kegiatan ini biasa disebut pengembangan (development). Tingkat lanjut dan hasil
kegiatan pengembangan itulah yang disebut teknologi.
Landasan
antologis dari ilmu berkaitan dengan objek yang ditelaah oleh ilmu adalah: yang
ingin diketahui oleh ilmu, hubungannya dengan daya tangkap manusia. Objek ilmu
itu selalu berkaitan dengan pengalaman manusia yang dapat dikomunikasikan
kepada orang lain.
Landasan
epistemologi dari ilmu berkaitan dengan segenap proses untuk memeroleh
pengetahuan ilmiah, yakni Prosedurnya, usaha yang harus diperhatikan agar
memperoleh kebenaran, Cara/teknik/sarana yang dapat membantu mendapatkannya.
Seperti iptek itu sendiri, metode keilmuan juga mengalami perkembangan sebagai
akumulasi pendapat manusia yang kini dikenal sebagai Model
Induktif-Hipotetiko-Deduktif.
Landasan
aksiologis dari ilmu berkaitan dengan manfaat atau kegunaan pengetahuan ilmiah
yaitu: untuk apa pengetahuan ilmiah itu dipergunakan? Bagaimana kaitannya
dengan nilai-nilai moral? Ilmu telah berjasa mengubah wajah dunia dalam
berbagai bidang serta memajukan kesejahteraan manusia.
Perkembangan
Iptek sebagai landasan ilmiah menurut Titaraharja, menyatakan pendidikan, ilmu
pengetauan dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian
utama dalam isi pembelajaran, dengan kata lain bahwa pendidikan berperan sangat
penting dalam pewarisan dan pengembangan Iptek.[75]
Iptek merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia. Masa
lampau, manusia purba senantiasa menghadapi kekuasaan alam yang mendominasi
kehidupan. Berkat perkembangan iptek, hubungan kekuasaan antara manusia dan alam
itu dapat dikatakan terbalik. Alam kini di bawah kekuasaan manusia.
Pada setiap
perkembangan Iptek hendaknya harus diakomodasi oleh pendidikan dengan segera
memasukkan hasil pengembangan Iptek ke dalam bahan ajar. Dengan perkembangan
Iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin komplek, maka pendidikan dengan
segala aspeknya mau tidak mau mangakomodasi perkembangan itu, baik perkembangan
Iptek maupun perkembangan masyarakat. Konsekuensi perkembangan pendidikan
menyebabkan penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme
kerja serta pemantapan pengelolaan haruslah dilakukan dengan memanfaatkan
Iptek, karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka banyak teknologi
dari berbagai bidang ilmu segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan,
atau kemajuan segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan.
I. Azas
Pendidikan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan
berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus
di Indonesia, terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan
melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut antara lain;
1.
Asas Tut wuri Handayani
Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas yang
menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf-veschikkingsrecht) dengan
mengingat tertibnya persatuan dalam peri kehidupan umum. Asas Tut Wuri
Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara
seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani
mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari
belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak
mencari jalan sendiri dan jika anak melakukan kesalahan baru pendidik
membantunya.[76]
Sebagai asas pertama, Tut Wuri Handayani merupakan inti
dari sistem among perguruan, di mana guru memperoleh sebutan pamong yang berdiri
di belakang dengan semboyan tut wuri handayani. Asas yang dikumandangkan oleh
Ki Hajar Dewantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono
(fisuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso
Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso (Raka Joni, et. Al., 1985:38;
Wawasan kependidikan Guru, 1982: 93). Kini ketiga semboyan tersebut telah
menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan
memberi contoh), Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan
dan semangat), dan Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan).
Semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada
hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur
perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi
kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu
kesatuan asas, yakni: a. Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh), b. Ing madya mangun karsa (jika di tengah-tengah,
membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan c. Tut wuri handayani (jika di belakang, mengikuti dengan
awas).[77]
2. Asas Belajar sepanjang hayat
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain
terhadap pendidikan seumur hidup (life
long education). Dikenal dengan belajar sepanjang hayat. Kedua istilah ini
memang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah
belajar adalah perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif
tetap karena pengaruh pengalaman, sedang istilah pendidikan menekankan pada
usaha sadar dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan
pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien efektif, sebagai lingkungan yang
membelajarkan subjek didik.
Selanjutnya pendidikan sepanjang hayat didefinisikan
sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan perstrukturan
pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan perstrukturan ini diperluas
mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai yang paling
tua. Pendidikan sepanjang hayat bukan merupakan pendidikan yang berstruktur
namun suatu prinsip yang menjadi dasar dalam menjiwai seluruh organisasi system
pendidikan yang ada. Dengan kata lain pendidikan sepanjang hayat menembus
batas-batas kelembagaan, pengelolaan dan program yang telah berabad-abad
mendesakkan diri pada system pendidikan.
Ditinjau dari pendidikan sekolah, rancangan dan
implementasi program belajar mengajar untuk mendorong belajar sepanjang hayat,
dengan terbentuknya manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus
belajar. Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat
harus dirancang diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi;
Pertama, Dimensi
vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar
tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa
depan.
Kedua, Dimensi
horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar
di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Untuk mencapai integritas pribadi
yang utuh sebagaimana gambaran manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia; a) Mendapat
kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian sepanjang hidupnya,
b) Mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-lembaga
pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan yang ditawarkan dapat
bersifat formal, informal dan non formal, c) Mendapat kesempatan mengikuti
program-program pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka
pengembasngan pribadi secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya
(MIS) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan d) Mendapat
kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang dan
jenis pendidikan tertentu sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989.
Pendidikan seumur hidup. UNESCO Institute for Education menetapkan suatu definisi kerja yakni
pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus; a) Meliputi
seluruh hidup setiap individu, b) Mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan dan
penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat
meningkatkan kondisi hidupnya, c) Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self
fulfilment) setiap individu, d) Meningkatkan kemampuan dan motivasi utnuk
belajar mandiri, e) Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang
mungkin terjadi, termasuk yang formal, non formal dan informal.
Terkait dengan pendidikan,
maka kurikulum yang dapat mendukung
terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan
memperhatikan dua dimensi berikut; Pertama, Dimensi
vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Disamping keterkaitan dan kesinambungan
antartingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik
di masa depan. Termasuk dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian
tentang; 1) Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta
didik, termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan pengintegrasian
masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum, 2) Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan; Kurikulum seyogianya
memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta
didik justru akan hidup dalam sosial-kebudayaan yang telah berubah setelah
menamatkan sekolahnya, 3) The forecasting curriculum yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis,
baik tentang prilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat
hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat ia hidup dalam
sistem yang telah berubah di masa depan, 4) Keterpaduan
bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan
struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar
untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu, 5) Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang
dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat
membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya, 6) Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki
peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar, dan
demikian seterusnya, 7) Untuk
mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat
melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu,
seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan
kepribadiannya, dan sebagainya.
Kedua, Dimensi horizontal dari
kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
pengalaman di luar sekolah antara lain: 1) Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah;
kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoritis di dalam bahan ajaran
di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan-persoalan pokok
yang terdapat di luar sekolah, 2) Memperluas
kegiatan belajar ke luar sekolah;
kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, seingga kegiatan
belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah, 3) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan
belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah
maupun kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan
implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan
peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan
dan kemauan mengguanakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan meberi
peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang mempunyai
warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar
belajar (learning society). Dengan
kata lain, akan terwujudlah gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang
tercermin di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.
Asas belajar sepanjang hayat (life long education), mulai populer pada tahun 1979, yang
dikemukakan UNESCO yang terkenal dengan life
long education. Pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus; 1)
Seluruh hidup setiap individu; 2) Merupakan pembentukka, pembaharuan,
peningkatan, dan penyempurnaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesorang;
3) Mengembangkan penyadaran diri; 4) Meningkatkan kemampuan motivasi untuk
belajar mandiri; 4) Asas Kemandirian dalam Belajar (Self Regulated Learning) Baik asas tut wuri handayani maupun
belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asa kemandirian
dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi
kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin
dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan
guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan ketika diperlukan. Selanjutnya
asa sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa
peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena tidak mungkin seorang
belajar sepanjang hayatnya jika selalu tergantung dari bantuan guru atau orang
lain.
3. Azas
Kemandirian dalam Belajar
Asas ini tidak dapat
dipisahkan dari 2 asas tut wuri handayani dan belajar sepanjang hayat.
Implikasi dari asas ini adalah pendidik harus menjalankan peran komunikator,
fasiltator, organisator, dsb. Pendidik diharapkan dapat menyediakan dan
mengatur berbagai sumber belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta
didik berinteraksi dengan sumber belajar tersebut.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar menempatkan
guru dalam peran utama sebagai; 1) Fasilitator, yaitu guru diharapkan
menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sehingga memudahkan peserta
didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut; 2) Motivator, yaitu guru
mengupayakan timbulnya prakarsa sisik untuk memanfaatkan sumber belajar; 3) Organisator,
yaitu guru mempunyai suatu tugas untuk mengorganisasikan peserta didiknya guna
memudahkan dalam proses belajar yang akan dijalaninya; 4) Informator, yaitu
guru sebagai salah satu sumber atau pemberi informasi guna membantu para
peserta didiknya dan memudahkan dalam proses belajar.
Asas Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai
aktifitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan
sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran.
Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang
diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah sebagai berikut; a) Belajar Mandiri memandang
siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran
mereka sendiri, b) Peran kemauan dan motivasi dalam belajar mandiri sangat
penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil
keputusan dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian
sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison), c) Di dalam belajar
mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa.
Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran yang hendak dicapai
dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).[78]
Haris Mujiman, menyebutkan belajar mandiri adalah
kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai
suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah dan dibangun dengan bekal
pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan
belajar dan upaya pencapaiannya baik penetapan waktu belajar, tempat belajar,
irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar dilakukan
oleh siswa sendiri.[79] Asas
belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan jika didasarkan pada asumsi
bahwa peserta didik mau dan mampu belajar mandiri.
Beberapa jenis kegiatan belajar mandiri sangat bermanfaat
dalam mengembangkan kemandirian dalam proses belajar tersebut seperti belajar
melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram dan sebagainya. Konsep
Belajar Mandiri (Self-directed Learning)
sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian
berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison
tahun 1997, Schillereff tahun 2001 dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar
mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar
mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah pertama
dan menengah atas maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan
kemampuan siswa.
