BAHAN AJAR MATAKULIAH: PENGEMBANGAN KURIKULUM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAM NEGERI (IAIN) BENGKULU


BAHAN AJAR
MATAKULIAH: PENGEMBANGAN KURIKULUM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

Dr. Hj. Khairiah, M.Pd

Mata kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata kuliah yang diarahkan untuk membahas berbagai perkembangan kurikulum di Indonesia, baik antara teori dengan realisasi, harapan dengan kenyataan, perencanaan dengan pelaksanaan. Dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari kurikulum. Membahas tentang; (1) hakikat kurikulum, menguraikan pengertian dan fungsi kurikulum dalam dunia pendidikan, menjelaskan kurikulum ideal, aktual, tersembunyi, dan kurikulum pendidikan Islam; (2) Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI, menguraikan peran guru sebagai implementator kurikulum, menyesuaikan kurikulum dengan situasi dan kondisi siswa, mengembangkan dan menyempurnakan kurikulum yang ada dan melakukankan penelitian kurikulum yang sedang berlaku sekaligus menyempurnakan;
(3) Peran Kepala Sekolah/Madrasah dalam Pengembangan Kurikulum PAI, menguraikan persyaratan dan kinerja  kepala sekolah/madrasah, menjelaskan tugas dan peran kepala sekolah/madrasah dalam mengembangkan kurikulum yang dilaksanakan; (4)  Landasan Pengembangan Kurikulum PAI, menguraikan landasan yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam, baik landasan filosofis, psikologis, sosiologis maupun organisatoris; (5) Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia, menguraikan pendidikan agama Islam sebelum dan setelah kemerdekaan, perkembangan madrasah sampai munculnya SKB 3 Menteri dan mampu menerangkan bentuk struktur kurikulum Madrasah; (6) Komponen-komponen dan Model Pengembangan Kurikulum, menguraikan tujuan kurikulum yang berdasar pada tujuan nasional, institusional dan instruksional, menjelaskan bahan/isi kurikulum yang akan disajikan, metode yang akan digunakan dalam mengajar, strategi yang dilakukan dalam proses belajar mengajar dan evaluasi yang digunakan serta model pengembangan kurikulum menurut para ahli;
(7) Macam-macam Konsep Kurikulum, menguraikan tentang kurikulum akademik, kurikulum humanistik, kurikulum rekonstruksi sosial dan kurikulum teknologik, serta sekaligus melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing; (8) Pengembangan Kurikulum, menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum; yaitu: sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Begitu pula hal-hal yang harus diperhatikan di dalam menyusun kurikulum; (9) Desain Kurikulum dalam Pendidikan, menguraikan kurikulum berpusat pada materi yang diajarkan kepada siswa dan memberi tempat utama kepada siswa. Di dalam pendidikan dan pengajaran, yang belajar adalah siswa sendiri, guru hanya berperan menciptakan situasi, mendorong, memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuan peserta didik. Disamping itu karena manusia adalah makhluk social selalu hidup bersama, maka dia harus disiapkan untuk hidup bersama dengan masyarakat; (10) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama di Pesantren, Sekolah dan Madrasah, menguraikan tentang kurikulum yang ada di pesantren, madrasah dan sekolah yang masing-masing memiliki cirri khasnya sendiri-sendiri; (11) Praktek Pengembangan Kurikulum di Indonesia, menguraikan orientasi dan perkembangan kurikulum di Indonesia, mulai kurikulum tahun 1967, 1975, 1984, 1994, 2006 sampai sekarang yang masing-masing memiliki kekurangan yang perlu disempurnakan agar kurikulum di Indonesia menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman; (12) Sumber Daya Pendukung Keberhasilan Implementasi Kurikulum, menguraikan tentang memanfaatkan sumber belajar, penggunaan media pembelajaran, mengatur sekolah yang baik, membuat strategi dan menguraikan model-model pembelajaran, menjadi guru yang berkualitas dan memiliki kinerja yang baik dan sekaligus bisa memonitoring pelaksanaan kurikulum;
(13) Pengembangan KTSP Berbasis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, menguraikan tentang pengertian, tujuan, dasar dan prinsip pengembangan KTSP, menguraikan komponen KTSP dan proses penyusunan KTSP. Terkait dengan budaya dan karakter menjelaskan tentang pengertian, pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui mata pelajaran, muatan lokal, kepribadian,  budaya sekolah, perencanaan pengembangan budaya - karakter bangsa, selanjutnya proses pembelajaran, cara penilaian dan indikator keberhasilan kelas dan sekolah; (14) Pengembangan Tujuan dan Isi Kurikulum, menguraikan tentang mengapa tujuan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan kurikulm.  Sebab setiap rencana harus memiliki tujuan agar dapat ditentukan yang harus dicapai, serta apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, Demikian juga dengan halnya pengembangan isi kurikulum. Agar tujuan kurikulum bisa tercapai maka isi kurikulum harus bisa menunjang dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan; (15) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter, menguraikan tentang hakekat pendidikan karakter, tujuan pendidikan karakter, fungsi pendidikan karakter, nilai-nila karakter yang digunakan dalam membentuk kepribadian anak didik, proses pendidikan karakter, pengembangan kurikulum pendidikan karakter di MI/SD/MTs/SMP/MA/SMA dan pelaksanaan pendidikan karakter di madrasah/sekolah; (16) Evaluasi Kurikulum, tentang pengertian evaluasi kurikulum, objek evaluasi kurikulum (tujuan, isi, metode/strategi pengajaran, media dan proses, syarat evaluasi kurikulum (tujuan, berkesinambungan, komprehensip, berfungsi ganda dan memiliki kriteria) dan model-model evaluasi kurikulum. 

I.    Hakikat Kurikulum meliputi pengertian, peran dan fungsi kurikulum.

Pengertian Kurikulum
Mengenai pengertian kurikulum, banyak sekali pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ahli, diantaranya yaitu: (1) UU No. 20 Tahun 2003, kurikulum merupakan seperangkat rencana & sebuah pengaturan berkaitan dengan tujuan, isi, bahan ajar & cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan nasional; (2) Dr. H. Nana Sudjana Tahun (2005), kurikulum merupakan niat & harapan yang dituangkan kedalam bentuk rencana maupun program pendidikan yang dilaksanakan oleh para pendidik di sekolah. Kurikulum sebagai niat & rencana, sedangkan pelaksaannya adalah proses belajar mengajar. Yang terlibat didalam proses tersebut yaitu pendidik dan peserta didik; (3) Drs. Cece Wijaya, dkk., kurikulum yakni meliputi keseluruhan program dan kehidupan didalam sekolah; Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, kurikulum ialah suatu formulasi pedagogis yang termasuk paling utama dan terpenting dalam konteks proses belajar mengajar; (5) Harsono (2005), kurikulum ialah suatu gagasan pendidikan yang diekpresikan melalui praktik. Pengertian kurikulum saat ini semakin berkembang, sehingga yang dimaksud dengan kurikulum itu tidak hanya sebagai gagasan pendidikan, namun seluruh program pembelajaran yang terencana dari institusi pendidikan nasional;
(6) Prof. Dr. S. Nasution, M. A., kurikulum sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses kegiatan belajar mengajar di bawah naungan, bimbingan & tanggunga jawab sekolah / lembaga pendidikan; (7) H. Hasan (1992), kurikulum itu bersifat fleksibilitas. Yakni sebagai suatu pemikiran kependidikan bagi diklat, sehingga dalam posisi teoritik, harus dikembangkan dalam kurikulum sebagai sesuatu yang terencana dan juga dianggap sebagai kaidah pengembang kurikulum; (8) Prof. Drs. H. Darkir, kurikulum merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan. Jadi, kurikulum ialah program pendidikan dan bukan program pengajaran, sehingga program itu direncanakan dan dirancang sebagai bahan ajar dan juga pengalaman belajar; (9) Hamid Hasan (1988), kurikulum bisa ditinjau dari 4 sudut yakni: 1. Kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian; 2 Sebagai suatu rencana tertulis, yaitu sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide, didalamnya berisi tentang tujuan, bahan ajar, aktifitas belajar, alat-alat atau media, dan waktu pembelajaran; 3. Sebagai suatu kegiatan, merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yakni dalam bentuk praktek pembelajaran;dan 4. Sebagai suatu hasil, yaitu konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, melalui ketercapaiannya tujuan kurikulum terhadap peserta didik; (10) Kerr, J.F (1968), kurikulum merupakan seluruh pembelajaran yang dirancang dan dilakukakan secara individu maupun kelompok, baik didalam sekolah maupun diluar sekolah;
(11) George A. Beaucham (1976), kurikulum diartikan sebagai dokumen tertulis yang berisikan seluruh mata pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik melalui pilihan berbagai disiplin ilmu dan rumusan masalah dalam kehidupan sehari-hari; (12). Murray Print, kurikulum ialah ruang pembelajaran yang direncanakan, diberikan secara langsung kepada peserta didik oleh sebuah lembaga pendidikan dan merupakan pengalaman yang bisa dinikmati oleh seluruh peserta didik ketika kurikulum itu diterapkan; (13)Good V. Carter (1973), kurikulum merupakan sekumpulan kursus ataupun urutan pembelajaran yang sistematik; (14) Inlow (1966), kurikulum merupakan suatu usaha menyeluruh yang dirancang secara khusus guna untuk membimbing peserta didik dalam memperoleh hasil belajar dari pembelajaran yang sudah ditetapkan; (15) Daniel Tanner & Laurel Tanner, kurikulum sebagai suatu pengalaman pembelajaran yang terarah, terencana secara sistematis juga tersusun melalui proses rekontruksi pengetahuan & pengalaman serta berada dibawah pengawasan lembaga pendidikan sehingga para peserta didik  memiliki motivasi & minat belajar yang tinggi;
(16) Neagley dan Evans (1967), kurikulum sebagai sebuah pengalaman yang telah dirancang dari pihak sekolah untuk membantu peserta didik dalam mencapai hasil belajar yang baik; (17) Hilda Taba (1962), kurikulum dianggap sebagai a plan of learning yang artinya bahwa kurikulum merupakan sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh peserta didik; (18) Grayson (1978), kurikulum sebagai suatu perencanaan dalam memperoleh pengeluaran yang diharapkan dari suatu pembelajaran yang telah diajarkan; (19) Crow and Crow, kurikulum ialah suatu rancangan dalam pengajaran yang tersusun secara sistematis untuk menyelesaikan program dalam memperoleh ijazah; (20) William B. Ragam & Robert S. Flaming, kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman peserta didik yang menjadi tanggung jawab pihak sekolah atau lembaga;
(21) David Praff, kurikulum merupakan seperangkat organisasi dari pendidikan formal / pusat-pusat pelatihan pembelajaran; (22) Saylor (1958), kurikulum ialah keseluruhan usaha pihak sekolah untuk mempengaruhi PBM baik secara langsung didalam kelas, tempat bermain, ataupun di luar sekolah; (23) Valiga, T & Magel, C, kurikulum merupakan suatu urutan pengalaman yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah untuk mendisiplinkan cara berfikir & bertindak para peserta didik; (24) Bara, Ch (2008), kurikulum kedalam 4 pengertian yakni: Kurikulum sebagai suatu produk, Sebagai program, Sebagai hasil yang diinginkan atau dicapai, Sebagai pengalaman belajar; (25) Donald E. Orlasky, Othanel Smith (1978) & Peter F. Olivva (1982), kurikulum pada dasarnya ialah suatu bentuk perencanaan maupun program dari pengalaman peserta didik  yang diarahkan dan dikembangkan di sekolah.

