BAHAN AJAR MATAKULIAH: PENGEMBANGAN KURIKULUM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
BAHAN AJAR
MATAKULIAH: PENGEMBANGAN KURIKULUM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
Dr. Hj. Khairiah, M.Pd
Mata
kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata kuliah
yang diarahkan untuk membahas berbagai perkembangan kurikulum di Indonesia,
baik antara teori dengan realisasi, harapan dengan kenyataan, perencanaan
dengan pelaksanaan. Dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari kurikulum.
Membahas tentang; (1) hakikat kurikulum, menguraikan pengertian dan fungsi
kurikulum dalam dunia pendidikan, menjelaskan kurikulum ideal, aktual,
tersembunyi, dan kurikulum pendidikan Islam; (2) Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI, menguraikan peran
guru sebagai implementator kurikulum, menyesuaikan kurikulum dengan situasi dan
kondisi siswa, mengembangkan dan menyempurnakan kurikulum yang ada dan
melakukankan penelitian kurikulum yang sedang berlaku sekaligus menyempurnakan;
(3)
Peran Kepala Sekolah/Madrasah dalam
Pengembangan Kurikulum PAI, menguraikan persyaratan dan kinerja kepala sekolah/madrasah, menjelaskan tugas
dan peran kepala sekolah/madrasah dalam mengembangkan kurikulum yang
dilaksanakan; (4) Landasan
Pengembangan Kurikulum PAI, menguraikan landasan yang digunakan untuk
mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam, baik landasan filosofis,
psikologis, sosiologis maupun organisatoris; (5) Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia, menguraikan
pendidikan agama Islam sebelum dan setelah kemerdekaan, perkembangan madrasah
sampai munculnya SKB 3 Menteri dan mampu menerangkan bentuk struktur kurikulum
Madrasah; (6) Komponen-komponen dan
Model Pengembangan Kurikulum, menguraikan tujuan kurikulum yang berdasar
pada tujuan nasional, institusional dan instruksional, menjelaskan bahan/isi
kurikulum yang akan disajikan, metode yang akan digunakan dalam mengajar,
strategi yang dilakukan dalam proses belajar mengajar dan evaluasi yang
digunakan serta model
pengembangan kurikulum menurut para ahli;
(7) Macam-macam Konsep Kurikulum, menguraikan tentang kurikulum akademik, kurikulum
humanistik, kurikulum rekonstruksi sosial dan kurikulum teknologik, serta
sekaligus melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing; (8) Pengembangan Kurikulum, menguraikan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum; yaitu: sosial, ekonomi,
politik dan lain-lain. Begitu pula hal-hal yang harus diperhatikan di dalam
menyusun kurikulum; (9) Desain
Kurikulum dalam Pendidikan, menguraikan kurikulum berpusat pada materi
yang diajarkan kepada siswa dan memberi tempat utama kepada siswa. Di dalam
pendidikan dan pengajaran, yang belajar adalah siswa sendiri, guru hanya
berperan menciptakan situasi, mendorong, memberikan bimbingan sesuai dengan
kebutuan peserta didik. Disamping itu karena manusia adalah makhluk
social selalu hidup bersama, maka dia harus disiapkan untuk hidup bersama
dengan masyarakat; (10) Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama di Pesantren, Sekolah dan Madrasah, menguraikan
tentang kurikulum yang ada di pesantren, madrasah dan sekolah yang
masing-masing memiliki cirri khasnya sendiri-sendiri; (11) Praktek Pengembangan Kurikulum di Indonesia, menguraikan
orientasi dan perkembangan kurikulum di Indonesia, mulai kurikulum tahun 1967,
1975, 1984, 1994, 2006 sampai sekarang yang masing-masing memiliki kekurangan
yang perlu disempurnakan agar kurikulum di Indonesia menghasilkan lulusan yang
berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman; (12) Sumber Daya Pendukung Keberhasilan
Implementasi Kurikulum, menguraikan tentang memanfaatkan sumber belajar,
penggunaan media pembelajaran, mengatur sekolah yang baik, membuat strategi dan
menguraikan model-model pembelajaran, menjadi guru yang berkualitas dan
memiliki kinerja yang baik dan sekaligus bisa memonitoring pelaksanaan kurikulum;
(13)
Pengembangan KTSP Berbasis Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa, menguraikan tentang pengertian, tujuan,
dasar dan prinsip pengembangan KTSP, menguraikan komponen KTSP dan proses
penyusunan KTSP. Terkait dengan budaya dan karakter menjelaskan tentang
pengertian, pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui mata
pelajaran, muatan lokal, kepribadian,
budaya sekolah, perencanaan pengembangan budaya - karakter bangsa,
selanjutnya proses pembelajaran, cara penilaian dan indikator keberhasilan
kelas dan sekolah; (14) Pengembangan
Tujuan dan Isi Kurikulum, menguraikan tentang mengapa tujuan merupakan
salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan kurikulm. Sebab setiap rencana harus memiliki tujuan
agar dapat ditentukan yang harus dicapai, serta apa yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, Demikian juga dengan halnya
pengembangan isi kurikulum. Agar tujuan kurikulum bisa tercapai maka isi
kurikulum harus bisa menunjang dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan; (15) Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Karakter, menguraikan tentang hakekat pendidikan
karakter, tujuan pendidikan karakter, fungsi pendidikan karakter, nilai-nila
karakter yang digunakan dalam membentuk kepribadian anak didik, proses
pendidikan karakter, pengembangan kurikulum pendidikan karakter di
MI/SD/MTs/SMP/MA/SMA dan pelaksanaan pendidikan karakter di madrasah/sekolah; (16) Evaluasi Kurikulum, tentang
pengertian evaluasi kurikulum, objek evaluasi kurikulum (tujuan, isi,
metode/strategi pengajaran, media dan proses, syarat evaluasi kurikulum
(tujuan, berkesinambungan, komprehensip, berfungsi ganda dan memiliki kriteria)
dan model-model evaluasi kurikulum.
I.
Hakikat Kurikulum meliputi
pengertian, peran dan fungsi kurikulum.
Pengertian Kurikulum
Mengenai
pengertian kurikulum, banyak sekali pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh
para ahli, diantaranya yaitu: (1) UU
No. 20 Tahun 2003, kurikulum merupakan seperangkat rencana & sebuah
pengaturan berkaitan dengan tujuan, isi, bahan ajar & cara yang digunakan
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
sebuah tujuan pendidikan nasional; (2) Dr.
H. Nana Sudjana Tahun (2005), kurikulum merupakan niat &
harapan yang dituangkan kedalam bentuk rencana maupun program pendidikan yang
dilaksanakan oleh para pendidik di sekolah. Kurikulum sebagai niat &
rencana, sedangkan pelaksaannya adalah proses belajar mengajar. Yang terlibat
didalam proses tersebut yaitu pendidik dan peserta didik; (3) Drs. Cece Wijaya, dkk., kurikulum
yakni meliputi keseluruhan program dan kehidupan didalam sekolah; Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, kurikulum
ialah suatu formulasi pedagogis yang termasuk paling utama dan
terpenting dalam konteks proses belajar mengajar; (5) Harsono (2005), kurikulum ialah suatu gagasan pendidikan yang
diekpresikan melalui praktik. Pengertian kurikulum saat ini semakin berkembang,
sehingga yang dimaksud dengan kurikulum itu tidak hanya sebagai gagasan
pendidikan, namun seluruh program pembelajaran yang terencana dari institusi
pendidikan nasional;
(6) Prof. Dr. S. Nasution, M. A.,
kurikulum sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses kegiatan
belajar mengajar di bawah naungan, bimbingan & tanggunga jawab sekolah /
lembaga pendidikan; (7) H. Hasan (1992),
kurikulum itu bersifat fleksibilitas. Yakni sebagai suatu pemikiran
kependidikan bagi diklat, sehingga dalam posisi teoritik, harus dikembangkan
dalam kurikulum sebagai sesuatu yang terencana dan juga dianggap sebagai kaidah
pengembang kurikulum; (8) Prof. Drs. H.
Darkir, kurikulum merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan.
Jadi, kurikulum ialah program pendidikan dan bukan program pengajaran,
sehingga program itu direncanakan dan dirancang sebagai bahan ajar dan juga
pengalaman belajar; (9) Hamid Hasan
(1988), kurikulum bisa ditinjau dari 4 sudut yakni: 1. Kurikulum sebagai
suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian; 2 Sebagai suatu
rencana tertulis, yaitu sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide,
didalamnya berisi tentang tujuan, bahan ajar, aktifitas belajar, alat-alat atau
media, dan waktu pembelajaran; 3. Sebagai suatu kegiatan, merupakan pelaksanaan
dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yakni dalam bentuk praktek
pembelajaran;dan 4. Sebagai suatu hasil, yaitu konsekwensi dari kurikulum
sebagai suatu kegiatan, melalui ketercapaiannya tujuan kurikulum terhadap
peserta didik; (10) Kerr, J.F (1968),
kurikulum merupakan seluruh pembelajaran yang dirancang dan dilakukakan secara
individu maupun kelompok, baik didalam sekolah maupun diluar sekolah;
(11) George A. Beaucham (1976), kurikulum
diartikan sebagai dokumen tertulis yang berisikan seluruh mata pelajaran yang
akan diajarkan kepada peserta didik melalui pilihan berbagai disiplin ilmu dan
rumusan masalah dalam kehidupan sehari-hari; (12). Murray Print, kurikulum ialah ruang pembelajaran yang
direncanakan, diberikan secara langsung kepada peserta didik oleh sebuah
lembaga pendidikan dan merupakan pengalaman yang bisa dinikmati oleh seluruh
peserta didik ketika kurikulum itu diterapkan; (13)Good V. Carter (1973), kurikulum merupakan sekumpulan kursus
ataupun urutan pembelajaran yang sistematik; (14) Inlow (1966), kurikulum merupakan suatu usaha menyeluruh yang
dirancang secara khusus guna untuk membimbing peserta didik dalam memperoleh
hasil belajar dari pembelajaran yang sudah ditetapkan; (15) Daniel Tanner & Laurel Tanner, kurikulum sebagai suatu
pengalaman pembelajaran yang terarah, terencana secara sistematis juga tersusun
melalui proses rekontruksi pengetahuan & pengalaman serta berada dibawah
pengawasan lembaga pendidikan sehingga para peserta didik memiliki motivasi
& minat belajar yang tinggi;
(16) Neagley dan Evans (1967), kurikulum
sebagai sebuah pengalaman yang telah dirancang dari pihak sekolah untuk
membantu peserta didik dalam mencapai hasil belajar yang baik; (17) Hilda Taba (1962), kurikulum
dianggap sebagai a plan of learning yang
artinya bahwa kurikulum merupakan sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari
oleh peserta didik; (18) Grayson (1978),
kurikulum sebagai suatu perencanaan dalam memperoleh pengeluaran yang
diharapkan dari suatu pembelajaran yang telah diajarkan; (19) Crow and Crow, kurikulum ialah
suatu rancangan dalam pengajaran yang tersusun secara sistematis untuk
menyelesaikan program dalam memperoleh ijazah; (20) William B. Ragam & Robert S. Flaming, kurikulum
merupakan keseluruhan pengalaman peserta didik yang menjadi tanggung jawab
pihak sekolah atau lembaga;
(21) David Praff, kurikulum merupakan
seperangkat organisasi dari pendidikan formal / pusat-pusat pelatihan
pembelajaran; (22) Saylor (1958),
kurikulum ialah keseluruhan usaha pihak sekolah untuk mempengaruhi PBM baik
secara langsung didalam kelas, tempat bermain, ataupun di luar sekolah; (23) Valiga, T & Magel, C, kurikulum
merupakan suatu urutan pengalaman yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah
untuk mendisiplinkan cara berfikir & bertindak para peserta didik; (24) Bara, Ch (2008), kurikulum kedalam
4 pengertian yakni: Kurikulum sebagai suatu produk, Sebagai program, Sebagai
hasil yang diinginkan atau dicapai, Sebagai pengalaman belajar; (25) Donald E. Orlasky, Othanel Smith
(1978) & Peter F. Olivva (1982), kurikulum pada dasarnya ialah
suatu bentuk perencanaan maupun program dari pengalaman peserta didik
yang diarahkan dan dikembangkan di sekolah.