Pada tingkat Perguruan
Tinggi, istilah SKS (Sistem Kredit Semester) merupakan pelaksanaan asas
kemandirian dalam belajar bagi mahasiswa. Mahasiswa dituntut dapat
mengembangkan materi yang telah diajarkan di kampus bersama dosen sehingga
pengetahuan dan pemahamannya dapat berkembang dan luas. Jika menemukan hal-hal
yang kurang dipahami dalam pembelajaran maka dapat mendiskusikan bersama dengan
dosen yang mempunyai keahlian dan kemampuan dalam hal-hal yang kurang
dimengerti tersebut. Sehingga asas kemandirian belajar berlaku bagi semua yang
dengan usaha dan kemauan sendiri untuk belajar, baik secara formal maupun non
formal.
Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebaga
fasilitator dan motivator, di samping peran lain seperti Informator dan
organisator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur
berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta didik berinterkasi
dengan sumber tersebut.
Terdapat berbagai
strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi
peluang pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa aktif (CBSA)
merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut
mengambil prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam
belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja.
Di samping itu, beberapa
jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan
kemandirian dalam belajar itu, seperti belajar melalui modul, paket belajar,
pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhan upaya itu akan dapat
terlaksana dengan semestinya apabila setiap lembaga pendidikan, utamanya
sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. Seperti
diketahui, PSB itu memberi peluang tersedianya berbagai jenis sumber belajar,
di samping bahan pustaka di perpustakaan, seperti rekaman elektronik,
ruang-ruang belajar (tutorial) sebagai mitra kelas. Dengan dukungan PSB itu
asas-asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.
4. Azas semesta, menyeluruh dan terpadu
Asas semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta artinya
pendidikan itu terbuka untuk seluruh rakyat, menyeluruh artinya mencakup semua
jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Terpadu artinya saling berkaitan antara
pendidikan dengan pembangunan nasional. Asas semesta, menyeluruh dan terpadu
yang berarti bahwa pendidikan nasional terbuka bagi setiap manusia Indonesia.
5. Azas
manfaat adil dan merata
Asas adil dan merata yang berarti bahwa semua kepentingan
berbagai pihak harus mendapat perhatian dan perlakuan yang seimbang. Asas
manfaat berarti pendidikan harus mengingat kemanfaatanya bagi masa depan
peserta didik, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Asas manfaat, adil dan merata yang meliputi
asas nondiskriminatif, yang memandang manusia Indonesia seutuhnya tanpa diskriminasi,
baik atas dasar kesukuan, daerah, keturunan, derajat, jenis kelamin dan
kekayaan maupun atas dasar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahasa
Esa.
6. Azas Tanggung jawab bersama
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan beberapa tujuan yang
hendak dicapai oleh negara yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, kemudian dalam batang tubuh
UUD 1945 salah satu pasal yang juga menyatakan Tiap–tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran. Asas tanggung
jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Asas pendidikan
berlangsung dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.
Terkait pendidikan, maka tidak terlepas dari adanya guru
dan siswa, interaksi antara guru dan siswa selalu terjadi dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah, guru melaksanakan tugas sesuai hak dan kewajibannya,
namun perlu diketahui bahwa tugas guru adalah sangat berat, karena di samping
mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru juga harus mendidik siswa agar
dapat berkembang secara seimbang antara jasmani dan rohani, mendidik siswa
berarti pula ikut membantu mendewasakan dan mematangkan jiwa anak, membentuk
mental yang baik sehingga anak tersebut dapat berbudi pekerti yang luhur dan
mampu membawa diri dengan baik sampai akhirnya dapat berguna bagi kepentingan
bangsa dan negara.
Jika semua elemen masyarakat dapat menghormati dan
menghargai profesi guru, orang tua siswa harus menyadari bahwa mendidik anak
bukanlah persoalan yang mudah, apalagi di zaman globalisasi seperti sekarang
ini, maka sepantasnyalah pendidikan ini menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga,
sekolah, masyarakat dan pemerintah, sehingga orang tua tidak bisa melempar
kesalahan begitu saja kepada sekolah atau guru jika terjadi sesuatu pada
anaknya, selama semua masih dalam kerangka pendidikan dan tidak melanggar aturan
yang berlaku.
Adapun azas-azas pelaksanaan pendidikan nasional yang
lain yaitu; 1) Asas semesta, menyeluruh dan terpadu, yang berarti bahwa
pendidikan nasional terbuka bagi setiap manusia Indonesia, mencakup semua jenis
dan jenjang pendidikan dan merupakan satu kesatuan usaha sadar yang tidak dapat
dipisahkan dari keseluruhan usaha pembangunan banga. 2) Asas pendidikan seumur
hidup. 3) Asas tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah. 4) Asas pendidikan berlangsung dalam lingkungan rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat. 5) Asas keselarasan dan keterpaduan dengan ketahanan
nasional dan wawasan nusantara. 6) Asas Bhineka Tunggal Ika. 7) Asas keselarasan,
keseimbangan dan keserasian. 8) Asas ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso,
tut wuri handayani, yang berarti bahwa seorang pendidik harus memberi teladan
di depan, memberi motivasi di tengah, dan mengawasi dari belakang. 9) Asas
mobilitas, efisiensi, dan efektivitas, yang memungkinkan pengadaan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi setiap manusia Inndonesia. 10) Asas kepastian hukum,
yang berarti bahwa sistem pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar peraturan
perundang-undangan.
J. Aliran
Pendidikan
Pendidikan
merupakan aspek strtegis dan sangat penting dalam membangun karakter manusia. Pendidikan
merupakan aspek luar yang membangun keterampilan dan kemampuan manusia lain.
Fase-fase tersebut dapat terlihat dari aliran pendidikan yang muncul, mulai
dari aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Masing-masing
aliran menyampaikan kelebihan dan kekurangan serta peran masing-masing dalam
kehidupan bermasyarakat, sebagai berikut;
Pertama, Nativisme. Aliran
nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan)
yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa
sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Kata nativisme berasal dari
bahasa Latin yang memiliki arti terlahir.[80] Dalam wikipedia bahasa Indonesia,
dijelaskan bahwa nativisme adalah aliran pendidikan yang berpandangan bahwa
keterampilan atau kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam
otak sejak lahir.
Dalam ilmu
kebahasaan aliran nativis, Douglas Brow mengungkapkan bahwa istilah nativis
diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari
sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang mempengaruhi kemampuan
kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi
sistem bahasa yang tertanam dalam diri manusia.[81] Teori nativis dalam penerimaan bahasa
pertama yang diungkapkan oleh Douglas Brow ini nampaknya tidak jauh berbeda
dengan teori nativisme dalam pendidikan yang dipelopori oleh filosof Jerman
Arthur Schopenhauer (1788-1860). Arthur Schopenhauer (Blog Swandika 2011)
beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah
oleh alam sekitar ataupun pendidikan.[82]
Arthur
Schaupenhaur (Blog Swandika 2011) menyatakan yang jahat menjadi jahat dan yang
baik menjadi baik.[83] Pandangan ini sebagai lawan dari
aliran empirisme atau optimisme yaitu pendidikan pesimisme memberikan dasar
bahwa suatu keberhasilan ditentukan oleh faktor pendidikan, ditentukan oleh
anak itu sendiri. Lingkungan sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu
tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Schaupenhaur (Idris,
1987) juga berpendapat bahwa mendidik ialah membiarkan seseorang bertumbuh
berdasarkan pembawaannya.[84] Jadi, menurut aliran ini, pengetahuan
seseorang sepenuhnya dipengaruhi oleh pembawaan lahir dan gen yang diturunkan
oleh kedua orang tua. Pendidikan yang diberikan haruslah disesuaikan dengan
bakat dan pembawaan anak didik itu sendiri. Teori ini percaya bahwa lingkungan
pendidikan maupun lingkungan sekitar yang telah direkayasa oleh orang dewasa
tidak berpengaruh terhadap tumbuh kembang pengetahuan manusia. Dengan kata lain
aliran ini menekankan bahwa pemerolehan pengetahuan manusia hanya berasal dari
dalam (internal). Pembawaan lahir itu ada yang baik ada pula yang buruk. Manusia
tumbuh dan berkembang membawa segala hal sejak lahir. Dan mereka berkembang
sesuai arahnya masing-masing. Sedangkan pendidikan tidak mempengaruhi apa-apa.
Aliran
nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan
kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor
pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses
pembelajaran. Berarti aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya
ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir, jadi perkembangan individu
semata-mata ditentukan oleh keturunan. Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme
adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau
seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat
betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan
sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak
juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu
bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih
banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam
menuju kedewasaan.
Kedua, Empirisme. Aliran
empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri=pengalaman),
tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Menurut
Zahra dan Idris empirisme berasal dari Bahasa latin empericus artinya pengalaman.[85] John Lock seorang filsuf dari Inggris
(Purwanto, 2000) berpandangan bahwa empirisme,
adalah aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan
pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui indra.[86] Selanjutnya, dalam bukunya yang
berjudul Essay Concerning
Human Understanding, mengatakan bahwa tak ada sesuatu dalam jiwa,
yang sebelumnya tak ada dalam indera. Dengan kata lain: Tak ada sesuatu dalam
jiwa, tanpa melalui indra.[87] Pendapat ini sebetulnya telah jauh
dikemukakan oleh Plato (Husaini et.
al., 2013) yang menyatakan bahwa ada dua cara untuk mengajarkan
atau mengenalkan pengetahuan. Pertama
adalah pengenalan indrawi (empiris), dan kedua
adalah pengenalan melalui akal (rasional).[88] John Lock (Purwanto, 2000) sebagai
tokoh utama dari aliran ini, mengatakan bahwa anak yang lahir ke dunia dapat
diumpamakan seperti kertas putih yang kosong dan yang belum ditulisi, atau
lebih dikenal dengan istilah teori tabulara (a
sheet of white paper avoid of all characters).[89] Menurut aliran ini anak-anak yang
lahir ke dunia tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa seperti kertas putih
yang polos. Oleh karena itu anak-anak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan
orang dewasa yang memberikan warna pendidikannya. Sesuai Idris Aliran empirisme
merupakan aliran yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan
manusia. Aliran ini mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada
lingkungan, sedangkan pembawaan anak yang dibawa semenjak lahir tidak dianggap
penting. Selain itu, Aliran ini juga berpandangan bahwa perkembangan seseorang
tergantung seratus persen kepada pengaruh lingkungan atau kepada
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya.[90]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran
empirisme adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya
kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Ketika aliran-aliran
pendidikan, yakni nativisme, dan empirisme dan dikaitkan dengan teori belajar
mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan (nativisme-empirisme)
mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang
ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Keberhasilan teori belajar
mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui
beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya.
Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh
lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang
mempengaruhi peserta didik tersebut.
Ketiga, Naturalisme.
Aliran Naturalisme
merupakan aliran yang menyakini adanya pembawaan dan juga milieu (lingkungan). Namun demikian, ada dua pandangan besar
mengenai hal ini. Pertama, disampaikan
oleh Rousseau yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia baik, namun jika ada
yang jahat, itu karena terpengaruh oleh lingkungannya. Kedua, Mensius berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu jahat. Jika
menjadi manusia yang baik karena bergaul dengan lingkungannya.[91]
Dua pendapat
ini jelas memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Satu sisi memandang sisi
jahat manusia bersumber dari lingkungan, sementara pendapat lain menyatakan
bahwa sisi jahat itu sendiri yang justru berada pada diri manusia. Namun, jika
memperhatikan dua pendapat ini memiliki sisi kebenaran yang sama jika ditilik
dari sudut genetis. Memang, jika melihat faktor ini. Manusia yang secara genetis
tidak baik, maka menjadi manusia yang tidak baik, begitupun sebaliknya.
Kata
naturalisme berasal dari bahasa Latin yaitu nature
artinya alam, tabiat dan pembawaan. Zahara, mengatakan Aliran ini dinamakan
juga negativisme ialah aliran yang meragukan pendidikan untuk perkembangan
seseorang karena dia dilahirkan dengan pembawaan yang baik. Ciri utama aliran
ini ialah dalam mendidik seseorang kembalilah kepada alam agar pembawaan
seseorang yang baik itu tidak di rusak oleh pendidik.[92] Dengan kata lain pembawaan yang baik
itu supaya berkembang secara spontan. Hampir senada dengan aliran Nativisme.
Menurut Ngalim
Purwanto, menyebutkan pada hakikatnya semua anak (manusia) itu dilahirkan
adalah baik.[93] Sependapat dengan Undang Ahmad,
menjelaskan bahwa sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah
berpembawaan baik. Hasil perkembangannya yang kemudian sangat ditentukan oleh
pendidikan yang diterimanya atau yang memengaruhinya. Jika pengaruh itu baik,
maka jadilah baik, tetapi jika pengaruh itu jelek, maka jelek pula hasilnya.[94] Jadi Aliran ini berpendapat bahwa
pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam (manusia dan lingkungan).
Sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat
kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas.
Aliran ini
mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan
pembawaan, kemampuan- kemampuannya, dan kecenderungan- kecenderungannya. Tetapi
seperti telah diketahui, bahwa gagasan naturalisme yang menolak campur tangan
pendidikan, sampai saat ini ternyata tidak terbukti, sebaliknya pendidikan
makin lama makin diperlukan.
Menurut paham
naturalisme paling tidak ada lima tujuan pendidikan, kelima pendapat itu
disampaikan oleh Spencer (Sudrajat,2013); 1) Pemeliharaan diri; 2) Mengamankan
kebutuhan hidup; 3) Meningkatkan anak didik; 4) Memelihara hubungan sosial dan
politik; 5) Menikmati waktu luang.[95] Berarti aliran naturalisme ini
mementingkan manfaat pendidikan dengan menjadikan pemeliharaan diri menjadi
faktor utama yang kemudian disusul dengan kebutuhan hidup. Kedua faktor
tersebut tercapai jika faktor ketiga secara maksimal dilaksanakan. Agar
maksimal maka faktor keempat dan kelima yang kemudian menjadi perhatian dalam
melakukan pendidikan.
Selanjutnya
Spencer (Sudrajat, 2013), ada enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran
naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah: 1) Pendidikan harus menyesuaikan
diri dengan alam; 2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; 3) Pendidikan
harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; 4) Memperbanyak ilmu
pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; 5) Pendidikan
dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; 6) Praktik
mengajar adalah seni menunda; 7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan
cara induktif; dan 8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat
melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara
simpatik.[96] Dengan demikian hal ini dilakukan
atas dasar, bahwa anak memiliki potensi insaniyah yang memungkinkan untuk dapat
berkembang secara alamiah. Adapun tokoh naturalisme ini adalah J.J. Rousseau
(1712-1778) dan Schopenhauer (1788-1860 M). Kedua tokoh ini, merupakan tokoh yang
sering dikutip pendapatnya berkaitan dengan naturalisme.
Keempat, Konvergensi.
Aliran konvergensi
dipelopori oleh William Stern. Gagasan ini didasari pada dua teori sebelumnya,
yakni; nativisme dan empirisme. Maksudnya bahwa konvergensi merupakan gabungan
antara kedua teori tersebut. Hal ini dapat ditilik dalam teori konvergensi yang
menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu bergantung pada
faktor bakat/ pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman/ pendidikan.[97] Jika diidentifikasi teori tersebut,
maka jelas bahwa unsur nativisme dan empirisme membangun kedua teori itu. Hal
itu tercermin pada, faktor bakat merupakan gagasan teori nativisme
sedangkan faktor lingkungan merupakan gagasan empirisme.
Menurut Zahara,
konvergensi berasal dari bahasa Inggris dari kata convergenry, artinya pertemuan pada satu
titik. Aliran ini mempertemukan atau mengawinkan dua aliran yang berlawanan di
atas antara nativisme dan empirisme. Perkembangan seseorang tergantung kepada
pembawaan dan lingkungannya.[98] Dengan kata lain pembawaan dan
lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang. Pembawaan seseorang baru
berkembang karena pengaruh lingkungan. Hendaknya pendidik dapat menciptakan
lingkungan yang tepat dan cukup kaya atau beraneka ragam, agar pembawaan dapat
berkembang semaksimal mungkin.
William Stern
(Purwanto, 2000) ahli ilmu jiwa sekaligus pelopor aliran konvergensi berbangsa
Jerman ini mengatakan bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan
perkembangan manusia.[99] Selanjutnya Ngalim Purwanto
mengatakan tentang pendapat W.Stern aliran ini terdapat dua aliran, yaitu
aliran yang dalam hukum konvergensi ini lebih menekankan kepada pengaruh
pembawaan daripada pengaruh lingkungan dan di pihak lain mereka yang lebih
menekankan pengaruh lingkungan atau pendidikan, sehingga belum tepat kiranya
hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia.[100] Selanjutnya Ngalim Purwanto
memberikan saran kepada pendidik dalam mencari jalan untuk mengetahui pembawaan
seseorang dan kemudian mengusahakan lingkungan atau pendidikan yang baik dan
sesuai. Perkembangan manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan
lingkungannya melainkan manusia harus diperkembangkan dan memperkembangkannya.[101] Penganut aliran ini berpendapat bahwa
dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan
sama-sama mempunyai peran yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu anak
tersebut dilahirkan tidak mungkin berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan
lingkungan yang baik sesuai dengan perkembangan bakat anak itu. Sebaliknya, lingkungan
yang baik tidak menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada
diri anak itu tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk dikembangkannya.
Ada tiga teori
konvergensi yang terkenal yang disampaikan oleh Stern, yakni; 1) Pendidikan
mungkin dilaksanakan; 2) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang
diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik
dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik; 3) Yang membatasi
hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Pandangan konvergensi
ini tentu saja memberi arah yang jelas mengenai pentingnya pendidikan.[102] Dengan demikian, Bahwa, pendidikan
harus selalu dilakukan agar potensi anak dapat ditingkatkan. Sehingga bakat
yang ada semakin terasa, sementara kompetensi lainpun ikut diasah.
K. Teori
dan Pilar Pendidikan
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan
praktik-praktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses
belajar-mengajar dan manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum dan
rencana pembelajaran disusun dengan mengacu pada teori pendidikan. Ada 4
(empat) teori pendidikan, yaitu; (1) pendidikan klasik, (2) pendidikan
personal, (3) teknologi pendidikan dan (4) pendidikan interaksional.
1. Teori Pendidikan
a. Tori Pendidikan Klasik (Classical Education).
Teori pendidikan klasik
berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme, essensialisme, dan
eksistensialisme, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya
memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini
lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau
materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan
para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam
prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan
peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan
tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi
sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum
yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik
menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”, melalui metode ekspositori dan
inkuiri.
b.
Teori Pendidikan Personal
(Personalized Education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi
bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan
harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan
bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik
menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi
kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan
pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu
pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh
pendahulunya Francis Parker dan John Dewey memandang bahwa peserta didik merupakan
satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta
didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap
masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia
dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli
dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan
kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari
pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap
individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan
ketulusan.
Teori pendidikan personal menjadi sumber
bagi pengembangan model kurikulum humanis, yaitu suatu model kurikulum yang
bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan
keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis
merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual
(kurikulum subjek akademis).
3. Teori Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep
pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan
pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang
berbeda. Dalam teknologi pendidikan, yang lebih diutamakan adalah pembentukan
dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan
dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan
dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa objek dan
keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vokational. Isi
disusun dalam bentuk disain program atau disain pengajaran dan disampaikan
dengan menggunakan bantuan media elektronika, dan para peserta didik belajar
secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan
dan pola-pola kegiatan secara efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera
digunakan dalam masyarakat. Fungsi Guru sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak
tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk
pengembangan model kurikulum, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan
penguasaan kompetensi bagi para peserta didik. Pembelajaran dilakukan melalui
metode pembelajaran individual, media buku atau pun media elektronik, sehingga
pebelajar dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.
4. Teori Pendidikan
Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep
pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial
yang senantiasa berinteraksi dan bekerjasama dengan manusia lainnya. Pendidikan
sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerjasama dan interaksi.
Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada
peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini
juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan
lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini
terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar
lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman
eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat
menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi
pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial. Pendidikan
interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi
sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan peserta didik
pada tantangan, ancaman, hambatan atau gangguan yang dihadapia. Peserta didik
didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah sosial yang
mendesak (crucial) dan bekerja sama
untuk memecahkannya.
L.