Peran Kurikulum
          Peran kurikulum pendidikan formal seperti TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMAK/MAK dan PTU/PTK, memiliki peran strategis dan menjadi faktor penentu dalam pencapaian tujuan dan sasaran pendidikan. Menurut Oemar Hamalik, kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban 3 (tiga) peran yaitu (1) peran konservatif; (2) peran kreatif; dan (3) peran kritis, evaluative.[1] Rinciannya sebagai berikut:

1.   Peran konservatif
Kurikulum memiliki tugas dan tanggung jawab mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda atau melindungi dan melestarikan tradisional. Menurut Charlotte Thomson selalu menjaga tradisi lama/ hal tradisional dan menentang modernitas. Atau tidak menyukai perubahan atau ide-ide baru.[2] Peran kurikulum turut membantu menjembatani antara siswa dengan orang dewasa di dalam proses pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks. Melalui kurikulum, siswa dapat memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika kembali ke masyarakat, dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran penting bagi masyarakat, dikaitkan dengan cepatnya pengaruh budaya asing yang masuk sebagai konsekuensi era globalisasi, yang dimungkinkan budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya lokal, akan semakin menggerogoti budaya asli. Dengan peran konservatif kurikulum berperan menangkal berbagai macam pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga identitas masyarakat dapat selalu terjaga dan terpelihara.

2.   Peran kreatif
Kreativitas merupakan memiliki kemampuan menciptakan sesuatu.[3] NACCCE (National Advisory Committee on Creative and Cultural Education) dalam Craft menyebutkan kreativitas merupakan aktivitas imaginative yang menghasilkan hasil yang baru dan bernilai.[4] Menurut Guilford dalam Munandar, kreativitas merupakan kemampuan berfikir atau pemikiran yang memiliki beragam pilihan solusi yang sama benarnya terhadap sebuah persoalan.[5] Menurut Csikszentmihalvi Clegg kreativitas suatu tindakan, ide atau produk yang mengganti sesuatu yang lama menjadi sesuatu yang baru.[6] Menurut Munandar, kreativitas merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada, hasil yang diciptakan tidak selalu hal-hal baru, tetapi juga dapat berupa gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya.[7]  Berdasarkan pendapat tersebut di atas, sekolah memiliki tanggungjawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai perkembangan zaman. Karena pada dasarnya masyarakat bersifat statis, tetapi sifat dinamis yang selalu mengalami perubahan. Disebabkan hal itulah kurikulum tampil sebagai peran kreatif, yang melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam artian, selalu dituntut menciptakan dan menyusun hal-hal baru sesuai kondisi sekarang dan masa datang dalam masyarakat. Untuk membantu peserta didik mengembangkan semua potensinya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berfikir, kemampuan dan keterampilan yang baru sehingga bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Kurikulum sebagai peran kreatif harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yang dinamis, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.

3. Peran Kritis dan Evaluatif
Kurikulum ikut berpartsisipasi aktif mengontrol pengembangan social dan budaya dan khusus terkait unsur berfikir kritis. Kurikulum ikut berperan menyeleksi nilai budaya yang perlu dipertahankan, dan nilai budaya baru yang perlu dimiliki peserta didik. Kurikulum berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala bentuk yang dianggap bertentangan dan ditingkatkan serta dilestarikan yang dianggap bermanfaat bagi kehidupan peserta didik. Ketiga peran tersebut harus berjalan seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Supaya tidak terjadi ketimpangan, sehingga peran kurikulum lebih optimal sehingga kualitas pendidikan menjadi meningkat.  Menyelaraskan ketiga peran kurikulum menjadi tanggungjawab semua pihak seperti; guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa dan masyarakat. Dan dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan ketiga peran tersebut, karena ketiganya harus berimbang. Kurikulum yang menonjolkan peran kreatifnya, dapat membuat nilai-nilai budaya lokal hilang. Maka dari itu pihak-pihak yang terkait idealnya dapat memahami betul yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang di-terapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing, menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut, sehingga menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat, agar berjalan secara seimbang dan harmonis, sehingga dapat memenuhi tuntutan keadaan masyarakat

Fungsi Kurikulum
Menurut Mc. Neil (1990), isi kurikulum memiliki empat fungsi yaitu, sebagai berikut: (1)   Fungsi Pendidikan Umum (common and general education) yaitu fungsi kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik agar mereka menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab; (2) Suplementasi (Suplementation). Setiap peserta didik memiliki perbedaan baik dilihat dari perbedaan kemampuan, perbedaan minat, maupun perbedaan bakat. Sebagai alat pendidikan seharusnya dapat memberikan pelayanan kepada setiap siswa sesuai dengan perbedaan tersebut; (3) Eksplorasi (Eksploration). Fungsi eksplorasi memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat dan bakat masing-masing siswa. Melalui fungsi ini siswa dapat diharapkan dapat belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga memungkinkan mereka akan belajar tanpa adanya paksaan; (4) Keahlian (Spesilization). Kurikulum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan keahliannya yang didasarkan atas minat dan bakatnya siswa. Dengan demikian, kurikulum harus memberikan pilihan berbagai bidang keahlian, misalnya perdagangan, pertanian, industri atau disiplin akademik lainnya.
Alexander Inglis mengemukakan fungsi kurikulum meliputi: (1) Fungsi Penyesuaian. Lingkungan tempat individu hidup senantiasa berubah dan dinamis, karena itu setiap individu harus mampu menyesuaikan diri secara dinamis. Kurikulum berfungsi sebagai alat pendidikan menuju individu yang well adjusted, membekali peserta didik dengan kemampuannya dapat membawa dirinya berperilaku sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat, dan lingkungan yang lain; (2) Fungsi Integrasi. Kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Individu merupakan bagian integral dari masyarakat, maka dengan pembentukan pribadi-pribadi yang terintegrasi, memberikan sumbangan dalam pembentukan atau pengintegrasian masyarakat; (3)  Fungsi Diferensiasi. Kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, dan mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat; (4) Fungsi Persiapan. Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk jangkauan yang lebih jauh atau terjun ke masyarakat. Kurikulum harus memberikan kemampuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan studinya atau mencari pekerjaan; (5) Fungsi Pemilihan. Pengakuan atas perbedaan berarti diberikan kesempatan kepda peserta didik untuk memilih yang dinginkan atas sesuatu yang menarik minatnya, sehingga kurikulum perlu diprogram secara fleksibel, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk memperoleh pendidikan sesuai pilihannya berdasarkan minat dan bakatnya; (6) Fungsi Diagnostik. Pelayanan pendidikan merupakan membantu dan mengarahkan para siswa agar peserta didik mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Fungsi kurikulum adalah mendiagnosa dan membimbing anak didik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Dengan demikian fungsi kurikulum sangat penting bagi setiap individu dan bagi penyelenggaraan pendidikan. Bagi guru kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak berpedoman kepada kurikulum, maka tidak berjalan efektif, sebab pembelajaran adalah proses pencapai tujuan. Sedangkan arah dan tujuan pembelajaran beserta cara dan strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu merupakan komponen penting dalam sistem kurikulum.

II.  Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum

Murray Printr menyebutkan 4 (empat) peran guru dalam kurikulum yaitu implementers, adapters, pengembang kurikulum, dan peneliti kurikulum[8], rinciannya sebagai berikut: Pertama, sebagai implementers, maksudnya guru berperan mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada, guru menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis bertanggungjawab mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Dan kurikulum bersifat seragam antar daerah satu dengan daerah lain. Sehingga guru terkesan sekadar melaksanakan kurikulum, dan tingkat kreatifitas serta inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu melakukan berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.
Kedua, peran guru sebagai adapters, guru dianggap sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Guru diberi kewenangan menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Para perancang kurikulum hanya menentukan standat isi dan standar minimal yang harus dicapai, sedangkan implementasinya, waktu pelaksanaannya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru.
Ketiga, peran guru sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum, disamping menentukan tujuan dan isi pelajaran, guru dapat menentukan strategi yang harus dikembangkan serta mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa.
Keempat, peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher). Guru melaksanakan tugas sebagai bagian profesional guru, yang memiliki tanggung jawab meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam melaksanakan perannya sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, efektifitas program, strategi dan model, termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Metode yang digunakan guru dalam meneliti kurikulum adalah PTK dan Lesson Study.[9]
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi secara terus menerus guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya. Sedangkan lesson study adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru/ sekelompok guru yang bekerja sama dengan orang lain (dosen, guru mata pelajaran yang sama / guru satu tingkat kelas yang sama, atau guru lainya), merancang kegiatan untuk meningkatkan mutu belajar siswa dari pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru dari perencanaan pembelajaran yang dirancang bersama/sendiri, kemudian di observasi oleh teman guru yang lain dan setelah itu mereka melakukan refleksi bersama atas hasil pengamatan yang baru saja dilakukan.[10]