Peran Kurikulum
Peran
kurikulum pendidikan formal seperti
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMAK/MAK dan PTU/PTK, memiliki peran strategis
dan menjadi faktor penentu dalam pencapaian tujuan dan sasaran pendidikan. Menurut Oemar Hamalik, kurikulum sebagai program
pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban 3 (tiga) peran yaitu (1) peran
konservatif; (2) peran kreatif; dan (3) peran kritis, evaluative.[1] Rinciannya sebagai berikut:
1. Peran konservatif
Kurikulum
memiliki tugas dan tanggung jawab mentransmisikan dan menafsirkan warisan
sosial kepada generasi muda atau melindungi dan melestarikan
tradisional. Menurut Charlotte
Thomson selalu menjaga tradisi lama/ hal tradisional dan menentang modernitas.
Atau tidak menyukai perubahan atau ide-ide baru.[2] Peran kurikulum turut
membantu menjembatani antara siswa dengan orang dewasa di dalam proses
pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks. Melalui kurikulum, siswa dapat memahami dan menyadari
norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika kembali ke
masyarakat, dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma
tersebut. Peran penting bagi masyarakat, dikaitkan dengan cepatnya
pengaruh budaya asing yang masuk sebagai konsekuensi era globalisasi, yang
dimungkinkan budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya lokal, akan semakin
menggerogoti budaya asli. Dengan peran konservatif kurikulum berperan menangkal
berbagai macam pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat,
sehingga identitas masyarakat dapat selalu terjaga dan terpelihara.
2. Peran kreatif
Kreativitas merupakan memiliki kemampuan
menciptakan sesuatu.[3] NACCCE (National Advisory
Committee on Creative and Cultural Education) dalam Craft menyebutkan
kreativitas merupakan aktivitas imaginative yang menghasilkan hasil yang baru
dan bernilai.[4]
Menurut Guilford dalam Munandar, kreativitas merupakan kemampuan berfikir atau
pemikiran yang memiliki beragam pilihan solusi yang sama benarnya terhadap
sebuah persoalan.[5]
Menurut Csikszentmihalvi Clegg kreativitas suatu tindakan, ide atau produk yang
mengganti sesuatu yang lama menjadi sesuatu yang baru.[6] Menurut Munandar,
kreativitas merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data,
informasi atau unsur-unsur yang ada, hasil yang diciptakan tidak selalu hal-hal
baru, tetapi juga dapat berupa gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada
sebelumnya.[7] Berdasarkan pendapat tersebut di atas,
sekolah memiliki tanggungjawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai
perkembangan zaman. Karena pada dasarnya masyarakat bersifat statis, tetapi
sifat dinamis yang selalu mengalami perubahan. Disebabkan hal itulah kurikulum
tampil sebagai peran kreatif, yang melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan
konstruktif, dalam artian, selalu dituntut menciptakan dan menyusun hal-hal
baru sesuai kondisi sekarang dan masa datang dalam masyarakat. Untuk membantu peserta
didik mengembangkan semua potensinya, maka kurikulum menciptakan pelajaran,
pengalaman, cara berfikir, kemampuan dan keterampilan yang baru sehingga
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Kurikulum sebagai peran kreatif harus mengandung hal-hal
baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi
yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yang
dinamis, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.
3.
Peran Kritis dan
Evaluatif
Kurikulum ikut
berpartsisipasi aktif mengontrol pengembangan social dan budaya dan khusus
terkait unsur berfikir kritis. Kurikulum ikut berperan menyeleksi nilai budaya
yang perlu dipertahankan, dan nilai budaya baru yang perlu dimiliki peserta
didik.
Kurikulum berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala bentuk yang
dianggap bertentangan dan ditingkatkan serta dilestarikan yang dianggap
bermanfaat bagi kehidupan peserta didik. Ketiga peran tersebut harus berjalan seimbang dan
harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Supaya tidak terjadi
ketimpangan, sehingga peran kurikulum lebih optimal sehingga kualitas
pendidikan menjadi meningkat. Menyelaraskan
ketiga peran kurikulum menjadi tanggungjawab semua pihak seperti; guru, kepala
sekolah, pengawas, orang tua, siswa dan masyarakat. Dan dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan
ketiga peran tersebut, karena ketiganya harus berimbang. Kurikulum yang
menonjolkan peran kreatifnya, dapat membuat nilai-nilai budaya lokal hilang. Maka
dari itu
pihak-pihak yang terkait idealnya dapat memahami betul yang menjadi tujuan dan
isi dari kurikulum yang di-terapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing, menyelaraskan
ketiga peranan kurikulum tersebut, sehingga menjadi tanggung jawab semua pihak
yang terkait dalam proses pendidikan, di antaranya guru, kepala sekolah,
pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat, agar berjalan secara seimbang dan
harmonis, sehingga dapat memenuhi tuntutan keadaan masyarakat
Fungsi Kurikulum
Menurut Mc. Neil (1990), isi kurikulum memiliki empat fungsi
yaitu, sebagai berikut: (1) Fungsi
Pendidikan Umum (common and general education) yaitu fungsi kurikulum
untuk mempersiapkan peserta didik agar mereka menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab; (2) Suplementasi (Suplementation). Setiap peserta didik
memiliki perbedaan baik dilihat dari perbedaan kemampuan, perbedaan minat,
maupun perbedaan bakat. Sebagai alat pendidikan seharusnya dapat memberikan
pelayanan kepada setiap siswa
sesuai dengan perbedaan tersebut; (3) Eksplorasi (Eksploration). Fungsi eksplorasi
memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat
dan bakat masing-masing siswa. Melalui fungsi ini siswa dapat diharapkan dapat
belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga memungkinkan mereka akan
belajar tanpa adanya paksaan; (4) Keahlian (Spesilization). Kurikulum
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan keahliannya yang
didasarkan atas minat dan bakatnya siswa. Dengan demikian, kurikulum harus
memberikan pilihan berbagai bidang keahlian, misalnya perdagangan, pertanian,
industri atau disiplin akademik lainnya.
Alexander Inglis mengemukakan fungsi
kurikulum meliputi: (1) Fungsi Penyesuaian. Lingkungan
tempat individu hidup senantiasa
berubah dan dinamis, karena itu setiap individu harus mampu menyesuaikan diri
secara dinamis. Kurikulum berfungsi sebagai alat pendidikan menuju individu
yang well adjusted, membekali peserta didik dengan kemampuannya
dapat membawa dirinya berperilaku sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai
warga masyarakat, dan lingkungan yang lain; (2) Fungsi
Integrasi. Kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi
yang terintegrasi. Individu merupakan bagian integral dari masyarakat, maka
dengan pembentukan pribadi-pribadi yang terintegrasi, memberikan sumbangan
dalam pembentukan atau pengintegrasian masyarakat; (3) Fungsi
Diferensiasi. Kurikulum perlu memberikan
pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada
dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, dan
mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat; (4) Fungsi
Persiapan.
Kurikulum
berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk
jangkauan yang lebih jauh atau terjun ke masyarakat. Kurikulum harus memberikan
kemampuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan studinya atau mencari
pekerjaan; (5)
Fungsi Pemilihan. Pengakuan atas perbedaan
berarti diberikan kesempatan kepda peserta didik untuk memilih yang
dinginkan atas sesuatu yang menarik minatnya, sehingga kurikulum perlu
diprogram secara fleksibel, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
memperoleh pendidikan sesuai pilihannya berdasarkan minat dan bakatnya; (6) Fungsi
Diagnostik.
Pelayanan pendidikan merupakan membantu dan
mengarahkan para siswa agar peserta didik mampu memahami dan
menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Fungsi kurikulum adalah
mendiagnosa dan membimbing anak didik agar dapat mengembangkan potensinya
secara optimal.
Dengan demikian fungsi kurikulum sangat penting bagi
setiap individu dan bagi penyelenggaraan pendidikan. Bagi guru
kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Proses pembelajaran yang tidak berpedoman kepada kurikulum, maka tidak berjalan
efektif, sebab pembelajaran
adalah proses pencapai tujuan. Sedangkan
arah dan tujuan pembelajaran beserta cara dan strategi yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan itu merupakan komponen penting dalam sistem kurikulum.
II. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Murray Printr
menyebutkan 4 (empat) peran
guru dalam kurikulum yaitu implementers,
adapters, pengembang kurikulum, dan peneliti kurikulum[8], rinciannya sebagai
berikut: Pertama, sebagai implementers, maksudnya guru
berperan mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada, guru menerima berbagai
kebijakan perumus kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai
tenaga teknis bertanggungjawab mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada.
Dan kurikulum bersifat seragam antar daerah satu dengan daerah lain. Sehingga guru
terkesan sekadar melaksanakan kurikulum, dan tingkat kreatifitas serta inovasi
guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu melakukan
berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional,
tetapi sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.
Kedua, peran guru sebagai adapters, guru dianggap sebagai
penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan
daerah. Guru diberi kewenangan menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan
karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Para perancang kurikulum hanya
menentukan standat isi dan standar minimal yang harus dicapai, sedangkan implementasinya,
waktu pelaksanaannya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh
guru.
Ketiga, peran guru sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan
dalam mendesain sebuah kurikulum, disamping menentukan tujuan dan isi pelajaran,
guru dapat menentukan strategi yang harus dikembangkan serta mengukur
keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun
kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan
pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa.
Keempat, peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum
researcher). Guru melaksanakan tugas sebagai bagian profesional guru, yang
memiliki tanggung jawab meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam melaksanakan
perannya sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab menguji berbagai
komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, efektifitas
program, strategi dan model, termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan
siswa mencapai target kurikulum. Metode yang digunakan guru dalam meneliti
kurikulum adalah PTK dan Lesson Study.[9]
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan
metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam
implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian
sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan
demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan
tugas profesionalnya, tetapi secara terus menerus guru dapat meningkatkan
kualitas kinerjanya. Sedangkan lesson study adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru/ sekelompok guru yang bekerja sama
dengan orang lain (dosen, guru mata pelajaran yang sama / guru satu tingkat
kelas yang sama, atau guru lainya), merancang kegiatan untuk meningkatkan mutu
belajar siswa dari pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru dari
perencanaan pembelajaran yang dirancang bersama/sendiri, kemudian di observasi
oleh teman guru yang lain dan setelah itu mereka melakukan refleksi bersama
atas hasil pengamatan yang baru saja dilakukan.[10]
III.Peran Kepala Sekolah/Madrasah dalam Pengembangan Kurikulum
Pertama, Peran kepala sekolah sebagai educator. Kepala sekolah menjalankan perannya, kepala sekolah perlu
memiliki strategi dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di
sekolahnya. Strategi tersebut antara lain: menciptakan iklim sekolah yang
kondusif, memberi masukan kepada warga sekolah, memberikan dorongan positif
kepada tenaga kependidikan, mengadakan program akselerasi bagi paerta didik
yang cerdasdiatas normal.