Pilar-pilar Pendidikan
Menurut Suwarno menyebutkan ada 5 (lima) pilar pendidikan yang
direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang
bisa diterapkan di dunia pendidikan.[103]
1.
Learning to know
Learning to know bukan sebatas
proses belajar di mana pebelajar mengetahui dan memiliki materi informasi
sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan untuk dapat
memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap
peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak
hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transcendental, yaitu
kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.
2. Learning to do
Learning to do merupakan
konsekuensi dari learning to know.
Kelemahan model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan
“omong” (baca: teori) dan kurang menuntun orang untuk “berbuat” (praktik). Learning to do bukanlah pembelajaran
yang hanya menumbuhkembangkan kemampuan berbuat mekanis dan keterampilan tanpa
pemikiran; tetapi mendorong peserta didik agar terus belajar menumbuhkembangkan
kerja, juga mengembangkan teori atau konsep.
3.
Learning to be
Melengkapi learning to know dan learning
to do. Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia itu tidak bisa hidup
sendiri tanpa kerjasama atau dengan kata lain manusia saling tergantung dengan
manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan waktu jika tidak
berpegang teguh pada jati dirinya. Learning
to be menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan
nilai kehidupannya dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup
bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4.
Learning to live together
Learning to live together ini
mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi manusia berpendidikan
yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh
umat manusia. Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok
individu yang bervariasi membentuk kepribadian pebelajar untuk memahami
kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap
keanekaragaman dan perbedaan hidup.
5. Learning how to learn
Proses belajar tidak boleh berhenti
begitu saja meskipun seorang pebelajar telah menyelesaikan sekolahnya.
Manusia hidup pada hakekatnya adalah berhadapan denganb masalah. Setiap
manusia dituntut untuk menyelesaikan masalah. Satu masalah terjawab, seribu
masalah menunggu untuk dijawab. Oleh karena itu, learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan
untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen,
kreatif, inovatif, efektif dan efisien, dan penuh percaya diri, karena
masyarakat adalah learning society atau
knowledge society. Orang-orang yang
mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu
belajar terus- menerus.
Learning how to learn memerlukan
model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari model belajar menghafal
menjadi model belajar mencari/ meneliti. Asumsi yang digunakan dalam model
belajar “menghafal” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh
karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang
dipentingkan dalam model belajar “menghafal” ini adalah penerima pelajaran,
menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta
menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar
“mencari/meneliti”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidikan dituntut
membimbing, memotivasi, menfasilitasi, memprovokasi dan
menelusuri.
|
M. Lingkungan
Pendidikan
Pendidikan merupakan faktor penting dan bermanfaat bagi
kehidupan dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa. Kegiatan
pendidikan di manapun berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu, baik
lingkungan yang berhubungan dengan ruang maupun waktu. Lingkungan memberikan
pengaruh terhadap perkembangan peserta didik. Pengaruh yang diberikan oleh
lingkungan ada yang bersifat sengaja dan ada tidak
sengaja. Artinya lingkungan tidak ada kesengajaan tertentu di dalam memberikan
pengaruhnya kepada perkembangan anak.
Ada tiga macam lingkungan, menurut tempat berlangsungnya kegiatan
pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut pendidikan berlangsung agar dapat memberikan pengaruh
yang positif kepada perkembangan anak didik, maka hendaknya kita usahakan
sedemikian rupa sehingga masing-masing lingkungan senantiasa memberikan
pengaruhnya yang baik.
Setiap manusia pasti memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan
melalui pengalaman. Sesuai Indrakusuma
menyebutkan pengalaman itu terjadi
karena adanya interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungan pendidikan
adalah segala sesuatu yang ada di luar diri anak yang memberikan pengaruh
terhadap perkembangannya. Dengan kata lain lingkungan pendidikan merupakan
latar tempat berlangsungnya pendidikan.[104]
Lingkungan pendidikan dapat berupa benda, orang, keadaan dan
peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar peserta didik yang bisa memberikan
pengaruh kepada perkembangannya, baik secara tidak langsung ataupun langsung,
baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Disamping lingkungan memberikan
pengaruh dan dorongan, lingkungan juga arena yang memberikan kesempatan kepada
kemungkinan-kemungkinan atau potensi (pembawaan) yang dimiliki seorang anak untuk
berkembang.
Menurut Tirtarahardja
fungsi lingkungan pendidikan adalah untuk membantu peserta didik dalam
berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya (fisik/sosial/budaya) dan
mengajarkan tingkah laku umum serta menyeleksi atau mempersiapkan individu
untuk peranan-peranan tertentu.[105] Sepanjang
kehidupannya manusia selalu memperoleh pengaruh atau pendidikan dari tiga
tempat, yaitu; keluarga, sekolah
dan masyarakat. Ketiga
tempat berlangsungnya pendidikan ini disebut dengan tri pusat pendidikan, yaitu;
Pertama,
Lingkungan Keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
mula-mula dan terpenting. Sering juga disebut sebagai lingkungan pendidikan
yang pertama dan utama karena memang orang tua dalam keluargalah yang terutama
memiliki tanggung jawab atas pendidikan anak kandungnya. Menurut kodratnya
orang tua harus mendidik anak-anaknya, terdorong oleh suatu insting, yaitu rasa
cinta yang asli terhadap keturunannya.
Menurut Indrakusuma, pendidikan
yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga, oleh karena itu
tugas utama keluarga dalam pendidikan anak adalah peletak dasar bagi pendidikan
akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar
berasal dari pendidikan kedua orang tuanya dan anggota keluarga yang lain.[106]
Keluarga juga membina dan mengembangkan perasaan sosial anak, seperti rasa
tenggang rasa, suka menolong, hidup damai, kerjasama, kegotongroyongan,
kepekaan dan sebagainya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan aspirasi anak,
maka keluarga menyerahkan sebagian peran/tanggungjawabnya kepada jalur
pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (kursus, kelompok belajar, dsb). Peran
jalur pendidikan formal (sekolah) semakin lama semakin penting, khususnya yang
berkaitan dengan pengembangan aspek kognitif (pengetahuan) dan skill/ psikomotorik
(ketrampilan). Hal ini tidak berarti bahwa keluarga dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab pendidikan anaknya, diharapkan keluarga lebih banyak bekerja
sama dan mendukung kegiatan pusat/ lingkungan pendidikan lainnya (sekolah dan masyarakat).
Kedua, Lingkungan
Sekolah. Lingkungan sekolah disebut juga lingkungan kedua yang
didirikan oleh masyarakat atau negara untuk membantu memenuhi kebutuhan
keluarga yang sudah tidak mampu lagi memberi bekal persiapan hidup bagi
anaknya. Sehingga pendidikan di sekolah berperan sebagai bagian dan lanjutan
dari pendidikan keluarga, serta merupakan jembatan yang menghubungkan kehidupan
dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.[107]
Untuk mempersiapkan anak agar hidup dengan cukup bekal kepandaian dan
kecakapan dalam masyarakat yang modern, telah tinggi kebudayaannya seperti
sekarang ini, anak-anak tidak cukup hanya menerima pendidikan dan pengajaran
dari lingkungan keluarganya saja. Maka dari itu, masyarakat atau negara
mendirikan sekolah-sekolah. Kehidupan dan pergaulan di lingkungan sekolah
sifatnya lebih tegas dan lugas, harus ada ketertiban dan peraturan-peraturan
tertentu yang harus dijalankan oleh peserta didik dan pendidikan. Pendidikan
etika juga diberikan di sekolah, namun hanya merupakan bantuan terhadap
pendidikan budi pekerti yang telah dilaksanakan oleh keluarga, karena tujuan
dan tanggung jawab utama sekolah membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang dapat dipergunakan dalam kehidupannya di masyarakat.[108] Sekolah sebagai pusat pendidikan adalah sekolah yang
mencerminkan masyarakat yang maju karena pemanfaatan secara optimal ilmu
pengetahuan dan teknologi. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting
peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses
pembangunan masyarakat itu.
Ketiga,
Lingkungan Masyarakat. Masyarakat yang berperan aktif dalam
bidang pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Kelompok ini
berupa organisasi-organisasi pendidikan, sosial, politik, ekonomi, keagamaan
dan sebagainya. Semua kelompok ini perlu dilibatkan secara aktif dalam membantu
dan mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengelola atau pihak
sekolah hendaknya mampu menganalisis kelompok masyarakat mana yang bisa dilibatkan
dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Dari ketiga macam pengaruh lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat), kiranya lingkungan masyarakatlah yang cukup sulit dirancang agar
selalu memberikan pengaruhnya yang baik untuk perkembangan anak didik. Karena
lingkungan masyarakat itu sangat luas dan banyak berbagai pihak yang berperan
dalam masyarakat tersebut, sehingga memerlukan pengawasan dan pengontrolan yang
lebih agar suasana lingkungan masyarakat dapat memberikan pengaruh yang baik
bagi pendidikan anak.
Sebagai gambaran dibawah ini
disajikan skema tentang keterlibatan berbagai pihak dalam School District di Amerika menurut Hoy & Miskel.[109]
Unruh (1974) mengelompokkan masyarakat menurut hubungannya dengan sekolah. Yaitu; (1) Immadiate (pihak yang sangat cepat
berhubungan dengan sekolah yaitu siswa, guru, dan orang tua siswa); (2) Associated (pihak yang tertarik pada
sekolah); (3) Disassociated (pihak
yang tidak tertarik dengan sekolah); dan (4) Institusionalized (lembaga umum).[110]
Hubungan sekolah/ madrasah dengan tri pusat pendidikan. Tri pusat pendidikan hanya dapat dibahas terpisah-pisah
secara teoritis, namun realitanya secara simultan dan terpadu saling memberikan
pengaruh timbal-balik dan tidak dapat dipilah-pilah. Buku ini
lebih menyoroti/ membahas tentang keterkaitan hubungan sekolah, sebagai
bagian dari tri pusat pendidikan, dengan lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Hubungan pengaruh timbal balik antara tingkat partisipasi masyarakat dengan
kualitas proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah, menuntut adanya jalinan hubungan
yang harmonis antara sekolah
dengan masyarakat. Jalinan hubungan yang dimaksud, realisasinya bisa diwujudkan
di dalam berbagai bentuk dan jalinan. Beberapa bentuk atau cara yang telah
dikenal, adalah: open door politics,
atau pemberian kesempatan kepada orang tua murid berkunjung ke sekolah untuk
membicarakan masalah khusus yang terjadi pada anaknya; home visiting atau kunjungan sekolah ke rumah murid; penggunaan resources persons, kunjungan sekolah ke
objek-objek tertentu di masyarakat, pertemuan antara orang tua murid dan warga
sekolah, serta pengadaan serta mengefektifkan fungsi Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah.