III.Peran Kepala Sekolah/Madrasah dalam Pengembangan Kurikulum
Pertama, Peran kepala sekolah sebagai educator. Kepala sekolah menjalankan perannya, kepala sekolah perlu memiliki strategi dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Strategi tersebut antara lain: menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberi masukan kepada warga sekolah, memberikan dorongan positif kepada tenaga kependidikan, mengadakan program akselerasi bagi paerta didik yang cerdasdiatas normal.
Kedua, Peran kepala sekolah sebagai manajer. Kepala sekolah melakukan perannya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategis yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama, memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan dalan peningkatan profesi, dan mendorong pertisipasi seluruh tenaga kependidikan dalam program sekolah. Contoh Kepala sekolah selaku manajer; (1) Menyusun perencanaan; (2) Mengorganisasikan kegiatan; (3)       Mengarahkan kegiatan; (4)       Melaksanakan pengawasan; (5)  Melakukan evaluasi terhadap kegiatan; (6)       Melakukan evaluasiterhadap kegiatan; (7)       Menentukan kebijaksanaan; (8)       Mengadakan rapat; 9)       Mengambil keputusan; (10)    Mengatur proses belajar mengajar; (11)    Mengatur administrasi: ketatausahaan; siswa; ketenagaan; sarana prasarana; keuangan /RAPBS; (12)    Mengatur organisasi siswa intra sekolah (OSIS); (13)    Mengatur hubungan sekolah dengan masyarakat dan instansi terkait.

Ketiga, Peran kepala sekolah sebagai administrator. Peran dan tanggungjawab kepala sekolah sebagai administrator secara spesifik adalah dalam hal pengelolaan kurikulum, administrasi peserta didik, administrasi sarana dan prasarana, administrasi kearsipan dan administrasi keuangan. Contoh Kepala sekolah selaku administrator bertugas menyelenggarakan administrasi; (1) Perencanaan; (2) Pengorganisasian; (3) Pengarahan; (4) Pengkoordinasian; (5)   Pengawasan; (6) Kurikulum; (7) Kesiswaan; (8) Ketatausahaan; (9) Ketenagaan; (10) Kantor      
Keempat, Peran kepala sekolah sebagai supervisor. Peran kepala sekolah untuk mengetahui kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dalam pemebelajaran, maka kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervise secara berkala melalui kegiatan kunjungan kelas dengan mengamati secara langsung proses pembelajaran. Hasil supervise diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat kompetensi, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindaklanjut, sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan serta mempertahankan dan meningkatkan keunggulan dalam proses pembelajaran. Ngalim Purwanto menyebutkan peran fungsi kepala sekolah sebagai supervisor sebagai berikut: (1) membangkitkan dan merangsang guru-guru dan pegawainya dalam menjalankan tugas masing-masing dengan baik dan benar; (2) berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan sekolah termasuk alat-alat instruksional yang diperlukan bagi kelancaran dan kesuksesan proses belajar mengajar; (3) bersama guru berusaha mengembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode mengajar yang sesuai tuntutan kurikulum yang berlaku; (4) membina kerjasama yang baik dan harmonis dengan guru-guru dan pegawai sekolah lainnya; (5) berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru-guru dan pegawai dengan mengadakan diskusi-diskusi kelompok, menyediakan perpustakaan dan mengirim mereka mengikuti Diklat, seminar sesuai bidang masing-masing; dan (6) membina hubungan kerjasama antara sekolah dengan komite sekolah dan instansi lain dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
          Hendiyat Soetopo dan Wasti Soemanto menyebutkan peran kepala sekolah sebagai supervisor sebagai berikut: (1) membimbing guru agar dapat memahami lebih jelas masalah dan persoalan dan kebutuhan peserta didik, serta membantu guru dalam mengatasi suatu persoalan; (2) membantu guru mengatasi kesukaran dalam mengajar; (3) memberi bimbingan yang bijaksana terhadap guru baru dengan orientasi; (4) membantu guru memperoleh kecakapan mengajar yang lebih baik dengan menggunakan berbagai metode mengajar sesuai dengan sifat materinya; (5) membina moral kelompok, menumbuhkan moral yang tinggi dalam pelaksanaan tugas kepada guru dan staf; (6) memberikan pimpinan yang efektif dan demokratis, dengan melakukan supervise sebagai berikut: a) proses belajar mengajar; b) bimbingan konseling; c) kegiatan ekstrakurikuler; d) kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan instansi terkait; e) sarana dan prasarana; f) kegiatan OSIS; g) kegiatan 7K; (7) Peran kepala sekolah sebagai leader. Mampu memberikan petunjuk dan pengawasan guna meningkatkan kemampuan tenaga pendidik dan kependidikan, membuka komunikasi dua arah, dan mendelegasikan wewenang.[11]
          Kelima, Kepala sekolah sebagai leader. Kepemimpinan kepala sekolah dituntut memiliki jiwa kepemimpinan. Sesuai Whjosumidjo menyebutkan kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan professional, serta pengetahuan administrasi dan pengawasan. Memiliki visi dan mempunyai peran dalam mengelola visi menjadi kenyataan.[12]
          Keenam, Peran kepala sekolah sebagai innovator. Kepala sekolah harus memiliki inovasi-inovasi yang dapat meningkatkan mutu pendidikan sekolahnya. Contoh kepala sekolah innovator; (1) melakukan pembaharuan dibidang; KBM, BK, Emstrakurikuler, Pengadaan; 2) melaksanakan pembinaan guru dan karyawan; 3) melakukan pembaharuan dalam menggali sumberdaya di komite sekolah dan masyarakat;
          Ketujuh, Peran kepala sekolah sebagai motivator. Kepala sekolah dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif dan penyediaan sarana prasarana pembelajaran yang memadai. Soetjipto dan Raflis Kosasi menyebutkan peran dan fungsi kepala sekolah sebagai berikut: (1) merencanakan, menyusun, membimbing, dan mengawasi kegiatan administrasi sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan; (2) mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan unit-unit kerja yang ada di lingkungan sekolah; (3) menjalin hubungan dan kerjasama dengan orang tua siswa, lembaga-lembaga pemerintah, maupun non pemerintah dan masyarakat; dan (4) melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan administrasi di sekolah kepada atasannya.[13]

IV.    Landasan Pengembangan Kurikulum PAI
Landasan pengembangan kurikulum memiliki peranan yang sangat signifikan. Robert S. zais mengemukakan empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu: Philosopy and nature of knowledge, society and culture, the individual danlearning theory.[14]  S. Nasution berpendapat pengembangan kurikulum yaitu asas filosofis pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan, asas sosiologis memberikan dasar penentuan yang dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi, asas organisatoris memberikan dasar-dasar dalam bentuk bahan pelajaran dan asas  psikologis memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang disediakan dapat dicernakan dan dikuasai oleh peserta didik sesuai dengan taraf perkembangnnya.[15] Nana Syaodih Sukmadinata berpendapat ada 4 (empat) landasan kuriulum yaitu landasan filosofis, psikologis, sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlepas dari itu semua bahwa pada intinya semua seragam.[16]                 
A.    Landasan Filosofis
Pendidikan merupakan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara harfiah filosofis berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat untuk menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Supaya dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam berfilsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Pada hakikatnya filsafat menentukan tujuan umum pendidikan.
Kurikulum pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup sutu bangsa, maka kurikulum dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Contoh, pada waktu Indonesia dijajah Belanda, maka kurikulum yang dianut sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada saat Negara kita dijajah Jepang, maka kurikulum yang dianutnya juga berorientasi kepada kepentingan dan sistem nilai yang dianut oleh Jepang tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kurikulum pendidikanpun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Perumusan tujuan pendidikan, penyususnan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta didik harus sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu pancasila.

B.     Landasan Psikologis
Proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu, yaitu antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang-orang lainnya. Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksi dengan lingkungan. Perilaku-perilakunya merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang perkembangan peserta didik, serta peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dan besar kaitannya dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Pertama, Psikologi Perkembangan. Menurut J.P. Chaplin Psikologi perkembangan …that branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of behavior. Maksudnya, psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi-psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku.[17] Melalui kajian tentang perkembangan peserta didik diharapkan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan karakteristik peserta didik serta kemampuannya, materi atau bahan pelajaran sesuai dengan tingkat umur, bakat serta kemampuan daya tangkap peserta didik begitu juga dengan strategi penyampainnya dengan berbagai metode yang dapat diterima dilihat dari sisi psikologis tiap peserta didik.
Dalam pendekatan pentahapan dikenal dua variasi. Pertama, bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik, dan gerakan motorik, social, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendekripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam pendekatan secara menyeluruh di kenal tahap-tahap perkembangan, banyak ilmuan yang mengadakan penilitian tahap-tahap perkembangan manusia dari segi psikologinya, Rousseau membagi empat tahap perkembangan anak yaitu 1. Infacy usia 0-2 tahun disebut tahap perkembangan fisik; 2. Childhood usia 2-12 tahun disebut tahap perkembangan manusia primitive; 3. Pubescence usia 12-15 tahun disebut tahap perkembangan intelektual dan kemampuan nalar; 4. Adolescence usia 15-25 tahun disebut masa hidup sebagai manusia yang beradab, pertumbuhan seksual, social, moral dan kata hati.[18]
Kedua, Psikologi Belajar. Psikologi belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubaha tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotorik terjadi karena proses pengalaman yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai perilaku belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi karena instink atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar. Intinya adalah, bahwa psikologi sangat membantu para guru dalam merancang sebuah kegiatan pembelajaran khusunya untuk pengembangan kurikulum. Menurut P. Hunt, ada tiga keluarga atau rumpunan teori belajar yang dibahas dalam psikologi belajar, yaitu teori disiplin mental, teori behaviourisme dan teori cognitif Gestald Field.[19] (1)   Teori disiplin mental. Maksudnya Sejak kelahirannya atau secara herediter, seorang anak telah memiliki potensi-potensi tertentu, maka belajar merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut; (2) Teori behaviorisme. Individu tidak memiliki atau tidak membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, seperti lingkungan sekolah, masyarakat, keluarga, alam, budaya, religi, dan sebagainya; (3) Teori kognitif gestald field. Maksudnya belajar adalah proses pengembangan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman tersebut terjadi jika individu menemukan strategi baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar, merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra dari perasaan tentang pola-pola atau hubungan.
          Ketiga, Landasan Sosisologis dan Budaya. Landasan sosiologis kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum, karena pendidikan baik formal, informal, maupun nonformal dalam masyarakat, diarahkan mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.
Daud Yusuf menyebutkan tiga sumber nilai dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu: logika, estetika, dan etika. Daud Yusuf mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika) manusia, dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhannya. Ada faktor yang mendasari bahwa kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan: (1) Individu lahir tidak berbudaya, baik hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah. Oleh karena itu sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum; (2) Kurikulum pada dasarnya harus mengokomodasikan aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek sosiologis ialah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, aspek budayanya yaitu kurikulum sebagai alat harus berimplikasi untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
  