Kedua, Peran kepala sekolah sebagai manajer. Kepala sekolah
melakukan perannya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategis
yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama, memberi
kesempatan kepada tenaga kependidikan dalan peningkatan profesi, dan mendorong
pertisipasi seluruh tenaga kependidikan dalam program sekolah. Contoh Kepala
sekolah selaku manajer; (1) Menyusun perencanaan; (2) Mengorganisasikan
kegiatan; (3) Mengarahkan kegiatan; (4)
Melaksanakan pengawasan; (5) Melakukan evaluasi terhadap kegiatan; (6)
Melakukan evaluasiterhadap kegiatan; (7)
Menentukan kebijaksanaan; (8) Mengadakan
rapat; 9) Mengambil keputusan; (10)
Mengatur proses belajar mengajar; (11) Mengatur administrasi:
ketatausahaan; siswa; ketenagaan; sarana prasarana; keuangan /RAPBS; (12)
Mengatur organisasi siswa intra sekolah (OSIS); (13) Mengatur
hubungan sekolah dengan masyarakat dan instansi terkait.
Ketiga, Peran kepala sekolah sebagai administrator. Peran dan
tanggungjawab kepala sekolah sebagai administrator secara spesifik adalah dalam
hal pengelolaan kurikulum, administrasi peserta didik, administrasi sarana dan
prasarana, administrasi kearsipan dan administrasi keuangan. Contoh Kepala
sekolah selaku administrator bertugas menyelenggarakan administrasi; (1) Perencanaan;
(2) Pengorganisasian; (3) Pengarahan; (4) Pengkoordinasian; (5) Pengawasan;
(6) Kurikulum; (7) Kesiswaan; (8) Ketatausahaan; (9) Ketenagaan; (10) Kantor
Keempat, Peran kepala sekolah sebagai supervisor. Peran kepala
sekolah untuk mengetahui kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajiban
dalam pemebelajaran, maka kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervise
secara berkala melalui kegiatan kunjungan kelas dengan mengamati secara
langsung proses pembelajaran. Hasil supervise diketahui kelemahan sekaligus
keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat kompetensi,
selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindaklanjut, sehingga guru dapat
memperbaiki kekurangan serta mempertahankan dan meningkatkan keunggulan dalam
proses pembelajaran. Ngalim Purwanto menyebutkan peran fungsi kepala sekolah
sebagai supervisor sebagai berikut: (1) membangkitkan dan merangsang guru-guru
dan pegawainya dalam menjalankan tugas masing-masing dengan baik dan benar; (2)
berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan sekolah termasuk
alat-alat instruksional yang diperlukan bagi kelancaran dan kesuksesan proses
belajar mengajar; (3) bersama guru berusaha mengembangkan, mencari dan
menggunakan metode-metode mengajar yang sesuai tuntutan kurikulum yang berlaku;
(4) membina kerjasama yang baik dan harmonis dengan guru-guru dan pegawai
sekolah lainnya; (5) berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru-guru dan
pegawai dengan mengadakan diskusi-diskusi kelompok, menyediakan perpustakaan
dan mengirim mereka mengikuti Diklat, seminar sesuai bidang masing-masing; dan
(6) membina hubungan kerjasama antara sekolah dengan komite sekolah dan instansi
lain dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Hendiyat
Soetopo dan Wasti Soemanto menyebutkan peran kepala sekolah sebagai supervisor
sebagai berikut: (1) membimbing guru agar dapat memahami lebih jelas masalah
dan persoalan dan kebutuhan peserta didik, serta membantu guru dalam mengatasi
suatu persoalan; (2) membantu guru mengatasi kesukaran dalam mengajar; (3)
memberi bimbingan yang bijaksana terhadap guru baru dengan orientasi; (4)
membantu guru memperoleh kecakapan mengajar yang lebih baik dengan menggunakan
berbagai metode mengajar sesuai dengan sifat materinya; (5) membina moral
kelompok, menumbuhkan moral yang tinggi dalam pelaksanaan tugas kepada guru dan
staf; (6) memberikan pimpinan yang efektif dan demokratis, dengan melakukan supervise
sebagai berikut: a) proses belajar mengajar; b) bimbingan konseling; c)
kegiatan ekstrakurikuler; d) kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan instansi
terkait; e) sarana dan prasarana; f) kegiatan OSIS; g) kegiatan 7K; (7) Peran
kepala sekolah sebagai leader. Mampu memberikan petunjuk dan pengawasan guna
meningkatkan kemampuan tenaga pendidik dan kependidikan, membuka komunikasi dua
arah, dan mendelegasikan wewenang.[11]
Kelima, Kepala sekolah sebagai leader. Kepemimpinan
kepala sekolah dituntut memiliki jiwa kepemimpinan. Sesuai Whjosumidjo
menyebutkan kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang
mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan professional,
serta pengetahuan administrasi dan pengawasan. Memiliki visi dan mempunyai
peran dalam mengelola visi menjadi kenyataan.[12]
Keenam, Peran kepala sekolah sebagai
innovator. Kepala sekolah harus memiliki inovasi-inovasi yang dapat
meningkatkan mutu pendidikan sekolahnya. Contoh kepala sekolah innovator; (1)
melakukan pembaharuan dibidang; KBM, BK, Emstrakurikuler, Pengadaan; 2)
melaksanakan pembinaan guru dan karyawan; 3) melakukan pembaharuan dalam
menggali sumberdaya di komite sekolah dan masyarakat;
Ketujuh, Peran kepala sekolah sebagai
motivator. Kepala sekolah dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan
fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif
dan penyediaan sarana prasarana pembelajaran yang memadai. Soetjipto dan Raflis
Kosasi menyebutkan peran dan fungsi kepala sekolah sebagai berikut: (1)
merencanakan, menyusun, membimbing, dan mengawasi kegiatan administrasi sesuai
kebijaksanaan yang ditetapkan; (2) mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
kegiatan unit-unit kerja yang ada di lingkungan sekolah; (3) menjalin hubungan
dan kerjasama dengan orang tua siswa, lembaga-lembaga pemerintah, maupun non
pemerintah dan masyarakat; dan (4) melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan
administrasi di sekolah kepada atasannya.[13]
IV. Landasan Pengembangan Kurikulum PAI
Landasan pengembangan
kurikulum memiliki peranan yang sangat signifikan. Robert S. zais mengemukakan
empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu: Philosopy and nature of
knowledge, society and culture, the individual danlearning theory.[14] S. Nasution
berpendapat pengembangan kurikulum
yaitu asas filosofis pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan, asas
sosiologis memberikan dasar penentuan yang dipelajari sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi, asas
organisatoris memberikan dasar-dasar dalam bentuk bahan pelajaran dan asas
psikologis memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam
berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang disediakan dapat
dicernakan dan dikuasai oleh peserta didik sesuai dengan taraf perkembangnnya.[15] Nana Syaodih
Sukmadinata berpendapat ada 4 (empat) landasan kuriulum yaitu landasan
filosofis, psikologis, sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Terlepas dari itu semua bahwa pada intinya semua seragam.[16]
A. Landasan Filosofis
Pendidikan merupakan interaksi antar manusia,
terutama antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Secara harfiah filosofis berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).
Orang belajar berfilsafat untuk menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara
bijak. Supaya dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir,
yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam
berfilsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke
akar-akarnya (radic berarti akar). Pada hakikatnya filsafat
menentukan tujuan umum pendidikan.
Kurikulum pada hakikatnya merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh
filsafat atau pandangan hidup sutu bangsa, maka kurikulum dikembangkan juga
harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa
tersebut. Contoh, pada waktu Indonesia dijajah Belanda, maka kurikulum yang
dianut sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada
saat Negara kita dijajah Jepang, maka kurikulum yang dianutnya juga
berorientasi kepada kepentingan dan sistem nilai yang dianut oleh Jepang
tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia
menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, maka kurikulum pendidikanpun disesuaikan dengan nilai-nilai
pancasila itu sendiri. Perumusan tujuan pendidikan, penyususnan program
pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan,
peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta didik harus sesuai dengan
falsafah bangsa Indonesia yaitu pancasila.
B. Landasan
Psikologis
Proses pendidikan
terjadi interaksi antar-individu, yaitu antara peserta didik dengan pendidik
dan juga antara peserta didik dengan orang-orang lainnya. Kondisi psikologis
merupakan karakteristik
psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk
prilaku dalam interaksi dengan lingkungan. Perilaku-perilakunya
merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang
tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengembangan kurikulum
harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi
kajian tentang perkembangan peserta didik, serta peserta didik belajar. Atas
dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dan
besar kaitannya dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan
psikologi belajar.
Pertama, Psikologi Perkembangan. Menurut J.P. Chaplin Psikologi perkembangan …that
branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and
the maturation of behavior. Maksudnya, psikologi perkembangan merupakan
cabang dari psikologi-psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu,
baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku.[17] Melalui kajian tentang
perkembangan peserta didik diharapkan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan
karakteristik peserta didik serta kemampuannya, materi atau bahan pelajaran
sesuai dengan tingkat umur, bakat serta kemampuan daya tangkap peserta didik
begitu juga dengan strategi penyampainnya dengan berbagai metode yang dapat
diterima dilihat dari sisi psikologis tiap peserta didik.
Dalam pendekatan
pentahapan dikenal dua variasi. Pertama, bersifat menyeluruh
mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik, dan gerakan
motorik, social, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua,
pendekatan yang bersifat khusus mendekripsikan salah satu segi atau aspek
perkembangan saja. Dalam pendekatan secara menyeluruh di kenal
tahap-tahap perkembangan, banyak ilmuan yang mengadakan penilitian tahap-tahap
perkembangan manusia dari segi psikologinya, Rousseau membagi empat tahap
perkembangan anak yaitu 1. Infacy usia 0-2 tahun disebut tahap perkembangan
fisik; 2. Childhood usia 2-12 tahun disebut tahap perkembangan manusia
primitive; 3. Pubescence usia 12-15 tahun disebut tahap perkembangan
intelektual dan kemampuan nalar; 4. Adolescence usia 15-25 tahun disebut masa
hidup sebagai manusia yang beradab, pertumbuhan seksual, social, moral dan kata
hati.[18]
Kedua, Psikologi Belajar. Psikologi
belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar, yang secara
sederhana dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui
pengalaman. Segala perubaha tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif
maupun psikomotorik terjadi karena proses pengalaman yang selanjutnya dapat
dikatakan sebagai perilaku belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi
karena instink atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat
kimiawi tidak termasuk belajar. Intinya adalah, bahwa psikologi sangat membantu
para guru dalam merancang sebuah kegiatan pembelajaran khusunya untuk
pengembangan kurikulum. Menurut P. Hunt, ada tiga keluarga atau rumpunan teori
belajar yang dibahas dalam psikologi belajar, yaitu teori disiplin mental,
teori behaviourisme dan teori cognitif Gestald Field.[19] (1) Teori disiplin mental.