Menurut Hymes (Indrafachrudi,
1994) teknik penyelenggaraan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu; 1) Pertemuan kelompok, berupa seminar,
lokakarya, sarasehan, dsb. Ragam unsur masyarakat yang dilibatkan di dalam
kegiatan ini tergantung dari tema yang sedang dibahas; 2) Tatap muka, pihak
sekolah dapat memanggil orang tua siswa yang bermasalah atau siswa yang
memiliki kemampuan lebih, yang perlu pembinaan bersama agar kemampuannya dapat
berkembang secara maksimal; 3) Observasi dan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah, agar
masyarakat tersebut mengetahui secara langsung hambatan dan faktor pendukung
penyelenggaraan pendidikan, mengetahui keberhasilan sekolah, sehingga
diharapkan bersedia membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah; dan 4) Surat
menyurat dengan berbagai pihak yang dapat dikaitkan dengan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Seiring dengan perkembangan teknologi, sekolah dapat
menerapkan teknik ini dengan menggunakan alat-alat komunikasi berupa telepon,
fax, internet, e-mail.[111]
Dengan adanya kerja sama tersebut, para guru akan dapat memperoleh
keterangan-keterangan dari orang tua tentang kehidupan dan sifat anak-anaknya
yang sangat besar gunanya bagi guru dalam memberikan pelajaran dan pendidikan
terhadap murid-muridnya. Sebaliknya, orang tua juga memperoleh pengetahuan dan
pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya sehingga dapat mengetahui
kesulitan-kesulitan manakah yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah. Orang
tua dapat mengetahui apakah anaknya itu rajin, malas, bodoh, suka mengantuk
atau pandai. Dengan demikian, orang tua dapat menjauhkan pandangan dan pendapat
yang keliru sehingga terhindarlah salah pengertian yang mungkin timbul antara
keluarga dan sekolah.
Maisyaroh, mengelompokkan
masyarakat secara umum, yaitu: 1) Masyarakat orang tua, adalah gabungan dari
orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah tertentu; 2) Masyarakat yang
terorganisasi dalam organisasi tertentu; dan 3) Masyarakat luas yang terdiri
dari individu-individu yang tidak terkait secara langsung terhadap
penyelenggaraan program pendidikan.[112]
Kenyataan di Indonesia, dari sekian kelompok tersebut yang paling aktif
peranannya adalah masyarakat, orang tua siswa. Sedangkan masyarakat terorganisasi dan
masyarakat luas sudah berperan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan namun
masih belum optimal. Perhatian orang tua itupun hanya ditujukan pada lembaga
pendidikan tempat anaknya bersekolah, sementara lembaga pendidikan yang lain di
luar perhatiannya.
Kelompok terorganisasi di Indonesia yang bisa diajak kerjasama antara lain
anggota kelompok dari pengelola perusahaan, DPR, dewan pendidikan, komite
sekolah, majelis madrasah, kelompok layanan kesehatan, kelompok agama,
pengelola televisi, radio, bank, kantor pos/giro dan LSM.
Wujud kerjasama sekolah dengan kelompok terorganisasi di atas berupa
pemberian beasiswa, pembangunan gedung dan pembelian fasilitas sekolah,
peningkatan kemampuan kepala sekolah, guru dan pegawai sekolah (pelatihan,
seminar dan lokakarya), bantuan pengembangan pembelajaran, bantuan publikasi
dan penayangan kegiatan sekolah. Pelaksanaan kerjasama ini menuntut pihak
sekolah lebih proaktif dalam menjalin kerjasama sehingga kelompok terorganisasi
yang ada mau dan berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kualitas sekolah.
Sekolah juga perlu mewaspadai kemungkinan usaha-usaha negatif dari kelompok
yang bersedia diajak kerjasama, tetapi berusaha untuk mengeksploitasi
keberadaan sekolah serta berusaha mengeritik dan menyerang sekolah dengan
tujuan untuk menjatuhkan kebijakan sekolah. Misalnya suatu perusahaan bersedia
menjadi donatur penyelenggaraan suatu sekolah dengan syarat agar siswa mau
menggunakan produk perusahaan tersebut, sementara produk tersebut kalau
dikonsumsi siswa dapat membahayakan perkembangannya, dapat merusak masa depan
siswa. Kalau terjadi usaha-usaha yang demikian maka pihak sekolah, dalam hal
ini pimpinan sekolah, perlu tanggap dengan cara menganalisis motif di balik
pemberian dana tersebut dan memecahkan masalahnya secara bijaksana.
Peningkatan kontribusi setiap pusat pendidikan terhadap perkembangan
peserta didik memerlukan keserasian serta kerja sama yang erat dan harmonis
antar tripusat pendidikan (lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat).
Berbagai upaya perlu dilakukan agar program pendidikan di setiap pusat
pendidikan tersebut saling mendukung dan memperkuat satu dengan lainnya.
Dalam lingkungan keluarga telah diupayakan berbagai hal (seperti perbaikan
gizi, permainan edukatif) yang dapat menjadi ladasan untuk pelaksanaan
pengembangan pendidikan selanjutnya di sekolah dan masyarakat. Pada lingkungan
sekolah diupayakan berbagai hal yang lebih mendekatkan hubungan sekolah dengan
orang tua siswa, misalnya melalui organisasi orang tua siswa, kunjungan guru ke rumah orang tua murid atau
sebaliknya kunjungan orang tua murid ke sekolah.
Sekolah juga mengupayakan agar programnya berkaitan erat dengan masyarakat
sekitarnya (seperti menerjunkan siswa ke masyarakat, mendatangkan nara sumber
dari masyarakat ke sekolah). Akhirnya lingkungan masyarakat mengusahakan
berbagai kegiatan atau program yang menunjang serta melengkapi program pendidikan
di lingkungan keluarga dan sekolah. Dengan adanya kontribusi tripusat
pendidikan yang saling memperkuat dan saling melengkapi tersebut, maka
diharapkan akan memberikan peluang untuk mewujudkan sumber daya manusia
terdidik yang bermutu.
N. Sistem
Pendidikan Nasional
Menurut Idris,
sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen, elemen atau unsur
sebagai sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekedar
acak, yang saling membantu untuk mencapai suatu hasil (product).[113] Istilah sistem berasal dari bahasa
Yunani “systema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Istilah sistem
dipakai untuk menunjukkan beberapa pengertian, salah satunya adalah sistem
dapat dipakai untuk menunjukkan sehimpunan gagasan atau ide yang tersusun dan
terorganisasi sehingga membentuk suatu kesatuan yang logis.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai
unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur
atau jenjang, kurikulum dan peralatan/ fasilitas.[114] Sistem pendidikan adalah jumlah
keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerjasama untuk mencapai hasil
yang diharapkan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan. Setiap sistem
pasti mempunyai tujuan dan semua kegiatan dari semua komponen atau
bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk tercapainya tujuan terebut. Karena itu,
proses pendidikan merupakan sebuah sistem, yang disebut sebagai sistem
pendidikan.[115]
Pendidikan
merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, menyangkut 3 (tiga)
unsur pokok yaitu; 1) Unsur masukan ialah peserta didik dengan berbagai ciri
yang ada pada diri peserta didik (bakat, minat, kemampuan, keadaan jasmani); 2)
Unsur usaha adalah proses pendidikan yang terkait berbagai hal, seperti
pendidik, kurikulum, gedung sekolah, buku, metode belajar; 3) Unsur hasil
uasaha adalah hasil pendidikan yang meliputi hasil belajar (pengetahuan, sikap
dan keterampilan) setelah selesainya suatu proses belajar mengajar tertentu.
Pendidikan
merupakan proses dan alat mewariskan kebudayaan dari generasi tua kepada
generasi muda. Pendidikan nasional merupakan proses dan alat mewariskan
kebudayaan nasional. Manusia Indonesia terbina oleh tata nilai sosio-budayanya
sendiri dan manusia Indonesia merupakan pewaris dan penerus tata nilai tersebut.
Oleh karena itu, sosio-budaya harus dijadikan dasar dalam proses
pendidikan.[116]
Sistem
pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan
aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional merupakan
suatu supra sistem, yaitu suatu sistem yang besar dan kompleks, yang didalamnya
tercakup beberapa beberapa bagian yang juga merupakan sistem-sistem.[117] Satuan dan kegiatan pendidikan yang
ada merupakan sistem pendidikan yang terdiri dari sistem pendidikan tergabung
secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional, yang secara bersama berusaha
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara
teoritis, sistem pendidikan terdiri dari komponen yang menjadi inti dari proses
pendidikan. Menurut P.H. Combs (1982) komponen pendidikan yaitu; 1) Tujuan dan
Prioritas. Fungsinya mengarahkan kegiatan sistem. Hal ini merupakan informasi
tentang apa yang hendak dicapai oleh sistem pendidikan dan urutan
pelaksanaannya.Contohnya ada tujuan umum pendidikan, yaitu tujuan yang
tercantum dalam peraturan perundangan negara, yaitu tujuan pendidikan nasional,
ada tujuan institusional yaitu tujuan lembaga tingkat pendidikan dan tujuan
program, seperti; S1, S2, S3 dan tujuan kulikuler, yaitu tujuan setiap suatu
mata pelajaran/ mata kuliah. Tujuan yang terakhir ini dibagi dua yaitu tujuan
pengajaran umum (instrusional umum) dan
tujuan pengajaran khusus (instruksional
khusus); 2) Peserta Didik. Fungsinya ialah belajar. Diharapkan peserta
didik mengalami proses perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan sistem
pendidikan. Contohnya, berapa umurnya, berapa jumlahnya, bagaimana tingkat
perkembangannya, pembawaannya, motivasinya untuk belajar dan sosial ekonomi
orang tuanya; 3) Manajemen atau Pengelolaan. Fungsinya mengkoordinasikan,
mengarahkan dan menilai sistem pendidikan. Komponen ini bersumber pada sistem
nilai dan cita-cita yang merupakan pola kepemimpinan dalam pengelolaan sistem
pendidikan, Contohnya pemimpin yang mengelola sistem pendidikan itu bersifat
otoriter, demokratis, atau laissez-faire; 4) Struktur dan Jadwal Waktu.