V.  Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia
Perkembangan kurikulum di Indonesia sejak zaman penjajah sampai sekarang terus berkembang. Kurikulum pada masa Belanda mempunyai misi penyebaran agama dan mempermudah perdagangan di Indonesia. Pada abad 16 dan 17 berdiri lembaga-lembaga pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen, maka mereka memerlukan pegawai rendahan yang dapat membaca dan menulis. Sekitar abad ke 19, pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sekolah modern sesuai system pengajaran dunia Barat. Usaha pemerintah kolonial Belanda melalui politik pendidikan, mendapatkan respon dari umat Islam. Penyatuan lembaga pendidikan, kemudian dimbangi dengan berdirinya madrasah-madrasah, dengan batas-batas tertentu merupakan lembaga penidikan ala Belanda yang diberikan muatan keagamaan.[20] Kemudian masuk masa penjajahan Jepang dengan ditandai dengan keruntuhan system pemerintahan colonial Belanda. Tujuan pendidikan adalah untuk memenangkan peperangan, selama 6 tahun lamanya.[21]
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 3 januari 1946 berdirilah Departemen Agama. Dalam dokumen disebutkan bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: (1) memberi pengajaran di sekolah negeri dan partikulir; (2) memberikan pengetahuan umum di madrasah; (3) mengadakan pendidikan guru agama (PGA) dan pendidikan Hakim Islam Negeri.[22]
Perkembangan kurikulum dari masa ke masa terjadi penyempurnaan-penyempurnaan sesuai perkembangan zaman seperti; Pertama, Kurikulum 1947. Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan, dikenal dengan Rencana pelajaran 1947, dan baru diterapkan pada tahun 1950. Memuat 2 (dua) hal pokok yaitu daftar mata pelajaran, jam pengajarannya dan garis-garis besar pengajarannya.  Penekanannya pada strategi guru mengajar dan murid mempelajari pelajaran.
Kedua, Kurikulum 1952. Mengalami penyempurnaan, dan kurikulum 1952 ini dikenal dengan Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini mengarah kepada suatu system pendidikan nasional. Ciri-ciri kurikulum 1952 memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964. Berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardana).  Mata pelajaran diklasifikasikan menurut bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistic, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
Keempat, Kurikulum 1968. Merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, seperti perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum 1968 bertujuan membentuk manusia pancasila sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral budi pekerti dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan kepada mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelima, Kurikulum 1975, kurikulum ini menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif, dilatarbelakangi pada pengaruh konsep manajemen (management by objective). Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam prosedur pengembangan system instruksional (PPSI), dikenal dengan satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci: petunjuk umum, tujuan instrusional khusus (TIK), materi, alat pelajaran, kegiatan beajar mengajar dan evaluasi.
Keenam, Kurikulum 1984 dikenal dengan nama kurikulum CBSA. Sering disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Mengusung process skill approach. Mengutamakan pendekatan proses, namun factor tujuan tetap penting. Posisi siswa didudukkan sebagai subyek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan, model ini disebut cara belajar siwa aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Kurikulum 1984 berorientasi pada tujuan instruksional, dengan alasan pemberian pengalaman belajar kepada siswa pada waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Maka dari itu sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan tujuan yang harus dicapai.
Ketujuh, Kurikulum 1994. Kurikulum ini dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional. Ha ini berdampak pada system pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari system semester ke system caturwulan. Dengan system caturwulan dalam setahun menjadi tiga tahap pembelajaran dengan harapan memberikan kesempatan bagi siswa menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Kedelapan, Kurikulum 2004, dikenal dengan Kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi tugas-tugas tertentu sesuai standar performance yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi sebagai pedoman pengajaran
Kesembilan, Kurikulum 2006, dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), pada dasarnya kurikulum 2006 tidak banyak perbedaan dengan kurikulum 2004, namun perbedaannya yang paling menonjol pada guru, guru diberikan kebebasan merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dan pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan system penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.[23]
 Kesepuluh, Kurikulum 2013. Inti dari kurikulum 2013 merupakan upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif, mencetak generasi yang siap menghadapi masa depan dan mengantisipasi perkembangan masa depan. Kurikulum 2013 bertujuan mendorong peserta didik untuk mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan) yang mareka peroleh setelah menerima materi pelajaran, penekannannya pada fenomena alam, sosial, seni dan budaya. Dengan harapan siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik. Mereka lebih kreatif, inovatif dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan zaman dan memasuki masa depan yang lebih baik.

VI.       Komponen Kurikulum
Komponen kurikulum, menurut Syaodih Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, dan evaluasi, yang mana keempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.[24] Hamid Syarief menguraikan kurikulum secara struktural terbagi menjadi beberapa Komponen diantaranya adalah tujuan kurikulum, komponen isi/ bahan, komponen strategi pelaksanaan, dan komponen evaluasi.[25]  Subandijah yang menyatakan bahwa ada lima komponen kurikulum yaitu tujuan, media atau sarana prasarana, strategi, proses belajar mengajar dan evaluasi.[26]
Pertama, Komponen Tujuan. Komponen tujuan berhubungan erat dengan arah atau hasil yang diharapan secara mikro maupun makro. Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang bersefat spesifik dan dapat diukur, yang kemudian dinamakan dengan kompetensi.[27] Seperti: (1) Tujuan Intstitusional (TI) atau lembaga; dalam lembaga Madrasah tujuan institusional hendaknya dilakukan secara integratif dan saling mendukung antara bidang mata pelajaran pendidikan agama dengan penddiikan umum. Tujuan kelembagaan Madrasah dirumuskan oleh masing-masing lembaga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan lembaga dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang telah ditetapkan oleh Undang-undang; (2) Tujuan Kurikuler (TK); tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran merupakan bagian dari salah satu cakupan tujuan lembaga Madrasah. Berdasarkan skema hubungan komponen kurikulum pada pembahasan sebelumnya maka setiap guru mata pelajaran umum di Madrasah diharuskan menamkan nilai-nilai islam baik berupa semangat keislaman, memberikan simbol-simbol islam pada setiap soal atau materi pelajaran, dan semangat mempelajari ilmu pengetahuan umum yang berlandaskan Islam; (3) Tujuan Intruksional atau tujuan pembelajaran (TP); dalam madrasah tujuan intruksional merupakn bagian dari tujuan kurikuler. Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang harus dicapai oleh guru dan siswa dalam satu kali tatap muka atau satu kali pertemuan. Dalam setiap sesi pertemuan merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan kurikuler. 
Kedua, Komponen media atau sarana prasarana. Media merupakan perantara untuk menjelaskan isi kurikulum yang lebih muda dipahami oleh peserta didik baik media tersebut didesain atau digunakan kesemuanya, diharapkan dapat mepermudah proses belajar. Oleh karena itu pemamfaatan dan pemakaian media dalam pembelajaran secara tepat terhadap pokok bahasan yang disajikan kepada peserta didik untuk menanggapi, memahami isi sajian guru dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain ketepatan memilih media yang digunakan guru membantu kelancaran penyampaian maksud pengajaran. Media Pembelajaran di dunia madrasah merupakan kebutuhan penting, menurut penulis guru tidak hanya sebagai sumber pembelajaran atau fasilitator namun guru juga bisa menjadi media pembelajaran bagi siswa. Dengan asumsi guru menjadi contoh atau model bagi siswa dalam berperilaku, selain itu guru juga bisa menjadikan dirinya sebagai media dalam arti yang sebenarnya misalnya guru memakai baju ilmuan muslim kemudian mempraktekan cara ilmuan muslim dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
          Ketiga, Komponen Strategi. Stategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan antara sekolah umum dengan madrasah sangat berbeda karena di madrasah memiliki ciri khas keislaman yang harus di wujudkan dalam tujuan pembelajaran yang berbeda sehingga perlu strategi yang berbeda pula. Komponen strategi dan metode merupakan komponen yang memiliki peran yang sangat penting, dikarenakan berhubungan dengan implementasi kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola dan urutan umum perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan kata lain strategi memiliki dua hal yang penting yaitu rencana yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan dan strategi disusun untuk mencapai tujuan terentu. Sedangkan metode adalah upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan belajar nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.[28] Strategi menuju pada pendekatan, metode serta peralatan mengajar yang digunakan dalam pengajaran. Pada hakekatnya strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja, tetapi menyangkut berbagai macam yang diusahakan oleh guru dalam membelajarakan siswa tersebut. Dengan kata lain mengatur seluruh komponen, baik pokok maupun penunjang dalam sistem pengajaran. Subandijah, memasukkan komponen evaluasi kedalam komponen strategi.
 Keempat, Komponen Proses Belajar Mengajar. Komponen proses belajar mengajar yaitu bahan atau isi yang diajarkan oleh guru dan yang dipelajari oleh murid. Pengembangan komponen ini sangat penting dalam sistem pengajaran khususnya di madrasah, sebab selama ini materi-materi pelajaran Agama masih dipandang terlalu normatif dan materi-materi pelajaran umum di madrasah masih dicurigai mengekor atau meniru dari mata pelajaran umum di sekolah-sekolah umum. Oleh karena itu idealnya semua isi atau bahan ajar pada setiap pelajaran di Madrasah harus disesuaikan dengan ciri madrasah yang menjujung nilai-nilai Islam. Materi pelajaran umum tidak melulu untuk kepentingan dunia, dan materi PAI tidak melulu untuk kepentingan akhirat tapi bagaimana keduanya memiliki posisi penting bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Kelima, Komponen Evaluasi. Evaluasi kurikulum sangat berbeda dengan evaluasi pembelajaran (Ulangan Harian, UTS, UAS, dan UN), tapi keduanya memiliki saling keterkatiatan. Evaluasi pembelajaran menjadi salah satu instrumen dalam melakukan evaluasi kurikulum, yaitu sebagai alat ukur dalam mengukur tingkat keberhasilan dari perolehan proses pembelajaran dan mengetahui pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk mengetahui keberhasilan tujuan kurikulum. Dengan kata lain evaluasi kurikulum merupakan sebuah upaya untuk mengadakan penyempurnaan kurikulum ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Nana Syaodih Sukmadinata mengungkapkan evaluasi kurikulum dilakukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan serta menilai proses pelakasanaan pembelajaran secara menyeluruh. Karena dalam setiap kegiatan pembelajaran dan upaya dalam mencapi tujuan-tujuan kruikulum pasti terdapat umpan balik dari berbagai pihak atau komponen lain. Umpan balik tersebut bermanfaat untuk mengadakan penyempurnaan bagi penentuan dan perumusan komponen-komponen kurikulum yang lain.[29]