Maksudnya Sejak kelahirannya atau secara herediter,
seorang anak telah memiliki potensi-potensi tertentu, maka belajar merupakan
upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut; (2) Teori behaviorisme. Individu
tidak memiliki atau tidak membawa potensi apa-apa dari kelahirannya.
Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan,
seperti lingkungan sekolah, masyarakat, keluarga, alam, budaya, religi, dan
sebagainya; (3) Teori kognitif gestald field. Maksudnya belajar adalah proses
pengembangan insight atau pemahaman
baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman tersebut terjadi jika individu
menemukan strategi baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan,
termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar,
merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif.
Pemahaman atau insight merupakan citra dari perasaan tentang pola-pola atau
hubungan.
Ketiga, Landasan Sosisologis
dan Budaya. Landasan sosiologis
kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik
tolak dalam pengembangan kurikulum, karena pendidikan baik formal, informal,
maupun nonformal dalam masyarakat, diarahkan mampu terjun dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala
karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan
pendidikan. Oleh karena itu tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus
disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat
tersebut.
Daud Yusuf menyebutkan tiga sumber nilai dalam
masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu: logika,
estetika, dan etika. Daud Yusuf mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap
perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta
perasaan (estetika) manusia, dalam rangka perkembangan kepribadian manusia,
perkembangan hubungan dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan
tuhannya. Ada faktor yang mendasari bahwa kebudayaan merupakan bagian penting
dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan: (1) Individu lahir tidak
berbudaya, baik hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan
sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan
lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah. Oleh karena itu
sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta
didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum; (2) Kurikulum pada
dasarnya harus mengokomodasikan aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek sosiologis
ialah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam,
aspek budayanya yaitu kurikulum sebagai alat harus berimplikasi untuk mencapai
tujuan pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti:
nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
V. Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia
Perkembangan
kurikulum di Indonesia sejak zaman penjajah sampai sekarang terus berkembang.
Kurikulum pada masa Belanda mempunyai misi penyebaran agama dan mempermudah
perdagangan di Indonesia. Pada abad 16 dan 17 berdiri lembaga-lembaga
pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen, maka mereka memerlukan pegawai
rendahan yang dapat membaca dan menulis. Sekitar abad ke 19, pemerintah
kolonial Belanda mulai memperkenalkan sekolah modern sesuai system pengajaran
dunia Barat. Usaha pemerintah kolonial Belanda melalui politik pendidikan,
mendapatkan respon dari umat Islam. Penyatuan lembaga pendidikan, kemudian
dimbangi dengan berdirinya madrasah-madrasah, dengan batas-batas tertentu
merupakan lembaga penidikan ala Belanda yang diberikan muatan keagamaan.[20]
Kemudian masuk masa penjajahan Jepang dengan ditandai dengan keruntuhan system
pemerintahan colonial Belanda. Tujuan pendidikan adalah untuk memenangkan
peperangan, selama 6 tahun lamanya.[21]
Setelah
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 3 januari 1946 berdirilah
Departemen Agama. Dalam dokumen disebutkan bagian pendidikan di lingkungan
Departemen Agama meliputi: (1) memberi pengajaran di sekolah negeri dan
partikulir; (2) memberikan pengetahuan umum di madrasah; (3) mengadakan
pendidikan guru agama (PGA) dan pendidikan Hakim Islam Negeri.[22]
Perkembangan
kurikulum dari masa ke masa terjadi penyempurnaan-penyempurnaan sesuai
perkembangan zaman seperti; Pertama, Kurikulum
1947. Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan, dikenal dengan Rencana pelajaran
1947, dan baru diterapkan pada tahun 1950. Memuat 2 (dua) hal pokok yaitu
daftar mata pelajaran, jam pengajarannya dan garis-garis besar
pengajarannya. Penekanannya pada
strategi guru mengajar dan murid mempelajari pelajaran.
Kedua, Kurikulum 1952. Mengalami penyempurnaan, dan kurikulum 1952
ini dikenal dengan Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini mengarah
kepada suatu system pendidikan nasional. Ciri-ciri kurikulum 1952 memperhatikan
isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana
Pendidikan 1964. Berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan
moral (Pancawardana). Mata pelajaran
diklasifikasikan menurut bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistic,
keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan
dan kegiatan fungsional praktis.
Keempat, Kurikulum 1968. Merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964,
seperti perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi
pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum
1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Kurikulum 1968 bertujuan membentuk manusia
pancasila sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
jasmani, moral budi pekerti dan keyakinan
beragama. Isi pendidikan diarahkan kepada mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelima, Kurikulum 1975, kurikulum ini menekankan pada tujuan, agar
pendidikan lebih efisien dan efektif, dilatarbelakangi pada pengaruh konsep
manajemen (management by objective). Metode,
materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam prosedur pengembangan system
instruksional (PPSI), dikenal dengan satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran
setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci: petunjuk umum, tujuan
instrusional khusus (TIK), materi, alat pelajaran, kegiatan beajar mengajar dan
evaluasi.
Keenam, Kurikulum 1984 dikenal dengan nama kurikulum CBSA. Sering
disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Mengusung process skill approach. Mengutamakan pendekatan proses, namun
factor tujuan tetap penting. Posisi siswa didudukkan sebagai subyek belajar.
Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan, model
ini disebut cara belajar siwa aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Kurikulum 1984 berorientasi pada
tujuan instruksional, dengan alasan pemberian pengalaman belajar kepada siswa
pada waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional
dan efektif. Maka dari itu sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang
pertama harus dirumuskan tujuan yang harus dicapai.
Ketujuh, Kurikulum 1994. Kurikulum ini dibuat sebagai penyempurnaan
kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang
pendidikan nasional. Ha ini berdampak pada system pembagian waktu pelajaran,
yaitu dengan mengubah dari system semester ke system caturwulan. Dengan system
caturwulan dalam setahun menjadi tiga tahap pembelajaran dengan harapan
memberikan kesempatan bagi siswa menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan
pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal
dan pemecahan masalah.
Kedelapan, Kurikulum 2004, dikenal dengan Kurikulum berbasis kompetensi
(KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan untuk melakukan kompetensi tugas-tugas tertentu sesuai standar
performance yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti pendidikan mengacu
pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi sebagai
pedoman pengajaran
Kesembilan, Kurikulum 2006, dikenal dengan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP), pada dasarnya kurikulum 2006 tidak banyak perbedaan dengan
kurikulum 2004, namun perbedaannya yang paling menonjol pada guru, guru
diberikan kebebasan merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan
kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka dasar
(KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar
(SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dan pengembangan perangkat pembelajaran,
seperti silabus dan system penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan
(sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.[23]
VI. Komponen
Kurikulum
Komponen kurikulum, menurut
Syaodih Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau anatomi tubuh kurikulum
yang utama adalah terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi
atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, dan evaluasi, yang mana
keempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.[24] Hamid Syarief menguraikan
kurikulum secara struktural terbagi menjadi beberapa Komponen diantaranya
adalah tujuan kurikulum, komponen isi/ bahan, komponen strategi pelaksanaan,
dan komponen evaluasi.[25] Subandijah yang
menyatakan bahwa ada lima komponen kurikulum yaitu tujuan, media atau sarana
prasarana, strategi, proses belajar mengajar dan evaluasi.[26]
Pertama, Komponen Tujuan. Komponen tujuan berhubungan erat dengan arah
atau hasil yang diharapan secara mikro maupun makro. Tujuan pendidikan memiliki
klasifikasi dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang
bersefat spesifik dan dapat diukur, yang kemudian dinamakan dengan kompetensi.[27] Seperti: (1) Tujuan Intstitusional (TI) atau lembaga; dalam lembaga
Madrasah tujuan institusional hendaknya dilakukan secara integratif dan saling
mendukung antara bidang mata pelajaran pendidikan agama dengan penddiikan umum.
Tujuan kelembagaan Madrasah dirumuskan oleh masing-masing lembaga sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan lembaga dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang
telah ditetapkan oleh Undang-undang; (2) Tujuan Kurikuler
(TK); tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata
pelajaran merupakan bagian dari salah satu cakupan tujuan lembaga Madrasah.
Berdasarkan skema hubungan komponen kurikulum pada pembahasan sebelumnya maka
setiap guru mata pelajaran umum di Madrasah diharuskan menamkan nilai-nilai
islam baik berupa semangat keislaman, memberikan simbol-simbol islam pada setiap
soal atau materi pelajaran, dan semangat mempelajari ilmu pengetahuan umum yang
berlandaskan Islam; (3) Tujuan Intruksional atau tujuan pembelajaran (TP);
dalam madrasah tujuan intruksional merupakn bagian dari tujuan kurikuler.
Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang harus dicapai oleh guru dan siswa dalam
satu kali tatap muka atau satu kali pertemuan. Dalam setiap sesi pertemuan
merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan kurikuler.
Kedua, Komponen media atau
sarana prasarana. Media merupakan perantara untuk
menjelaskan isi kurikulum yang lebih muda dipahami oleh peserta didik baik
media tersebut didesain atau digunakan kesemuanya, diharapkan dapat mepermudah
proses belajar. Oleh karena itu pemamfaatan dan pemakaian media dalam
pembelajaran secara tepat terhadap pokok bahasan yang disajikan kepada peserta
didik untuk menanggapi, memahami isi sajian guru dalam kegiatan belajar
mengajar. Dengan kata lain ketepatan memilih media yang digunakan guru membantu
kelancaran penyampaian maksud pengajaran. Media Pembelajaran di dunia madrasah
merupakan kebutuhan penting, menurut penulis guru tidak hanya sebagai sumber
pembelajaran atau fasilitator namun guru juga bisa menjadi media pembelajaran
bagi siswa. Dengan asumsi guru menjadi contoh atau model bagi siswa dalam
berperilaku, selain itu guru juga bisa menjadikan dirinya sebagai media dalam
arti yang sebenarnya misalnya guru memakai baju ilmuan muslim kemudian mempraktekan
cara ilmuan muslim dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ketiga, Komponen
Strategi. Stategi
dan pendekatan pembelajaran yang digunakan antara sekolah umum dengan madrasah
sangat berbeda karena di madrasah memiliki ciri khas keislaman yang harus di
wujudkan dalam tujuan pembelajaran yang berbeda sehingga perlu strategi yang
berbeda pula. Komponen strategi dan metode merupakan komponen yang memiliki
peran yang sangat penting, dikarenakan berhubungan dengan implementasi
kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola dan urutan umum perbuatan
guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Dengan kata lain strategi memiliki dua hal yang penting
yaitu rencana yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan dan strategi disusun untuk
mencapai tujuan terentu. Sedangkan metode adalah upaya untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan belajar nyata
agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.[28] Strategi menuju pada
pendekatan, metode serta peralatan mengajar yang digunakan dalam pengajaran.
Pada hakekatnya strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja,
tetapi menyangkut berbagai macam yang diusahakan oleh guru dalam membelajarakan
siswa tersebut. Dengan kata lain mengatur seluruh komponen, baik pokok maupun
penunjang dalam sistem pengajaran. Subandijah, memasukkan komponen evaluasi
kedalam komponen strategi.