Fungsinya mengatur pembagian waktu dan kegiatan.Contohnya, pembagian waktu
ujian, wisuda, kegiatan perkuliahan, seminar, kuliah kerja nyata, kegiatan
belajar mengajar dan program pengamalan lapangan; 5) Isi dan Bahan Pengajaran.
Fungsinya untuk menggambarkan luas dan dalamnya bahan pelajaran yang harus
dikuasai peserta didik. Selain itu untuk mengarahkan dan mempolakan
kegiatan-kegiatan dalam proses pendidikan. Contohnya, isi bahan pelajaran untuk
setiap mata pelajaran atau mata kuliah dan untuk pengamalan lapangan; 6) Guru dan
pelaksana. Berfungsi menyediakan bahan pelajaran dan menyelenggarakan proses pembelajaran
untuk peserta didik. Selain itu, guru dan pelaksana juga berfungsi sebagai
pembimbing, pengaruh, untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus
sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Contonya,
pengalaman dalam mengajar, status resminya guru yang sudah di angkat atau
tenaga sukarela dan tingkatan pendidikannya; 7) Alat Bantu Belajar. Maksudnya
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, yang
berfungsi untuk mempermudah atau mempercepat tercapainya tujuan pendidikan, contohnya;
film, buku, papan tulis, peta; 8) Fasilitas. Fungsinya untuk tempat
terselenggaranya proses pendidikan. Contohnya, gedung dan laboratorium beserta
perlengkapannya; 9) Teknologi. Fungsinya memperlancar dan meningkatkan hasil guna
proses pendidikan. Yang dimaksud dengan teknologi ialah semua teknik yang
digunakan sehingga sistem pendidikan berjalan dengan efisien dan efektif. Contohnya,
pola komonikasi satu arah, artinya guru menyampaikan pelajaran dengan
berceramah, peserta didik mendengarkan dan mencatat: atau pola komonikasi dua
arah, artinya ada dialog antara guru dan peserta didik; 10) Pengawasan Mutu.
Fungsinya membina peraturan-peraturan dan standar pendidikan. Contohnya,
peraturan tentang penerimaan anak/ peserta didik dan staf pengajar, peraturan
ujian dan penilaian; 11) Penelitian. Fungsinya untuk memperbaiki dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan penampilan sistem pendidikan. Contohnya,
dulu bangsa Indonesia belum mampu membuat kapal terbang dan mobil tetapi
sekarang bangsa Indonesia sudah pandai. Sebelum tahun 1980-an, kebanyakan
perguruan tinggi di Indonesia belum melaksanakan sistem satuan kredit semester (SKS),
sekarang seluruh perguruan tinggi telah melaksanakannya; 12) Biaya. Fungsinya
melancarkan proses pendidikan dan menjadi petunjuk tentang tingkat efisiensi
sistem pendidikan. Contohnya, sekarang biaya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara keluarga, pemerintah dan masyarakat.[118]
Sistem
pendidikan terdiri dari satuan dan kegiatan yang tergabung secara terpadu dalam
sistem pendidikan nasional, bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Tujuan sistem pendidikan nasional berfungsi memberikan arah pada
semua kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan yang ada. Tujuan pendidikan nasional
merupakan tujuan umum yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidikannya,
meskipun setiap satuan pendidikan mempunyai tujuan sendiri, namun tidak
terlepas dari tujuan pendidikan nasional. Menurut Undang-Undang RI No.2 tahun
1989 BAB II Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[119]
Tujuan
Pendidikan Nasional adalah membangun kualitas manusia yang bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan, sebagai warga
negara yang berjiwa pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi,
berbudi pekerti yang luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil,
dapat mengembangkan dan menyuburkan sikaf domokrasi, memelihara hubungan baik
antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu
mengembangkan daya estetik, berkesanggupan membangun diri dan masyarakatnya.[120]
Dalam sistem
pendidikan nasional, peserta didik adalah semua warga negara, setiap satuan
pendidikan yang ada harus memberikan kesempatan menjadi peserta didik kepada
semua warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan
kekhususannya, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, suku bangsa dan
sebagainya, hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 Ayat (1) dan (2) yang
berbunyi Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
O. Kelembagaan
dan Pengelolaan Pendidikan Nasional
Kata pengelolaan berasal dari kata manajemen.
Oteng Sutisna menyebutkan manajemen artinya administrasi[121]. Pengelolaan
pendidikan diartikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah administrasi dalam
bidang pendidikan. Sondang P. Siagian mendefisinikan pengertian pengelolaan/
manajemen/ administrasi adalah sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua
orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnnya.[122] Dengan
demikian pengelolaan adalah manajemen dan manajemen adalah administrasi.
Menurut Nur Syam, pengelolaan pendidikan
merupakan manajemen pendidikan, artinya proses mencapai tujuan pendidikan
melalui kerjasama dengan orang lain. Selanjutnya Nur Syam menambahkan guru sebagai
komponen penting di dalam pengelolaan pendidikan sebagai penggerak untuk
mencapai tujuan pendidikan. Maka pembinaan terhadap guru menjadi urgen dalam
proses pengelolaan pendidikan. Kemudian staf dan tenaga kependidikan juga
menempatkan posisi yang sangat mendasar. Jangan pernah berfikir bahwa tenaga
kependidikan tidak penting. Di dalam standar pendidikan nasional pendidikan
bahwa keberadaan tenaga kependidikan sangat diperhitungkan.[123] Dengan demikian dalam tataran
pengelolaan pendidikan memperlihatkan pengaturan lalu lintas uang yang diterima
dan dibelanjakan mulai dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan sampai dengan penyampaian umpan balik dalam proses
pendidikan.
1. Pengelolaan Pendidikan
a.
Pengambilan Keputusan
Membuat putusan merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari
baik secara individu ataupun secara kelompok dalam suatu organisasi. Oteng Sutisna,
mengemukakan bahwa suatu putusan sebenarnya proses memilih tindakan tertentu
antara sejumlah tindakan alternatif yang mungkin.[124]
Pembuatan putusan merupakan salah satu fungsi administrasi yang
mesti dilakukan oleh para administrator yang membawa dampak terhadap seluruh
organisasi, perilaku dan hasil dari putusan. Sebab proses pembuatan putusan merupakan
suatu usaha untuk mencapai tujuan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya.
Urutan langkah pembuatan putusan adalah; a. menentukan masalah; b. menganalisa
situasi yang ada; c. mengembangkan alternatif kemungkinan; d. menganalisa alternatif
kemungkinan; e. memilih altenatif yang paling mungkin.
b. Perencanaan
Merencanakan adalah kegiatan
persiapan untuk mengantisipasi tindakan yang dilaksanakan. Perencanaan adalah merumuskan
tujuan dan teknik untuk dapat mewujudkan tujuan.
c. Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan suatu
gerak langkah menuju ke arah pelaksanaan rencana yang telah disusun sebelumnya.
Pelaksanaan fungsi pengorganisasian harus menghasilkan suatu organisasi yang
bergerak dengan suatu kesatuan yang bulat.
Pengorganisasian juga merupakan
suatu fungsi administrasi setelah fungsi perencanaan. Dalam suatu organisasi
yang baik, semua bagian semestinya bekerjasama dalam suatu keselarasan dan
terintegrasi dari bagian yang terpisah menuju kepada suatu kesatuan yang tak
terpisahkan disebabkan adanya unsur yang mempersatukan yaitu pengorganisasian.
d.
Komunikasi
Mengkomunikasikan berarti
menyalurkan informasi, ide, penjelasan, perasaan, pertanyaan dari satu orang
kepada orang lain atau dari satu kelompok kepada kelompok yang lain. Mengkomunikasikan
dalam suatu organisasi adalah agar dapat mempengaruhi sikap dan perilaku para
anggota organisasi secara sendiri atau secara berkelompok.
e. Koordinasi
Mengkoordinasikan adalah
serangkaian kegiatan untuk mempersatukan sumbang, saran, bahan dan sumber lain
dari para anggota dalam organisasi, ke arah pencapaian tujuan yang telah
disepakati dan ditetapkan secara bersama. Dengan kata lain tanpa koordinasi yang
baik dalam organisasi sulit untuk mengharapkan tercapainya keteraturan, ketertiban
dalam upaya mengejar tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Dengan
koordinasi unit-unit yang terpisah dalam organisasi diupayakan untuk saling
dihubungkan dengan unit-unit yang lainnya, sehingga unit-unit yang terpisah
menjadi saling mempengaruhi unit-unit lain dan menjadi satu kesatuan yang
terintegrasi dan harmonis. Fungsi koordinasi adalah mempersatukan unit-unit dan
menciptakan setiap unit untuk saling melengkapi dan mendukung unit yang
lainnya.
f. Pengawasan
Pengawasan identik dengan
supervisi. Menurut Good Carter dalam Mahmudah, supervisi adalah usaha dari
petugas sekolah dalam memimpin dan membimbing guru dan petugas lainnya, dalam
memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulir, menyeleksi pertumbuhan
jabatan-jabatan, perkembangan guru-guru dan merevisi tujuan pendidikan,
bahan-bahan pengajaran dan metode pengajaran serta evaluasi pengajaran.[125] Pengawasan
adalah sebagai suatu proses fungsi dan prinsip administrasi untuk melihat yang
terjadi sesuai dengan yang semestinya terjadi. Apabila tidak sesuai dengan
semestinya maka perlu adanya penyesuaian yang mesti dilakukan. Dengan kata lain
pengawasan adalah fungsi administratif untuk memastikan bahwa yang dikerjakan sesuai
dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya.
g. Evaluasi
Penilaian sebagai seperangkat kegiatan yang menentukan baik tidaknya
program-program atau kegiatan-kegiatan organisasi yang sedang dijalankan untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan menerapkan proses penilaian
terhadap suatu program atau kegiatan yang sedang dijalankan organisasi kekuatan
dan kelemahan dari program atau kegiatan tersebut dapat diketahui untuk dapat
terus dipertahankan kekuatannya dan sedikit demi sedikit dikurangi untuk
dihilangkan kelemahannya dalam menjalankan program atau kegiatan organisasi berikutnya.