VII.     Macam-macam Konsep Kurikulum
Nana Syaodih Sukmadinata menyebutkan model konsep kurikulum dari teori pendidikan klasik disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan pribadi disebut kurikulum humanistik, teknologi pendidikan disebut kurikulum teknologis dan dari pendidikan interaksionis disebut kurikulum rekontruksi sosial.[30]
Pertama, Kurikulum model konsep subjek akademis. Maksudnya konsep kurikulum tertua dan masih sering dipakai sampai sekarang, karena cukup praktis, mudah disusun, mudah digabung dengan lainnya. Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik yang berorientasi pada masa lalu. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan, pada kurikulum ini orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.[31] Ada 3 (tiga) pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek akademis, yaitu: (1) melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid belajar memperoleh dan menguji fakta, serta bukan sekedar mengingatnya; (2) studi yang bersifat integratif. Model kurikulum yang terintegratif (integrated Curriculum), ciri-cirinya; a) menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme); b) menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu; c) menyatukan berbagai cara/metode belajar; (3) pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah fundamentalis.
Kedua, Kurikulum Humanistik. Menurut John Dewey dan J.J. Rousseau, mengutamakan siswa yang merupakan subjek yang menjadi pusat utama kegiatan pendidikan. Pendidik humanis berpegang pada konsep Gestalt, bahwa seorang anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan membina manusia yang utuh; segi fisik dan intelektual, sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, dan nilai).
 Konsep kurikulum pendidikan humanistik terdiri dari tiga aliran yaitu; (1) pendidikan konfluen. Menekankan keutuhan pribadi, individu harus merespons secara utuh (fikiran, perasaan dan tindakan) terhadap kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan; (2) Kritikisme radikal. Pendidikan sebagai upaya membantu anak menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya; (3) mistikisme modern. Maksudnya aliran yang menekankan latihan dan pengembangan kepekaan perasan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training, yoga, dan meditasi.
Ketiga, Kurikulum rekonstruksi sosial. Kurikulum ini memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang dihadapi dalam masyarakat.  Pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi dan kerjasama. Maksudnya kerjasama dan interaksi yang terjadi antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan lingkugan dan siswa dengan sumber belajar lainnya. Harold Rug menyebutkan adanya kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat. Siswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah social sehingga dapat menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil.[32] Ciri-ciri kurikulum rekonstruksi sosial sebagai berikut; (1) bertujuan menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan, gangguan-gangguan yang dihadapi manusia dalam masyarakat; (2) kegiatan belajar mengajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial yang mendesak; (3) pola-pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda, ditengah-tengahnya sebagai poros merupakan merupakan masalah yang menjadi tema utama. Harold G. Shane menyarankan para pengembang kurikulum, agar mempelajari kecenderungan (trends) perkembangan, seperti perkembangan teknologi dengan berbagai dampaknya terhadap kondisi dan perkembangan masyarakat. Kecenderungan lain adalah perkembangan ekonomi, politik, social dan budaya.[33]
Keempat, Kurikulum teknologis. Perkembangan teknologi yang sangat pesat mempengaruhi segala bidang termasuk bidang pendidikan. Penerapan teknologi bidang pendidikan khususnya kurikulum dibagi dua bentuk, yaitu: (1) perangkat lunak (software) atau disebut teknologi system (system technology). Menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis yang menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan; (2) perangkat keras (hardware) atau sering disebut teknologi alat (tools technology). Menekankan kepada penyususnan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan system.
Ciri-ciri kurikulum dari konsep teknologi pendidikan, yaitu; (1) tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, disebut objektif atau tujuan instruksional; (2) metode yang digunakan bersifat individual, kemudian pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok. Pelaksanan pengajaran mengiuti langkah-langkah sebagai berikut: a) penegasan tujuan kepada siswa; b) pelaksanaan pengajaran; c) pengetahuan tentang hasil; d) organisasi bahan ajar; e) evaluasi. 
 Fokus pengembangan kurikulum teknologis adalah pada kompetensi. Pengembangan dan pengguna alat dan media pengajaran bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi tertentu. Dalam pengembangan kurikulum teknologis kerjasama dengan para penyusun program dan penerbit media elektronik serta media cetak. Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat dan media membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini merupakan hambatan utama dalam pengembangan kurikulum teknologis.

VIII.    Pengembangan Kurikulum.
Akal manusia telah menjangkau hal-hal yang sebelumnya dianggap yang tidak mungkin. Seperti manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Kemajuan ilmu pengetahuan: informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan local.
Perkembangan bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Karenanya, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia. Kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri seperti televisi, radio, video, komputer, dan peralatan lainnya. Penggunaan alat-alat yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan, disaat perkembangan produk teknologi komunikasi yang semakin canggih, menuntut pengetahuan dan keterampilan serta kecakapan yang memadai dari para guru dan pelaksana program pendidikan lainnya. Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan media pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi. Secara tidak langsung menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum merupakan usaha mencari rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta strategi yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu lembaga. Pengembangan kurikulum di arahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah dan keterampilan yang menjadi isi kurikulum yang disusun dengan fokus pada nilai-nilai. Adapun selain berpedoman pada landasan-landasan yang ada, pengembangan kurikulum juga berpijak pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. Sesuai Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 Bab X tentang kurikulum, pasal 36 ayat 1,  pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, secara optimal sesuai dengan tuntunan dan tantangan perkembangan masyarakat. Setiap pengembangan kurikulum terikat ketentuan atau hukum sehingga dalam pengembangannya mempunyai arah yang jelas sesuai prinsip yang disepakati.
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut: (1) Prinsip Relevansi. Prinsip relevansi berkenaan dengan kesesuaian antara komponen tujuan, isi, strategi, dan evaluasi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevansi keluar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi keluar yaitu tujuan, isi dan proses belajar yang tercakup dalam kurkulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Adapun relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian. Relevansi ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum; (2) Prinsip Fleksibilitas. Prinsip fleksibilitas berkenaan dengan kebebasan/keluwesan yang dimiliki guru dalam mengimplementasikan kurikulum dan adanya alternatif pilihan program pendidikan bagi siswa sesuai dengan minat dan bakatnya; (3) Prinsip Kontinuitas. Prinsip kontinuitas berkenaan dengan adanya kesinambungan materi pelajaran antarberbagai jenis dan jenjang sekolah serta antartingkatan kelas. Perkembangan dan proses belajar berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau terhenti-henti; (4) Prinsip Praktis dan Efisiensi. Kurikulum harus mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Tepat pelaksanaannya dan menghasilkan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya; (5) Prinsip Efektivitas. Keberhasilan pelaksanaan kurikulum harus diperhatikan, baik kuantitas maupun kualitas. Keberhasilan kuntitas ditinjau dari komponen-komponen kurikulum, seperti tujuan, isi, proses belajar, dan evaluasi. Sedangkan keberhasilan kualitasnya dilihat dari hasil pelaksanaan kurikulum yang ada; (6) Prinsip khusus. Adapun prinsip khusus yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum, antara lain: prinsip keimanan, nilai dan budi pekerti luhur, penguasaan integrasi nasional, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinetika, kesamaan memperoleh kesempatan, abad pengetahuan dan teknologi informasi, pengembangan keterampilan hidup, berpusat pada anak, serta pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
  