Keempat,
Komponen
Proses Belajar Mengajar. Komponen
proses belajar mengajar yaitu bahan atau isi yang diajarkan oleh guru dan yang
dipelajari oleh murid. Pengembangan komponen ini sangat penting dalam sistem
pengajaran khususnya di madrasah, sebab selama ini materi-materi pelajaran
Agama masih dipandang terlalu normatif dan materi-materi pelajaran umum di
madrasah masih dicurigai mengekor atau meniru dari mata pelajaran umum di
sekolah-sekolah umum. Oleh karena itu idealnya semua isi atau bahan ajar pada
setiap pelajaran di Madrasah harus disesuaikan dengan ciri madrasah yang
menjujung nilai-nilai Islam. Materi pelajaran umum tidak melulu untuk
kepentingan dunia, dan materi PAI tidak melulu untuk kepentingan akhirat tapi
bagaimana keduanya memiliki posisi penting bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Kelima, Komponen
Evaluasi. Evaluasi
kurikulum sangat berbeda dengan evaluasi pembelajaran (Ulangan Harian, UTS,
UAS, dan UN), tapi keduanya memiliki saling keterkatiatan. Evaluasi
pembelajaran menjadi salah satu instrumen dalam melakukan evaluasi kurikulum,
yaitu sebagai alat ukur dalam mengukur tingkat keberhasilan dari perolehan
proses pembelajaran dan mengetahui pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk
mengetahui keberhasilan tujuan kurikulum. Dengan kata lain evaluasi kurikulum
merupakan sebuah upaya untuk mengadakan penyempurnaan kurikulum ke arah yang
lebih baik dari sebelumnya. Nana
Syaodih Sukmadinata mengungkapkan evaluasi kurikulum dilakukan untuk menilai
pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan serta menilai proses
pelakasanaan pembelajaran secara menyeluruh. Karena dalam setiap kegiatan
pembelajaran dan upaya dalam mencapi tujuan-tujuan kruikulum pasti terdapat
umpan balik dari berbagai pihak atau komponen lain. Umpan balik tersebut
bermanfaat untuk mengadakan penyempurnaan bagi penentuan dan perumusan
komponen-komponen kurikulum yang lain.[29]
VII. Macam-macam Konsep Kurikulum
Nana Syaodih
Sukmadinata menyebutkan model konsep kurikulum dari teori pendidikan klasik
disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan pribadi disebut kurikulum humanistik,
teknologi pendidikan disebut kurikulum teknologis dan dari pendidikan
interaksionis disebut kurikulum rekontruksi sosial.[30]
Pertama, Kurikulum
model konsep subjek akademis. Maksudnya konsep kurikulum tertua dan masih
sering dipakai sampai sekarang, karena cukup praktis, mudah disusun, mudah
digabung dengan lainnya. Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan
klasik yang berorientasi pada masa lalu. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi
pendidikan, pada kurikulum ini orang yang berhasil dalam belajar adalah orang
yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau
disiapkan oleh guru.[31] Ada 3
(tiga) pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek akademis, yaitu: (1)
melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid belajar memperoleh dan
menguji fakta, serta bukan sekedar mengingatnya; (2) studi yang bersifat
integratif. Model kurikulum yang terintegratif (integrated Curriculum), ciri-cirinya; a) menentukan tema-tema yang
membentuk satu kesatuan (unifying theme);
b) menyatukan kegiatan belajar
dari beberapa disiplin ilmu; c) menyatukan berbagai cara/metode belajar; (3)
pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah fundamentalis.
Kedua, Kurikulum
Humanistik. Menurut John Dewey dan J.J. Rousseau, mengutamakan siswa yang
merupakan subjek yang menjadi pusat utama kegiatan pendidikan. Pendidik humanis
berpegang pada konsep Gestalt, bahwa seorang anak merupakan satu kesatuan yang
menyeluruh. Pendidikan diarahkan membina manusia yang utuh; segi fisik dan
intelektual, sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, dan nilai).
Ketiga, Kurikulum
rekonstruksi sosial. Kurikulum ini memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan
yang dihadapi dalam masyarakat.
Pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi
dan kerjasama. Maksudnya kerjasama dan interaksi yang terjadi antara guru dan
siswa, antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan lingkugan dan siswa
dengan sumber belajar lainnya. Harold Rug menyebutkan adanya kesenjangan antara
kurikulum dengan masyarakat. Siswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan
memecahkan masalah-masalah social sehingga dapat menciptakan masyarakat baru
yang lebih stabil.[32]
Ciri-ciri kurikulum rekonstruksi sosial sebagai berikut; (1) bertujuan
menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan,
gangguan-gangguan yang dihadapi manusia dalam masyarakat; (2) kegiatan belajar
mengajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial yang mendesak; (3) pola-pola
organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda, ditengah-tengahnya sebagai
poros merupakan merupakan masalah yang menjadi tema utama. Harold G. Shane
menyarankan para pengembang kurikulum, agar mempelajari kecenderungan (trends)
perkembangan, seperti perkembangan teknologi dengan berbagai dampaknya terhadap
kondisi dan perkembangan masyarakat. Kecenderungan lain adalah perkembangan
ekonomi, politik, social dan budaya.[33]
Keempat, Kurikulum
teknologis. Perkembangan teknologi yang sangat pesat mempengaruhi segala bidang
termasuk bidang pendidikan. Penerapan teknologi bidang pendidikan khususnya
kurikulum dibagi dua bentuk, yaitu: (1) perangkat lunak (software) atau disebut
teknologi system (system technology). Menekankan kepada penggunaan alat-alat
teknologis yang menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan; (2) perangkat
keras (hardware) atau sering disebut teknologi alat (tools technology).
Menekankan kepada penyususnan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan
menggunakan pendekatan system.
Ciri-ciri
kurikulum dari konsep teknologi pendidikan, yaitu; (1) tujuan diarahkan pada
penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan
yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus,
disebut objektif atau tujuan instruksional; (2) metode yang digunakan bersifat
individual, kemudian pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan
secara kelompok. Pelaksanan pengajaran mengiuti langkah-langkah sebagai berikut:
a) penegasan tujuan kepada siswa; b) pelaksanaan pengajaran; c) pengetahuan
tentang hasil; d) organisasi bahan ajar; e) evaluasi.
VIII. Pengembangan Kurikulum.
Akal manusia telah menjangkau hal-hal yang sebelumnya dianggap
yang tidak mungkin. Seperti manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi
berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan
abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong
merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Kemajuan ilmu
pengetahuan: informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah
berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia
sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik
yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara
kehidupan yang berlaku pada konteks global dan local.
Perkembangan bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama
dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan
manusia. Karenanya, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi
laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemaslahatan dan
kelangsungan hidup manusia. Kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan
alat-alat hasil industri seperti televisi, radio, video, komputer, dan
peralatan lainnya. Penggunaan alat-alat yang dibutuhkan untuk menunjang
pelaksanaan program pendidikan, disaat perkembangan produk teknologi komunikasi
yang semakin canggih, menuntut pengetahuan dan keterampilan serta kecakapan
yang memadai dari para guru dan pelaksana program pendidikan lainnya.
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan
perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan
pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup
pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan media
pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi. Secara tidak langsung menuntut
dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik agar
memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah
pendidikan.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum merupakan usaha mencari rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta strategi yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu
lembaga. Pengembangan kurikulum di arahkan pada pencapaian nilai-nilai umum,
konsep-konsep, masalah dan keterampilan yang menjadi isi kurikulum yang disusun
dengan fokus pada nilai-nilai. Adapun selain berpedoman pada landasan-landasan
yang ada, pengembangan kurikulum juga berpijak pada prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum. Sesuai Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 Bab X tentang
kurikulum, pasal 36 ayat 1, pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, secara optimal sesuai dengan tuntunan
dan tantangan perkembangan masyarakat. Setiap
pengembangan kurikulum terikat ketentuan atau hukum sehingga dalam
pengembangannya mempunyai arah yang jelas sesuai prinsip yang disepakati.
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum adalah
sebagai berikut: (1) Prinsip Relevansi. Prinsip relevansi berkenaan dengan kesesuaian
antara komponen tujuan, isi, strategi, dan evaluasi. Ada dua macam relevansi
yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevansi keluar dan relevansi di dalam
kurikulum itu sendiri. Relevansi keluar yaitu tujuan, isi dan proses belajar
yang tercakup dalam kurkulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan
perkembangan masyarakat. Adapun relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian antara
komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan
penilaian. Relevansi ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum; (2) Prinsip
Fleksibilitas. Prinsip fleksibilitas berkenaan dengan kebebasan/keluwesan yang
dimiliki guru dalam mengimplementasikan kurikulum dan adanya alternatif pilihan
program pendidikan bagi siswa sesuai dengan minat dan bakatnya; (3) Prinsip
Kontinuitas. Prinsip kontinuitas berkenaan dengan adanya kesinambungan materi
pelajaran antarberbagai jenis dan jenjang sekolah serta antartingkatan kelas.
Perkembangan dan proses belajar berlangsung secara berkesinambungan, tidak
terputus-putus atau terhenti-henti; (4) Prinsip Praktis dan Efisiensi. Kurikulum
harus mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga
murah. Tepat pelaksanaannya dan menghasilkan sesuatu dengan tidak membuang-buang
waktu, tenaga, dan biaya; (5) Prinsip Efektivitas. Keberhasilan pelaksanaan
kurikulum harus diperhatikan, baik kuantitas maupun kualitas. Keberhasilan
kuntitas ditinjau dari komponen-komponen kurikulum, seperti tujuan, isi, proses
belajar, dan evaluasi. Sedangkan keberhasilan kualitasnya dilihat dari hasil
pelaksanaan kurikulum yang ada; (6) Prinsip khusus. Adapun prinsip khusus yang
harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum, antara lain: prinsip
keimanan, nilai dan budi pekerti luhur, penguasaan integrasi nasional,
keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinetika, kesamaan memperoleh
kesempatan, abad pengetahuan dan teknologi informasi, pengembangan keterampilan
hidup, berpusat pada anak, serta pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki
pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum
dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat
dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada
landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu
sendiri. Dengan sendirinya, berkibat pula terhadap kegagalan proses
pengembangan manusia.
IX. Desain Kurikulum dalam Pendidikan
Desain Kurikulum menurut para ahli, seperti Oemar Hamalik menyebutkan desain merupakan suatu petunjuk yang memberi dasar, arah, tujuan dan teknik yang ditempuh dalam memulai dan melaksanakan kegiatan.[34] Menurut Nana S. Sukmadinata desain kurikulum adalah menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.[35] Menurut Longstrteet, desain kurikulum merupakan desain kurikulum yang berpusat pada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan itelektual siswa.[36] Rincian sebagai berikut:
Desain Kurikulum menurut para ahli, seperti Oemar Hamalik menyebutkan desain merupakan suatu petunjuk yang memberi dasar, arah, tujuan dan teknik yang ditempuh dalam memulai dan melaksanakan kegiatan.[34] Menurut Nana S. Sukmadinata desain kurikulum adalah menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.[35] Menurut Longstrteet, desain kurikulum merupakan desain kurikulum yang berpusat pada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan itelektual siswa.[36] Rincian sebagai berikut:
Pertama,
Subject centered design curriculum merupakan
bentuk desain yang paling popular, paling tua dan paling banyak digunakan.