2. Beberapa Pendekatan Pengelolaan Pendidikan
a. Pendekatan Organisasi Klasik
Pendekatan organisasi klasik
sering disebut dengan gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori oleh Frederick
Taylor seorang yang memiliki latar belakang dan pengalaman sebagai buruh, juru
ketik, mekanik dan akhirnya berpengalaman sebagai kepala teknik yang hidup antara
tahun 1856 sampai dengan tahun 1915. Gerakan ini mencari upaya untuk dapat
menggunakan orang secara efektif dalam organisasi industri. Konsep ini adalah orang
dapat juga bekerja layaknya sebagai mesin. Frederick Taylor dan teman-temannya
berkeyakinan bahwa para pekerja yang didorong motivasi ekonomi dan keinginan
psikologis yang terbatas yang memerlukan arahan-arahan tetap.
b.
Pendekatan
Hubungan Manusia
Pendekatan hubungan manusia
adalah gerakan yang lahir dan berkembang sebagai reaksi terhadap pendekatan
organisasi klasik. Pendekatan hubungan manusia ini dipelopori oleh Mary Parker
Follett (1868-1933) orang yang pertama kali mengenal pentingnya faktor-faktor
manusia dalam administrasi. Mary Follet juga banyak menulis yang berkenaan
dengan sisi manusia dalam administrasi. Mary Follet percaya bahwa masalah yang mendasar
dalam semua organisasi adalah mengembangkan dan mempertahankan hubungan dinamis
dan harmonis. Walaupun terjadi konflik, menurut pemikiran Mary Follet, konflik
tersebut merupakan suatu proses yang normal bagi pengembangan hal yang
mengakibatkan terjadinya konflik itu.
c.
Pendekatan
Prilaku
Pendekatan prilaku dalam
administrasi adalah menggabungkan antara hubungan sosial dengan struktur formal
dan menambahkannya dengan proposisi yang diambil dari psikologi, sosiologi,
ilmu politik dan ekonomi. Pendekatan ini dipelopori oleh Chester I. Barnard
yang hidup antara tahun 1886 sampai dengan tahun 1961. Barnard adalah seorang
kepala eksekutif pada perusahaan Bell Telepone di New Jersey yang menulis buku
dengan judul "Functions of the
Executive" (1938). Dalam buku ini Barnard mengulas secara lengkap
teori perilaku yang kooperatif dalam organisasi formal. Barnard menyimpulkan
bahwa kontribusi kerjanya berkenaan dengan konsep struktur dan dinamis.
Konsep-konsep struktur yang dianggap penting adalah individu, sistem kerjasama,
organisasi formal, organisasi formal yang komplek, dan juga organisasi
informal. Konsep-konsep dinamis yang penting, menurut Barnard, adalah kerelaan,
kerjasama, komunikasi, otoritas, proses keputusan dan keseimbangan dinamik.
2. Kelembagaan
pendidikan
Lembaga
pendidikan dibagi menjadi 4, yaitu; Pertama,
orang tua sebagai lembaga pendidikan. Orang tua adalah orang pertama yang
mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada anak, sebab orang
tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, maka orang tua dapat dikatakan
sabagai suatu lembaga pendidikan.
Kedua, Yayasan
sebagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan yayasan adalah
yayasan yang bersifat sosial, seperti yayasan pemeliharaan anak yatim piatu dan
yayasan pemeliharaan anak cacat. Yayasan ini merupakan tempat para anak-anak
yang sudah tidak memiliki orang tua atau menyandang cacat serta tidak mempunyai
tempat tinggal, maka mendapatkan perlindungan dari yayasan.
Ketiga, Lembaga
keagamaan. Di Indonesia banyak kita jumpai lembaga keagamaan, seperti; pondok
pesantren, masjid, gereja serta biara. Lembaga tersebut mempunyai tugas dalam
penyelenggaraan pendidikan agama bagi para penganutnya.
Keempat, Negara
sebagai lembaga pendidikan. Negara sebagai suatu lembaga persekutuan hidup yang
tertinggi, yang menginginkan untuk memiliki warga negara itu yang berkewajiban
untuk memberikan pendidikan bagi calon warganegaranya. Hal ini mengharuskan negara
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan didalam negaranya, maka dengan
demikian Negara dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan.
Lembaga
Pendidikan merupakan tempat berlangsungnya proses pendidikan yang dilakukan dengan
tujuan untuk mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih baik melalui
interaksi dengan lingkungan sekitar. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang
system pendidikan nasional menyebutkan bahwa lembaga pendidikan terdiri dari
lembaga pendidikan formal, lembaga non formal dan lembaga informal. Serta ruang
lingkup pendidikan meliputi informal, formal
dan nonformal.[126]
1. Lembaga
Pendidikan Formal
Dalam
Undang-undang No 20 Tahun 2003 lembaga pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan jalur normal
terdiri dari lembaga pendidikan prasekolah, lembaga pendidikan dasar (SD/SMP),
lembaga pendidikan menengah (SMA/SMK) dan lembaga pendidikan tinggi (PT).[127]
PP No. 7 tahun 1990 pengelolaan pendidikan prasekolah, terutama Taman
Kanak-kanak dilakukan oleh seorang kepala dan dibantu oleh tenaga kependidikan
lainnya. Kepala TK bertanggung jawab atas pengelolaan tenaga kependidikan,
peserta didik, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dana, sarana dan prasarana
serta administrasi.[128] PP No. 28 tahun
1990, pengelolaan pendidikan dasar sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional merupakan tanggung jawab
Mendikbud. Pengadaan, pendayagunaan dan pengembangan tenaga
kependidikan, kurikulum, buku pelajaran dan peralatan pendidikan dari satuan
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah adalah tanggung jawab Mendikbud.[129]
PP No. 71 tahun 1991, pengelolaan pendidikan luar sekolah dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan luar sekolah yang terdiri dari pemerintah, badan
kelompok atau perorangan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan jenis
pendidikan luar sekolah yang diselenggarakannya.[130] PP No. 71 tahun
1991, pengelolaan pendidikan Luar biasa sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional merupakan tanggung jawab Mendikbud.[131]
Sedangkan dalam
system pendidikan nasional, dinyatakan bahwa setiap warga Negara diwajibkan
mengikuti pendidikan formal minimal sampai tamat SMP. Lembaga pendidikan formal
berorientasi pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
Adapun ciri-ciri
pendidikan formal adalah; 1) Pendidikan berlangsung dalam ruang kelas yang
sengaja dibuat oleh lembaga pendidikan formal, 2) Guru adalah orang yang ditetapkan
secara resmi oleh lembaga, 3) Memiliki administrasi dan manajemen yang jelas,
4) Adanya batasan usia sesuai dengan jenjang pendidikan, 5) Memiliki kurikulum
formal, 6) Adanya perencanaan, metode, media, serta evaluasi pembelajaran, 7)
Adanya batasan lama studi, 8) Kepada peserta yang lulus diberikan ijazah, 9) Dapat
meneruskan pada jenjang yang lebih inggi.
Sedangkan
lembaga-lembaga penyelenggaraan pendidikan formal antara lain sebagai berikut;
1) Taman Kanak-kanak (TK); 2) Raudatul Athfal (RA); 3) Sekolah Dasar (SD); 4) Madrasah
Ibtidaiyah (MI); 5) Sekolah Menengah Pertama (SMP); 6) Madrasah Tsanawiyah
(MTs); 7) Sekolah Menengah Atas (SMA); 8) Madrasah Aliyah (MA); 9) Sekolah
Menengah Kejuruan SMK); 10) Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK); 11) Perguruan Tinggi, meliputi; Akademi, Politeknik,
Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas.
Dalam sistem
pendidikan Nasional, dinyatakan setiap warga negara diwajibkan mengikuti
pendidikan formal minimal sampai tamat SMP. Lembaga pendidikan formal
berorientasi pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
2. Lembaga
Pendidikan Nonformal
Menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang lembaga pendidikan non formal adalah jalur
pendidikan diluar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang. Lembaga pendidikan nonformal adalah lembaga penbdidikan yang
disediakan bagi warga Negara yang tidak sempat mengikuti ataupun menyelesaikan
pendidikan pada jenjang tertentu dalam pendidikan formal. Pendidikan nonformal
semakin berkembang, dengan bukti semakin dibutuhkannya keterampilan pada
seseorang unrtuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.[132]
Faktor
pendorong perkembangan pendidikan nonformal, diantaranya; a. Semakin banyaknya
jumlah angkatan muda yang tidak dapat melanjutkan sekolah, b. Lapangan
kerja, khususnya sektor swasta mengalami perkembangan cukup pesat dan lebih dibandingkan
perkembangan sektor pemerintah.
Adapun program
pendidikan nonformal yang disetarakan dengan pendidikan formal, contohnya kejar
paket A, kejar paket B, kejar paket C. Pendidikan nonformal yang terjadi pada
organisasi masyarakat seperti organisasi keagamaan, sosial, kesenian, olah raga
dan pramuka.
Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dengan
kata lain, pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
melalui pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan
kemudaan, pendidikan pembedayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lainnya.
Adapun ciri-ciri
pendidikan nonformal tersebut adalah sebagai berikut; 1) Pendidikan berlangsung
dalam lingkungan masyarakat. Guru adalah fasilitator yang diperlukan; 2) Tidak
adanya pembatasan usia; 3) Materi pelajaran praktis disesuaikan dengan
kebutuhan pragmatis; 4) Waktu pendidikan singkat dan padat materi; 5) Memiliki
manajemen yang terpadu dan terarah; 6) Pembelajaran bertujuan membekali peserta
dengan keterampilan khusus untuk persiapan diri dalam dunia kerja.
Sedangkan
lembaga penyelenggaraan pendidikan nonformal antara lain; 1) Kelompok bermain
(KB); 2) Taman penitipan anak (TPA); 3) Lembaga khusus; 4) Sanggar; 5) Lembaga
pelatihan; 6) Kelompok belajar; 7) Pusat kegiatan belajar masyarakat; 8) Majelis
taklim; 9) Lembaga Keterampilan dan Pelatihan.
3. Lembaga Pendidikan Informal
Pendidikan
Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[133]
Lembaga pendidikan informal adalah pendidikan yang ruang lingkupnya lebih
terarah pada keluarga dan masyarakat. Pendidikan keluarga adalah pendidikan
pertama dan utama. Dikatakan pertama, karena anggota keluargalah yang pertama
sekali memperkenalkan bayi atau anaknya dengan lingkungan dan memberikan
pembinaan terhadap bayi atau anak adalah dari sebuah anggota keluarga.