IX.       Desain Kurikulum dalam Pendidikan
     Desain Kurikulum menurut para ahli, seperti Oemar Hamalik menyebutkan desain merupakan suatu petunjuk yang memberi dasar, arah, tujuan dan teknik yang ditempuh dalam memulai dan melaksanakan kegiatan.[34] Menurut Nana S. Sukmadinata desain kurikulum adalah menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.[35] Menurut Longstrteet, desain kurikulum   merupakan desain kurikulum yang berpusat pada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan itelektual siswa.[36] Rincian sebagai berikut:
Pertama, Subject centered design curriculum merupakan bentuk desain yang paling popular, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum di pusatkan pada isi atau materi yang diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisah-pisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject curriculum. Subject centered design berkembang dari konsep pendidikan klasik yang menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau bahan ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga subject academic curriculum. Model design curriculum ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kedua, The subject design. The subject design curriculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design. Materi pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani dan kemudian Romawi mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan Quadrivium meliputi matematika, geometri, astronomi, dan musik. Pada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi pada pembentukan pribadi dan status social (Liberal Art). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah berkerja mencari nafkah.
Ketiga, The disciplines design. Bentuk ini merupakan pengembangan dari subject design, keduanya masih menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Walaupun bertolak dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Pada Subject design belum ada kriteria yang tegas tentang subject (ilmu). Belum ada perbedaan antara matematika, psikologi dengan teknik atau strategi mengemudi, semuanya disebut subject. Pada disciplines design criteria tersebut telah tegas, yang membedakan suatu pengetahuan itu ilmu atau subject dan bukan adalah batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan. Untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah disiplin. Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut pandangan ini sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, batu pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Keempat, The broad fields design. Baik subject design maupun disciplines design masih menunjukkan adanya pemisahan antara mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan pemisahan tersebut adalah mengembangkan the board fields design. Dalam model ini mereka menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti sejarah, geografi, dan ekonomi digabung menjadi ilmu pengetahuan social, aljabar, ilmu ukur, dan berhitung menjadi matematika, dan sebagainya. Tujuan pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapkan para siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialitis, dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas seperti diperguruan tinggi sedikit sekali.
Kelima, Learner-Centered Design, Sebagai reaksi sekalus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered design berkembang learner centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari kurikulum. Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah perserta didik sendiri. Peran guru menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu organisme yang punya potensi untuk berbuat, berprilaku, belajar dan juga berkembang sendiri. Learned centered design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat, kebutuhan dan tujuan peserta didik.
Keenam, Problem centered design, Problem centered design berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered). Berbeda dengan learner centered yang mengutamakan manusia atau peserta didik secara individual, problem centered design menekankan manusia dalam kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat. Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk social selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama ini manusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula. Mereka berinteraksi, berkooperasi dalam memecahkan masalah-masalh social yang mereka hadapi untuk meneingkatkan kehidupan mereka. Konsep-konsep ini menjadi landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Berbeda dengan learner centered, kurikulum mereka disusun sebelumnya (preplanned). Isi kurikulum berupa masalah-masalah social yang dihadapi peserta didik sekarang dan masa datang. Sekuens bahan disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan kemampuan peserta didik. Problem centered design menekankan pada isi maupun perkembangan peserta didik. Minimal ada dua variasi model desain kurikulum ini, yaitu the areas of living design, dan the core design.

X.         Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama di Pesantren, Sekolah dan Madrasah
Menurut falsafah dan dasar negara, kurikulum yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa. Kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh.[37] Tujuan dan pola kehidupan suatu negara ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai dari kurikulum taman kanak-kanak sampai dengan kurikulum perguruan tinggi. Jika terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, maka dapat berakibat pada perubahan sistem pemerintahan dan sistem pendidikan, bahkan sistem kurikulum yang berlaku.[38]
Sedangkan pengertian kurikulum secara terminologi adalah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku, yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.[39]  Kurikulum sebagai all of the activities that are provided for student the school. Kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan di luar kelas, yang berada di bawah tanggung jawab sekolah.[40]
Kurikulum merupakan aspek substantif yang mendukung berfungsinya lembaga pendidikan sebagai pusat pemberdayaan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Memiliki tujuan pendidikan tingkat institusional yang menggambarkan secara jelas dan terukur kemampuan, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh lulusan suatu jenis dan jenjang pendidikan yang bermanfaat bagi tugas perkembangannya; 2) Memiliki struktur program yang tidak sarat muatan dan secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang fungsional dan sinergik bagi tercapainya tujuan pendidikan baik tingkat institusional maupun nasional; 3) Memiliki garis besar program pengajaran yang memuat pokok-pokok bahasan yang esensial, fundamental dan fungsional sebagai objek belajar yang memungkinkan peserta didik mengalami dan menghayati proses belajar yang bermakna bagi pengembangan dirinya secara intelektual, emosional, moral dan spiritual; dan 4) Kurikulum dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif jika didukung oleh sistem evaluasi yang terus menerus, komprehensif dan obyektif, serta sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan yang memenuhi syarat standar profesional bagi terlaksananya program pendidikan yang bermutu.[41]
Tahap-tahap pengembangan kurikulum adalah suatu pengembangan kurikulum yang diterapkan di Indonesia: 1) Pengembangan program tingkat lembaga Pengembangan program tingkat lembaga ini meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu, perumusan tujuan institusional, penetapan isi, dan struktur program, serta penyusunan strategi pelaksanaan kurikulum secara keseluruhan;
2) Pengembangan program setiap mata pelajaran. Langkah-langkah pengembangan program setiap mata pelajaran (bidang studi) mencakup beberapa kegiatan, yaitu: a) Merumuskan tujuan kurikuler perumusan tujuan kurikuler harus berdasarkan pada tujuan institusional. Karena kumulatif tujuan kurikuler merupakan tujuan institusional itu sendiri. Dalam tujuan kurikuler dirumuskan tujuan-tujuan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai yang diharapkan dimiliki siswa pada setiap mata pelajaran; b) Merumuskan tujuan Instruksional di sini adalah tujuan instruksional umum. Yaitu tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan dimiliki siswa untuk tiap pokok bahasan. Tujuan instruksional ini dijabarkan langsung dari tujuan kurikuler. Karena itu satu tujuan kurikuler dapat mempunyai satu atau beberapa tujuan instruksional. Kumulasi pencapaian tujuan-tujuan instruksional inilah yang mewujudkan tercapainya tujuan kurikuler; c) Menetapkan pokok dan sub pokok bahasan Setelah selesai merumuskan tujuan kurikuler dan tujuan instruksional langkah selanjutnya adalah menetapkan pokok bahasan. Karena pokok-pokok bahasan harus berdasarkan pada tujuan instruksional. Setelah menetapkan pokok-pokok bahasan disusunlah bahan pengajaran. Satu tujuan instruksional dapat dijabarkan menjadi sejumlah uraian bahan pengajaran. Dengan demikian terdapat hubungan erat antara tujuan kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan dan uraian bahan pengajaran; d) Menyusun Rencana Program Pembelajaran Langkah berikutnya adalah menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP). Berdasarkan RPP inilah guru menjalankan aktivitas mengajar dan buku pelajaran disusun. Dengan berlandaskan pada RPP inilah diharapkan setiap sekolah memiliki arah yang seragam, yaitu diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Komponen-komponen RPP antara lain; rumusan kompetensi inti dan kompetensi dasar, indikator pembelajaran, pokok-pokok bahasan, dan uraian bahan pengajaran. Komponen-komponen tersebut disusun secara sistematis menurut semester dan kelas. Dalam waktu satu semester, untuk tiap pokok bahasan dicantumkan satu kompetensi dasar, beberapa indikator pembelajaran, dan uraian bahan pengajaran. Di samping komponen-komponen tersebut, dicantumkan juga jumlah jam pelajaran per sesi, metode-metode pembelajaran yang digunakan, sarana atau sumber bahan pelajaran, teknik penilaian dan keterangan tambahan. Cara menyusun RPP adalah semua komponen RPP disusun secara paralel dari kiri ke kanan, mulai dari tujuan kurikuler sampai teknik penilaian. Jika penyusunan RPP selesai, maka selesailah tugas tim nasional dalam usaha mengembangkan kurikulum sekolah;
3) Pengembangan program pengajaran di kelas pembuatan satuan pelajaran merupakan kegiatan pengembangan kurikulum yang berupa program pengajaran di kelas. Kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing guru. Satuan pelajaran terdiri dari; a) tujuan instruksional umum yang diambil dari RPP; b) indikator pembelajaran; c) uraian bahan pelajaran yang langsung dijabarkan dari uraian bahan dalam RPP yang mendasarkan diri pada indikator pembelajaran yang telah dirumuskan. Komponen berikut berturut-turut adalah d) perencanaan kegiatan belajar mengajar, e) pemilihan metode, alat, atau media yang dipergunakan, serta sumber bahan, f) penilaian baik prosedur maupun alat penilaian itu sendiri. Setiap guru yang melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas diwajibkan menyusun satuan pelajaran. Satuan pelajaran ini antara lain berfungsi membatasi dan mengarahkan segala kegiatan guru agar selalu berjalan pada tujuan-tujuan pelajaran yang ingin dicapai.[42]

XI.       Pengembangan Tujuan dan Isi Kurikulum
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi atau bahan pelajaran serta strategi yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Setiap rencana yang terdapat dalam kurikulum selalu didasarkan pada suatu tujuan tertentu. Komponen tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum.
Tiga alasan perlu merumuskan tujuan dalam kurikulum; (1) tujuan erat kaitannya dengan arah dan sasaran yang hendak dicapai oleh setiap upaya pendidikan. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan demikian perumusan tujuan merupakan komponen yang harus ada dalam kurikulu; (2) melalui tujuan yang jelas, dapat membantu para pengembang kurikulum dalam m pembeljendesain model kurikulum yang dapat digunakan, bahkan dapat membantu guru dalam mendesain system pelajaran, menentukan alat, media, dan sumber pembelajaran, serta merancang alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan belajar siswa; (3) tujuan kurukulum yang jelas dapat digunakan sebagai control dalam menentukan  batas-batas dan kualitas pembelajaran. Maksudnya melalui penetapan tujuan, para pengembang kurikuum termasuk guru dapat mengontrol tingkat capaian kemampuan-kemampuan sesuai dengan tujuan dan tuntutan kurikulum yang berlaku, dan dengan tujuan dapat ditentukan daya serap siswa dan kualitas organisasi sekolah.
Klasifikasi tujuan. Menurut Bloom, bentuk prilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskan ke dalam 3 klasifikasi yaitu: bidang kognitif, afektif dan psikomotor. Pertama, Bidang kognitif merupakan tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berfikir seperti kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah. Bidang kognitif terdiri dari 6 (enam) tingkatan yaitu; (1) Pengetahuan; (2) Pemahaman; (3) Penerapan; (4) Analisis; (5) Sintesis; dan (6) Evaluasi.
Kedua, Bidang Afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Bidang afektif merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari bidang kognitif. Artinya seseorang hanya memiliki sikap tertentu terhadap suatu objek, jika telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Menurut Krathwohl, dkk. (1964) membagi kemampuan afektif kedalam 5 tingkatan yaitu; (1) Penerimaan; (2) Merespons; (3) Menghargai; (4) Mengorganisasi; dan (5) Karakterisasi nilai.
          Ketiga, Bidang psikomotor. Merupakan tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan seseorang. Bidang psikomotor memiliki enam tingkatan yaitu; (1) Gerak reflex; (2) Keterampilan dasar; (3) Keterampilan perseptual; (4) Keterampilan fisik; (5) Gerak keterampilan; (6) Komunikasi nondiskursif.
          Herarkis tujuan. Tujuan herarkis merupakan tujuan pendidikan dari yang sangat umum sampai tujuan yang sangat khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur. Tujuan herarkis dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu; (1) tujuan pendidikan nasional (TPN). Tujuan nesional pendidikan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha pendidikan. TPN merupakan sumber dan pedoman dalam usaha penyelenggaraan pendidikan; (2) Tujuan institusional (TI). TI merupakan tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan dan oleh setiap siswa setelah siswa menempuh program di suatu lembaga tertentu. Dan Tujuan institusional adalah tujuan untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, seperti standar kompetensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan dan jenjang pendidikan tinggi; (3) Tujuan kurikuler. Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau pelajaran. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan tujuan untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian setiap tujuan kurikuler harus dapat mendukung untuk mencapai tujuan institusional; (4) Tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran (TP). Tujuan pembelajaran ini merupakan tujuan yang paling khusus. Dan tujuan pembelajaran merupakan kemampuan/ kompetensi/ keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa setelah proses pembelajaran berlangsung.  
          Cara merumuskan tujuan pembelajaran ada 4 (empat) komponen pokok yaitu; (1) siapa yang belajar atau yang diharapkan dapat mencapai tujuan atau mencapai hasil belajar itu; (2) tingkah laku atau hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai; (3) dalam kondisi yang bagaimana diharapkan dapat dicapai; (4) seberapa jauh hasil belajar itu bisa diperoleh.
          Pertanyaan pertama berhubungan dengan subjek belajar. Rumusan indicator hasil belajar sebaiknya mencantumkan subjek yang melakukan proses pembelajaran, misalnya siswa, peserta belajar, peserta penataran. Penentuan subjek ini sangat penting dalam menentukan sasaran belajar.Pertanyaan kedua, berhubungan dengan tingkah laku yang harus muncul sebagai indicator hasil belajar setelah subjek mengikuti atau melaksanakan proses pembelajaran.