Dalam subject centered design, kurikulum
di pusatkan pada isi atau materi yang diajarkan. Kurikulum tersusun atas
sejumlah mata-mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara
terpisah-pisah. Karena terpisah-pisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject curriculum. Subject
centered design berkembang dari konsep pendidikan klasik yang menekankan
pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk
mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau bahan
ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga subject academic curriculum. Model
design curriculum ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kedua, The subject design. The subject
design curriculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design. Materi
pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran.
Model desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani dan kemudian Romawi
mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan
retorika, sedangkan Quadrivium meliputi matematika, geometri, astronomi, dan
musik. Pada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi
pada pembentukan pribadi dan status social (Liberal Art). Pendidikan hanya
diperuntukkan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah berkerja
mencari nafkah.
Ketiga, The disciplines design. Bentuk ini merupakan
pengembangan dari subject design,
keduanya masih menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Walaupun bertolak
dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Pada Subject design belum ada kriteria yang
tegas tentang subject (ilmu). Belum
ada perbedaan antara matematika, psikologi dengan teknik atau strategi
mengemudi, semuanya disebut subject.
Pada disciplines design criteria
tersebut telah tegas, yang membedakan suatu pengetahuan itu ilmu atau subject dan bukan adalah batang tubuh
keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan suatu bahan pelajaran itu
disiplin ilmu atau bukan. Untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah
disiplin. Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin
ilmu. Menurut pandangan ini sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, batu
pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari
aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika,
biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Keempat, The broad fields design. Baik subject design maupun disciplines design masih menunjukkan
adanya pemisahan antara mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan
pemisahan tersebut adalah mengembangkan the
board fields design. Dalam model ini mereka menyatukan beberapa mata
pelajaran yang berdekatan atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti
sejarah, geografi, dan ekonomi digabung menjadi ilmu pengetahuan social,
aljabar, ilmu ukur, dan berhitung menjadi matematika, dan sebagainya. Tujuan
pengembangan kurikulum broad field
adalah menyiapkan para siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang
sifatnya spesialitis, dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk
kurikulum ini banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama,
di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas seperti diperguruan tinggi
sedikit sekali.
Kelima, Learner-Centered Design, Sebagai reaksi sekalus
penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject
centered design berkembang learner
centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan
dan mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari
kurikulum. Learner centered, memberi
tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang
belajar dan berkembang adalah perserta didik sendiri. Peran guru menciptakan
situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu
organisme yang punya potensi untuk berbuat, berprilaku, belajar dan juga
berkembang sendiri. Learned centered
design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan
perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat,
kebutuhan dan tujuan peserta didik.
Keenam, Problem centered design, Problem centered design
berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered). Berbeda dengan learner
centered yang mengutamakan manusia atau peserta didik secara individual, problem centered design menekankan
manusia dalam kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat. Konsep
pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa
manusia sebagai makhluk social selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama
ini manusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama
pula. Mereka berinteraksi, berkooperasi dalam memecahkan masalah-masalh social
yang mereka hadapi untuk meneingkatkan kehidupan mereka. Konsep-konsep ini
menjadi landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Berbeda
dengan learner centered, kurikulum
mereka disusun sebelumnya (preplanned).
Isi kurikulum berupa masalah-masalah social yang dihadapi peserta didik
sekarang dan masa datang. Sekuens bahan disusun berdasarkan kebutuhan,
kepentingan dan kemampuan peserta didik. Problem centered design menekankan
pada isi maupun perkembangan peserta didik. Minimal ada dua variasi model
desain kurikulum ini, yaitu the areas
of living design, dan the core design.
X.
Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama di Pesantren, Sekolah dan Madrasah
Menurut
falsafah dan dasar negara, kurikulum yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang
menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa. Kurikulum diartikan sebagai jarak
yang harus ditempuh.[37] Tujuan dan pola kehidupan
suatu negara ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai dari
kurikulum taman kanak-kanak sampai dengan kurikulum perguruan tinggi. Jika
terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, maka dapat berakibat pada perubahan
sistem pemerintahan dan sistem pendidikan, bahkan sistem kurikulum yang
berlaku.[38]
Sedangkan pengertian kurikulum secara
terminologi adalah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar
dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara
sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku, yang dijadikan pedoman dalam
proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan.[39] Kurikulum sebagai all of the activities that are provided for student the school. Kurikulum
tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan
lain, di dalam dan di luar kelas, yang berada di bawah tanggung jawab sekolah.[40]
Kurikulum merupakan aspek substantif yang
mendukung berfungsinya lembaga pendidikan sebagai pusat pemberdayaan, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Memiliki tujuan pendidikan tingkat institusional
yang menggambarkan secara jelas dan terukur kemampuan, sikap, pengetahuan dan
keterampilan yang dikuasai oleh lulusan suatu jenis dan jenjang pendidikan yang
bermanfaat bagi tugas perkembangannya; 2) Memiliki struktur program yang tidak
sarat muatan dan secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang fungsional dan
sinergik bagi tercapainya tujuan pendidikan baik tingkat institusional maupun
nasional; 3) Memiliki garis besar program pengajaran yang memuat pokok-pokok
bahasan yang esensial, fundamental dan fungsional sebagai objek belajar yang
memungkinkan peserta didik mengalami dan menghayati proses belajar yang
bermakna bagi pengembangan dirinya secara intelektual, emosional, moral dan
spiritual; dan 4) Kurikulum dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif jika
didukung oleh sistem evaluasi yang terus menerus, komprehensif dan obyektif,
serta sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan yang memenuhi syarat
standar profesional bagi terlaksananya program pendidikan yang bermutu.[41]
Tahap-tahap pengembangan kurikulum adalah
suatu pengembangan kurikulum yang diterapkan di Indonesia: 1) Pengembangan
program tingkat lembaga Pengembangan program tingkat lembaga ini meliputi tiga
kegiatan pokok, yaitu, perumusan tujuan institusional, penetapan isi, dan
struktur program, serta penyusunan strategi pelaksanaan kurikulum secara
keseluruhan;
2) Pengembangan program setiap mata pelajaran.
Langkah-langkah pengembangan program setiap mata pelajaran (bidang studi)
mencakup beberapa kegiatan, yaitu: a) Merumuskan tujuan kurikuler perumusan
tujuan kurikuler harus berdasarkan pada tujuan institusional. Karena kumulatif
tujuan kurikuler merupakan tujuan institusional itu sendiri. Dalam tujuan
kurikuler dirumuskan tujuan-tujuan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan,
dan sikap serta nilai-nilai yang diharapkan dimiliki siswa pada setiap mata
pelajaran; b) Merumuskan tujuan Instruksional di sini adalah tujuan
instruksional umum. Yaitu tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan dimiliki
siswa untuk tiap pokok bahasan. Tujuan instruksional ini dijabarkan langsung
dari tujuan kurikuler. Karena itu satu tujuan kurikuler dapat mempunyai satu
atau beberapa tujuan instruksional. Kumulasi pencapaian tujuan-tujuan
instruksional inilah yang mewujudkan tercapainya tujuan kurikuler; c)
Menetapkan pokok dan sub pokok bahasan Setelah selesai merumuskan tujuan
kurikuler dan tujuan instruksional langkah selanjutnya adalah menetapkan pokok
bahasan. Karena pokok-pokok bahasan harus berdasarkan pada tujuan
instruksional. Setelah menetapkan pokok-pokok bahasan disusunlah bahan
pengajaran. Satu tujuan instruksional dapat dijabarkan menjadi sejumlah uraian
bahan pengajaran. Dengan demikian terdapat hubungan erat antara tujuan
kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan dan uraian bahan pengajaran; d)
Menyusun Rencana Program Pembelajaran Langkah berikutnya adalah menyusun
Rencana Program Pembelajaran (RPP). Berdasarkan RPP inilah guru menjalankan
aktivitas mengajar dan buku pelajaran disusun. Dengan berlandaskan pada RPP
inilah diharapkan setiap sekolah memiliki arah yang seragam, yaitu diarahkan
untuk mencapai tujuan nasional. Komponen-komponen RPP antara lain; rumusan
kompetensi inti dan kompetensi dasar, indikator pembelajaran, pokok-pokok
bahasan, dan uraian bahan pengajaran. Komponen-komponen tersebut disusun secara
sistematis menurut semester dan kelas. Dalam waktu satu semester, untuk tiap
pokok bahasan dicantumkan satu kompetensi dasar, beberapa indikator
pembelajaran, dan uraian bahan pengajaran. Di samping komponen-komponen tersebut,
dicantumkan juga jumlah jam pelajaran per sesi, metode-metode pembelajaran yang
digunakan, sarana atau sumber bahan pelajaran, teknik penilaian dan keterangan
tambahan. Cara menyusun RPP adalah semua komponen RPP disusun secara paralel
dari kiri ke kanan, mulai dari tujuan kurikuler sampai teknik penilaian. Jika
penyusunan RPP selesai, maka selesailah tugas tim nasional dalam usaha mengembangkan
kurikulum sekolah;
3) Pengembangan program pengajaran di kelas pembuatan
satuan pelajaran merupakan kegiatan pengembangan kurikulum yang berupa program
pengajaran di kelas. Kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing guru. Satuan
pelajaran terdiri dari; a) tujuan instruksional umum yang diambil dari RPP; b)
indikator pembelajaran; c) uraian bahan pelajaran yang langsung dijabarkan dari
uraian bahan dalam RPP yang mendasarkan diri pada indikator pembelajaran yang
telah dirumuskan. Komponen berikut berturut-turut adalah d) perencanaan
kegiatan belajar mengajar, e) pemilihan metode, alat, atau media yang dipergunakan,
serta sumber bahan, f) penilaian baik prosedur maupun alat penilaian itu
sendiri. Setiap guru yang melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas
diwajibkan menyusun satuan pelajaran. Satuan pelajaran ini antara lain
berfungsi membatasi dan mengarahkan segala kegiatan guru agar selalu berjalan
pada tujuan-tujuan pelajaran yang ingin dicapai.[42]
XI. Pengembangan Tujuan dan Isi Kurikulum
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai isi atau bahan pelajaran serta strategi yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Setiap rencana yang
terdapat dalam kurikulum selalu didasarkan pada suatu tujuan tertentu. Komponen
tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum.
Tiga alasan
perlu merumuskan tujuan dalam kurikulum; (1) tujuan erat kaitannya dengan arah
dan sasaran yang hendak dicapai oleh setiap upaya pendidikan. Kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan demikian perumusan
tujuan merupakan komponen yang harus ada dalam kurikulu; (2) melalui tujuan
yang jelas, dapat membantu para pengembang kurikulum dalam m pembeljendesain
model kurikulum yang dapat digunakan, bahkan dapat membantu guru dalam
mendesain system pelajaran, menentukan alat, media, dan sumber pembelajaran,
serta merancang alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan belajar siswa; (3)
tujuan kurukulum yang jelas dapat digunakan sebagai control dalam
menentukan batas-batas dan kualitas
pembelajaran. Maksudnya melalui penetapan tujuan, para pengembang kurikuum
termasuk guru dapat mengontrol tingkat capaian kemampuan-kemampuan sesuai
dengan tujuan dan tuntutan kurikulum yang berlaku, dan dengan tujuan dapat
ditentukan daya serap siswa dan kualitas organisasi sekolah.