Pendidikan
pertama dapat dipandang sebagai peletak pondasi pengembangan berikutnya. Adanya
istilah pendidikan utama juga dikarenakan adanya pengembangan tersebut. Namun
pendidikan informal, khususnya pendidikan keluarga memang belum ditangani
seperti pada pendidikan formal, sehingga masuk akal jika sebagian besar keluarga
tidak paham tentang mendidik anak dengan benar.
Ciri-ciri
pendidikan informal adalah; a) Pendidikan berlangsung terus-menerus tanpa
mengenal tempat dan waktu, b) Guru adalah orang tua, c) Tidak adanya manajemen
yang jelas. Kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri. Ayat 2 menjelaskan hasil pendidikan seperti dimaksud pada
ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik
lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ayat 3 menjelaskan ketentuan
mengenai pengakuan hasil pendidikan informal seperti dimaksud dalam ayat 2
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[134]
[1] Sintong
Silaban (ed.). Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan
Swasta, Bagian IV, (Jakarta:
Dasamedia Utama, 1993), h., 65
[3] Winarno
Surakhmad, “Guru
dan Mutu”, Majalah Pendidikan Koridor, Edisi 3, Depdiknas Propinsi Jawa barat,
Bandung, h., 43
[4] Departemen
Agama RI, Mukaddimah AL-Qur’an dan
Tafsirnya, Jilid 10 Juz 28-29-30, edisi disempurnakan, tidak
diperjualbelikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 719
[9] Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung: Cetakan II Al Maarif, 1964), h.19
[10] Mc. Donald, Education Psychology, (San Francisco:
Wadsworth Publising Company, Inc. 1995) h.4-6
[14] Suryadharma Ali, Paradigma Al-Qur’an, Reformasi Epistemologi Keilmuan Islam, (Malang,
UIN MALIKI PRESS, 2013), h. 21
[15]
Darji Darmodiharjo. Peranan Guru Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan Dalam Analisis Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud, 1982), h., 34
[18] Langeveld, M.J, Pedagogik Teoritis dan Sistematis, Alih
Bahasa Firmansyah, (Bandung: Jemmars, 1980)
[20] Muhajir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Tiori
Pendidikan, Pelaku Sosial Kreatif, (Yogyakarta: Raka Sarasin, 2000), h. 20
[21] Mulyahardjo, Radja, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal
Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta;
PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.3
[26] Suyitno. Landasan
Filosofis Pendidikan Dasar. Modul
Perkuliahan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
(Jakarta: UPI, 2009), h. 4 Tidak diterbitkan.
[27] Robandi, Bambang. Landasan Pendidikan. Modul Perkuliahan Fakultas Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Unversitas Pendidikan Indonesia, 2005), h. 4.
[28] Rohimin dkk. (2009). Hakikat Pendidikan. Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai,
(Jakarta: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2009). h. 4.
[29]
Djahiri, A. Kosasih, Pendekatan broadfield (METODOLOGI PENGAJARAN), (Jakarta
: Depdikbud, 1980), h. 3
[30] Rohimin dkk. Hakikat Pendidikan. Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai, (Jakarta: Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, 2011). h. 8.
[33] Tilaar, H. A. R., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 18 - 32
[35] Nur Syam, Dari Bilik Birokrasi, Esai Agama, Pendidikan dan Birorasi, (Jakarta:
PT. Senama Sejahtera Utama, 2014), h. 69
[36] Imam Suprayogo, Pengembangan
Pendidikan Karakter, (Malang: UIN –Maliki Press, 2013), hal. 26, 27
[37] Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4
[38] Ridono
Aidad, Harapan dan Partisipasi
masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan, Makalah seminar : School
and Base Education, 2000, h. 6
[42] E.Mulyana, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi, (Bandung:
Remaja Rosdakara Offset, 2004), h. 21
[43] Said Aqil
Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial
Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi), (Banten: Pustaka
Irvan, 2008), hal. 203
[48] Lickona, Thomas, Educating For Character, How Our Schools Can
Teach Respect And Responsibility, (New York: Bantam Books, 1992), h. 6
[50] Langeveld,
M.J, Pedagogik Teoritis dan Sistematis, Alih
Bahasa Firmansyah, (Bandung: Jemmars, 1980)
[52] Hujair AH. Sanaky,
Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia, Yogyakarta:
Safiria Insania Press dan MSI, hal. 142
[56] Dr. Ahmad Zayadi, M.Pd dan Abdul Majid,
S.Ag, M.Pd. Tadzkirah : Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Surabaya:
ELKAF, 2004), h. 7-9
[59] Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pembelajaran
[60] Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses
Pembelajaran
[63]
Departemen
Agama RI, Mukadimah AL-Qur’an dan
Tafsirnya, Jilid 10 Juz 28-29-30, edisi disempurnakan, tidak
diperjualbelikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 719
[65] kitab hadis yang mencantumkan hadis tersebut,
disebut “al-kutub al-sittah”–yaitu 6 kitab yang menghimpun hadis-hadis
Rasulullah yang terdiri dari Shohih Bukhari dan Muslim, Sunan Abi Dawud,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i–maupun “al-kutub at-tis’ah”–yaitu 9 kitab
induk hadis yang terdiri dari al-kutub as-sittah ditambah al-Muwatho Imam
Malik, Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ad-Darimy. Bahkan, bukan hanya di
kitab-kitab hadis induk. Ungkapan yang diklaim sebagai hadis Nabi di atas sama
sekali tidak terdapat pula dalam puluhan kita-kitab hadis lain yang mencakup
berbagai kitab al-jawami’, kitab-kitab sunan, musnad, al-majami’, al-muwatho’,
kitab-kitab al-ilal was su’alat, sampai kitab-kitab muskyilat wa ghoroibul
hadis dan takhrij al-ahadits. Hal ini disimpulkan setelah dilakukan pencarian
“searching” dan penelitian (takhrij) dengan bantuan Program al-Maktabah
asy-Syamilah al-Ishdar 3.32. Hadis, atau ungkapan di atas, hanya ditemukan
dalam Kitab Kasyf adz-Dzunun karya Musthofa bin Abdullah (1/52) tanpa penyebutan
sanad periwayatannya. Juga Kitab Abjad al-‘ilmi tulisan Muhammad Shiddiq Hasan
Khan al-Qanuji yang juga tanpa menyebutkan sanadnya dan bahkan tanpa
menyatakannya sebagai hadis Nabi SAW, tapi hanya menyebut “qiila” (maknanya =
“katanya atau dikatakan”) dalam bentuk shighat tamridh (bentuk pasif dalam
periwayatan hadis yang digunakan oleh ahli hadis untuk mengutip riwayat yang
diragukan sumber dan validitasnya). Karena tidak adanya kitab hadis yang memuat
hadis ini dengan sanad yang dapat diteliti, maka Syaikh Abdul Azis bin Abdullah
bin Baz rahimahullah menilainya La ashla lahu (tidak ada sumbernya berupa
sanad) (Arsip Multaqo Ahlil hadis-3, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[72]
Abraham, M. Maslow. (1996). Motivasi dan Kepribadian I Teori Motivasi dan
Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia). (Jakarta: PT.PBP, 1996)
[73]
Piaget, Jean, & Barbel Inhelder,
Psikologi Anak, Terj. Miftahul Jannah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. 1, 2010.
[77] Raka Joni,
T., Strategi Belajar-Mengajar, Suatu
Tujuan Pengantar. (Jakarta : P2LPTK Depdikbud, 1985), h. 38
[78] Abdullah, Faisal M., Dasar-dasar Manajemen Keuangan, (Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur,
2001), hal. 1-4
[81] Brow, H. Douglas, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta:
Kedutaan Besar Amerika Serikat. 2008), h. 30
[82] Swandika, Agung. 2011. Aliran Nativisme. Diunduh
pada 17 Oktober 2015 pukul 11:15. Didapatkan dari http://agungswandika.blogspot.com/ 2011/aliran– nativisme.html.
[83] Swandika, Agung. 2011. Aliran Nativisme. Diunduh
pada 17 Oktober 2015 pukul 11:15. Didapatkan dari http://agungswandika.blogspot.com/ 2011/aliran–nativisme.html.
[86] Ngalim,
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 16
[88] Husaini, Adian at. al., Filsafat
Ilmu Perspektif Barat dan Islam. (Depok: Gema
Insani, 2013). h. 4
[89] Ngalim,
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 16
[93] Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 59
[94] Undang Ahmad, Filsafat Manusia
Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Pustaka Setia, 2013),
h. 147
[95]Sudrajat,Ahmad.2013. www.wordpress.com/pendekatan_saintipik/ilmiah_dalam_proses_pembelajaran.
[Online]. Diakses tanggal 09 Januari 2014 Pukul 19.21
[96] Sudrajat,
Ahmad. 2013. www.wordpress.com/pendekatan_saintipik/ilmiah_dalam_proses_pembelajaran.
[Online]. Diakses tanggal 09 Januari
2014 Pukul 19.21
[99] Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis
dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 60
[102] Sudrajat,
Ahmad. 2013. www.wordpress.com/pendekatan_saintipik/ilmiah_dalam_proses_pembelajaran.
[Online]. Diakses tanggal 09 Januari
2014 Pukul 19.21
[108] Ngalim, Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), h. 16
[109] Hoy, W. K. &
Miskel, C. C., Educational Administration: Theory, Research & Practices. (New York:
Random House, 1987).
[110] Unruh, A. &
Willer, R.A. 1974. Public Relations for
School. (Belmont California: Liar Siagler Inc./ Fearon Publishers,
1974)
[111] Indrafachrudi,
S., Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan
Orangtua Murid dan Masyarakat. (Malang: IKIP
Malang, 1994)
[112] Maisyaroh, Manajemen
Keterlibatan
Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam, Imron,
A., Maisyaroh dan Burhanuddin (Eds.), Manajemen Pendidikan: Analisis
Substansi dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan, (Malang:
UM Press, 2003). h. 121-128
[121] Oteng
Sutisna, Administrasi Pendidikan: Dasar
Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1983), h.149
[125] Mahmudah, Majalah, Fokus Pengawasan, Tegas dan Independen,
Pagari Kemenag Dari Pungli, Nomor 54
Tahun XIV Triwulan II 2017, ww.itjen.kemenag.go.id, h. 59
[126]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002,
hal. 5
[134]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas. Bandung: Citra
Umbara. Pasal 27
manfaat hasil
BalasHapusmanfaat hasil
BalasHapus