XII. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter

Undang – undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pada bab II pasal 3 dijelaskan pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pembangunan karakter dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral, dan budi pekerti, sesuai Undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi dasar pijakan utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem pendidikan nasional.
Dunia pendidikan kita saat ini tampaknya telah terkontaminasi iklim budaya barat yang begitu mengunggulkan nilai–nilai intelektual berbasis science tetapi miskin dengan nilai – nilai moral spiritual dan nilai budaya bangsa, sehingga pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan perkembangan peradaban yang sesuai dengan norma dan adat budaya bangsa. Hal ini terbukti banyak catatan prestasi yang ditorehkan para pelajar Indonesia di tingkat internasional karena hampir di setiap kompetisi ilmu pengetahuan baik tingkat regional seperti di ASEAN, Asia maupun internasional, wakil Indonesia selalu menyabet medali. Tetapi sayangnya dinegeri sendiri prestasi itu harus ternodai dengan adanya kasus korupsi, terorisme ataupun kasus – kasus yang mengancam kedaulatan bangsa. Sehingga rekonstruksi system pendidikan nasional dapat dijadikan filter bagi dampak negatif era globalisasi, sehingga tidak mudah terpengaruh. Maka imbauan pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju masyarakat yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme menjadi suatu tantangan ke depan. Sekolah merupakan agen yang sangat efektif dalam membangun karakter siswa yang berbudaya dan bernilai kebangsaan melalui pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa.
Menurut Ahmad yaumi dasar pentingnya pendidikan karakter bangsa bagi siswa sebagai berikut: (a) Dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin komplek merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia memasuki milenium ketiga sekarang ini. Persinggungan budaya lokal, nasional, dan budaya-budaya asing adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan kita sehari-hari; (b) Adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Martadinata menyebutkan pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, dan bukan pribadi.[43] Seperti sistem pendidikan nasional jelas tertuang tujuan pendidikan nasional bukan sekadar membentuk peserta didik memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan semata, melainkan harus beriman, bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendidikan berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa; (c) Pendidikan yang diselenggarakan sekarang masih didominasi berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat.[44] Semestinya secara kultural, penyelenggaraan pendidikan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, seperti  pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) yang telah tertuang dalam berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan diimplementasikan. Ranah kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang merupakan produk Amerika dalam taksonomi pembelajaran tidak lebih sempurna dari taksonomi Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari olah otak, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Namun, dalam realitasnya, guru dan para perancang pembelajaran lebih cenderung merujuk pada taksonomi Bloom yang akar spiritualitasnya belum terintegrasikan. Hal ini dilakukan mengingat taksonomi Bloom telah dirumuskan lebih jelas sehingga indikator pencapaiannya mudah diukur dan dievaluasi.[45]
Pendidikan karakter bangsa merupakan perilaku khas seseorang atau kelompok, kekuatan moral, atau reputasi. Karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu atau berbagai atribut termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti integritas, keberanian, ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, atau perilaku atau kebiasaan yang baik. Wood menyebutkan ketika seseorang memiliki karakter moral, hal inilah yang membedakan kualitas individu yang satu dengan individu yang lain.[46] Karakter merupakan seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan tentang keberadaan dirinya kepada orang lain. Penggambaran itu tercermin dalam prilaku ketika melaksanakan berbagai aktivitas secara efektif melaksanakan dengan jujur atau sebaliknya, mematuhi hukum yang berlaku atau tidak.[47] Walaupun prilaku sering dihubungkan dengan kebribadian, tetapi kedua kata ini mengandung makna yang berbeda. Kepribadian pada dasarnya merupakan sifat bawaan, sedangkan karakter terdiri atas prilaku-prilaku yang diperoleh dari hasil belajar. Konsep pendidikan karakter tersebut di atas adalah proses pendidikan yang bertujuan menciptakan peserta didik yang berkarakter, maksudnya menciptakan generasi yang cerdas, berbudi pekerti luhur, agamis dan selalu menjunjung tinggi nilai–nilai budaya bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Konsep tersebut menjadi tantangan bagi para pendidik untuk dapat diimplementasikan dalam setiap materi pelajaran sehingga menjadi konsep dan tanggung jawab bersama yang bersifat integral sesuai dengan amanat dari Undang – undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.
 Pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa; Pertama, Konsep–konsep pengembangan kurikulum, merencanakan kurikulum, menurut Hilda Taba (Lukmanul hakim, 2008), bahwa didalam merancang kurikulum setidaknya berpijak dari fungsi dasar pendidikan yaitu: (1) Pendidikan berfungsi memelihara dan menyampaikan warisan kebudayaan kepada generasi muda, artinya mengajar berarti menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai hasil kebudayaan yang menjadi isi atau materi pembelajaran melalui proses penuangan atau imposisi; (2) Pendidikan berfungsi mengubah dan memperbaiki kebudayaan, artinya proses pembelajaran lebih mencerminkan iklim demokratis. Siswa dituntut untuk mengkaji, menilai, dan menemukan bentuk–bentuk hasil kebudayaan, termasuk ilmu pengetahuan yang dipandang lebih dan sesuai dengan tuntutan kehidupan, baik dimasa kini maupun masa datang; (3) Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan, kecakapan dan pribadi setiap individu. Maksudnya, siswa dipandang sosok yang mempunyai potensi, kecakapan, minat, dan kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya. Atas dasar itu setiap siswa bebas memilih bentuk–bentuk belajar sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Tujuan pembelajaran adalah membentuk pribadi yang bersifat utuh, sehingga setiap individu dapat mewujudkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki masing–masing.
Kedua, Pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa berdasarkan Pencapaian. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama yaitu guru, orang tua dan lingkungan. Oleh karena itu perencanaan kurikulum seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Nasution menyebutkan dalam merencanakan kurikulum sebaiknya guru berpedoman pada: (1) Apa yang dipelajari; (2) Kepada siapa diajarkan; (3) Apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa; dan 4 Dalam urutan yang bagaimana.[48]
Dengan demikian perencanaan kurikulum bersifat dinamis, guru harus mampu melihat kebutuhan siswa sesuai dengan permasalahan yang muncul, dilihat dari segi kebutuhan individu, masyarakat, Negara dan dunia. Seharusnya guru dapat mengimplementasikan beberapa kebutuhan siswa secara seimbang dalam berbagai materi pelajaran. Terkait munculnya permasalahan–permasalahan yang terancamnya kedaulatan bangsa, maka para pendidik harus meninjau ulang kurikulumnya, sehingga dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Kemampuan intelektual harus diimbangi dengan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai budaya bangsa, hal ini cenderung memunculkan generasi yang menjunjung tinggi nilai nasionalisme, sehingga kecerdasan intelektual yang terbentuk pada diri siswa dapat membawa kepada kemaslahatan bangsa dan Negara. Daripada itu dianjurkan para guru dapat mengimplementasikan pendidikan yang berkarakter budaya bangsa tersebut dalam setiap pelajaran dan seluruh komponen pendidik disekolah.