Klasifikasi tujuan.
Menurut Bloom, bentuk prilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskan ke dalam 3
klasifikasi yaitu: bidang kognitif, afektif dan psikomotor. Pertama, Bidang kognitif merupakan
tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan
berfikir seperti kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah. Bidang
kognitif terdiri dari 6 (enam) tingkatan yaitu; (1) Pengetahuan; (2) Pemahaman;
(3) Penerapan; (4) Analisis; (5) Sintesis; dan (6) Evaluasi.
Kedua, Bidang Afektif
berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Bidang afektif merupakan
bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari bidang kognitif. Artinya seseorang
hanya memiliki sikap tertentu terhadap suatu objek, jika telah memiliki
kemampuan kognitif tingkat tinggi. Menurut Krathwohl, dkk. (1964) membagi
kemampuan afektif kedalam 5 tingkatan yaitu; (1) Penerimaan; (2) Merespons; (3)
Menghargai; (4) Mengorganisasi; dan (5) Karakterisasi nilai.
Ketiga, Bidang
psikomotor. Merupakan tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan
seseorang. Bidang psikomotor memiliki enam tingkatan yaitu; (1) Gerak reflex;
(2) Keterampilan dasar; (3) Keterampilan perseptual; (4) Keterampilan fisik;
(5) Gerak keterampilan; (6) Komunikasi nondiskursif.
Herarkis tujuan. Tujuan
herarkis merupakan tujuan pendidikan dari yang sangat umum sampai tujuan yang
sangat khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur. Tujuan herarkis dapat
diklasifikasikan menjadi empat yaitu; (1) tujuan pendidikan nasional (TPN).
Tujuan nesional pendidikan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman
oleh setiap usaha pendidikan. TPN merupakan sumber dan pedoman dalam usaha
penyelenggaraan pendidikan; (2) Tujuan institusional (TI). TI merupakan tujuan
yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan dan oleh setiap siswa setelah
siswa menempuh program di suatu lembaga tertentu. Dan Tujuan institusional
adalah tujuan untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk
kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, seperti standar kompetensi
pendidikan dasar, menengah, kejuruan dan jenjang pendidikan tinggi; (3) Tujuan
kurikuler. Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang
studi atau pelajaran. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan tujuan untuk
mencapai tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian setiap tujuan kurikuler
harus dapat mendukung untuk mencapai tujuan institusional; (4) Tujuan
instruksional atau tujuan pembelajaran (TP). Tujuan pembelajaran ini merupakan
tujuan yang paling khusus. Dan tujuan pembelajaran merupakan kemampuan/
kompetensi/ keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa setelah proses
pembelajaran berlangsung.
Cara merumuskan tujuan pembelajaran ada 4 (empat) komponen
pokok yaitu; (1) siapa yang belajar atau yang diharapkan dapat mencapai tujuan
atau mencapai hasil belajar itu; (2) tingkah laku atau hasil belajar yang
diharapkan dapat dicapai; (3) dalam kondisi yang bagaimana diharapkan dapat
dicapai; (4) seberapa jauh hasil belajar itu bisa diperoleh.
Pertanyaan
pertama berhubungan dengan subjek belajar. Rumusan indicator hasil belajar
sebaiknya mencantumkan subjek yang melakukan proses pembelajaran, misalnya
siswa, peserta belajar, peserta penataran. Penentuan subjek ini sangat penting
dalam menentukan sasaran belajar.Pertanyaan kedua, berhubungan dengan tingkah
laku yang harus muncul sebagai indicator hasil belajar setelah subjek mengikuti
atau melaksanakan proses pembelajaran.
XII. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter
Undang –
undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pada
bab II pasal 3 dijelaskan pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pembangunan
karakter dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan
melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Penanaman
nilai-nilai akhlak, moral, dan budi pekerti, sesuai Undang- undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi
dasar pijakan utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem
pendidikan nasional.
Dunia
pendidikan kita saat ini tampaknya telah terkontaminasi iklim budaya barat yang
begitu mengunggulkan nilai–nilai intelektual berbasis science tetapi miskin
dengan nilai – nilai moral spiritual dan nilai budaya bangsa, sehingga pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan perkembangan peradaban yang
sesuai dengan norma dan adat budaya bangsa. Hal ini terbukti banyak catatan
prestasi yang ditorehkan para pelajar Indonesia di tingkat internasional karena
hampir di setiap kompetisi ilmu pengetahuan baik tingkat regional seperti di
ASEAN, Asia maupun internasional, wakil Indonesia selalu menyabet medali.
Tetapi sayangnya dinegeri sendiri prestasi itu harus ternodai dengan adanya
kasus korupsi, terorisme ataupun kasus – kasus yang mengancam kedaulatan
bangsa. Sehingga rekonstruksi system pendidikan nasional dapat dijadikan filter
bagi dampak negatif era globalisasi, sehingga tidak mudah terpengaruh. Maka
imbauan pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju masyarakat yang
bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme
menjadi suatu tantangan ke depan. Sekolah merupakan agen yang sangat efektif
dalam membangun karakter siswa yang berbudaya dan bernilai kebangsaan melalui
pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa.
Menurut Ahmad
yaumi dasar pentingnya pendidikan karakter bangsa bagi siswa sebagai berikut: (a)
Dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin komplek
merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia
memasuki milenium ketiga sekarang ini. Persinggungan budaya lokal, nasional,
dan budaya-budaya asing adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan
kita sehari-hari; (b) Adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna
pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Martadinata
menyebutkan pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas
individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat
membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas
kolektif, dan bukan pribadi.[43]
Seperti sistem pendidikan nasional jelas tertuang tujuan pendidikan nasional
bukan sekadar membentuk peserta didik memiliki kecerdasan intelektual dan
keterampilan semata, melainkan harus beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Pendidikan berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa;
(c) Pendidikan yang diselenggarakan sekarang masih didominasi berbagai dogma,
dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat.[44] Semestinya
secara kultural, penyelenggaraan pendidikan harus tergali dari nilai luhur
bangsa Indonesia sendiri, seperti pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) yang telah
tertuang dalam berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat
dirumuskan dan diimplementasikan. Ranah kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang
merupakan produk Amerika dalam taksonomi pembelajaran tidak lebih sempurna dari
taksonomi Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari olah otak, olah rasa, olah hati,
dan olah raga. Namun, dalam realitasnya, guru dan para perancang pembelajaran
lebih cenderung merujuk pada taksonomi Bloom yang akar spiritualitasnya belum
terintegrasikan. Hal ini dilakukan mengingat taksonomi Bloom telah dirumuskan
lebih jelas sehingga indikator pencapaiannya mudah diukur dan dievaluasi.[45]
Pendidikan
karakter bangsa merupakan perilaku khas seseorang atau kelompok, kekuatan
moral, atau reputasi. Karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu
atau berbagai atribut termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti
integritas, keberanian, ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, atau perilaku atau
kebiasaan yang baik. Wood menyebutkan ketika seseorang memiliki karakter moral,
hal inilah yang membedakan kualitas individu yang satu dengan individu yang
lain.[46]
Karakter merupakan seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang
yang menggambarkan tentang keberadaan dirinya kepada orang lain. Penggambaran
itu tercermin dalam prilaku ketika melaksanakan berbagai aktivitas secara
efektif melaksanakan dengan jujur atau sebaliknya, mematuhi hukum yang berlaku
atau tidak.[47] Walaupun prilaku sering
dihubungkan dengan kebribadian, tetapi kedua kata ini mengandung makna yang
berbeda. Kepribadian pada dasarnya merupakan sifat bawaan, sedangkan karakter
terdiri atas prilaku-prilaku yang diperoleh dari hasil belajar. Konsep
pendidikan karakter tersebut di atas adalah proses pendidikan yang bertujuan
menciptakan peserta didik yang berkarakter, maksudnya menciptakan generasi yang
cerdas, berbudi pekerti luhur, agamis dan selalu menjunjung tinggi nilai–nilai
budaya bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Konsep tersebut menjadi tantangan
bagi para pendidik untuk dapat diimplementasikan dalam setiap materi pelajaran
sehingga menjadi konsep dan tanggung jawab bersama yang bersifat integral
sesuai dengan amanat dari Undang – undang No 20 tahun 2003 tentang system
pendidikan nasional.
Pengembangan kurikulum berbasis pendidikan
karakter bangsa; Pertama, Konsep–konsep
pengembangan kurikulum, merencanakan kurikulum, menurut Hilda Taba (Lukmanul
hakim, 2008), bahwa didalam merancang kurikulum setidaknya berpijak dari fungsi
dasar pendidikan yaitu: (1) Pendidikan berfungsi memelihara dan menyampaikan
warisan kebudayaan kepada generasi muda, artinya mengajar berarti menyampaikan
ilmu pengetahuan sebagai hasil kebudayaan yang menjadi isi atau materi
pembelajaran melalui proses penuangan atau imposisi; (2) Pendidikan berfungsi
mengubah dan memperbaiki kebudayaan, artinya proses pembelajaran lebih
mencerminkan iklim demokratis. Siswa dituntut untuk mengkaji, menilai, dan
menemukan bentuk–bentuk hasil kebudayaan, termasuk ilmu pengetahuan yang
dipandang lebih dan sesuai dengan tuntutan kehidupan, baik dimasa kini maupun
masa datang; (3) Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan, kecakapan dan
pribadi setiap individu. Maksudnya, siswa dipandang sosok yang mempunyai
potensi, kecakapan, minat, dan kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya.
Atas dasar itu setiap siswa bebas memilih bentuk–bentuk belajar sesuai dengan
kemampuan dan minatnya. Tujuan pembelajaran adalah membentuk pribadi yang
bersifat utuh, sehingga setiap individu dapat mewujudkan diri sesuai dengan
potensi yang dimiliki masing–masing.
Kedua, Pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa
berdasarkan Pencapaian. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan tanggung
jawab bersama yaitu guru, orang tua dan lingkungan. Oleh karena itu perencanaan
kurikulum seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan
ketiga hal tersebut. Nasution menyebutkan dalam merencanakan kurikulum
sebaiknya guru berpedoman pada: (1) Apa yang dipelajari; (2) Kepada siapa
diajarkan; (3) Apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa; dan 4 Dalam urutan yang
bagaimana.[48]
Dengan demikian perencanaan kurikulum bersifat dinamis, guru
harus mampu melihat kebutuhan siswa sesuai dengan permasalahan yang muncul,
dilihat dari segi kebutuhan individu, masyarakat, Negara dan dunia. Seharusnya
guru dapat mengimplementasikan beberapa kebutuhan siswa secara seimbang dalam
berbagai materi pelajaran. Terkait munculnya permasalahan–permasalahan yang terancamnya
kedaulatan bangsa, maka para pendidik harus meninjau ulang kurikulumnya,
sehingga dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Kemampuan
intelektual harus diimbangi dengan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai
budaya bangsa, hal ini cenderung memunculkan generasi yang menjunjung tinggi nilai
nasionalisme, sehingga kecerdasan intelektual yang terbentuk pada diri siswa dapat
membawa kepada kemaslahatan bangsa dan Negara. Daripada itu dianjurkan para
guru dapat mengimplementasikan pendidikan yang berkarakter budaya bangsa
tersebut dalam setiap pelajaran dan seluruh komponen pendidik disekolah.