XIII.    Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum adalah sebuah proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat lingkungan makro (ideal curriculum) maupun lingkungan mikro (actual curriculum) dalam bentuk pembelajaran. Hamid Hasan menyebutkan evaluasi adalah proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan.[49]
Tujuan kurikulum adalah untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan: (1) untuk perbaikan program. Bersifat konstrutif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan yang diperlukan di dalam program kurikulum yang sedang dikembangkan; (2) pertanggungjawaban kepada berbagai pihak. Diperlukan pertanggungjawaban dari pihak pengembangan kurukulum maupun pihak yang menjadi konsumen kurikulum yang telah dikembangkan; (3) penentuan tindak lanjut hasil pengembangan. Dapat berbentuk jawaban atas kemungkinan pertanyaan; pertama, apakah kurikulum baru tersebut tidak tersebar luaskan ke dalam system yang ada? Kedua, dengan kondisi, dan strategi bagaimana kurikulum baru tersebut disebarluaskan ke dalam system? Kemudian untuk menghasilkan informasi yang diperlukan, dan jalan untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan evaluasi kurikulum.
Kategori kurikulum sebagai berikut: (1) penilaian konteks; dasar dalam menentukan tujuan program, fasilitas dengan kondisi dan situasi program itu dilaksanakan; (2) penilaian input (masukan); memperoleh informasi dan menyajikan keterangan sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya untuk pencapaian tujuan penilaian proses, mengetahui kekuatan/kelemahan rencana dan pelaksanaan untuk perbaikan, penyempurnaan, pengembangan program penilaian; (3) output (keluaran-hasil) menentukan keberhasilan program dan dampaknya.
Dimensi evaluasi kurikulum mencakup dimensi program (tujuan, isi kurikulum, dan pedoman kurikulum) dan dimensi pelaksanaan (input, proses, output dan dampak). Rincian sebagai berikut: (1) dimensi program meliputi; a. tujuan (institusional, kurikuler dan instruksional); b. isi kurikulum (struktur, komposisi, jumlah mata pelajaran dan alokasi waktu); c. pedoman pelaksana terdiri dari: proses belajar mengajar, system penilaian, administrasi dan supervise dan sumber belajar; (2)  dimensi pelaksanaan meliputi: a. komponen masukan seperti; komponen mentah  (jumlah peserta didik, minat dan motivasi, kecakapan sebelumnya dan bakat/potensinya), masukan alat seperti bahan pelajaran/pelatihan, system administrasi dan prasarana pendidikan, masukan lingkungan terdiri dari lingkungan social, lingkungan budaya, lingkungan giografis dan lingkungan religius; b. komponen proses seperti interaksi unsur-unsur masukan untuk mencapai tujuan seperti peserta dengan peserta, peserta dengan pengajar/pelatih, peserta dengan lingkungan, dan pengajar dengan pengajar; c. komponen luaran seperti menghasilkan sesuatu perubahan tingkah laku (kompetensi) setelah mengalami proses; pengetahuan, sikap/nilai dan ketrampilan; komponen dampak seperti dampak yang dirasakan peserta didik di masyarakat/ tempat kerja yaitu kemandirian, kemampuan intelektual, kemampuan social, moral, dan etos kerja.
Prinsip evaluasi kurikulum untuk memeriksa ketercapaian tujuan pendidikan dan efektivitas pencapaiannya. Prinsip pelaksanaan evaluasi sebagai berikut: (1) keterpaduan ataunkeselarasan. Kesesuaian antara tujuan instruksional pengajaran tujuan pembelajaran, materi pembelajaran dan metode pembelajaran; (2) keterlibatan peserta didik. Suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta didik dalam evaluasi bukan alternative dan seluruhnya mempunyai keterkaitan yang erat; (3) koherensi. Evaluasi pendidikan harus berkaitan dengan materi pembelajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta didik yang hendak diukur. Dan keselarasan peserta didik dengan pembelajaran harus sesuai; (4) pedagogis. Merupakan seni dalam mengajar. Diperlukan alat penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa atau peserta didik; (5) akuntabel. Evaluasi haruslah menjadi alat akuntabilitas atau bahan pertanggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seperti; orang tua siswa, dan sekolah.
Fungsi evaluasi kurikulum menurut Tyler adalah untuk memperbaiki kurikulum melalui hasil belajar evaluasi produk. Menurut Cronbach adalah untuk memperbaiki kurikulum dan memberi penghargaan. Menurut Sciver adalah untuk mengurangi kekurangan-kekurangan yang ada. Dan Scriven membedakan evaluasi kurikulum kedalam dua fungsi yatu; (1) evaluasi formatif; dilaksanakan jika kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu dari kurikulum yang sedang dikembangkan; (2) evaluasi sumatif; dilaksanakan jika kurikulum telah dianggap selesai pengembangannya (evaluasi terhadap hasil kurikulum).
Prosedur kurikulum menurut Storeange dan Helm (1992) sebagai berikut; (1) kajian terhadap evaluan; (2) pengembangan proposal; (3) pertemuan atau diskusi proposal dengan pengguna jasa evaluasi; (4) revisi proposal; (5) rekruitmen personalia; (6) pengurusan persyaratan administrasi; (7) pengorganisasi pelaksanaan; (8) analisis data; (9) penulisan pelaporan; (10) pembahasan laporan dengan pemakai jasa; dan (11) penulisan laporan akhir.




[1] Hamalik, Oemar. 1990. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga: Oemar Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: UPI. Baca Juga: Oemar Hamalik. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga: Oemar Hamalik. Evaluasi Kurikulum Pendekatan Sistematik. Bandung: Yayasan Al Madani Terpadu
[2]Charlotte, W.L., 2004. Tracheostomy in American Medicine Journal, Volume 129 (5), Otolaryngology – Head and Neck Surgery, Jos University Teaching Hospital at Nigeria: 523. Baca Juga: Thomson, A., 2007. Surgeries and Procedures. Available from: http://pennhealth.com/health_info/Surgery/tracheostomy.html. [Accessed on: 10 July 2007].
[3]Trisno Yuwono. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola
[4] Craft, A. (Ed). 2005. Creativity in Schools Tensions and Dilemmas. NewYork: Routledge
[5] Munandar, Utami. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Rineka Cipta. Baca Juga: Guilford, J.P. 1965. Factor That Aid and Hinder Creativity, Teachers Record.
[6]Clegg, P. 2008. Creativity and Critical Thinking in the Globalized University. Innovations in Education and Teaching International. Vol. 45. Nomor 3. Taylor & Francis.
[7]Munandar, Utami. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Rineka Cipta.  
[8]Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009
[9] Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009
[10] Ridwan, Juniarto, dkk, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa, 2010. Baca Juga: Sumardi, Juajir, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
[11]Hendiyat Soetopo dan Wasti Soemanto, 1998, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. 
[12] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 199
[13] Soetjipto dan Raflis Kosasi. 2000. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
[14] Zais, S. Robert. 1976. Curriculum, Principles and Foundation. Ney York: Harper & Row, Publishers. Baca Juga: Mc Neil. John D. 2006. Contemporary Curriculum in Thouhgt and Action. USA: John Wiley & Sons. Inc
[15] S. Nasution. 2014. Azas-azas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
[16] Sukamdinata, Nana Syaodih. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[17]Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. (Penerj. Kartini Kartono). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[18]Rousseau. J.J. 1989. Perihak Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik. Terjemahan Husein.I.S dan Hidayat.R. Jakarta: Dian Rakyat. Baca Juga: Affandi, I. 2012. Filsafat Politik Rousseau (online). Tersedia: http://webcache.googleusercontent.com  
[19]Hunt, HK, 1991, Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaning Behavior, Journal of Social Issues 49 (1). Baca Juga: Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats TG et al. 2009 Focused update incorporated into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines Developed . J Am Coll Cardiol. 2009;53(15):e1-e90
[20]Fatah Syakur, dalam Zainal, et al., 1984. Pedoman Majlis Taklim: Proyek Penerangan Bimbingan Dakwah Khotbah Agama Islam, Jakarta.
[21] Sukardjo, M., dkk., 2012. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya: Jakarta.
[22] Ainurrofik Dawam dan Ahmad Taarifin. 1994.  Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Cet. I. Jakarta: Listafariska Putra.
[24] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002, 102.
[25] A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 79.
[26] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Cet. 1, (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 1993), 4-6.
[27] Wina Sanjaya&Dian Andayani, “Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2011), 46-47.
[28] Wina Sanjaya & Dian Andayani, Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum, dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2011), 53-54.
[29]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 110-111.
[30]Nana Syaodih Sukmadinata, Ibid.,  110-111.
[31] Nana Syaodih Sukmadinata, Ibid., 110-111.
[32] Alderfer, Harold F. Local Government in Developing Countries, Mc Graw-Hill Book Company, New York, 1964
[33] Shane, Harold, G., 2002. Arti Pendidikan Bagi Masa Depan. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada
[34]Hamalik, Oemar. 1990. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga: Oemar Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: UPI. Baca Juga: Oemar Hamalik. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baca Juga: Oemar Hamalik. Evaluasi Kurikulum Pendekatan Sistematik. Bandung: Yayasan Al Madani Terpadu. Baca Juga: Fred Percival dan Hennry Ellington. (1988). Teknologi Pendidikan. Jakarta:Erlangga
[35]Nana Syaodih Sukmadinata. 2011. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[36] Longstreet, W.S. & Shane, H.G. 1993. Curriculum for a New Millenium. USA: Allyn & Bacon.
[37] Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Dinas Pendidikan Nasional, 1999), hlm. 617.
[38]Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 1.
[39] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 3. 4
[40] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 5
[41]Winarno Surakhmat, dkk., Mengurai Benang Kusut Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hm. 145-146.
[42] Achmad Sudja‟i, Pengembangan Kurikulum
[43]Kartadinata Sunaryo. (1998). Bimbingan di Sekolah Dasar. Bandung: Maulana. Baca Juga. Hermawan, dkk., 2008. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka
[44]Alwasilah, Chaedar. 2006. Contextual Teaching and Learning. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Baca Juga: Baharuddin dan Nur, Esa. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. ArRuzzmedia: Jakarta. 
[45]B.S. Bloom. Taxsonomy of Educational Objektives, Hand I Cognitives Domain David Mc Key Company Inc.  
[46]Julia, T. Wood. 2009. Communication In Our Lives, Sixth Edition. Wadswoth Publishing: Boston. 
[47]E. Mulyasa, (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakter dan Implementasi.  Bandung: Rosdakarya. Baca Juga: Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana. Baca Juga: Fatchul Mu’in. 2011. Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoritik & Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Baca Juga: Doni Koesoema A. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
[48]S. Nasution. 2001. Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara
[49]Hasan, Said Hamid, dkk,. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Baca Juga: Lickona, Thomas. 2012. Mendidik Untuk Membangun Karakter Bagaimana Sekolah dalam Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat dan Bertanggung jawab judul asli: Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect And Reponsibility. Jakarta: Bumi Aksara


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHAN AJAR MATA KULIAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN

Contoh Pembelajaran Berbasis Riset Mata Kuliah Evaluasi Kelembagaan An. Ahmad Isna Muhdi

BAHAN AJAR MATA KULIAH: ILMU PENDIDIKAN ISLAM