XIII. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi
kurikulum adalah sebuah proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseluruhan
baik yang bersifat lingkungan makro (ideal curriculum) maupun lingkungan mikro
(actual curriculum) dalam bentuk pembelajaran. Hamid Hasan menyebutkan evaluasi
adalah proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang
dipertimbangkan.[49]
Tujuan
kurikulum adalah untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin
diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan: (1) untuk perbaikan program. Bersifat
konstrutif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan yang
diperlukan di dalam program kurikulum yang sedang dikembangkan; (2)
pertanggungjawaban kepada berbagai pihak. Diperlukan pertanggungjawaban dari
pihak pengembangan kurukulum maupun pihak yang menjadi konsumen kurikulum yang
telah dikembangkan; (3) penentuan tindak lanjut hasil pengembangan. Dapat berbentuk
jawaban atas kemungkinan pertanyaan; pertama, apakah kurikulum baru tersebut
tidak tersebar luaskan ke dalam system yang ada? Kedua, dengan kondisi, dan strategi
bagaimana kurikulum baru tersebut disebarluaskan ke dalam system? Kemudian untuk
menghasilkan informasi yang diperlukan, dan jalan untuk menjawab pertanyaan
tersebut diperlukan evaluasi kurikulum.
Kategori
kurikulum sebagai berikut: (1) penilaian konteks; dasar dalam menentukan tujuan
program, fasilitas dengan kondisi dan situasi program itu dilaksanakan; (2)
penilaian input (masukan); memperoleh informasi dan menyajikan keterangan
sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya untuk pencapaian tujuan penilaian proses,
mengetahui kekuatan/kelemahan rencana dan pelaksanaan untuk perbaikan,
penyempurnaan, pengembangan program penilaian; (3) output (keluaran-hasil)
menentukan keberhasilan program dan dampaknya.
Dimensi
evaluasi kurikulum mencakup dimensi program (tujuan, isi kurikulum, dan pedoman
kurikulum) dan dimensi pelaksanaan (input, proses, output dan dampak). Rincian
sebagai berikut: (1) dimensi program meliputi; a. tujuan (institusional,
kurikuler dan instruksional); b. isi kurikulum (struktur, komposisi, jumlah
mata pelajaran dan alokasi waktu); c. pedoman pelaksana terdiri dari: proses
belajar mengajar, system penilaian, administrasi dan supervise dan sumber
belajar; (2) dimensi pelaksanaan
meliputi: a. komponen masukan seperti; komponen mentah (jumlah peserta didik, minat dan motivasi,
kecakapan sebelumnya dan bakat/potensinya), masukan alat seperti bahan
pelajaran/pelatihan, system administrasi dan prasarana pendidikan, masukan
lingkungan terdiri dari lingkungan social, lingkungan budaya, lingkungan
giografis dan lingkungan religius; b. komponen proses seperti interaksi
unsur-unsur masukan untuk mencapai tujuan seperti peserta dengan peserta,
peserta dengan pengajar/pelatih, peserta dengan lingkungan, dan pengajar dengan
pengajar; c. komponen luaran seperti menghasilkan sesuatu perubahan tingkah
laku (kompetensi) setelah mengalami proses; pengetahuan, sikap/nilai dan
ketrampilan; komponen dampak seperti dampak yang dirasakan peserta didik di
masyarakat/ tempat kerja yaitu kemandirian, kemampuan intelektual, kemampuan social,
moral, dan etos kerja.
Prinsip
evaluasi kurikulum untuk memeriksa ketercapaian tujuan pendidikan dan
efektivitas pencapaiannya. Prinsip pelaksanaan evaluasi sebagai berikut: (1)
keterpaduan ataunkeselarasan. Kesesuaian antara tujuan instruksional pengajaran
tujuan pembelajaran, materi pembelajaran dan metode pembelajaran; (2)
keterlibatan peserta didik. Suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta
didik dalam evaluasi bukan alternative dan seluruhnya mempunyai keterkaitan
yang erat; (3) koherensi. Evaluasi pendidikan harus berkaitan dengan materi
pembelajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta
didik yang hendak diukur. Dan keselarasan peserta didik dengan pembelajaran
harus sesuai; (4) pedagogis. Merupakan seni dalam mengajar. Diperlukan alat
penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku
sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa
atau peserta didik; (5) akuntabel. Evaluasi haruslah menjadi alat akuntabilitas
atau bahan pertanggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seperti; orang tua
siswa, dan sekolah.
Fungsi
evaluasi kurikulum menurut Tyler adalah untuk memperbaiki kurikulum melalui
hasil belajar evaluasi produk. Menurut Cronbach adalah untuk memperbaiki
kurikulum dan memberi penghargaan. Menurut Sciver adalah untuk mengurangi
kekurangan-kekurangan yang ada. Dan Scriven membedakan evaluasi kurikulum kedalam
dua fungsi yatu; (1) evaluasi formatif; dilaksanakan jika kegiatan evaluasi
diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu dari kurikulum yang sedang
dikembangkan; (2) evaluasi sumatif; dilaksanakan jika kurikulum telah dianggap
selesai pengembangannya (evaluasi terhadap hasil kurikulum).
Prosedur kurikulum
menurut Storeange dan Helm (1992) sebagai berikut; (1) kajian terhadap evaluan;
(2) pengembangan proposal; (3) pertemuan atau diskusi proposal dengan pengguna
jasa evaluasi; (4) revisi proposal; (5) rekruitmen personalia; (6) pengurusan
persyaratan administrasi; (7) pengorganisasi pelaksanaan; (8) analisis data;
(9) penulisan pelaporan; (10) pembahasan laporan dengan pemakai jasa; dan (11)
penulisan laporan akhir.
[1]
Hamalik, Oemar. 1990. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga:
Oemar Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan
Kurikulum. Bandung: UPI. Baca Juga: Oemar Hamalik. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga: Oemar Hamalik. Evaluasi Kurikulum Pendekatan Sistematik. Bandung: Yayasan Al
Madani Terpadu
[2]Charlotte, W.L.,
2004. Tracheostomy in American Medicine
Journal, Volume 129 (5), Otolaryngology – Head and Neck Surgery, Jos
University Teaching Hospital at Nigeria: 523. Baca Juga: Thomson, A., 2007.
Surgeries and Procedures. Available from: http://pennhealth.com/health_info/Surgery/tracheostomy.html.
[Accessed on: 10 July 2007].
[5] Munandar, Utami.
2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan
Bakat. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Guilford, J.P. 1965. Factor That Aid
and Hinder Creativity, Teachers Record.
[6]Clegg, P. 2008.
Creativity and Critical Thinking in the Globalized University. Innovations in
Education and Teaching International. Vol. 45. Nomor 3. Taylor & Francis.
[7]Munandar, Utami.
2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan
Bakat. Jakarta: Rineka Cipta.
[8]Murray, R. K.,
Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2009
[9] Murray, R. K.,
Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2009
[10] Ridwan, Juniarto,
dkk, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa,
2010. Baca Juga: Sumardi, Juajir, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan
Transnasional, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
[11]Hendiyat Soetopo dan
Wasti Soemanto, 1998, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
[12] Wahjosumidjo,
Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 199
[14] Zais, S. Robert. 1976. Curriculum, Principles and
Foundation. Ney York: Harper & Row, Publishers. Baca Juga: Mc Neil. John D.
2006. Contemporary Curriculum in Thouhgt and Action. USA: John Wiley &
Sons. Inc
[16] Sukamdinata, Nana
Syaodih. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[17]Chaplin, J.P. 2006.
Kamus Lengkap Psikologi. (Penerj. Kartini Kartono). Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
[18]Rousseau. J.J. 1989.
Perihak Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik. Terjemahan
Husein.I.S dan Hidayat.R. Jakarta: Dian Rakyat. Baca Juga: Affandi, I. 2012.
Filsafat Politik Rousseau (online). Tersedia: http://webcache.googleusercontent.com
[19]Hunt, HK, 1991,
Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaning Behavior, Journal of
Social Issues 49 (1). Baca Juga: Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM,
Francis GS, Ganiats TG et al. 2009 Focused update incorporated into the ACC/AHA
2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults A
Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines Developed . J Am Coll Cardiol.
2009;53(15):e1-e90
[20]Fatah Syakur, dalam
Zainal, et al., 1984. Pedoman Majlis Taklim: Proyek Penerangan Bimbingan Dakwah
Khotbah Agama Islam, Jakarta.
[22]
Ainurrofik
Dawam dan Ahmad Taarifin. 1994.
Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Cet. I. Jakarta: Listafariska
Putra.
[23]Taqwim Islami,
Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia, http://taqwimislamy.com/index.php/en/57-kurikulum/297-sejarah-perkembangan-kurikulum-diindonesia.
[24] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002, 102.
[26] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Cet. 1, (Jakarta,
PT. Raja Grafindo, 1993), 4-6.
[27] Wina Sanjaya&Dian Andayani,
“Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali,
2011), 46-47.
[28] Wina Sanjaya & Dian Andayani, Komponen-komponen
Pengembangan Kurikulum, dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta:
Rajawali, 2011), 53-54.
[29]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 110-111.
[32] Alderfer, Harold F.
Local Government in Developing Countries, Mc Graw-Hill Book Company, New York,
1964
[33] Shane, Harold, G., 2002. Arti Pendidikan Bagi Masa Depan. Jakarta:
Penerbit PT. Raja Grafindo Persada
[34]Hamalik, Oemar. 1990. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga:
Oemar Hamalik. 2006. Manajemen
Pengembangan Kurikulum. Bandung: UPI. Baca Juga: Oemar Hamalik. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga: Oemar Hamalik. Evaluasi Kurikulum Pendekatan Sistematik. Bandung: Yayasan Al
Madani Terpadu. Baca Juga: Fred Percival dan
Hennry Ellington. (1988). Teknologi Pendidikan. Jakarta:Erlangga
[35]Nana Syaodih Sukmadinata. 2011. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
[38]Zainal Arifin, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 1.
[41]Winarno Surakhmat,
dkk., Mengurai Benang Kusut Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hm. 145-146.
[43]Kartadinata Sunaryo. (1998). Bimbingan
di Sekolah Dasar. Bandung: Maulana. Baca Juga. Hermawan, dkk., 2008. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas Terbuka
[44]Alwasilah, Chaedar.
2006. Contextual Teaching and Learning.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Baca Juga: Baharuddin dan Nur, Esa.
2008. Teori Belajar dan Pembelajaran.
ArRuzzmedia: Jakarta.
[45]B.S. Bloom. Taxsonomy
of Educational Objektives, Hand I Cognitives Domain David Mc Key Company Inc.
[47]E. Mulyasa,
(2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakter dan
Implementasi. Bandung: Rosdakarya. Baca Juga: Zubaedi.
2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana. Baca Juga: Fatchul Mu’in. 2011. Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoritik & Praktik.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Baca Juga: Doni Koesoema A. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
Jakarta: Grasindo.
[49]Hasan, Said Hamid,
dkk,. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Baca
Juga: Lickona, Thomas. 2012. Mendidik Untuk
Membangun Karakter Bagaimana Sekolah dalam Memberikan Pendidikan Tentang Sikap
Hormat dan Bertanggung jawab judul asli: Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect And
Reponsibility. Jakarta: Bumi Aksara
Komentar
Posting Komentar